Senin, 30 Oktober 2017

10 Keistimewaan Rosulullah

10 Keistimewaan Rosulullah 


١. ←لَمْ يَحْتَلِمْ قَطُّ طٰهَ مُطْلَقًا أَبَدًا ...

وَمَا تَثَائَبَ أَصْلاً فِيْ مَدَى الزَّمَنِ


Bendoro kitho kanjeng nabi Ora tahu mimpi olo....

Lan ora tahu angop ono ing saklawase mongso....


٢. ← مِنْهُ الدَّوَابُّ فَلَمْ تَهْرَبْ وَمَا وَقَعَتْ ...

ذُبَابَةٌ أَبَدًا فِيْ جِسْمِهِ الْحَسَنِ


Gegremetan2 ora mlayu malah melu...

Laler ora wani menclok ing badane lawase wektu....


٣. ← بِخَلْفِهِ كَأَمَامٍ رُؤْيَةٌ ثَبَتَتْ ...

وَلاَ يُرَى إِثْرُ بَوْلٍ مِنْهُ فِيْ عَلَنِ


Arah burine koyo ngarepe kanjeng nabi tetep pirso...

Nalikane ono jamban ora mbekas babar pisan....


٤. ← وَقَلْبُهُ لَمْ يَنَمْ وَالْعَيْنُ قَدْ نَعَسَتْ ...

وَلاَ يُرَى ظِلُّهُ فِيْ الشَّمْسِ ذُوْ فَطَنِ


Penggalihe ora sare nanging netrane di meremke...

Nalikane ono panasan ora ketoro ayang ayange....


٥. ←كِتْفَاهُ قَدْ عَلَتَا قَوْمًا إِذَا جَلَسُوْا ...

عِنْدَ الْوِلاَدَةِ صِفْ يَا ذَا بِمُخْتَتِنِ


Pundak lorone tetep munggah nalikane kaum do lenggah....

Nalikane kelahiran kanjeng Nabi wis di khitan...


٦. ←هَذِي الْخَصَائِصَ فَاحْفَظْهَا تَكُنْ آمِنًا ...

مِنْ شَرِّ نَارٍ وَسُرَّاقٍ وَمِنْ مِحَن


Kekhususan iki apalno ben siro oleh aman...

Aman saking alane geni alane maling lan ujian....


Terjemah by Hidayah & Hadiyah


*******


Keterangan Arti dari Syi’ir :


لَمْ يَحْـــــتَلِـــــــــــــمْ قَــطُّ طٰـــــهَ مُطْـلَــــــــــقًا أَبَــــــــــدًا


sampai


مِنْ شَــــــرِّ نَــــــارٍ وَسُـــــرَّاقٍ وَمِـنْ مِحَــــنِ


1. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak pernah mimpi jima' (bersetubuh) baik sebelum jadi Nabi atau setelahnya. 


Beliau sama sekali tidak pernah menguap sepanjang masa.


2. Tidak ada satupun binatang yang melarikan diri (liar) dari beliau. 


Tidak pernah ada lalat hinggap di tubuh beliau yang mulia.


3. Beliau bisa mengetahui sesuatu yang ada di belakangnya, seperti beliau melihat sesuatu itu benar-benar ada di hadapannya.


bekas air kencing beliau tidak pernah di lihat dipermukaan bumi.


4. Hati beliau tidak pernah tidur, walaupun mata beliau mengantuk. 


Bayangan beliau tidak pernah dapat dilihat oleh orang cerdas ketika beliau kena sinar matahari.


5. Dua pundak beliau selalu terlihat lebih tinggi dari pundak orang-orang yang duduk bersama beliau. 


Ceritakanlah sifat beliau bahwa beliau telah dikhitan semenjak dilahirkan


6. Ini semua merupakan keistimewaan beliau, hendaknya engkau hafalkan bait tersebut... 


niscaya engkau mendapat perlindungan dari bahaya kebakaran, pencurian dan musibah.


*****


Penjelasan: Bait di atas banyak dikutip oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, di antaranya dicatat oleh:


1. Al-Musnid Sayyid Aydrus Bin Umar al-Habsyiy (wafat tahun 1314 Hijriyah) dalam kitabIqd al-Yawaqit al-Jauhariyyah Wa simth al-Ain al-Dzahabiyyah, jilid kedua halaman 53, dan


2. As Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantaniy (wafat tahun 1314 Hijriyah) dalam kitab Maraqi al-Ubudiyyah Syarh Bidayah al-Hidayah halaman 2.


Selain dibaca juga bisa ditulis buat azimat tahshinun nafsi (penjagaan diri) disimpan di dompet atau disabuk, Semuanya atas seizin dan kehendak dari Allah SWT ...


*****


بسم اللّه توكّلت على اللّه ولا حول ولا قوة إلاّ باللّه العليّ العظيم، كلّهم بإذن اللّه وبمشيئته بسر أسرار الفاتحة...


Semoga bermanfaat......

aamiin aamiin aamiin ya rabbal aalamiin... bisirri asrari Al Fatihah.....

Minggu, 22 Oktober 2017

Menghadapi istri

Tips Sufi Menghadapi ‘Murka’ Istri
...
Syeikh Ali al-Khawwash pernah berkata, “Tidak jarang wali Allah yang berada di bawah cengkeraman istrinya. Mereka seringkali menerima ucapan dan sikap menyakitkan dari istri mereka.”

Tokoh sufi berada di bawah tekanan istri: ada yang aslinya memang seperti itu, ada pula yang disengaja untuk seperti itu. Maksudnya, si sufi memang sengaja memilih wanita yang judes sekaligus buruk rupa karena sebuah tujuan mulia, yaitu untuk menempa diri atau untuk menghindarkan orang lain dari keburukan wanita tersebut.

Syeikh Nuruddin as-Syauni, mursyid majelis shalawat di Mesir, bercerita tentang pengalamannya dengan Syeikh Ustman al-Hatthab, ulama sufi yang masih tetangga dekatnya. Di suatu malam yang sangat dingin Syeikh Nuruddin keluar untuk berwudhu. Di jalan menuju tempat wudhu, beliau mendapati seseorang yang sedang rebah berselimut. Asy-Syauni menghampiri orang itu, lalu menggoyang-goyang tubuhnya.

“Siapakah gerangan?” tanya asy-Syauni.
“Utsman.”
“Ya Sayyidi. Mengapa Tuan tidur di sini?”
“Ummu Ahmad mengusirku dari rumah.”

Apakah orang setingkat Syeikh Utsman al-Hatthab begitu takut kepada istrinya. Tentu saja tidak. Syeikh Utsman al-Hatthab bukan tipologi ‘suami yang takut istri’. Beliau bertahan dengan istrinya yang pemarah, karena beliau termasuk tipologi ‘suami yang sabar memperlakukan istri’. Boleh jadi, beliau ingat dengan kisah Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang diam saja ketika istrinya marah-marah. Atau, dengan hadits-hadits Nabi yang berpesan agar kaum lelaki memperlakukan istri-istrinya dengan baik.

Syeikh Ali al-Khawwash, pencetus maqâlah di atas, termasuk tokoh sufi yang sering menjadi ‘korban’ dari sang istri yang masih sepupunya sendiri. Imam asy-Sya’rani memiliki banyak cerita mengenai hal itu dalam kitabnya, Lawâqih al-Anwâr al-Qudsiyyah. Bagi Syeikh Ali, tidak disapa oleh istrinya sampai berbulan-bulan, sudah merupakan hal yang sangat biasa. Bahkan, beliau pernah melakukan perjalanan dari Mesir ke Hijaz bersama sang istri. Sejak berangkat hingga pulang, sang istri tidak menyapa sepatah katapun kepada Syeikh Ali al-Khawwash.

Pernah suatu ketika Syeikh Ali meminum air menggunakan gelas yang biasa dipakai oleh istrinya. Melihat hal itu sang istri berang dan mendamprat Syeikh Ali. Lalu, dia menggosok bekas mulut Syeikh Ali di gelas itu karena tidak ingin mulutnya menyentuh bekas mulut Syeikh Ali. Selama lima puluh tujuh tahun menikah, Syekh Ali tidak pernah dalam satu malam pun tidur dengan sang istri dalam keadaan akur. Namun demikian, mereka tetap hidup serumah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Demikian cerita Imam asy-Sya’rani tentang salah satu guru spiritualnya itu.

Ini adalah anomali, tapi anomali yang positif. Menurut Imam asy-Sya’rani, pada dasarnya, kita diperintahkan untuk memilih istri yang lembut, bersikap menyenangkan serta subur dan produktif. Rasulullah bersabda:

تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Nikahilah wanita yang subur dan menyayangi (suaminya) karena aku akan berlomba-lomba melalui kalian dengan para nabi di hari kiamat (dalam hal jumlah umat).” (HR Ibnu Hibban dari Anas bin Malik)

Standar syariatnya seperti itu. Nikahilah wanita yang berbudi pekerti baik agar kita benar-benar merasakan keberadaan istri sebagai anugrah, sehingga kita terdorong untuk bersyukur. Jika seseorang menikah dengan wanita yang judes atau buruk rupa, maka sangat mungkin dia akan menganggap keberadaan istri tersebut sebagai petaka. Hal itu berpotensi besar menyebabkan dia merasa tidak rela dengan takdir jodohnya. Maka dari itu, syariat memerintahkan kita untuk menikahi istri yang berpenampilan menarik dan bersikap menyenangkan di hadapan suami.

Akan tetapi, kata Imam asy-Sya’rani, memang ada kalangan sufi yang sedang dalam maqam riyâdhatun-nafsi (menempa diri), sehingga dia sengaja memikul beban-beban kesengsaraan untuk melatih ketahanan dirinya. “Untuk konteks ini, tentu hukumnya berbeda,” tegas Imam asy-Sya’rani dalam Lawâqih al-Anwâr.

Menurut beliau, memang ada sebagian tokoh sufi yang ‘gemar’ menikahi wanita-wanita yang bermuka buruk atau bersikap judes. Dia membetahkan diri untuk berumah-tangga dengan wanita tersebut selama puluhan tahun. Mengenai pilihannya itu dia berkata, “Aku lebih berhak untuk mendapatkan dia. Biarlah wanita ini menjadi beban di pundakku, agar tidak menjadi beban bagi saudara-saudara Muslimku yang lain.”

Dalam kisah yang sangat masyhur, seperti disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab al-Kabâ’ir, ada seorang syeikh yang selama bertahun-tahun begitu sabar menghadapi istrinya yang sangat judes. Sehari-hari dia bekerja mencari kayu bakar ke hutan. Ajaibnya, setiap kali pulang dari hutan, dia selalu diantar oleh singa yang memikul kayu-kayu tersebut di punggungnya hingga ke halaman rumah.

Syahdan, ketika istrinya yang judes itu meninggal dunia, dia menikah lagi dengan seorang wanita yang shalehah dan bersikap menyenangkan. Tentu saja, rumah tangganya berubah menjadi menjadi sangat indah dan penuh ketentraman. Namun anehnya, ketika Syeikh tersebut mencari kayu ke hutan, sudah tidak ada lagi singa yang datang dan takluk di hadapannya. Sehingga, dia harus bersusah payah memikul sendiri tumpukan kayu bakar tersebut.

Syeikh itu memiliki seorang teman yang sering berkunjung ke sana. Dia merasa heran dengan perubahan tersebut dan menanyakan hal itu. Syeikh itu menjawab, “Dulu, saat hidup dengan istriku yang pertama, aku merasakan kesengsaraan yang luar biasa, tapi aku menghadapinya dengan penuh kesabaran. Maka, Allah menaklukkan singa itu untukku, sebagaimana yang telah biasa engkau lihat. Namun, ketika aku menikahi istriku yang shalehah ini, hidupku penuh dengan ketentraman. Akibatnya, singa itu sudah tidak datang lagi padaku.”

Karena itulah, ada beberapa wali Allah yang terlihat sangat sabar menghadapi istrinya yang judes, sekali lagi bukan karena takut pada istri, tapi sebagai bentuk tirakat dalam upaya melatih ketahanan diri. Dan, penempaan diri tersebut bagi mereka tidak hanya berlaku dalam urusan istri, tapi juga dalam hal-hal yang lain.

Menurut Imam asy-Sya’rani, kadangkala mereka sengaja membeli keledai yang sulit dikendalikan, juga keledai yang sangat lambat dalam berjalan. Sehari-hari mereka merawat dan menungganginya dengan penuh kesabaran, tanpa merasa kesal sedikitpun, apalagi sampai memukulnya. Bahkan, kata Imam asy-Sya’rani, jika dia disalahi oleh orang, maka dialah yang justru datang meminta maaf. “Maafkan saya, sayalah yang bersalah, bukan Anda. Seandainya saya menuruti apa yang Anda mau, tentu saja Anda tidak akan memaki saya,” katanya.

Wallahu a'lam bish-shawab

Kamis, 19 Oktober 2017

Sholawat Tafrijiyah / taziyah / nariyah

Sholawat nariyah

Oleh KH Ma’ruf Khozin

Peringatan Hari Santri 22 Oktober, PBNU memprakarsai banyak kegiatan, di antaranya pembacaan 1 milar Shalawat Nariyah. Dari sinilah, kemudian sebagian pihak ‘menggugat’ shalawat tersebut, baik yang menuding ada unsur syirik, bukan berasal dari Nabi, dan sebagainya. 

Berikut akan kami jelaskan masing-masing poin yang dihujat dalam Shalawat Nariyah serta kami jelaskan bantahannya;

Sayidina Muhammad

Kalau yang dipermasalahkan karena dalam Shalawat Nariyah ada sayidina, maka menyebut Rasulullah dengan sayid pun sudah disampaikan sahabat Nabi dengan sanad yang sahih:

حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ : " أَنَّهُ كَانَ إِذَا دُعِيَ لِيُزَوِّجَ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ إِنَّ فُلَانًا يَخْطُبُ إِلَيْكُمْ فَإِنْ اَنْكَحْتُمُوْهُ فَالْحَمْدُ للهِ وَإِنْ رَدَدْتُمُوْهُ فَسُبْحَانَ اللهِ " صحيح . أخرجه البيهقي 7 / 181 (إرواء الغليل - ج 6 / ص 221)

Jika Ibnu Umar diundang untuk menikahkan, ia berkata: “Alhamdulillah, semoga Allah bershalawat kepada Sayidina Muhammad. Sungguh fulan melamar kepada kalian. Jika kalian menikahkannya maka alhamdulillah. Jika kalian menolaknya maka Maha Suci Allah” Riwayat al-Baihaqi 7/181. Syekh Albani berkata: “Sahih” (Irwa’ al-Ghalil, 6/221). Dalam hal ini, Albani saja menyebut sahih. Apalagi ulama-ulama Aswaja. 

Shalawat Bukan dari Rasulullah

Jika yang menjadi keberatan karena Shalawat Nariyah bukan dari Rasulullah, maka Syekh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid Syekh Ibn Taimiyah telah meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun para sahabat dan ulama salaf, dalam kitabnya Jala’l Afham fis Shalat was-Salam ‘ala Khairil Anam. Antara lain shalawat yang disusun oleh:

- Abdullah bin Mas’ud:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ.

“Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada junjungan para Rasul, imam orang-orang bertakwa, penutup seluruh Nabi, Muhammad, hamba-Mu, utusan-Mu, Imam kebaikan, penuntuk kebaikan, Rasul yang membawa rahmat. Ya Allah, tempatkan ia di tempat terpuji yang dikelilingi oleh orang-orang awal dan akhir” (Jala’ al-Afham 36)

- ‘Alqamah An-Nakha’i, seorang tabi’in:

صَلىَّ اللهُ وَمَلاَئكِتُهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. 

“Semoga Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Muhammad. Salam kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan berkah Allah” (Jala’ al-Afham 75)

- Imam al-Syafi’i sebagai berikut:

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَعَدَدَ مَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ. 

“Semoga Allah memberi shalawat kepada Muhammad sebanyak hitungan orang-orang yang dzikir dan sebanyak hitungan orang-orang yang lalai mengingatnya.” (Jala’ al-Afham 230).

Demikian beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf yang diriwayatkan oleh Syekh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Jala’l Afham fis Shalat was-Salam ‘ala Khairil Anam. Hal tersebut kemudian dilanjutkan para ulama untuk menyusun beragam redaksi shalawat sehingga lahirlah Shalawat Nariyah, Thibbul Qulub, Al-Fatih, Al-Munjiyat dan lain-lain.

Tawassul dengan Rasulullah

Jika penolakannya karena shalawat ini mengandung tawassul, maka berdasar hadis sahih bahwa Utsman bin Hunaif melihat Nabi mengajarkan doa tawassul kepada orang buta dan ia membacanya (HR at-Tirmidzi), lalu oleh Utsman bin Hunaif doa tawassul tersebut diajarkan kepada seorang yang menemukan kesulitan untuk masalah yang ia hadapi di masa Sayidina Utsman (HR Tabrani). 

Dari sini banyak para ulama berpendapat bahwa bertawassul dengan Nabi adalah diperbolehkan. Demikian halnya doa tawassul dalam Shalawat Nariyah ini. Berikut pendapat para ulama yang memperbolehkan:  

أَوَّلُهَا : أَنْ يَسْأَلَ اللّهَ بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ تَفْرِيْجَ الْكُرْبَةِ ، وَلَا يَسْأَلَ الْمُتَوَسَّلَ بِهِ شَيْئاً ، كَقَوْلِ الْقَائِلِ : اللَّهُمَّ بِجَاهِ رَسُوْلِكَ فَرِّجْ كُرْبَتِي . وَهُوَ عَلَى هَذَا سَائِلٌ للّهِ وَحْدَهُ ، وَمُسْتَغِيْثٌ بِهِ ، وَلَيْسَ مُسْتَغِيْثاً بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ . وَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الصُّوْرَةَ لَيْسَتْ شِرْكاً ، لِأَنَّهَا اسْتِغَاثَةٌ بِاللّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ، وَلَيْسَتْ اسْتِغَاثَةً بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ ؛ وَلَكِنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِي الْمَسْأَلَةِ مِنْ حَيْثُ الْحِلُّ وَالْحُرْمَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ : الْقَوْلُ الْأَوَّلُ : جَوَازُ التَّوَسُّلِ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ حَالَ حَيَاتِهِمْ وَبَعْدَ مَمَاتِهِمْ . قَالَ بِهِ مَالِكٌ ، وَالسُّبْكِيّ ، وَالْكَرْمَانِيّ ، وَالنَّوَوِيّ ، وَالْقَسْطَلاَّنيّ ، وَالسُّمْهُوْدِيّ ، وَابْنُ الْحَاجِّ ، وَابْنُ الْجَزَرِيّ . (الموسوعة الفقهية الكويتية - ج 5 / ص 22)

Bentuk istighatsah (tawassul) yang pertama adalah meminta kepada Allah dengan perantara (Nabi atau kekasih Allah) untuk melapangkan kesulitan. Ia tidak meminta kepada perantara suatu apapun. Misalnya: “Ya Allah, dengan derajat Nabi-Mu maka lapangkanlah kesulitanku”. 

Dalam masalah ini ia hanya meminta kepada Allah, meminta tolong kepada Allah, tidak meminta tolong kepada perantara. Ulama fikih sepakat bahwa bentuk semacam ini bukanlah perbuatan syirik sebab hanya meminta kepada Allah, bukan meminta kepada perantara. 

Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya, menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama adalah boleh bertawassul dengan para Nabi dan orang saleh, baik ketika mereka hidup atau sesudah wafat. Hal ini disampaikan oleh Malik, As-Subki, Al-Karmani, An-Nawawi, Al-Qasthalani, As-Sumhudi, Ibnu al-Haj dan Ibnu al-Jazari (Mausu’ah al-Kuwaitiyah 5/22).

Sementara yang melarang tawassul adalah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya saja.

Pengarang Shalawat Nariyah

Jika beralasan karena ketidakjelasan siapa pengarangnya, maka Mufti Mesir, Syekh Ali Jumah yang digelari Allamah Ad-Dunya, mendapat sanad yang sempurna dari gurunya Syekh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadis dari Maroko, yang sampai kepada Muallif Shalawat Nariyah, Syekh Ahmad At-Tazi Al-Maghribi (Maroko). Semuanya menerima sanad secara musyafahah, menyampaikan bacaan shalawat tersebut dari guru kepada muridnya secara langsung. (Ijazah dari Dr. Abd Qadir Muhammad al-Husain, dosen di Universitas Damasqus, Syria).

Nama Shalawat Nariyah

Jika keengganannya karena faktor nama ‘nar’, maka nama ini memang populer dengan sebutan Nariyah, meski kata ‘nar’ tidak terdapat dalam teks shalawat tersebut, yang biasanya diambil dari bagian kalimat di dalamnya. Ketika ada sebagian orang menganggap bahwa makna ‘nar’ adalah neraka, ‘iyah’ adalah pengikut, yang disimpulkan ‘pengamal Nariyah’ adalah pengikut ahli neraka, maka sangat tidak tepat. Sebab nar juga memiliki makna api, sebagaimana dalam ayat:

إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آَتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى [طه/10]

“Ketika ia (Musa) melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". (Thaha: 10)

Menurut Syekh Abdullah al-Ghummari, penamaan dengan Nariyah karena terjadi tashif atau perubahan dari kata yang sebenarnya Taziyah. Sebab keduanya memiliki kemiripan dalam tulisan Arab, yaitu النارية dan التازية yang berbeda pada titik huruf. Di Maroko sendiri shalawat ini dikenal dengan shalawat Taziyah, sesuai nama kota pengarangnya.

Sementara dalam kitab Khazinatul Asrar, sebuah kitab yang banyak memuat ilmu tasawwuf dan tarekat karya Syekh Muhammad Haqqi Afandi an-Nazili, disebutkan bahwa Syekh Al-Qurthubi menamai shalawat ini dengan nama Shalawat Tafrijiyah, yang diambil dari teks yang terdapat di dalamnya yaitu (تنفرج). Demikian halnya Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani menyebut dengan nama shalawat At-Tafrijiyah dalam kitabnya Afdlal Ash-Shalawat ala Sayidi As-Sadat pada urutan ke 63.

Wa akhiran...

Semua syubhat (propaganda) dalam Shalawat Nariyah telah kita ketahui dalilnya, sehingga boleh kita amalkan. Akan tetapi, jika penolakannya, keengganannya dan keberatannya karena kebencian kepada kami para santri, maka tak cukup 1000 dalil untuk memuaskan dahaga kebencian mereka.

KH Ma’ruf Khozin, Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim dan Anggota LBM PWNU Jatim

Senin, 16 Oktober 2017

هذا سبيلي

.*Kembali kepada Madzhab atau Kembali Quran Hadits ?*

Melihat pertanyaan diatas, layaknya kita mendengar pertanyaan semacam :

"Kalau sakit, pergi ke dokter atau langsung buka buku kesehatan ?"

"Naik bis, percaya dengan sopir atau 'cerewet' dengan bermodal peta ?"

Sama juga jika ada yang mengatakan

"JANGAN PERCAYA KYAI ! JANGAN PERCAYA HABIB ! KEMBALILAH kepada QURAN dan HADITS ! Siapapun yang ngomong, asalkan yang diomongkan adalah QURAN dan HADITS, maka PASTI BENAR !"

----- DUUUAAARRR -----

Hehehe

Pernyataan semacam ini jika didengar oleh orang awam, seakan2 itu adalah pernyataan yang benar. Tapi jika dipahami lebih lanjut, justru itu adalah pernyataan yang KURANG AJAR

Hloh hloh, kenapa bisa 'kurang ajar' ?

Karena pernyataan seperti diatas, itu menandakan bahwa orang yang bertanya itu menuduh bahwa apa yang di lakukan dokter tidak sesuai dengan buku kesehatan.

Menuduh bahwa sopir itu tidak hafal jalan sehingga harus ia tuntun dengan peta yang ia bawa.

Dan menuduh para ULAMA itu tidak sesuai dengan Quran dan Hadits. Na'udzubillah.

Lebih lanjut, pertanyaan BESAR adalah :

"Siapa sebenarnya yang berkecimpung dan mempelajari Quran Hadits ? Ulama ataukah siapa ?"

_*Justru kita-kita (termasuk saya juga, dan masyarakat secara umum) yang "MEMAHAMI QURAN dan HADITS"  tanpa melalui "Ulama"  (Para Kyai, juga termasuk didalamnya) justru : "BERBAHAYA", sekali lagi... "BERBAHAYA*"

Simak hadits Nabi saw dibawah ini :
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول سيخرج في آخر الزمان قوم أحداث الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من خير قول البرية يقرءون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية
“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan sebaik‑baiknya perkataan manusia, membaca Al Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perhatikan, orang yang dibahas oleh Nabi Saw dalam hadits diatas adalah orang yang MEMBACA AL QURAN, tapi ia dianggap keluar dari agama. Siapa itu ?

Secara gamblang, Baginda Nabi Muhammad menyatakan mengenai orang yang "sok" memahami Quran dengan pikiran sendiri. Beliau saw. bersabda :

مَنْ قَالَ فِي القُرآنِ بِرأيِهِ ، فَلْيَتَبوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang berbicara tentang *Al Qur'an dengan PIKIRANNYA SENDIRI,* maka silahkan mengambil tempatnya di neraka (HR. Tirmidzi, Ahmad, Baihaqi, Thobroni)

مَنْ قَالَ فِي القُرآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَلْيَتَبوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa berbicara tentang *Al Qur'an TANPA DIDASARI ILMU,* maka silahkan mengambil tempatnya di neraka. (HR. Tirmidzi, Ahmad, Nasai)

Lihat bagaimana ancaman Nabi saw bagi orang yang langsung *MENUJU ke QU'RAN dengan pikirannya sendiri,* tanpa didasari ilmu.

*Kesimpulan :*

1. Siapa yang paling memahami Al Quran sebagai Kalam Allah ? Tentu Nabi Muhammad !

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
Katakanlah (wahai Nabi Muhammad) "Jikalau engkau mencintai Allah, maka ikutilah saya (Nabi Muhammad). (QS. Al Imron : 31)

2. Siapa yang paling memahami Nabi Muhammad ?
Tentu para Sahabat !

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
Engkau harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaur rosyidin (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, Al Hakim)

3. Siapa yang paling paham tentang  Sahabat ? Tentu Ulama' Tabi'in serta Tabiut Tabi'in

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ)
Dari Abdullah bin Mas'ud ra. dari Nabi saw beliau bersabda : Sebaik-baik manusia adalah masaku, kemudian masa sesudah mereka, kemudian masa sesudah mereka. (HR. Bukhori Muslim)

Imam Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim menerangkan :

"الصَّحِيحُ أَنَّ قَرْنَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الصَّحَابَةُ ، وَالثَّانِي : التَّابِعُونَ ، وَالثَّالِثُ : تَابِعُوهُمْ" انتهى من " شرح النووي على مسلم " (16/85) .

Yang benar bahwa urutan yang disabdakan Nabi saw adalah (masaku yang dimaksut adalah) Sahabat, yang kedua adalah Tabi'in, yang ketiga adalah Tabi'ut Tabi'in.

hehe ternyata Nabi saw MEMERINTAHKAN kita untuk belajar melalui RANTAI KEILMUAN, bukan LANGSUNG "mengOTAK-ATIK" Quran dan Hadits sendiri.

Bahkan, bahkan...
Imam Bukhori yang HEBATnya luar biasa, Imam Muslim yang LUARBIASA hebat pun adalah seorang yang BERMADZHAB !

dan rasanya sangat sulit bahkan hampir mustahil ulama2 setelah tahun 150 H hingga sekarang yang TIDAK BERMADZHAB

فكان الإمام البخارى شافعيا،....، وكذالك إبن حزيمة والنسائي
Imam Bukhori bermadzhab Syafi'i begitu juga Ibnu Khuzaimah dan Nasai. (Risalatu ahlissunnah wal jama'ah hal 15, keterangan senada juga dapat ditemukan dalam Al-Imam Asy-Syafi’i bainal madzhabihil Qadim wal Jadid)

4. Perhatikan nih
*- Imam Hanafi lahir : 80 H*
*- Imam Maliki lahir : 93 H*
*- Imam Syafie lahir : 150 H*
*- Imam Hambali lahir : 164 H*
*- Imam Bukhori lahir : 194 H*
*- Imam Muslim lahir : 204 H*

Lalu setelah itu, muncul pemahaman baru yang *MENGHARAMKAN bermadzhab, yang JARGON nya AYO KEMBALI KEPADA QUR'AN dan HADITS,*
tapi faktanya dalam agama mereka mengikuti :

- Syeikh Ibnu Taimiyyah lahir : 661 H
- Ustadz Muhammad Abdul Wahhab (pendiri gerakan Wahhabi): 1115 H
- Ustadz Albani lahir : 1333 H (wafat tahun 1420 H atau 1999 M)
- Ustadz Abdul Aziz bin Abdullah BIN BAZ lahir : 1330 H (wafat tahun 1420 H atau 1999 Masehi)
- Ustadz Muhammad bin Sholih AL 'UTSAIMIN lahir : 1928 M (wafat 2001 M)

"Apakah Ulama-Ulama yang meninggal tahun 2000-an Masehi dapat disebut sebagai Ulama SALAF ?"

Jadi, *MASIH MAU DIBOHONGI* oleh paham2 baru? Sudahlah ikut kyai NU saja ....

*Sadarlah !*

_Wallahu a'lam bis showaab._

Sabtu, 14 Oktober 2017

Alfiyah ibnu Malik 1 - 200

ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
1) ﻗﺎﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﻫﻮ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺃﺣﻤﺪ ﺭﺑﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮ ﻣﺎﻟﻚ
2) ﻣﺼﻠﻴﺎً ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺍﻟﻤﺼﻄﻔﻰ ﻭﺁﻟﻪ ﺍﻟﻤﺴﺘﻜﻤﻠﻴﻦ ﺍﻟﺸﺮﻓﺎ
3) ﻭﺃﺳﺘﻌﻴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻟﻔﻴﺔ
ﻣﻘﺎﺻﺪ ﺍﻟﻨﺤﻮ ﺑﻪ ﻣﺤﻮﻳﻪ
4) ﺗﻘﺮﺏ ﺍﻟﻘﺼﻰ ﺑﻠﻔﻆ ﻣﻮﺟﺰ
ﻭﺗﺒﺴﻂ ﺍﻟﺒﺬﻝ ﺑﻮﻋﺪ ﻣﻨﺠﺰ
5) ﻭﺗﻘﺘﻀﻰ ﺭﺿﺎ ﺑﻐﻴﺮ ﺳﺨﻂ
ﻓـﺎﺋﻘﺔ ﺃﻟﻔﻴﺔ ﺍﺑﻦ ﻣﻌﻄﻲ
6) ﻭﻫﻮﺑﺴﺒﻖ ﺣﺎﺋﺰ ﺗﻔﻀﻴﻼ
ﻣﺴﺘﻮﺟﺐ ﺛﻨﺎﺋﻲ ﺍﻟﺠﻤﻴﻼ
7) ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻳﻘﻀﻲ ﺑﻬﺒﺎﺕ ﻭﺍﻓﺮﻩ ﻟﻲ ﻭﻟﻪ ﻓﻲ ﺩﺭﺟﺎﺕ ﺍﻵﺧﺮﻩ
ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻭﻣﺎ ﻳﺘﺄﻟﻒ ﻣﻨﻪ
8) ﻛﻼﻣﻨﺎ ﻟﻔﻆ ﻣﻔﻴﺪ ﻛﺎﺳﺘـﻘـﻢ
ﻭﺍﺳﻢ ﻭ ﻓـﻌﻞ ﺛﻢ ﺣﺮﻑ ﺍﻟﻜﻠﻢ
9) ﻭﺍﺣﺪﻩ ﻛﻠﻤﺔ ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ ﻋـﻢ
ﻭﻛﻠﻤﺔ ﺑﻬﺎ ﻛـﻼﻡ ﻗـﺪ ﻳـﺆﻡ
10) ﺑﺎﻟﺠﺮ ﻭﺍﻟﺘﻨﻮﻳﻦ ﻭﺍﻟﻨﺪﺍ ﻭﺃﻝ
ﻭﻣﺴﻨﺪ ﻟﻼﺳﻢ ﺗﻤﻴﻴﺰ ﺣﺼﻞ
11) ﺑﺘﺎ ﻓﻌﻠﺖ ﻭﺃﺗﺖ ﻭﻳﺎ ﺍﻓﻌﻠﻲ
ﻭﻧﻮﻥ ﺃﻗﺒـﻠﻦ ﻓﻌـﻞ ﻳﻨﺠﻠﻲ
12) ﺳﻮﺍﻫﻤﺎ ﺍﻟﺤﺮﻑ ﻛﻬﻞ ﻭﻓﻲ ﻭﻟﻢ ﻓﻌﻞ ﻣﻀﺎﺭﻉ ﻳﻠﻲ ﻟﻢ ﻛﻴـﺸﻢ
13) ﻭﻣﺎﺿﻲ ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ﺑﺘﺎ ﻣﺰ ﻭﺳﻢ ﺑﺎﻟﻨﻮﻥ ﻓﻌﻞ ﺍﻷﻣﺮ ﺇﻥ ﺃﻣﺮ ﻓﻬﻢ
14) ﻭﺍﻷﻣﺮ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻚ ﻟﻠﻨﻮﻥ ﻣﺤﻞ ﻓﻴﻪ ﻫﻮ ﺍﺳﻢ ﻧﺤﻮ ﺻﻪ ﻭﺣﻴﻬﻞ
ﺍﻟﻤﻌﺮﺏ ﻭﺍﻟﻤﺒﻨﻰ
15) ﻭﺍﻻﺳﻢ ﻣﻨﻪ ﻣﻌﺮﺏ ﻭﻣﺒﻨﻰ
ﻟﺸﺒﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺤـﺮﻭﻑ ﻣـﺪﻧﻰ
16) ﻛﺎﻟﺸﺒﻪ ﺍﻟﻮﺿﻌﻰ ﻓﻰ ﺍﺳﻤﻰ ﺟﺌﺘﻨﺎ
ﻭﺍﻟﻤﻌﻨﻮﻯ ﻓﻰ ﻣﺘﻰ ﻭﻓﻰ ﻫﻨﺎ
17) ﻭﻛﻨﺎﺑﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺑﻼ
ﺗﺄﺛﺮ ﻭﻛـﺎﻓـﺘﻘـﺎﺭ ﺃﺻــﻼ
18) ﻭﻣﻌﺮﺏ ﺍﻻﺳﻤﺎﺀ ﻣﺎ ﻗﺪ ﺳﻠﻤﺎ ﻣﻦ ﺷﺒﻪ ﺍﻟﺤـﺮﻑ ﻛﺄﺭﺽ ﻭﺳﻤﺎ
19) ﻭﻓﻌﻞ ﺃﻣﺮ ﻭﻣﻀﻰ ﺑﻨﻴﺎ
ﻭﺃﻋﺮﺑﻮﺍ ﻣﻀﺎﺭﻋﺎً ﺇﻥ ﻋـﺮﻳﺎ
20) ﻣﻦ ﻧﻮﻥ ﺗﻮﻛﻴﺪ ﻣﺒﺎﺷﺮ ﻭﻣﻦ ﻧﻮﻥ ﺇﻧﺎﺙ ﻛﻴﺮﻋﻦ ﻣﻦ ﻓﺘـﻦ
21) ﻭﻛﻞ ﺣﺮﻑ ﻣﺴﺘﺤﻖ ﻟﻠﺒﻨﺎ
ﻭﺍﻷﺻـﻞ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺒﻨﻲ ﺃﻥ ﻳﺴـﻜﻨـﺎ
22) ﻭﻣﻨﻪ ﺫﻭ ﻓﺘﺢ ﻭﺫ ﻛﺴﺮ ﻭﺿﻢ ﻛﺄﻳﻦ ﺃﻣﺲ ﺣﻴﺚ ﻭﺍﻟﺴﺎﻛﻦ ﻛﻢ
23) ﻭﺍﻟﺮﻓﻊ ﻭﺍﻟﻨﺼﺐ ﺍﺟﻌﻠﻦ ﺇﻋﺮﺍﺑﺎ
ﻻﺳﻢ ﻭﻓﻌﻞ ﻧﺤﻮ ﻟـﻦ ﺃﻫـﺎﺑﺎ
24) ﻭﺍﻻﺳﻢ ﻗﺪ ﺧﺼﺺ ﺑﺎﻟﺠﺮ ﻛﻤﺎ ﻗﺪ ﺧﺼﺺ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺑﺄﻥ ﻳﻨﺠﺰﻣﺎ
25) ﻓﺎﺭﻓﻊ ﺑﻀﻢ ﻭﺍﻧﺼﺒﻦ ﻓﺘﺤﺎ ﻭﺟﺮ
ﻛﺴﺮﺍ ﻛﺬﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺒﺪﻩ ﻳﺴـﺮ
26) ﻭﺍﺟﺰﻡ ﺑﺘﺴﻜﻴﻦ ﻭﻏﻴﺮ ﻣﺎﺫﻛﺮ
ﻳﻨﻮﺏ ﻧﺤﻮ ﺟﺎ ﺃﺧﻮ ﺑﻨﻲ ﻧﻤﺮ
27) ﻭﺍﺭﻓﻊ ﺑﻮﺍﻭ ﻭﺍﻧﺼﺒﻦ ﺑﺎﻷﻟﻒ ﻭﺍﺟﺮﺭ ﺑﻴﺎﺀ ﻣﺎ ﻣﻦ ﺍﻷﺳﻤﺎ ﺃﺻﻒ
28) ﻣﻦ ﺫﺍﻙ ﺫﻭ ﺍﻥ ﺻﺤﺒﺔ ﺍﺑﺎﻧﺎ
ﻭﺍﻟﻔﻢ ﺣــﻴﺚ ﺍﻟﻤﻴﻢ ﻣﻨﻪ ﺑﺎﻧﺎ
29) ﺃﺏ ﺃﺥ ﺣﻢ ﻛــﺬﺍﻙ ﻭﻫﻦ
ﻭﺍﻟﻨﻘﺺ ﻓﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻷﺧﻴﺮ ﺃﺣﺴﻦ
30) ﻭﻓﻰ ﺃﺏ ﻭﺗﺎﻟﻴﻴـﻪ ﻳﻨـﺪﺭ
ﻭﻗﺼﺮﻫﺎ ﻣﻦ ﻧﻘﺼﻬﻦ ﺃﺷـﻬﺮ
31) ﻭﺷﺮﻁ ﺫﺍ ﺍﻹﻋﺮﺍﺏ ﺃﻥ ﻳﻀﻘﻦ ﻻ ﻟﻠﻴﺎ ﻛﺠﺎ ﺃﺧﻮ ﺃﺑﻴﻚ ﺫﺍ ﺍﻋﺘـﻼ
32) ﺑﺎﻷﻟﻒ ﺍﺭﻓﻊ ﺍﻟﻤﺜﻨﻰ ﻭﻛـﻼ
ﺍﺫﺍ ﺑﻤﻀﻤﺮ ﻣﻀـﺎﻓﺎ ﻭﺻـﻼ
33) ﻛﻠﺘﺎ ﻛﺬﻟﻚ ﺍﺛﻨﺎﻥ ﻭﺍﺛﻨﺘــﺎﻥ
ﻛـﺎﺑﻨﻴﻦ ﻭﺍﺑﻨﺘﻴـﻦ ﻳﺠـﺮﻳـﺎﻥ
34) ﻭﺗﺨﻠﻒ ﺍﻟﻴﺎ ﻓﻰ ﺟﻤﻴﻌﻬﺎ ﺍﻷﻟﻒ
ﺟﺮﺍً ﻭﻧﺼﺒﺎً ﺑﻌﺪ ﻓﺘﺢ ﻗﺪ ﺃﻟﻒ
35) ﻭﺍﺭﻓﻊ ﺑﻮﺍﻭ ﻭﺑﻴﺎ ﺍﺟﺮﺭ ﻭﺍﻧﺼﺐ
ﺳﺎﻟﻢ ﺟﻤﻊ ﻋﺎﻣـﺮ ﻭﻣﺬﻧـﺐ
36) ﻭﺷﺒﻪ ﺫﻳﻦ ﻭﺑﻪ ﻋـﺸـﺮﻭﻧﺎ
ﻭﺑﺎﺑﻪ ﺃﻟﺤﻖ ﻭﺍﻷﻫـﻠـﻮﻧـﺎ
37) ﺃﻭﻟﻮ ﻭﻋﺎﻟﻤﻮﻥ ﻋـﻠﻴـﻮﻧﺎ
ﻭﺃﺭﺿـﻮﻥ ﺷـﺬ ﻭﺍﻟﺴﻨـﻮﻧﺎ
38) ﻭﺑﺎﺑﻪ ﻭﻣﺜﻞ ﺣﻴﻦ ﻗﺪ ﺑﺮﺩ ﺫﺍ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻭﻫﻮ ﻋﻨﺪ ﻗﻮﻡ ﻳﻄﺮﺩ
39) ﻭﻧﻮﻥ ﻣﺠﻤﻮﻉ ﻭﻣﺎ ﺑﻪ ﺍﻟﺘﺤﻖ
ﻓﺎﻓﺘﺢ ﻭﻗﻞ ﻣﻦ ﺑﻜﺴـﺮﻩ ﻧﻄﻖ
40) ﻭﻧﻮﻥ ﻣﺎ ﺛﻨﻰ ﻭﺍﻟﻤﻠﺤﻖ ﺑﻪ
ﺑﻌﻜﺲ ﺫﺍﻙ ﺍﺳﺘﻌﻤﻠﻮﻩ ﻓﺎﻧﺘﺒـﻪ
41) ﻭﻣﺎ ﺑﺘﺎ ﻭﺃﻟﻒ ﻗـﺪ ﺟﻤﻌـﺎ ﻳﻜﺴﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺮ ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻨﺼﺐ ﻣﻌﺎ
42) ﻛﺬﺍ ﺃﻭﻻﺕ ﻭﺍﻟﺬﻱ ﺍﺳﻤﺎ ﻗﺪ ﺟﻌﻞ
ﻛﺄﺫﺭﻋﺎﺕ ﻓﻴﻪ ﺫﺍ ﺍﻳﻀـﺎ ﻗﺒـﻞ
43) ﻭﺟﺮ ﺑﺎﻟﻔﺘﺤﺔ ﻣﺎ ﻻ ﻳﻨﺼﺮﻑ ﻣﺎﻟﻢ ﻳﻀﻒ ﺃﻭ ﻳﻚ ﺑﻌﺪ ﺃﻝ ﺭﺩﻑ
44) ﻭﺍﺟﻌﻞ ﻟﻨﺤﻮ ﻳﻔﻌﻼﻥ ﺍﻟﻨﻮﻧﺎ
ﺭﻓﻌـﺎ ﻭﺗﺪﻋﻴـﻦ ﻭﺗﺴـﺄﻟﻮﻧـﺎ
45) ﻭﺣﺬﻓﻬﺎ ﻟﻠﺠﺰﻡ ﻭﺍﻟﻨﺼﺐ ﺳﻤﻪ ﻛﻠﻢ ﺗﻜﻮﻧﻰ ﻟﺘﺮﻭﻣﻲ ﻣـﻈﻠﻤـﻪ
46) ﻭﺳﻢ ﻣﻌﺘﻼ ﻣﻦ ﺍﻻﺳﻤﺎﺀ ﻣـﺎ
ﻛﺎﻟﻤﺼﻄﻔﻰ ﻭﺍﻟﻤﺮﺗﻘـﻲ ﻣﻜﺎﺭﻣـﺎ
47) ﻓﺎﻷﻭﻝ ﺍﻹﻋﺮﺍﺏ ﻓﻴﻪ ﻗـﺪﺭﺍ
ﺟﻤﻴﻌﻪ ﻭﻫـﻮﺍﻟﺬﻯ ﻗـﺪ ﻗﺼـﺮﺍ
48) ﻭﺍﻟﺜﺎﻥ ﻣﻨﻘﻮﺹ ﻭﻧﺼﺒﻪ ﻇﻬﺮ
ﻭﺭﻓﻌﻪ ﻳﻨﻮﻯ ﻛﺬﺍ ﺃﻳﻀـﺎ ﻳﺠـﺮ
49) ﻭﺃﻯ ﻓـﻌﻞ ﺁﺧﺮ ﻣﻦ ﺃﻟﻒ ﺃﻭ ﻭﺍﻭ ﻳـﺎﺀ ﻓﻤﻌﺘـﻼ ﻋـﺮﻑ
50) ﻳﻔﺎﻷﻟﻒ ﺍﻧﻮ ﻓﻴﻪ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺠﺰﻡ ﻭﺃﺑﺪ ﻧﺼﺐ ﻣﺎ ﻛﻌﻴﺪﻋـﻮ ﻳﺮﻣﻰ
51) ﻭﺍﻟﺮﻓﻊ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺍﻧﻮ ﻭﺍﺣﺬﻑ ﺟﺎﺯﻣﺎ
ﺛﻼﺛﻬﻦ ﺗﻘﺾ ﺣـﻜﻤـﺎ ﻻﺯﻣـﺎ
ﺍﻟﻨﻜﺮﺓ ﻭﺍﻟﻤﻌﺮﻓﺔ
52) ﻧﻜﺮﺓ ﻗﺎﺑﻞ ﺃﻝ ﻣـﺆﺛﺮﺍ ﺃﻭ ﻭﺍﻗﻊ ﻣﻮﻗﻊ ﻣﺎ ﻗﺪ ﺫﻛــﺮﺍ
53) ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﻛﻬﻢ ﻭﺫﻱ ﻭﻫﻨﺪ ﻭﺍﺑﻨﻲ ﻭﺍﻟﻐــﻼﻡ ﻭﺍﻟﺬﻯﻲ
54) ﻓﻤﺎ ﻟﺬﻱ ﻏﻴﺒﺔ ﺃﻭ ﺣﻀﻮﺭ ﻛﺄﻧﺖ ﻭﻫﻮ ﺳـﻢ ﺑﺎﻟﻀـﻤﻴـﺮ
55) ﻭﺫﻭ ﺍﺗﺼﺎﻝ ﻣﻨﻪ ﻣﺎ ﻻ ﻳﺒﺘﺪﺍ
ﻭﻻ ﻳﻠﻲ ﺇﻻ ﺍﺧـﺘـﻴﺎﺭﺍً ﺃﺑﺪﺍ
56) ﻛﺎﻟﻴﺎﺀ ﻭﺍﻟﻜﺎﻑ ﻣﻦ ﺍﺑﻨﻰ ﺃﻛﺮﻣﻚ ﻭﺍﻟﻴﺎﺀ ﻭﺍﻟﻬﺎ ﻣﻦ ﺳﻠﻴﻪ ﻣﺎ ﻣﻠﻚ
57) ﻭﻛﻞ ﻣﻀﻤﺮ ﻟﻪ ﺍﻟﺒﻨﺎ ﻳﺠﺐ ﻭﻟﻔﻆ ﻣﺎ ﺟﺮ ﻛﻠﻔﻆ ﻣﺎ ﻧﺼـﺐ
58) ﻟﻠﺮﻓﻊ ﻭﺍﻟﻨﺼﺐ ﻭﺟﺮ ﻧﺎ ﺻﻠﺢ
ﻛﺎﻋﺮﻑ ﺑﻨﺎ ﻓﺎﻧﻨﺎ ﻧﻠﻨﺎ ﺍﻟﻤﻨـﺢ
59) ﻭﺃﻟﻒ ﻭﺍﻟﻮﺍﻭ ﻭﺍﻟﻨﻮﻥ ﻟﻤﺎ ﻏﺎﺏ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻛﻘﺎﻣﺎ ﻭﺍﻋﻠﻤــﺎ
60) ﻭﻣﻦ ﺿﻤﻴﺮ ﺍﻟﺮﻓﻊ ﻣﺎ ﻳﺴﺘﺘﺮ
ﻛﺎﻓﻌﻞ ﺃﻭﺍﻓﻖ ﻧﻐﺘﺒﻂ ﺍﺫ ﺗﺸﻜﺮ
61) ﻭﺫﻭ ﺍﺭﺗﻔﺎﻉ ﻭﺍﻧﻔﺼﺎﻝ ﺃﻧﺎ ﻫﻮ
ﻭﺃﻧﺖ ﻭﺍﻟﻔﺮﻭﻉ ﻻ ﺗﺸـﺘـﺒـﻪ
62) ﻭﺫﻭ ﺍﻧﺘﺼﺎﺏ ﻓﻲ ﺍﻧﻔﺼﺎﻝ ﺟﻌﻼ
ﺇﻳﺎﻱ ﻭﺍﻟﺘﻔﺮﻳﻊ ﻟﻴﺲ ﻣﺸــﻜﻼ
63) ﻭﻓﻲ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ ﻻ ﻳﺠﻴﺊ ﺍﻟﻤﻨﻔﺼﻞ ﺇﺫﺍ ﺗﺄﺗﻰ ﺃﻥ ﻳﺠﻴﺊ ﺍﻟﻤﺘـــﺼﻞ
64) ﻭﺻﻞ ﺃﻭ ﺍﻓﺼﻞ ﻫﺎﺀ ﺳﻠﻨﻴﻪ ﻭﻣﺎ
ﺃﺷﺒﻬـﻪ ﻓﻲ ﻛﻨﺘﻪ ﺍﻟﺨﻠﻒ ﺍﻧﺘﻤﻰ
65) ﻛﺬﻟﻚ ﺧﻠﺘﻴﻪ ﻭﺍﺗﺼــﺎﻻ
ﺃﺧﺘﺎﺭ ﻏﻴﺮﻱ ﺍﺧﺘﺎﺭ ﺍﻻﻧﻔﺼﺎﻻ
66) ﻭﻗﺪﻡ ﺍﻷﺧﺺ ﻓﻲ ﺍﺗﺼـﺎﻝ
ﻭﻗﺪﻣﻦ ﻣﺎ ﺷﺌﺖ ﻓﻲ ﺍﻧﻔﺼـﺎﻝ
67) ﻭﻓﻲ ﺍﺗﺤﺎﺩ ﺍﻟﺮﺗﺒﺔ ﺍﻟﺰﻡ ﻓﺼﻼ
ﻭﻗﺪ ﻳﺒﻴﺢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﻓﻴﻪ ﻭﺻــﻼ
68) ﻭﻗﺒﻞ ﻳﺎ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻣﻊ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺍﻟﺘـﺰﻡ
ﻧﻮﻥ ﻭﻗﺎﻳﺔ ﻭﻟﻴﺴﻲ ﻗـﺪ ﻧﻈـﻢ
69) ﻭﻟﻴﺘﻨﻲ ﻓﺸﺎ ﻭﻟﻴﺘﻨـﻲ ﻧـﺪﺭﺍ
ﻭﻣﻊ ﻟﻌﻞ ﺍﻋﻜﺲ ﻭﻛﻦ ﻣﺨﻴﺮﺍ
70) ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻘﺎﻳﺎﺕ ﻭﺍﺿﻄﺮﺍﺭﺍ ﺧﻔﻔﺎ
ﻣﻨﻲ ﻭﻋﻨﻲ ﺑﻌﺾ ﻣﻦ ﻗﺪ ﺳﻠﻔﺎ
71) ﻭﻓﻲ ﻟﺪﻧﻲ ﻟﺪﻧﻲ ﻗﻞ ﻭﻓﻲ ﻗﺪﻧﻲ ﻭﻗﻄﻨﻲ ﺍﻟﺤﺬﻑ ﺃﻳﻀـﺎ ﻗـﺪ ﻳﻔﻲ
ﺍﻟﻌﻠﻢ
72) ﺍﺳﻢ ﻳﻌﻴﻦ ﺍﻟﻤﺴﻤﻰ ﻣﻄﻠﻘﺎ
ﻋﻠﻤﻪ ﻛﺠـﻌﻔـﺮ ﻭﺧـﺮﻧﻘـﺎ
73) ﻭﻗﺮﻥ ﻭﻋـﺪﻥ ﻭﻻﺣـﻖ
ﻭﺷـﺬﻗـﻢ ﻭﻫﻴﻠـﺔ ﻭﻭﺍﺷـﻖ
74) ﻭﺍﺳﻤـﺎً ﺃﺗﻰ ﻭﻛﻨﻴﺔ ﻭﻟﻘﺒﺎ
ﻭﺃﺧﺮﻥ ﺫﺍ ﺍﻥ ﺳـﻮﺍﻩ ﺻﺤـﺒـﺎ
75) ﻭﺇﻥ ﻳﻜﻮﻧﺎ ﻣﻔﺮﺩﻳﻦ ﻓﺄﺿﻒ
ﺣﺘﻤـﺎً ﻭﺇﻻ ﺃﺗﺒﻊ ﺍﻟـﺬﻱ ﺭﺩﻑ
76) ﻭﻣﻨﻪ ﻣﻨﻘﻮﻝ ﻛﻔﻀﻞ ﻭﺃﺳﺪ
ﻭﺫﻭ ﺍﺭﺗﺠﺎﻝ ﻛﺴـﻌـﺎﺩ ﻭﺃﺩﺩ
77) ﻭﺟﻤﻠﺔ ﻭﻣﺎ ﺑﻤﺰﺝ ﺭﻛﺒـﺎ ﺫﺍ ﺇﻥ ﺑﻐﻴـﺮ ﻭﻳﻪ ﺗﻢ ﺃﻋـﺮﺑﺎ
78) ﻭﺷﺎﻉ ﻓﻲ ﺍﻷﻋﻼﻡ ﺫﻭ ﺍﻹﺿﺎﻓﺔ
ﻛﻌﺒﺪ ﺷﻤﺲ ﻭﺃﺑﻲ ﻗﺤـﺎﻓـﻪ
79) ﻭﻭﺿﻌﻮﺍ ﻟﺒﻌﺾ ﺍﻻﺟﺎﻧﺲ ﻋﻠﻢ ﻛﻌﻠﻢ ﺍﻷﺷﺨﺎﺹ ﻟﻔﻈﺎً ﻭﻫﻮ ﻋﻢ
80) ﻣﻦ ﺫﺍﻙ ﺃﻡ ﻋﺮﻳﻂ ﻟﻠﻌﻘﺮﺏ
ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺛﻌـﺎﻟﺔ ﻟﻠﺜـــﻌﻠﺐ
81) ﻭﻣـﺜﻠﻪ ﺑﺮﺓ ﻟﻠﻤﺒــﺮﺓ
ﻛـﺬﺍ ﻓﺠـﺎﺭ ﻋﻠﻢ ﻟﻠﻔﺠـﺮﻩ
ﺍﺳﻢ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ
82) ﺑﺬﺍ ﻟﻤﻔﺮﺩ ﻣﺬﻛـﺮ ﺃﺷـﺮ ﺑﺬﻱ ﻭﺫﻩ ﺗﻲ ﺗﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﻧﺜﻰ ﺍﻗﺘﺼﺮ
83) ﻭﺫﺍﻥ ﺗﺎﻥ ﻟﻠﻤﺜﻨﻰ ﺍﻟﻤﺮﺗﻔﻊ ﻭﻓﻲ ﺳﻮﺍﻩ ﺫﻳﻦ ﺗﻴﻦ ﺍﺫﻛـﺮ ﺗﻄـﻊ
84) ﻭﺑﺄﻭﻟﻰ ﺃﺷﺮ ﻟﺠﻤﻊ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻭﺍﻟﻤﺪ ﺃﻭﻟﻰ ﻭﻟـﺪﻯ ﺍﻟﺒﻌـﺪ ﺍﻧﻄﻘـﺎ
85) ﺑﺎﻟﻜﺎﻑ ﺣﺮﻓﺎ ﺩﻭﻥ ﻻﻡ ﺃﻭ ﻣﻌﻪ ﻭﺍﻟﻼﻡ ﺇﻥ ﻗﺪﻣـﺖ ﻫـﺎ ﻣﻤﺘﻨﻌــﻪ
86) ﻭﺑﻬﻨﺎ ﺃﻭ ﻫﺎﻫﻨﺎ ﺃﺷﺮ ﺃﻟﻰ ﺩﺍﻧﻲ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﺑﻪ ﺍﻟﻜﺎﻑ ﺻـــﻼ
87) ﻓﻰ ﺍﻟﺒﻌﺪ ﺃﻭ ﺑﺜﻢ ﻓﻪ ﺃﻭ ﻫﻨﺎ ﺃﻭ ﺑﻬـﻨﺎﻟﻚ ﺍﻧﻄﻘـﻦ ﺃﻭ ﻫـﻨــﺎ
ﺍﻟﻤﻮﺻﻮﻝ
88) ﻣﻮﺻﻮﻝ ﺍﻷﺳﻤﺎﺀ ﺍﻟﺬﻱ ﺍﻷﻧﺜﻰ ﺍﻟﺘﻰ ﻭﺍﻟﻴﺎ ﺇﺫﺍ ﻣـﺎ ﺛﻨـﻴـﺎ ﻻ ﺗﺜـﺒـﺖ
89) ﺑﻞ ﻣﺎ ﺗﻠﻴﻪ ﺃﻭﻟـﻪ ﺍﻟﻌﻼﻣـﻪ ﻭﺍﻟﻨﻮﻥ ﺇﻥ ﺗﺸﺪﺩ ﻓـﻼ ﻣـﻼﻣــﻪ
90) ﻭﺍﻟﻨﻮﻥ ﻣﻦ ﺫﻳﻦ ﻭﺗﻴﻦ ﺷﺪﺩﺍ
ﺃﻳﻀﺎ ﻭﺗﻌﻮﻳﺾ ﺑﺬﺍﻙ ﻗﺼﺪﺍ
91) ﺟﻤﻊ ﺍﻟﺬﻱ ﺍﻷﻟﻰ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻣﻄﻠﻘﺎ
ﻭﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﺎﻟﻮﺍﻭ ﺭﻓﻌﺎ ﻧﻄﻘـﺎ
92) ﺑﺎﻟﻼﺕ ﻭﺍﻟﻼﺀ ﺍﻟﺘﻲ ﻗﺪ ﺟﻤﻌﺎ
ﻭﺍﻟﻼﺀ ﻛﺎﻟﺬﻳﻦ ﻧﺰﺭﺍ ﻭﻗـﻌـﺎ
93) ﻭﻣﻦ ﻭﻣﺎ ﻭﺃﻝ ﺗﺴﺎﻭﻱ ﻣﺎ ﺫﻛﺮ
ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺫﻭ ﻋﻨﺪ ﻃﻴﺊ ﺷﻬــﺮ
94) ﻭﻛﺎﻟﺘﻰ ﺍﻳﻀـﺎ ﻟﺪﻳﻬﻢ ﺫﺍﺕ
ﻭﻣﻮﺿـﻊ ﺍﻟﻼﺗﻰ ﺃﺗﻰ ﺫﻭﺍﺕ
95) ﻭﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﺫﺍ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﻔﻬـﺎﻡ ﺃﻭ ﻣﻦ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻧﻠﻎ ﻓﻰ ﺍﻟﻜـﻼﻡ
96) ﻭﻛﻠﻬﺎ ﻳﻠـﺰﻡ ﺑﻌﺪﻩ ﺻﻠـﻪ
ﻋﻠﻰ ﺿﻤﻴﺮ ﻻﺋﻖ ﻣﺸـﺘﻤـﻠﻪ
97) ﻭﺟﻤﻠﺔ ﺃﻭ ﺷﺒﻬﻬﺎ ﺍﻟﺬﻱ ﻭﺻﻞ ﺑﻪ ﻛﻤﻦ ﻋﻨﺪﻱ ﺍﻟﺬﻱ ﺍﺑﻨﻪ ﻛﻔﻞ
98) ﻭﺻﻔﺔ ﺻﺮﻳﺤـﺔ ﺻﻠـﺔ ﺍﻝ
ﻭﻛﻮﻧﻬﺎ ﺑﻤﻌﺮﺏ ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ﻗـﻞ
99) ﺃﻱ ﻛﻤﺎ ﻭ ﺃﻋﺮﺑﺖ ﻣﺎﻟﻢ ﺗﻀﻒ
ﻭﺻﺪﺭ ﻭﺻﻠﻬﺎ ﺿﻤﻴﺮ ﺍﻧﺤﺬﻑ
100 ﻭﺑﻌﻀﻬﻢ ﺃﻋﺮﺏ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻭﻓﻲ ﺫﺍ ﺍﻟﺤﺬﻑ ﺃﻳﺎ ﻏﻴﺮ ﺃﻱ ﻳﻘﺘﻔﻲ
101) ﺇﻥ ﻳﺴﺘﻄﻞ ﻭﺻﻞ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻞ
ﻓﺎﻟﺤﺬﻑ ﻧﺰﺭ ﻭﺃﺑﻮﺍ ﺃﻥ ﻳﺨﺘـﺰﻝ
102) ﺇﻥ ﺻﻠﺢ ﺍﻟﺒﺎﻗﻲ ﻟﻮﺻﻞ ﻣﻜﻤﻞ ﻭﺍﻟﺤﺬﻑ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻨﺠﻠـﻲ
103) ﻓﻰ ﻋﺎﺋﺪ ﻣﺘﺼﻞ ﺇﻥ ﺍﻧﺘﺼﺐ
ﺑﻔﻌﻞ ﺃﻭﺻﻒ ﻛﻤﻦ ﻧﺮﺟﻮ ﻳﻬﺐ
104) ﻛﺬﺍﻙ ﺣﺬﻑ ﻣﺎ ﺑﻮﺻﻒ ﺧﻔﻀﺎ
ﻛﺄﻧﺖ ﻗﺎﺽ ﺑﻌﺪ ﺃﻣﺮ ﻣﻦ ﻗﻀﻰ
105) ﻛﺬﺍ ﺍﻟﺬﻯ ﺟﺮ ﺑﻤﺎ ﺍﻟﻤﻮﺻﻮﻝ ﺟﺮ
ﻛﻤـﺮ ﺑﺎﻟﺬﻱ ﻣﺮﺭﺕ ﻓـﻬـﻮ ﺑﺮ
ﺍﻟﻤﻌﺮﻑ ﺑﺄﺩﺍﺓ ﺍﻟﺘﻌﺮﻳﻒ
106) ﺃﻝ ﺣﺮﻑ ﺗﻌﺮﻳﻒ ﺃﻭ ﺍﻟﻼﻡ ﻓﻘﻂ
ﻓﻨﻤﻂ ﻋﺮﻓﺖ ﻗﻞ ﻓﻴـﻪ ﺍﻟﻨـﻤـﻂ
107) ﻭﻗﺪ ﺗﺰﺍﺩ ﻻﺯﻣـــﺎ ﻛﺎﻟﻼﺕ
ﻭﺍﻵﻥ ﻭﺍﻟـﺬﻳـﻦ ﺛـﻢ ﺍﻟــﻼﺕ
108) ﻭﻻﺿﻄﺮﺍﺭ ﻛﺒﻨﺎﺕ ﺍﻷﻭﺑـﺮ ﻛﺬﺍ ﻭﻃﺒﺖ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻳﺎﻗﻴﺲ ﺍﻟﺴﺮﻱ
109) ﻭﺑﻌﺾ ﺍﻷﻋﻼﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺩﺧـﻼ
ﻟﻠﻤـﺢ ﻣـﺎ ﻗـﺪ ﻛﺎﻥ ﻋﻨـﻪ ﻧﻘـﻼ
110) ﻛﺎﻟﻔﻀﻞ ﻭﺍﻟﺤﺎﺭﺙ ﻭﺍﻟﻨﻌﻤﺎﻥ
ﻓﺬﻛـﺮ ﺫﺍ ﻭﺣـﺬﻓـﻪ ﺳـﻴﺎﻥ
111) ﻭﻗﺪ ﻳﺼـﺮ ﻋﻠﻤﺎً ﺑﺎﻟﻐﻠﺒﻪ ﻣﻀﺎﻑ ﺃﻭ ﻣﺼﺤﻮﺏ ﺃﻝ ﻛﺎﻟﻌﻘﺒﻪ
112) ﻭﺣﺬﻑ ﺃﻝ ﺇﻥ ﺗﻨﺎﺩ ﺃﻭ ﺗﻀﻒ
ﺃﻭﺟﺐ ﻭﻓﻲ ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻗﺪ ﺗﻨﺤﺬﻑ
ﺍﻻﺑﺘﺪﺍﺀ
113) ﻣـﺒﺘﺪﺃ ﺯﻳﺪ ﻭﻋـﺎﺫﺭ ﺧﺒﺮ ﺇﻥ ﻗﻠﺖ ﺯﻳﺪ ﻋﺎﺫﺭ ﻣﻦ ﺍﻋﺘـﺬﺭ
114) ﻭﺃﻭﻝ ﻣﺒﺘـﺪﺃ ﻭﺍﻟﺜـﺎﻧﻲ
ﻓﺎﻋـﻞ ﺍﻏﻨـﻰ ﻓﻲ ﺃﺳـﺎﺭ ﺫﺍﻥ
115) ﻭﻗﺲ ﻭﻛﺎﺳﺘﻔﻬﺎﻡ ﺍﻟﻨﻔﻰ ﻭﻗﺪ
ﻳﺠﻮﺯ ﻧﺤﻮ ﻓﺎﺋﺰ ﺃﻭﻟـﻮ ﺍﻟﺮﺷـﺪ
116) ﻭﺍﻟﺜﺎﻥ ﻣﺒﺘﺪﺍ ﻭﺫﺍ ﺍﻟﻮﺻﻒ ﺧﺒﺮ ﺇﻥ ﻓﻲ ﺳﻮﻯ ﺍﻹﻓﺮﺍﺩ ﻃﺒﻘﺎً ﺍﺳﺘﻘﺮ
117) ﻭﺭﻓﻌـﻮﺍ ﻣـﺒﺘﺪﺃ ﺑﺎﻻﺑﺘـﺪﺍ
ﻛﺬﺍﻙ ﺭﻓﻊ ﺧـﺒـﺮ ﺑﺎﻟﻤـﺒﺘـﺪﺍ
118) ﻭﺍﻟﺨﺒﺮ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﻤﺘﻢ ﺍﻟﻔﺎﺋـﺪﻩ
ﻛـﺎﻟﻠﻪ ﺑـﺮ ﺍﻷﻳﺎﺩﻱ ﺷـﺎﻫـﺪﻩ
119) ﻭﻣـﻔﺮﺩﺍ ﻳﺄﺗﻲ ﻭﻳﺄﺗﻲ ﺟﻤﻠﻪ
ﺣﺎﻭﻳﺔ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﺬﻱ ﺳـﻴﻘﺖ ﻟـﻪ
120) ﻭﺇﻥ ﺗﻜﻦ ﺇﻳﺎﻩ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻛﺘﻔـﻰ ﺑﻬـﺎ ﻛﻨﻄﻘﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﺴـﺒﻲ ﻭﻛﻔﻰ
121) ﻭﺍﻟﻤﻔﺮﺩ ﺍﻟﺠﺎﻣﺪ ﻓـﺎﺭﻍ ﻭﺇﻥ ﻳﺸﺘﻖ ﻓﻬﻮ ﺫﻭ ﺿـﻤﻴﺮ ﻣﺴـﺘﻜﻦ
122) ﻭﺃﺑﺮﺯﻧﻪ ﻣﻄﻠﻘﺎً ﺣﻴﺚ ﺗـﻼ
ﻣﺎﻟﻴـﺲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻟﻪ ﻣـﺤـﺼـﻼ
123) ﻭﺃﺧﺒﺮﻭﺍ ﺑﻈﺮﻑ ﺃﻭ ﺑﺤﺮﻑ ﺟﺮ ﻧﺎﻭﻳﻦ ﻣـﻌﻨﻰ ﻛﺎﺋﻦ ﺃﻭ ﺍﺳـﺘﻘـﺮ
124) ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﺳﻢ ﺯﻣﺎﻥ ﺧﺒـﺮﺍ ﻋﻦ ﺟﺜــﺔ ﻭﺇﻥ ﻳﻔﺪ ﻓﺄﺧـﺒـﺮﺍ
125) ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻻﺑﺘـﺪﺍ ﺑﺎﻟﻨﻜـﺮﻩ
ﻣﺎﻟﻢ ﺗﻔـﺪ ﻛﻌـﻨﺪ ﺯﻳـﺪ ﻧـﻤـﺮﻩ
126) ﻭﻫﻞ ﻓﺘﻰ ﻓﻴﻜﻢ ﻓﻤـﺎ ﺣﻞ ﻟﻨﺎ
ﻭﺭﺟـﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻜـﺮﺍﻡ ﻋـﻨـﺪﻧـﺎ
127) ﻭﺭﻏﺒﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺨـﺒﺮ ﺧﻴﺮ ﻭﻋﻤـﻞ ﺑﺮ ﺑﺰﻳﻦ ﻭﻟﻴﻘﺲ ﻣﺎ ﻟـﻢ ﻳـﻘـﻞ
128) ﻭﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻷﺧﺒﺎﺭ ﺃﻥ ﺗﺆﺧﺮﺍ
ﻭﺟـﻮﺯﻭﺍ ﺍﻟﺘـﻘﺪﻳﻢ ﺇﺫ ﻻ ﺿـﺮﺭﺍ
129) ﻓـﺎﻣﻨﻌﻪ ﺣﻴﻦ ﻳﺴـﺘﻮﻯ ﺍﻟﺠﺰﺀﺍﻥ
ﻋـﺮﻓﺎً ﻭﻧﻜﺮﺍً ﻋﺎﺩﻣﻲ ﺑﻴﺎﻥ
130) ﻛﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﻣﺎ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺨﺒﺮﺍ ﺃﻭ ﻗﺼﺪ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻟﻪ ﻣﻨﺤﺼـﺮﺍ
131) ﺃﻭﻛﺎﻥ ﻣﺴـﻨﺪﺍ ﻟﺬﻱ ﻻﻡ ﺍﺑﺘﺪﺍ ﺃﻭ ﻻﺯﻡ ﺍﻟﺼﺪﺭ ﻛﻤﻦ ﻟﻲ ﻣﻨﺠﺪﺍ
132) ﻭﻧﺤـﻮ ﻋﻨﺪﻱ ﺩﺭﻫﻢ ﻭﻟﻲ ﻭﻃﺮ
ﻣـﻠﺘﺰﻡ ﻓﻴـﻪ ﺗﻘـﺪﻡ ﺍﻟﺨـﺒـﺮ
133) ﻛـﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﻋﺎﺩ ﻋﻠﻴـﻪ ﻣﻀﻤﺮ ﻣﻤﺎ ﺑﻪ ﻋﻨﻪ ﻣـﺒﻴـﻨﺎ ﻳﺨـﺒـﺮ
134) ﻛﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﻳﺴـﺘﻮﺟﺐ ﺍﻟﺘـﺼﺪﻳﺮﺍ
ﻛﺄﻳﻦ ﻣـﻦ ﻋـﻠﻤﺘﻪ ﻧﺼـﻴـﺮﺍ
135) ﻭﺧـﺒﺮ ﺍﻟﻤـﺤﺼﻮﺭ ﻗﺪﻡ ﺃﺑﺪﺍ ﻛـﻤـﺎ ﻟﻨﺎ ﺇﻻ ﺍﺗﺒﺎﻉ ﺃﺣـﻤـﺪﺍ
136) ﻭﺣـﺬﻑ ﻣﺎ ﻳﻌﻠﻢ ﺟﺎﺋﺰ ﻛﻤﺎ ﻧﻘﻮﻝ ﺯﻳﺪ ﺑﻌـﺪ ﻣﻦ ﻋﻨﺪﻛﻤـﺎ
137) ﻭﻓﻲ ﺟـﻮﺍﺏ ﻛﻴﻒ ﺯﻳﺪ ﻗﻞ ﺩﻧﻒ ﻓﺰﻳﺪ ﺍﺳـﺘﻐﻨﻲ ﻋﻨﻪ ﺇﺫ ﻋـﺮﻑ
138) ﻭﺑﻌﺪ ﻟﻮﻻ ﻏﺎﻟﺒﺎ ﺣـﺬﻑ ﺍﻟﺨﺒﺮ ﺣـﺘﻢ ﻭﻓﻲ ﻧﺺ ﻳﻤﺒﻦ ﺫﺍ ﺍﺳﺘﻘﺮ
139) ﻭﺑﻌﺪ ﻭﺍﻭ ﻋﻴﻨﺖ ﻣﻔﻬـﻮﻡ ﻣـﻊ ﻛﻤﺜﻞ ﻛﻞ ﺻـﺎﻧﻊ ﻭﻣـﺎ ﺻﻨﻊ
140) ﻭﻗـﺒﻞ ﺣﺎﻝ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺧـﺒﺮﺍ ﻋﻦ ﺍﻟﺬﻱ ﺧـﺒﺮﻩ ﻗـﺪ ﺃﺿـﻤﺮﺍ
141) ﻛﻀﺮﺑﻲ ﺍﻟﻌـﺒﺪ ﻣﺴﻴﺌﺎً ﻭﺃﺗﻢ ﺗﺒﻴﻴﻨﻲ ﺍﻟﺤـﻖ ﻣـﻨﻮﻃﺎً ﺑﺎﻟﺤﻜﻢ
142) ﻭﺃﺧـﺒﺮﻭﺍ ﺑﺎﺛﻨﻴﻦ ﺃﻭ ﺑﺄﻛﺜﺮﺍ ﻋﻦ ﻭﺍﺣـﺪ ﻛـﻬﻢ ﺳـﺮﺍﺓ ﺷﻌﺮﺍ
ﻛﺎﻥ ﻭﺃﺧﻮﺍﺗﻬﺎ
143) ﺗﺮﻓﻊ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﺍ ﺍﺳﻤﺎً ﻭﺍﻟﺨﺒﺮ ﺗﻨﺼﺒـﻪ ﻛﻜﺎﻥ ﺳـﻴﺪﺍً ﻋـﻤـﺮ
144) ﻛﻜﺎﻥ ﻇﻞ ﺑﺎﺕ ﺃﺿﺤﻰ ﺃﺻﺒﺤﺎ ﺃﻣﺴﻰ ﻭﺻﺎﺭ ﻟﻴﺲ ﺯﺍﻝ ﺑﺮﺣـﺎ
145) ﻓـﺘﺊ ﻭﺍﻧﻔﻚ ﻭﻫـﺬﻱ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﻟﺸـﺒﻪ ﻧﻔـﻰ ﺃﻭ ﻟﻨﻔﻲ ﻣـﺘﺒـﻌﻪ
146) ﻭﻣﺜﻞ ﻛﺎﻥ ﺩﺍﻡ ﻣﺴـﺒﻮﻗﺎ ﺑﻤﺎ ﻛﺄﻋﻂ ﻣﺎ ﺩﻣﺖ ﻣﺼﻴﺒﺎً ﺩﺭﻫﻤـﺎ
147) ﻭﻏﻴﺮ ﻣﺎﺽ ﻣﺜﻠﻪ ﻗﺪ ﻋﻤـﻼ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺎﺿﻲ ﻣﻨﻪ ﺍﺳﺘﻌﻤﻼ
148) ﻭﻓﻲ ﺟﻤﻴﻌﻬﺎ ﺗﻮﺳﻂ ﺍﻟﺨـﺒﺮ ﺃﺟـﺰ ﻭﻛﻞ ﺳﺒـﻘﻪ ﺩﺍﻡ ﺣـﻈﺮ
149) ﻛﺬﺍﻙ ﺳـﺒﻖ ﺧﺒﺮ ﻣﺎ ﺍﻟﻨﺎﻓﻴﻪ ﻓـﺠﺊ ﺑﻬﺎ ﻣـﺘﻠﻮﺓ ﻻ ﺗـﺎﻟﻴـﻪ
150) ﻭﻣﻨﻊ ﺳـﺒﻖ ﺧﺒﺮ ﻟﻴﺲ ﺍﺻﻄﻔﻰ ﻭﺫ ﺗﻤﺎﻡ ﻣـﺎ ﺑـﺮﻓﻊ ﻳﻜـﺘﻔـﻲ
151) ﻭﻣﺎ ﺳﻮﺍﻩ ﻧﺎﻗﺺ ﻭﺍﻟﻨﻘﺺ ﻓﻲ ﻓﺘﺊ ﻟـﻴﺲ ﺯﺍﻝ ﺩﺍﺋـﻤﺎ ﻗـﻔـﻲ
152) ﻭﻻ ﻳﻠﻲ ﺍﻟﻌﺎﻣﻞ ﻣﻌﻤـﻮﻝ ﺍﻟﺨﺒﺮ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻇﺮﻓﺎً ﺃﺗﻰ ﺃﻭ ﺣﺮﻑ ﺟـﺮ
153) ﻭﻣﻀﻤﺮ ﺍﻟﺸﺎﻥ ﺍﺳﻤﺎً ﺍﻧﻮ ﺇﻥ ﻭﻗﻊ ﻣﻮﻫﻢ ﻣﺎ ﺍﺳـﺘﺒﺎﻥ ﺃﻧﻪ ﺍﻣـﺘﻨﻊ
154) ﻭﻗـﺪ ﺗﺰﺍﺩ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺣﺸﻮ ﻛﻤﺎ ﻛـﺎﻥ ﺃﺻﺢ ﻋﻠﻢ ﻣـﻦ ﺗﻘـﺪﻣﺎ
155) ﻭﻳﺤﺬﻓﻮﻧﻬﺎ ﻭﻳﺒﻘﻮﻥ ﺍﻟﺨـﺒﺮ ﻭﺑﻌﺪ ﺇﻥ ﻭﻟﻮ ﻛﺜﻴﺮﺃ ﺫﺍ ﺍﺷـﺘﻬﺮ
156) ﻭﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﺗﻌﻮﻳﺾ ﻣﺎ ﻋﻨﻬﺎ ﺍﺭﺗﻜﺐ ﻛﻤﺜـﻞ ﺃﻣﺎ ﺍﻧﺖ ﺑﺮﺍً ﻓﺎﻗـﺘﺮﺏ
157) ﻭﻣﻦ ﻣﻀـﺎﺭﻉ ﻟﻜﺎﻥ ﻣﻨﺠﺰﻡ ﺗﺤﺬﻑ ﻧﻮﻥ ﻭﻫﻮ ﺣﺬﻑ ﻣﺎ ﺍﻟﺘﺰﻡ
ﻓﺼﻞ ﻓﻲ ﻣﺎ ﻭﻻ ﻭﻻﺕ ﻭﺇﻥ ﺍﻟﻤﺸﺒﻬﺎﺕ ﺑﻠﻴﺲ
158) ﺇﻋﻤﺎﻝ ﻟﻴﺲ ﺃﻋﻤﻠﺖ ﻣﺎ ﺩﻭﻥ ﺇﻥ ﻣﻊ ﺑﻘـﺎ ﺍﻟﻨﻔﻲ ﻭﺗـﺮﺗـﻴﺐ ﺯﻛـﻦ
159) ﻭﺳﺒﻖ ﺣﺮﻑ ﺟﺮ ﺃﻭ ﻇﺮﻑ ﻛﻤﺎ ﺑﻲ ﺃﻧﺖ ﻣـﻌﻨﻴﺎ ﺃﺟـﺎﺯ ﺍﻟﻌﻠﻤـﺎ
160) ﻭﺭﻓﻊ ﻣﻌﻄﻮﻑ ﺑﻠﻜﻦ ﺃﻭ ﺑﺒﻞ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻣﻨﺼﻮﺏ ﺑﻤﺎ ﺍﻟﺰﻡ ﺣﻴﺚ ﺣﻞ
161) ﻭﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻭﻟﻴﺲ ﺟـﺮ ﺍﻟﺒﺎ ﺍﻟﺨﺒﺮ ﻭﺑﻌﺪ ﻻ ﻭﻧﻔـﻲ ﻛـﺎﻥ ﻗـﺪ ﻳﺠـﺮ
162) ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻜﺮﺍﺕ ﺃﻋﻤﻠﺖ ﻛﻠﻴﺲ ﻻ ﻭﻗﺪ ﺗﻠـﻲ ﻻﺕ ﻭﺇﻥ ﺫﺍ ﺍﻟﻌـﻤـﻼ
163) ﻭﻣـﺎ ﻟﻼﺕ ﻓﻲ ﺳﻮﻯ ﺣﻴﻦ ﻋﻤﻞ ﻭﺣﺬﻑ ﺫﻱ ﺍﻟﺮﻓﻊ ﻓﺸﺎ ﻭﺍﻟﻌﻜﺲ ﻗﻞ
ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻤﻘﺎﺭﺑﺔ
164) ﻛﻜﺎﻥ ﻛﺎﺩ ﻭﻋﺴـﻰ ﻟﻜﻦ ﻧﺪﺭ ﻏـﻴﺮ ﻣﻀﺎﺭﻉ ﻟﻬـﺬﻳﻦ ﺧـﺒﺮ
165) ﻭﻛﻮﻧﻪ ﺑﺪﻭﻥ ﺃﻥ ﺑﻌﺪ ﻋﺴـﻰ ﻧﺰﺭ ﻭﻛﺎﺩ ﺍﻷﻣﺮ ﻓـﻴﻪ ﻋﻜﺴـﺎ
166) ﻭﻛﻌﺴـﻰ ﺣﺮﻯ ﻭﻟﻜﻦ ﺟﻌﻼ
ﺧﺒﺮﻫﺎ ﺣﺘﻤﺎ ﺑـﺄﻥ ﻣﺘـﺼـﻼ
167) ﻭﺃﻟﺰﻣﻮﺍ ﺍﺧﻠﻮﻟﻖ ﺃﻥ ﻣﺜﻞ ﺣﺮﻯ ﻭﺑﻌـﺪ ﺃﻭﺷﻚ ﺍﻧﺘﻔـﺎ ﺃﻥ ﻧﺰﺭﺍ
168) ﻭﻣﺜـﻞ ﻛﺎﺩ ﻓﻲ ﺍﻷﺻﺢ ﻛـﺮﺑﺎ ﻭﺗﺮﻙ ﺃﻥ ﻣﻊ ﺫﻱ ﺍﻟﺸﺮﻭﻉ ﻭﺟﺒﺎ
169) ﻛﺄﻧﺸﺄ ﺍﻟﺴﺎﺋﻖ ﻳﺤﺪﻭ ﻭﻃﻔﻖ ﻛـﺬﺍ ﺟﻌﻠﺖ ﻭﺃﺧﺬﺕ ﻭﻋﻠـﻖ
170) ﻭﺍﺳـﺘﻌﻤﻠﻮﺍ ﻣﻀﺎﺭﻋﺎً ﻷﻭﺷﻜﺎ ﻭﻛﺎﺩ ﻻﻏﻴﺮ ﻭﺯﺍﺩﻭﺍ ﻣـﻮﺷﻜﺎ
171) ﺑﻌﺪ ﻋﺴـﻰ ﺍﺧﻠﻮﻟﻖ ﺃﻭﺷﻚ ﻗﺪ ﻳﺮﺩ ﻏﻨﻰ ﺑﺄﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﻋﻦ ﺛﺎﻥ ﻓﻘـﺪ
172) ﻭﺟـﺮﺩﻥ ﻋﺴﻰ ﺃﻭ ﺃﺭﻓﻊ ﻣﻀﻤﺮﺍ ﺑﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺍﺳﻢ ﻗﺒﻠـﻬﺎ ﻗﺪ ﺫﻛـﺮﺍ
173) ﻭﺍﻟﻔﺘﺢ ﻭﺍﻟﻜﺴﺮ ﺃﺟﺰ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻴﻦ ﻣﻦ ﻧﺤﻮ ﻋﺴﻴﺖ ﻭﺍﻧﺘﻘﺎ ﺍﻟﻔﺘﺢ ﺯﻛﻦ
ﺇﻥ ﻭﺃﺧﻮﺍﺗﻬﺎ
174) ﻹﻥ ﺃﻥ ﻟﻴﺖ ﻟﻜﻦ ﻟﻌﻞ ﻛﺄﻥ ﻋﻜﺲ ﻣـﺎ ﻟﻜﻦ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ
175) ﻛﺈﻥ ﺯﻳﺪﺍً ﻋـﺎﻟﻢ ﺑﺄﻧﻲ ﻛﻒﺀ ﻭﻟﻜﻦ ﺍﺑﻨﻪ ﺫﻭ ﺿــﻐﻦ
176) ﻭﺭﺍﻉ ﺫﺍ ﺍﻟﺘﺮﺗﻴﺐ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺍﻟﺬﻱ
ﻛﻠﻴﺖ ﻓﻴﻬـﺎ ﺃﻭ ﻫﻨﺎ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺒﺬﻱ
177) ﻭﻫـﻤﺰ ﺇﻥ ﺍﻓﺘﺢ ﻟﺴﺪ ﻣﺼﺪﺭ
ﻣﺴـﺪﻫﺎ ﻭﻓﻲ ﺳـﻮﻯ ﺫﺍﻙ ﺍﻛﺴﺮ
178) ﻓﺎﻛﺴـﺮ ﻓﻲ ﺍﻻﺑﺘﺪﺍ ﻭﻓﻲ ﺑﺪﺀ ﺻﻠﻪ
ﻭﺣـﻴﺚ ﺇﻥ ﻟﻴﻤﻴﻦ ﻣـﻜﻤـﻠﻪ
179) ﺃﻭ ﺣﻜﻴﺖ ﺑﺎﻟﻘﻮﻝ ﺃﻭ ﺣﻠﺖ ﻣﺤﻞ ﺣـﺎﻝ ﻛـﺰﺭﺗﻪ ﻭﺇﻧﻲ ﺫﻭ ﺃﻣﻞ
180) ﻭﻛﺴـﺮﻭﺍ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻓﻌﻞ ﻋﻠﻘـﺎ ﺑﺎﻟﻼﻡ ﻛـﺎﻋﻠﻢ ﺇﻧﻪ ﻟﺬﻭ ﺗـﻘﻰ
181) ﺑـﻌﺪ ﺇﺫﺍ ﻓﺠـﺎﺀﺓ ﺃﻭ ﻗﺴﻢ ﻻ ﻻﻡ ﺑﻌـﺪﻩ ﺑﻮﺟـﻬﻴﻦ ﻧﻤﻲ
182) ﻣﻊ ﺗﻠﻮ ﻓﺎ ﺍﻟﺠﺰﺍ ﻭﺫﺍ ﻳﻄﺮﺩ ﻓﻲ ﻧﺤﻮ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺇﻧﻲ ﺃﺣﻤﺪ
183) ﻭﺑﻌﺪ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﻜﺴﺮ ﺗﺼﺤﺐ ﺍﻟﺨﺒﺮ ﻻﻡ ﺍﺑﺘـﺪﺍﺀ ﻧﺤـﻮ ﺇﻧﻲ ﻟـﻮﺯﺭ
184) ﻭﻻ ﻳﻠﻲ ﺫﻱ ﺍﻟﻼﻡ ﻣﺎ ﻗﺪ ﻧﻔﻴﺎ
ﻭﻻﻡ ﻣﻦ ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ﻣﺎ ﻛﺮﺿﻴﺎ
185) ﻭﻗـﺪ ﻳﻠﻴﻬﺎ ﻣﻊ ﻗﺪ ﻛﺎﻥ ﺫﺍ ﻟﻘﺪ ﺳﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺪﺍ ﻣﺴﺘﺤﻮﺫﺍ
186) ﻭﺗﺼﺤﺐ ﺍﻟﻮﺍﺳﻂ ﻣﻌﻤﻮﻝ ﺍﻟﺨﺒﺮ
ﻭﺍﻟﻔﺼﻞ ﻭﺍﺳﻤﺎ ﺣﻞ ﻗﺒﻠﻪ ﺍﻟﺨﺒﺮ
187) ﻭﻭﺻﻞ ﻣﺎ ﺑﺬﻱ ﺍﻟﺤﺮﻭﻑ ﻣﺒﻄﻞ
ﺇﻋﻤﺎﻟﻬﺎ ﻭﻗﺪ ﻳﺒﻘـﻰ ﺍﻟﻌﻤـﻞ
188) ﻭﺟـﺎﺋﺰ ﺭﻓﻌﻚ ﻣﻌﻄﻮﻓﺎً ﻋﻠﻰ
ﻣﻨﺼﻮﺏ ﺇﻥ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﺗﺴﺘﻜﻤﻼ
189) ﻭﺃﻟﺤﻘـﺖ ﺑﺈﻥ ﻟﻜـﻦ ﻭﺃﻥ
ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﻟﻴﺖ ﻭﻟﻌﻞ ﻭﻛﺄﻥ
190) ﻭﺧﻔﻔﺖ ﺇﻥ ﻓﻘﻞ ﺍﻟﻌﻤـﻞ
ﻭﺗﻠﺰﻡ ﺍﻟﻼﻡ ﺇﺫﺍ ﻣﺎ ﺗـﻬـﻤﻞ
191) ﻭﺭﺑﻤﺎ ﺍﺳﺘﻐﻨﻲ ﻋﻨﻬﺎ ﺇﻥ ﺑﺪﺍ
ﻣﺎ ﻧﺎﻃﻖ ﺃﺭﺍﺩﻩ ﻣـﺘﻌـﻤـﺪﺍً
192) ﻭﺍﻟﻔﻌﻞ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻚ ﻧﺎﺳﺨﺎً ﻓﻼ
ﺗﻠﻔﻴﻪ ﻏﺎﻟﺒﺎ ﺑﺈﻥ ﺫﻱ ﻣﻮﺻﻼ
193) ﻭﺇﻥ ﺗﺨﻔﻒ ﺃﻥ ﻓﺎﺳﻤﻬﺎ ﺍﺳﺘﻜﻦ ﻭﺍﻟﺨﺒﺮ ﺍﺟﻌﻞ ﺟﻤﻠﺔ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ
194) ﻭﺇﻥ ﻳﻜﻦ ﻓﻌﻼ ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺩﻋﺎَ
ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺗﺼﺮﻳﻔﻪ ﻣﻤﺘﻨـﻌـﺎ
195) ﻓﺎﻷﺣﺴﻦ ﺍﻟﻔﺼﻞ ﺑﻘﺪ ﺃﻭ ﻧﻔﻲ ﺃﻭ ﺗﻨﻔﻴﺲ ﺍﻭ ﻟﻮ ﻭﻗﻠﻴﻞ ﺫﻛـﺮ ﻟـﻮ
196) ﻭﺧﻔﻔـﺖ ﻛﺄﻥ ﺃﻳﻀﺎً ﻓﻨـﻮﻱ ﻣﻨﺼﻮﺑﻬـﺎ ﻭﺛﺎﺑﺘـﺎ ﺃﻳﻀﺎً ﺭﻭﻱ
ﻻ ﺍﻟﺘﻲ ﻟﻨﻔﻲ ﺍﻟﺠﻨﺲ
197) ﻋﻤﻞ ﺇﻥ ﺃﺟﻌﻞ ﻟﻼ ﻓﻲ ﻧﻜﺮﻩ
ﻣﻔﺮﺩﺓً ﺟـﺎﺀﺗﻚ ﺃﻭ ﻣـﻜﺮﺭﻩ
198) ﻓﺎﻧﺼﺐ ﺑﻬﺎ ﻣﻀﺎﻓﺎً ﺃﻭ ﻣﻀﺎﺭﻋﻪ
ﻭﺑﻌﺪ ﺫﺍﻙ ﺍﻟﺨﺒﺮ ﺍﺫﻛﺮ ﺭﺍﻓﻌﻪ
199) ﻭﺭﻛﺐ ﺍﻟﻤﻔﺮﺩ ﻓﺎﺗﺤﺎ ﻛـﻼ ﺣﻮﻝ ﻭﻻ ﻗﻮﺓ ﻭﺍﻟﺜﺎﻥ ﺍﺟﻌـﻼ
200) ﻣﺮﻓﻮﻋﺎً ﺃﻭ ﻣﻨﺼﻮﺑﺎً ﺃﻭ ﻣﺮﻛﺒﺎ
ﻭﺇﻥ ﺭﻓﻌﺖ ﺃﻭﻻً ﻻ ﺗﻨﺼﺒـﺎ