Rabu, 30 Desember 2020

cara wudhu orang yg memakai perban

Cara berwudhu bagi orang yg luka tidak boleh terkena air

Dalam aktivitas sehari-hari, seringkali kita menemui atau malah mengalami musibah-musibah yang tidak diinginkan. Musibah itu bisa berupa kecelakaan atau penyakit-penyakit yang menyulitkan. Tentu saja kita senantiasa berlindung dan berdoa kepada Allah agar diberikan keselamatan dalam setiap aktivitas kita. 

Tapi jika memang kecelakaan atau penyakit tersebut tiba-tiba menimpa kita, selain tetap berikhtiar dan memohon kesembuhan, tentu ada hal-hal yang membuat kita berpikir, seperti “Bagaimana ya semisal kecelakaan atau penyakit ini menyebabkan luka yang tidak boleh terkena air sehingga menimbulkan halangan untuk wudhu?” Atau, misal pada suatu waktu, ada perawatan dan pengobatan oleh dokter yang tidak menyarankan terkena air. Bagaimana menindaklanjutinya untuk ibadah? 

Fiqih Islam memberikan jalan keluar bagi yang memiliki uzur untuk melakukan wudhu, disebabkan oleh luka maupun penyakit yang menyebabkannya diperban, yang dilarang terkena air dulu agar segera sembuh. 

Dalam kitab Fathul Qaribil Mujib yang merupakan syarah dari kitab Taqrib karangan Syekh Abu Syuja’ disebutkan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan saat berwudhu bagi shahibul jaba’ir, orang-orang yang diperban. 

1. Bagian anggota wudhu yang masih sehat, dibasuh terlebih dahulu dengan wudhu sebagaimana biasanya. Semisal di bagian yang diperban itu tidak menutupi seluruh bagian anggota wudhu yang wajib dibasuh, maka ia sebisa mungkin dibasuh terlebih dahulu.  
2. Mengusap di atas bagian anggota wudhu yang diperban. Mengusapnya tidak perlu sampai basah, hanya sekadar di atas perban tersebut. Jika luka itu tidak diperban, maka tidak perlu diusap. 
3. Mengganti wudhu yang basuhannya tidak sempurna pada anggota wudhu yang diperban itu dengan melakukan tayamum. 

Tayamum yang dilakukan sama seperti tayamum biasanya, yaitu dengan debu mengusap wajah dan kedua tangan.

Bagaimana semisal hendak melakukan shalat lagi? Semisal seseorang belum batal wudhunya, tapi sudah masuk waktu shalat fardlu yang lain, maka ia hanya melakukan tayamum lagi. 

Patut diketahui bahwa tayamum itu diperbarui di setiap shalat fardlu. Sedangkan untuk shalat sunah, maka sekiranya belum batal wudhunya, ia tetap sah dilakukan tanpa memperbarui tayamum.
Selanjutnya, keringanan ini dilakukan tanpa ada batasan waktu tertentu. Seorang yang terkena uzur ini, baik dengan perban maupun tidak, tetap boleh melakukan tatacara di atas sampai sekiranya lukanya sembuh dan sudah diperkenankan terkena air lagi. 

Wallahu alam.

Sabtu, 26 Desember 2020

khutbah intropeksi diri

Intropeksi diri

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِفَضْلِهِ وَكَرَمِهِ، وَخَذَلَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِمَشِيْئَتِهِ وَعَدْلِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَلَا شَبِيْهَ وَلَا مِثْلَ وَلَا نِدَّ لَهُ، وَلَا حَدَّ وَلَا جُثَّةَ وَلَا أَعْضَاءَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا وَعَظِيْمَنَا وَقَائِدَنَا وَقُرَّةَ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ،وَصَفِيُّهُ وَحَبِيْبُهُ. اَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إَلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. 
أَمَّابَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ:يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨(سورة الحشر: ١٨)  

مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ 
Memasuki Awal Tahun Baru 2021 ini 
Marilah kita senantiasa meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah2Nya dan menjauhi larangan2Nya

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada kita untuk bertakwa dan berinstrospeksi diri. Masing-masing dari kita hendaknya selalu berpikir dan mencermati apa yang telah dipersiapkan untuk akhiratnya kelak. Jika telah berbuat baik dan beramal shalih, maka hendaknya kita memuji Allah subhanahu wa ta’ala atas kemurahan-Nya, dan tetap istiqamah (konsisten) dalam kebaikan itu sepanjang hidup kita. Namun jika kita masih berbuat maksiat, maka hendaknya kita tinggalkan semua maksiat, beristighfar (memohon ampun), dan memperbaiki hati, karena di akhirat kelak tidaklah bermanfaat harta dan keturunan serta apa pun jua kecuali orang-orang yang memasuki kehidupan akhirat dengan hati yang bersih.  
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (٨٨) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (٨٩)

 
Saudara-saudaraku seiman, Di akhirat kelak, seseorang akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban atas pendengaran, penglihatan dan hatinya, sebagaimana ia akan dihisab atas apa yang dilakukan oleh seluruh anggota badannya. Oleh karena hati adalah pemimpin anggota badan, maka perbuatan-perbuatan anggota badan sejatinya mencerminkan apa yang ada dalam hati. Jika hati baik, maka anggota badan menjadi baik. Dan jika hati rusak, maka rusaklah anggota badan.

Hadirin yang berbahagia, 
Ibnu Hibban meriwayatkan dalam hadits shahih dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ جِيفَةٍ بِالَّليْلِ حِمَارٍ بِالنَّهَارِ عَالِـمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ (حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ)   
"Sesungguhnya Allah murka kepada setiap kata-kata kasar lagi sombong, banyak makan,suka berteriak teriak di pasar, bagai bangkai di waktu malam, seperti keledai di waktu siang, pandai dengan urusan dunia namun bodoh dengan urusan akhirat."

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala membenci seseorang yang memiliki enam sifat berikut ini:  
  جَعْظَرِيٍّ 

Yakni orang yang keras kepala takabbur atau sombong. 
Sombong ada dua macam.   
Pertama, menolak kebenaran yang disampaikan oleh orang lain padahal ia tahu bahwa hal itu benar, dikarenakan penyampai kebenaran lebih muda usianya, lebih miskin hartanya, lebih rendah status sosialnya atau karena hal lain. Padahal fir’aun tidaklah binasa kecuali karena sifat takabburnya. 
Fir’aun telah melihat sekian banyak mu’jizat Nabi Musa ‘alaihissalam, namun ia tidak beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. 
Haman, perdana menteri Fir’aun ketika itu berkata kepada Fir’aun: “Jika engkau beriman kepada Musa, maka engkau akan kembali menjadi hamba yang menyembah, padahal selama ini engkau sudah menjadi tuhan yang disembah.” 

Demikian pula Bani Isra’il yang diutus kepada mereka Nabi Isa ‘alaihissalam. Setelah mereka melihat mu’jizat Nabi Isa ‘alaihissalam, tidak ada yang membuat mereka tidak beriman kecuali sifat takabbur mereka. Mereka selalu mengatakan bahwa jika mereka beriman, maka akan lenyaplah kehormatan dan kekuasaan mereka.   

Jenis takabbur yang kedua adalah merendahkan orang lain. Seseorang yang memiliki sifat takabbur jenis kedua ini dalam hatinya, ia akan menganggap dirinya memiliki keistimewaan lebih atas orang lain sehingga melihat dirinya dengan pandangan kesempurnaan dan penuh kebaikan. Dia melupakan bahwa itu semua adalah 
anugerah yang Allah berikan kepadanya.   

جَوَّاظٍ 
Yaitu seseorang yang rakus pengumpul harta yang sangat pelit,ia mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan niat yang tidak benar dan didorong kecintaannya yang sangat besar terhadap harta. Ia tidak peduli dari mana harta itu ia peroleh, apakah dari sumber yang halal ataukah haram. Dengan itu, ia bertujuan untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya yang haram dan membanggakan diri di hadapan para hamba yang lain.  

 سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ   
Artinya orang yang selalu berkeliling di pasar pasar hanya mengurus dunia, ia memperbanyak omongan dengan tujuan supaya bisa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Ia tidak peduli apakah omongannya halal ataukah haram.  

 جِيفَةٍ بِاللَّيْلِ   
Menjadi bangkai di malam hari.
 Yakni menghabiskan seluruh waktu malamnya untuk tidur. Ia tidak peduli untuk melakukan ibadah sama sekali.   

حِمَارٍ بِالنَّهَارِ  
 Menjadi keledai di siang hari. Yakni yang ia pikirkan hanya bagaimana bisa memakan berbagai menu makanan dan banyak menikmati berbagai kemewahan hidup. Dengan sebab itu, ia lalai melakukan hal-hal yang Allah wajibkan kepadanya.  Hanya memikirkan kesenangan dunia belaka

 عَالِـمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ الْآخِرَةِ   
Mengetahui perkara dunia namun bodoh mengenai perkara akhirat. Yakni mengetahui bagaimana cara mencari dan mengumpulkan harta, akan tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai bagian ilmu agama yang fardlu ‘ain untuk dipelajari, yang disebut para ulama dengan istilah
 عِلْمُ الدِّيْنِ الضَّرُوْرِيِّ ilmu agama yang pokok).
Terhadap urusan duniawi sangat faham
Terhadap urusan ukhrowi sama sekali tidak faham نعوذ بالله من ذالك

  مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ  

Di akhir khutbah, kami mengutip mutiara nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah yang mengingatkan kepada kita semua bahwa kehidupan dunia adalah waktu untuk beramal, dan semua yang kita lakukan di dunia ini akan kita pertanggungjawabkan di akhirat:  

 ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ، وَلاَتَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ اليَوْمَ عَمَلٌ وَلاَحِسَابَ، وَغَدًاحِسَابٌ وَلاَعَمَلٌ   

Maknanya: “Dunia berjalan membelakangi kita, sedangkan akhirat berjalan menghampiri kita. Masing-masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anaknya. Maka jadilah bagian dari anak-anak akhirat (senantiasa mementingkan kehidupan akhirat) dan janganlah menjadi bagian dari anak-anak dunia (selalu mementingkan kehidupan dunia yang sementara), karena hari ini (kehidupan dunia) adalah waktunya beramal dan tidak ada hisab, sedangkan besok (kehidupan akhirat) adalah waktunya mempertanggungjawabkan amal, dan bukan waktunya beramal,” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari)  

ﺃﻋﻮﺫ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﺍﻟﺮﺟﻴﻢ، ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ (٨٣) وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ (٨٤) وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. 
 (وقل رب اغفر وارحم وانت خير الراحمين)

بسم الله الرحمن الرحيم

ﺍَﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠّٰﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺟَﻌَﻞَ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺠُﻤْﻌَﺔِ ﺃَﻓْﻀَﻞَ ﺍَﻳَّﺎﻡِ ﺍْﻻُﺳْﺒُﻮْﻉِ
ﻭَﺍﺧْﺘَﺼَّﻪُ ﺑِﺴَﺎﻋَﺔٍ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻣُﺠَﺎﺏٌ ﻣَﺴْﻤُﻮْﻉٌ
ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠّٰﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻪُ ﺷَﻬَﺎﺩَﺓً ﻣُﺤَﺘَﻮِﻳَﺔً ﻋَﻠَﻰ ﻛَﻤَﺎﻝِ ﺍْﻻِﺧْﻼَﺹِ ﻭَﺍﻟْﺤُﻀُﻮْﻉِ
ﻭَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﺳَﻴِّﺪَﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ ﺻَﺎﺣِﺐُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﻡِ ﺍﻟْﻤَﺤْﻤُﻮْﺩِ ﻭَﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺍﻟْﻤَﺮْﻓُﻮْﻉِ
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَ ﻋَﻠَﻰ ﺍٰﻟِﻪِ ﻭَ ﺻَﺤْﺒِﻪِ ﺫَﻭِﻯ ﺍﻟﺰُّﻫْﺪِ ﻭَﺍﻟْﺨُﺸُﻮْﻉِ
ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ
ﻓَﻴَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ، ﺍِﺗَّﻘُﻮْﺍ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﻓِﻰ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻟْﺤَﺎﻻَﺕِ،
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺟَﻞَّ ﺟَﻼَﻟُﻪُ : ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻣَﻠَﺎﺋِﻜَﺘَﻪُ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻳَﺎٓ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﻧُﻮْﺭِ ﺍْﻻَﻧْﻮَﺍﺭِ ﻭَﺳِﺮِّ ﺍْﻻَﺳْﺮَﺍﺭِ ﻭَﺗِﺮْﻳَﺎﻕِ ﺍْﻻَﻏْﻴَﺎﺭِ ﻭَﻣِﻔْﺘَﺎﺡِ ﺑَﺎﺏِ ﺍﻟْﻴَﺴَﺎﺭِ، ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﻥِ ﺍﻟْﻤُﺨْﺘَﺎﺭِ ﻭَ ﺍٰﻟِﻪِ ﺍْﻻَﻃْﻬَﺎﺭِ، ﻭَ ﺍَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ﺍْﻻَﺧْﻴَﺎﺭِ ﻋَﺪَﺩَ ﻧِﻌَﻢِ ﺍﻟﻠّٰﻪِ ﻭَ ﺍِﻓْﻀَﺎﻟِﻪ ﻭَ ﺍَﺭْﺣَﻤْﻨَﺎ ﻭَﺍﺣْﺸُﺮْﻧَﺎ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻚَ ﻳَﺎ ﺍَﺭْﺣَﻢَ ﺍﻟﺮَّﺍﺣِﻤِﻴْﻦَ
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟِﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤَﺎﺕِ ﺍَﻟْﺎَﺣْﻴَﺂﺀِ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻭَﺍﻟْﺎَﻣْﻮَﺍﺕِ
وَضَعِّفْ لَهُمُ الْحَسَنَاتْ وَكَفِّرْ عَنْهُمُ السَّيِّئَاتِ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
ﺇِﻧَّﻚَ ﺳَﻤِﻴْﻊٌ ﻗَﺮِﻳْﺐٌ ﻣُﺠِﻴْﺐُ ﺍﻟﺪَّﻋَﻮَﺍﺕِ، ﻳَﺎ ﻗَﺎﺿِﻲَ ﺍﻟْﺤَﺎﺟَﺎﺕِ ﻭَ ﻳَﺎ ﻋَﺎلِمَﺍﻟﺴِّﺮِّ ﻭَﺍﻟْﺨَﻔِﻴَّﺎﺕِ
وَيَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ وَيَاارْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻧْﺼُﺮِ ﺍﻹِﺳْﻠَﺎﻡَ ﻭَﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻧْﺼُﺮْ ﺟُﻴُﻮْﺵَ ﺍﻟْﻤُﻮَﺣِّﺪِﻳْﻦَ ﻭَ ﺍَﻋْﻞِ ﻛَﻠِﻤَﺘَﻚَ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﻓِّﻘْﻨَﺎ ﻭَﺟَﻤِﻴْﻊَ ﻭُﻻَﺓِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَ ﻗُﻀَﺎﺗِﻬِﻢْ ﻟِﻠْﻌَﺪْﻝِ ﻭَﻧُﺼْﺮَﺓِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻭَﺍﺗِّﺒَﺎﻉِ ﺷَﺮِﻳْﻌَﺔِ ﺳَﻴِّﺪِ ﺍﻟْﻤُﺮْﺳَﻠِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻧْﺼُﺮْﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﺪُﻭِّﻫِﻢْ ﺍَﻋْﺪَﺍﺋِﻚَ ﺃَﻋْﺪَﺍﺀِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ
ﻭَ ﺍَﻫْﻠِﻚِ ﺍﻟْﻜَﻔَﺮَﺓَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺒْﺘَﺪِﻋَﺔَ ﻭَﻛُﻞَّ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﻋَﺪُﻭٌ ﻟِﻠﺪِّﻳِﻦِ
اللهم اجْعَلْ بَلدتَنا هذه وسائرَ بُلدان المسلمين بلدةً امنة مطمئنة تجرى فيها احكامك وسنةُ رسولك برحمتك ياارحم الراحمين
اللهم اكشف عنّا البلاء والغلاء والوباء والفحشاء والمنكر والبغي والشدائد والمحن ما ظهر منها ومابطن من بلدنا هذا خاصة ومن بلدان المسلمين عامة انك على كل شيء قدير
ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺍٰﺗِﻨَﺎ ﻓِﻰ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻭَ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺎٰﺧِﺮَﺓِ ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻭَ ﻗِﻨَﺎ ﻋَﺬَﺍﺏَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ

ﻋِﺒَﺎﺩَ ﺍﻟﻠّٰﻪِ، ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠّٰﻪَ  يَأْﻣُﺮُ ﺑِﺎﻟْﻌَﺪْﻝِ ﻭَﺍﻹِﺣْﺴَﺎﻥِ ﻭَﺇِﻳﺘَﺎﺀِ ﺫِﻱ ﺍﻟْﻘُﺮْﺑَﻰ ﻭَ ﻳَﻨْﻬَﻰ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻔَﺤْﺸَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ﻭَﺍﻟْﺒَﻐْﻲِ ﻳَﻌِﻈُﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﺬَﻛَّﺮُﻭﻥَ ﻓَﺎﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢَ ﻳَﺬْﻛُﺮْﻛُﻢْ ﻭَﺍﺷْﻜُﺮُﻭْﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻧِﻌَﻤِﻪِ ﻳَﺰِﺩْﻛُﻢْ ﻭَﻟَﺬِﻛْﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻛْﺒَﺮُ .

Selasa, 22 Desember 2020

SAHABAT SYA'BAN RA

Seorang sahabat Rasulullah SAW, Sya’ban ra memiliki kebiasaan unik. Dia datang ke masjid sebelum waktu shalat berjamaah. Ia selalu mengambil posisi di pojok masjid pada setiapa shalat berjamaah dan I’tikaf. Alasannya, selalu mengambil posisi di pojok masjid karena ia tidak ingin mengganggu atau menghalangi orang lain yang akan melakukan ibadah di masjid. Kebiasaan ini, sudah dipahami oleh semua orang bahkan Rasulullah sendiri.

Pada suatu pagi, saat shalat Subuh berjamaah akan dimulai, Rasulullah SAW merasa heran karena tidak mendapati Sya’ban ra pada posisi seperti biasanya. Rasul pun bertanya kepada jamaah yang hadir, apakah ada yang melihat Sya’ban? Tapi, tidak ada seorang pun yang melihat Sya’ban ra.

Shalat Subuh pun sengaja ditunda sejenak, untuk menunggu kehadiran Sya’ban. Namun yang ditunggu belum datang juga. Karena khawatir shalat Subuh kesiangan, Rasulullah pun memutuskan untuk segera melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Hingga shalat Subuh selesai pun Sya’ban belum datang juga.

Selesai shalat Subuh Rasul pun bertanya lagi “Apakah ada yang mengetahui kabar Sya’ban?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawab.

Rasul pun bertanya lagi “Apa ada yang mengetahui dimana rumah Sya’ban?” Seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia tahu persis dimana rumah Sya’ban

Rasulullah sangat khawatir terjadi sesuatu terhadap sahabatnya tersebut, memimnta diantarkan ke rumah Sya’ban.  Perjalanan dari masjid ke rumah Sya’ban cukup jauh dan memakan waktu lama terlebih mereka menempuh dengan berjalan kaki.

Akhirnya, Rasulullah dan para sahabat sampai di rumah Sya’ban pada waktu shalat dhuha (kira-kira 3 jam perjalanan). Sampai di depan rumah Sya’ban, beliau mengucapkan salam dan keluarlah wanita sambil membalas salam.

“Benarkah ini rumah Sya’ban?” Tanya Rasulullah.

“Ya benar, ini rumah Sya’ban. Saya istrinya.” jawab wanita tersebut.

“Bolekah kami menemui Sya’ban ra, yang tidak hadir shalat Subuh di masjid pagi ini?” ucap Rasul.

Dengan berlinangan air mata, istri Sya’ban ra menjawab “Beliau telah meninggal tadi pagi”.

“Innalilahi Wainnailaihiroji’un” jawab semuanya.

Satu-satunya penyebab Sya’ban tidak hadir shalat Subuh di masjid adalah karena ajal menjemputnya. Beberapa saat kemudian, istri Sya’ban ra bertanya “Ya Rasulullah ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia bertetiak tiga kali dengan masing-masing teriakan di sertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya”

“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasulullah.

“D imasing-masing teriakannya, dia berucap kalimat ‘Aduh, kenapa tidak lebih jauh, aduh kenapa tidak yang baru, aduh kenapa tidak semua,” jawab istri Sya’ban.

Rasulullah SAW pun melantunkan ayat yang terdapat surah Qaaf ayat 22: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”

“Saat Sya’ban ra dalam keadaan sakaratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah SWT. Bukan hanya itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah. Apa yang dilihat oleh Sya’ban ra (dan orang yang sakaratul maut) tidak bisa disaksikan yang lain. Dalam padangannya yang tajam itu Sya’ban ra melihat suatu adegan dimana kesehariannya dia pergi pulang ke masjid untuk shalatb berjamah lima waktu. Perjalanan sekitar tiga jam jalan kaki, tentu itu bukan jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban ra diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya ke masjid,” ujar Rasulullah.

Dia melihat seperti apa bentuk surga yang dijanjikan sebagai ganjarannya. Saat dia melihat dia berucap “Aduh mengapa tidak lebih jauh” timbul penyesalan dalam diri Sya’ban ra, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih indah. Dalam penggalan kalimat berikutnya Sya’ban ra melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin.

Saat ia membuka pintu, berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang. Dia masuk ke dalam rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Dia memakai dua baju, Sya’ban memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar.

Dia berpikir jika kena debu tentu yang kena hanyalah baju yang luar dan sampai di masjid dia bisa membuka baju liuar dan shalat dengan baju yang lebih bagus. Ketika dalam perjalanan menuju masjid dia menemukan seseorang yang terbaring yang kedinginan dalam kondisi mengenaskan. Sya’ban pun iba dan segera membukakan baju yang paling luar lalu dipakaikan kepada orang tersebut kemudian dia memapahnya ke masjid agar dapat melakukan shalat Subuh bersama-sama.

Orang itupun selamat dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan shalat berjamaah. Sya’ban ra pun kemudian melihat indahnya surga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut. Kemudian dia berteriak lagi “Aduh!! Kenapa tidak yang baru” timbul lagi penyesalan dibenak Sya’ban ra. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala besar, sudah tentu dia akan mendapatkan yang lebih besar jika dia memberikan pakaian yang baru.

Berikutnya, Sya’ban ra melihat lagi suatu adegan. Saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke dalam segelas susu. Bagi yang pernah ke Tanah Suci tentu mengetahui ukurang roti Arab (sekitar tiga kali ukuran  rata-rata roti Indonesia). ketika baru saja ingin memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta sedikit roti karena sudah tiga hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal itu, Sya’ban ra merasa iba. Ia kemudian membagu dua rotu tersebut dengan ukuran sama besar dan membagi dua susu ke dalam gelas dengan ukuran yang sama rata, kemudan mereka makan bersama-sama. Allah SWT kemudain memperlihatkan Sya’ban ra dengan surga yang indah.

Ketika melihat itupun Sya’ban ra teriak lagi “ Aduh kenapa tidak semua!!” Sya’ban ra kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis  tersebut, pasti dia akan mendapat surga yabg lebih indah. Masya Allah, Sya’ban bukan menyesali perbuatanya melainkan menyesali mengapa tidak optimal.

Seseungguhnya pada suatu saat nanti, kita semua akan mati, akan menyesal dan tentu dengan kadar yang berbeda. Bahkan ada yang memiunta untuk ditunda matinya, karena pada saat itu barulah terlihat dengan jelas konsekwensi dari semua perbuatannya di dunia. Mereka meminta untuk ditunda sesaat karena ingin bersedekah. Namun kematian akan datang pada waktunya, tidak dapat dimajukan dan tidak dapat diakhirkan.