Rabu, 12 Mei 2021

Menghidupkan Malam Hari Raya

Menghidupkan Malam Hari raya

Cara menghidupkan hari raya dapat dilakukan dengan memperbanyak do’a dan dzikir kepada Allah, memperbanyak shalat sunnah, dan amaliyah-amaliyah yang bersifat keta’atan lainnya. Amaliyah keta’atan atau ibadah-ibadah lainnya tentunya sangat banyak, seperti membaca Al-Qur’an, menyemarakkan dengan shalawat, syiar-syiar Islam, dan lain sebagainya.

Abdurrahman Al-Jaziriy didalam Al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah mengatakan “Dianjurkan menghidupkan malam dua hari raya dengan keta’atan kepada Allah berupa dzikir, tilawah al-Qur’an, dan semisal yang demikian, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, “barangsiapa yang menghidupkan malam ‘Idul Fithri dan malam ‘Idul Adlha dengan penuh keikhlasan, hatinya tidak akan mati ketika matinya semua hati”, diriwayatkan oleh Ath-Thabraniy. Dan sudah hasil (memperoleh fadlilah menghidupkan malam tersebut) dengan melakukan shalat ‘Isya dan shalat shubuh secara berjama’ah”.

Zainuddinn Zakariyya Al-Anshoriy dalam Asnal Matholib mengatakan “Dan sudah hasil (telah memperoleh fadlilah) menghidupkan malam hari raya dengan mengagungkan malamnya, seperti halnya mabid di muzdalifah, dikatakan hanya dengan sesaat saja, sedangkan pendapat dari ‘Ibnu Umar ; dengan melakukan shalat ‘Isya berjama’ah dan bertekad melakukan shalat shubuh berjama’ah ”

Menurut Imam Nawawi, “Yang shahih, bahwa fadlilah menghidupkan malam hari raya ini tidak akan diperoleh kecuali minimal dengan mengagungkan malamnya (dengan ibadah), dikatakan juga dapat diperoleh hanya dengan sesaat saja (beribadah), dan ditekankan sebagaimana dinukil oleh Imam Syafi’i pada guru-guru besar (masyayikh) kota Madinah yakni dengan berdo’a dan dzikir semalaman. Di naql dari Al-Qadli Husain, dari Ibnu Abbas, bahwa menghidupkan malam hari raya dilakukan dengan shalat ‘”Isya’ berjama’ah dan bertekad menyambung untuk shalat Shubuh berjama’ah pula, dan pendapat yang dipilih adalah yang sebelumnya, Wallahu A’lam”

Kata Ulama Tentang Menghidupkan Malam Hari Raya

1. Syaikh Sulaiman bin Umar bin Mashur Al-Jummal (w 1204 H)

“Disunnahkan (yustahabb) menghidupkan malam hari raya dengan ibadah, dan walaupun itu malam Jum’ah (sebab Jum’ah juga dianggap sebagai hari raya, penj), seperti melakukan shalat dan berbagai ibadah-ibadah lainnya, berdasarkan khabar {“Barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua hati”}, adapun yang dimaksud dengan mautul quluub (matinya hati) adalah sangat tergila-gila dengan cinta dunia, pengertian ini diambil dari hadits, sabda Rasulullah {“Janganlah kalian masuk golongan orang-orang yang mati. Rasulullah ditanya, siapakah mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah menjawab, al-Aghniyaa’ (orang-orang kaya)”}. Pendapat lain mengatakan, mautul quluub maksudnya adalah kekufuran, pengertian ini diambil dari firman Allah Subhanahu wa Ta’alaa surah Al-An’am ayat 122 : {“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan”} yakni kafir kemudian diberi petunjuk. Pendapat lain juga mengatakan, mautul quluub artinya ketakutan (panik dan cemas) pada hari qiyamat, pengertian ini diambil dari hadits {Manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berbusana, dan tidak berkhitan. Umma Salamah berkata, apakah laki-laki melihat aurat wanita dan sebaliknya. Nabi menjawab, sungguh pada hati itu sangat sibuk hingga tidak seorang laki-laki tidak mengetahui dirinya laki-laki, demikian juga wanita”}”.  (Kitab Futuhal Al-Wahab bi-taudlih syarh Minhaj ath-Thullab atau Hasyiyah al-Jummal)

2. Syamsuddin Muhammad bin Abul ‘Abbas Ar-Ramli Al-Syafi’i (w 1004 H) berkata :

“Disunnahkan menghidupkan malam-malam hari raya dengan ibadah kepada Allah, meskipun itu malam Jum’at, berupa melakukan shalat dan berbagai ibadah-ibadah lainnya, berdasarkan khabar {“barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua hati “}.”(Kitab Nihayatul Muhtaj ilaa Syarhi Al-Minhaj)

3. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Al-Khathib Asy-Syabiniy Al-Syafi’i (w 977 H)

“Disunnahkan menghidupkan malam hari raya dengan ibadah seperti shalat dan ibadah-ibadah lainnya berdasarkan khabar “barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua hati”. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthniy secara mauquf. Imam Nawawi berkomentar didalam Al-Majmu, sanad-sanadnya dloif alias lemah, bersamaan dengan hal tersebut ulama mensunnahkan tetap menghidupkan malam hari raya, sebab hadits dloif tetap diamalkan didalam hal fadloil a’mal sebagaimana telah berulang-ulang diisyaratkan kebolehan hal ini, dan diambil dari hal tersebut sebagaimana perkataan Al-Adzra’iy ketiadaan penekanan anjuran (kesunnahan biasa, tidak sangat ditekankan, penj)”. (Kitab Mughniy Al-Muhtaj ilaa Ma’rifati Ma’aniy Alfadh Al-Minhaj)

4. Syaikhul Islam Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy (w 974 H)

“Dan disunnahkan menghidupkan dua malam hari raya yakni malam ‘Idul Fithri dan malam ‘Idul Adlha dengan ibadah-ibadah seperti shalat, membaca Al-Qur’an dan dzikir, berdasarkan riwayat yang warid dengan sanad-sanad yang dloif : “barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua hati”, dan sudah memperoleh fadlilah keutamaan menghidupkan malam hari raya dengan menghidupkan keagungan malamnya”.(Kitab Al-Minhajul Qawiim)

5. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali Al-Syafi’i (w 505 H)

“Kedua (disunnahkan) menghidupkan malam hari raya. Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam bersabda : “barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua hati””. (Kitab Al-Wasith fil Madzhab)

6. Al-‘Allamah Muhammad Az-Zuhriy Al Ghumrawiy (w 1337 H)

“Dan disunnahkan menghidupkan malam dua hari raya dengan ibadah dan do’a didalamnya, serta pada malam Jum’at, malam pertama bulan Rajab dan malam nishfu Sya’ban”. (Kitab As-Sirajul Wahaj)

7. Syaikh Sulaiman Al-Bujairamiy Al-Mishriy (w 1221 H)

“Dan disunnahkan (yundabu) menghidupkan dua malam hari raya dengan beribadah, dan sudah memperoleh fadlilah menghidupkan malam hari raya dengan menghidupkan keagungan malamnya” (Kitab Tuhfatul Habib ‘alaa Syarhi Al-Khothib)

8. Syaikh Ahmad Salamah Al Qalyubiy

“Disunnahkan menghidupkan malam 2 hari raya dengan dzikir atau shalat, dan yang lebih utama adalah melakukan shaalt tasbih. Namun sudah cukup mengagungkan malam hari raya minimal melakukan shalat Isya’ berjama’ah dan disambung dengan shalat shubuh berjama’ah. Seperti itu juga pada malam nishfu Sya’ban, malam awal bulan Rajab dan malam Jum’at, sebab malam-malam tersebut merupakan tempat diijabahnya do’a”. (Kitab Hasyiyah Al-Qalyubiy wa ‘Umairah)

9. Syaikh Hasan Al-Syurunbulaliy Al-Mishriy Al Hanafi (w 1069 H)

“Disunnahkan menghidupkan malam dua hari raya yakni Al-Fithri dan Al-Adlhaa, berdasarkan hadits “barangsiapa menghidupkan malam hari raya, niscaya hatinya tetap hidup ketika matinya semua hati”, dan dianjurkan memperbanyak beristighfar dengan tulus dan juga sayyidul Istighfar “…”, dan berdoa dimalam tersebut adalah mustajab”. (Kitab Muraqiy Al-Falah syarh Matni Nuril ‘Idlah)

10. Imam Ibnu ‘Abidin Ad-Dimasyqiy (w 1252 H)

“(Perkataan mushannif “menghidupkan malam dua hari raya”) yang utama menggunakan kata “Lailata” dengan dibaca tatsniyah : yakni malam ‘Idul Fithri dan malam ‘Idul Adlhaa”. (Kitab Raddul Mukhtar ‘alaa Ad-Durril Mukhtar)

11. Syaikh Ibnu Nujaim Al-Mishriy (w 970 H)

“Dan diantara perkara-perkara yang dianjurkan (disunnahkan) yaitu menghidupkan malam 10 terakhir Ramadhan  dan malam dua hari raya, malam 10 Dzulhijjah, malam nishfu Sya’ban”. (Kitab Al-Bahr Ar-Raiq syarh Kanz Ad-Daqaiq)

12. Muhammad bin Yusuf Al-Gharnathiy Al-Malikiy (w 897 H)

“Dianjurkan (nudiba) menghidupkan malam hari raya berdasarkan riwayat Abu Umamah “barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua hati”. (Kitab Al-Taj wa Al-‘Iklil li-Mukhtashar Kholil)

13. Syamsuddin Al-Hathib Ar-Ru’ayniy (w 954 H)

“Ibnu Al-Furat berkata : aku menganjurkan menghidupkan malam hari raya dengan dzikir kepada Allah, shalat dan amaliyah keta’atan lainnya, berdasarkan hadits : “barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua hati”. Diriwayatkan secara mauquf dan marfu’, dan dikomentari dloif, akan tetapi hadits-hadits fadlo’il ditorerir dalam hal tersebut”. (Kitab Mawahibul Jalil)

14. Syihabuddin An-Nafrowiy Al-Azhariy (w 1126 H)

“Sesungguhnya disunnahkan menghidupkan malam hari raya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam : barangsiapa menghidipkan malam hari raya dan malam nishfu Sya’ban, hatinya tidak akan mati ketika matinya semua hati. Didalam disebuah hadits lain : barangsiapa yang menghidupkan malam-malam yang empat, wajib baginya memperoleh surge. Yakni malam Jum’at, malam ‘Arafah, malam ‘Idul Fithri dan malam ‘Idun Nahr (Adlhaa)”. (Kitab Al-Fawakihud Dawaniy).  

15. Imam Ash-Showiy Al-Malikiy (w 1241 H)

“Qauluhu: (dan dianjurkan menghidupkan malam hari raya) : yakni berdasrkan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam : barangsiapa menghidupkan malam hari raya dan malam nishfu Sya’ban, hatinya tidak akan mati ketika matinya semua hati”. (Kitab Hasyiyah Ash-Showiy ala Asy-Syarhi Al-Shoghir)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.