Selasa, 28 Agustus 2018

NASIB DAN NASAB

NASIB DAN NASAB

Kebanyakan dari kita sering menempatkan Tuhan hanya pada saat keadaan kritis atau ketika kita berduka. Misal, ketika menemui kegagalan atau kesusahan dalam mencapai sesuatu. Saat pekerjaan kita yang menghasilkan rupiah pas-pasan saja dan mungkin mendekati kekurangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kita menggumam “Ya Allah, kok nasibku ngenes tho?”. Sapaan ke Tuhan sering kali berbentuk renungan atas nasib.

Kita sering berandai-andai ketika merenungi nasib yang berujung dengan menyalahkan Tuhan. “Mengapa nasibku jadi orang miskin ya Tuhan? Seandainya aku jadi orang kayakan aku bisa naik haji tiap tahun. Kita tidak berkaca pada apa saja yang telah kita lakukan selama ini sehingga kita mengalami nasib seperti itu. Padahal untuk apa nasib kita renungi?

Membandingkan adalah awal dari sebuah keluhan, tidak jadi masalah kalau kemudian membuat kita termotivasi untuk melakukan perubahan. Menjadi lebih rumit ketika keluhan malah membuat kita apriori kepada Tuhan.

“Yang perlu direnungi adalah perkembangan kerja kerasmu, ketekunan atau kemalasanmu, ketangguhan atau kerapuhan mentalmu, ketenangan atau kegalauan hatimu, pengolahan kecerdasan atau pembodohan akal pikiranmu.

Yang perlu direnungi adalah naik turunnya kesabaranmu selama menunggu waktu di bumi sebelum dipindahkan ke tempat yang lain. Keteguhan jiwamu menjalani jarak dari awal hingga akhir tugasmu yang ini, supaya kualitas penugasan atasmu meningkat pada era berikutnya sesudah kepastian yang untuk sementara disebut kematian.

Yang perlu direnungi bukan keputusan Tuhan. Yang harus direnungi untuk diperbaiki adalah keputusan-keputusanmu sendiri. Atas keputusan Tuhan, jelas masalahnya: ikhlas menerima, kemarin, hari ini atau besok.”

Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri. Jadi masihkah kita akan terus meratapi nasib yang kita terima atau merenungi proses apa sajakah yang telah kita lakukan sehingga kita mendapatkan hasil seperti ini? Kalau ternyata usaha kita melakukan perubahan nasib tidak kunjung berhasil, apa ada kemungkinan bahwa anak-cucu kita lah yang akan menikmatinya? Bukankah anak-cucu kita adalah kita juga, Episode selanjutnya dari kita?

*****

Nasib dan Nasab Bila perhatikan

Bila diperhatikan, sebenarnya, keduanya mempunyai kesamaan kalau mau dipaksa-paksakan.
nasib itu garis hidup sedang nasab adalah garis keturunan.

Tidak sampai di sana, nasib konon bisa diketahui untuk rentang waktu tertentu, entah itu 1 jam, 1 minggu, bahkan dalam hitungan bulan. Pernah mendengar pernyataan seperti ini dari para ahli, "...nasib perusahaan itu akan gulung tikar dalam hitungan bulan," nah itu! Apakah ini ramalan? Bukan! Inilah apa yang disebut analisa. Ramalan, itu hanya kata yang dipakai paranormal buat mengibuli si dungu. Padahal kalau dicermati kata si paranormal, itu semua hanya analisa semata. Namun, jauh dari itu sejatinya akal dan kehebatan analisa seseorang tak mampu menjangkau 'cara main' dari nasib, bahkan untuk 1 jam kemudian sekali pun.

Kemudian nasab, bermanfaat sekali sekiranya seorang dari sebuah klan keluarga mengetahui muasal garis keturunannya sejauh-jauhnya. Namun, sukar memang untuk mengetahui sampai 7 keturunan muasal dari sebuah garis keturunan. Kecuali jika terdokumentasi dengan baik. Saya sendiri baru tahu muasal nasab hanya sampai ayah-ibunya kakek-nenek saya. Setahu saya bangsa yang baik dalam mendalami ilmu nasab adalah bangsa Arab. Nabi Muhammad bahkan diketahui nasabnya sampai nabi Ibrahim, meski ini masih diperdebatkan kalangan ulama. Yang umum, moyang Nabi Muhammad diketahui sampai Adnan, moyangnya yang ke-20.

Nasib dan nasab sama-sama memiliki dimensi waktu yang sama, waktu lampau (past time), sekarang (present) dan yang akan datang (future). Waktu lampau nasib, yakni apa yang sudah diperbuat. Waktu sekarangnya, apa yang sedang kita alami. Dan waktu akan datangnya, yakni apa yang belum kita alami. Sedang nasab, Past time-nya adalah moyang kita, present time-nya, adalah kita sendiri, dan future-nya adalah anak cucu kita kelak. Dahsyat, ternyata runtutan akan nasib-nasab memang ada kesamaan!
Lalu bagaimana?

Pengetahuan tentang nasab membantu manusia untuk punya posisi yang tepat dalam mengambil keputusan hidup. Secara biologis, orangtua menurunkan nasab kepada anak-anaknya. Dari mereka sifat-sifat dan keahlian juga ada kemungkinan diwariskan ke generasi berikutnya. Nenek moyang kita memberi perhatian lebih atas pertimbangan bibit-bebet-bobot. Hal ini karena mereka menginginkan kebaikan nilai-nilai terjaga sepanjang keturunannya nanti di masa depan. Ibarat menanam padi, harus tahu bibit yang bagus, ladang yang subur, dan perlakuan khusus semasa tandur agar menghasilkan tanaman terbaik.

isyarat dari firman Allah

يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوا العلم درجات

"ALLAH mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu"

ان اكرمكم عند الله اتقاكم

"kemulyaan itu berdasarkan ketaqwaan"

انَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

"nasib kaum itu bedasarkan bagaimana ia merubahnya".

Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah dan dalam kondisi merdeka. Bahwa Manusia itu sama-sama memiliki peluang untuk bernasib baik atau bernasib buruk dan hal tersebut ditentukan oleh amal perbuatan. Manusia bebas untuk memilih, dan ia bertanggungjawab atas pilihannya tersebut. Dan akhirnya, tentunya kita tidak boleh membanggakan diri karena berasal dari garis keturunan ningrat priyayi, sebaliknya, kita juga tidak boleh rendah diri karena berasal dari keluarga yang kurang beruntung.
Sebagai manusia, kita seharusnya bersikap wajar dengan latar belakang yang kita miliki, sembari terus berupaya untuk melakukan yang terbaik.
Sayyidina Ali RA, Sahabat Rosululloh pernah mengatakan yang kurang lebih sebagai berikut:

ليس الفتى من يقول كان أبي. ولكن الفتى من يقول ها أنا ذا.
(seorang pemuda bukanlah ia yang mengatakan "inilah ayahku", tapi ia adalah yang berkata "inilah aku")

Kemudian sangat dianjurkan untuk menghayati apa yang tertulis dalam Al Qur'an:

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

"Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." – (QS.13:11)

***

Rabb, saya benar-benar ingin nasib dan nasab saya selalu baik dan baik

***

Dari saya yang fakir dan banyak dosa, dan yang sangat mendambakan nasib-nasab yang baik.

Senin, 20 Agustus 2018

Merubah niat puasa

Bolehkah kita merubah niat puasa sunnah, misalnya berniat puasa tasu`ah kemudian merubahnya dengan niat puasa sunnah yang lain ? (Ida – Banjarmasin)

Jawab:

Kasus seperti yang ditanyakan itu tidak terdapat riwayatnya, yang ada cuma Nabi saw pernah membatalkan puasa sunnah secara tiba-tiba dan memulai puasa sunnah juga tanpa niat pada malam harinya sebagaimana riwayat Aisyah:

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ فَقُلْنَا: لَا، قَالَ: فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ: أَرِينِيهِ، فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَلَ ( رواه مسلم)

Suatu hari Rasulullah saw datang ke rumahku lalu bertanya: Apa kalian punya sesuatu (makanan) ? Kami jawab: Tidak. beliau bersabda: kalau begitu aku berpuasa. Kemudian beliau mendatangi kami (lagi) pada hari yang lain, maka kami berkata: Hai Rasulullah, telah dihadiahkan kepada kami “hais” , beliau bersabda: Tunjukkanlah ia padaku., sesungguhnya aku sudah berpuasa (sejak pagi tadi), lalu beliau makan (HSR Muslim dan Ahmad)

Riwayat di atas intinya ingin menerangkan bahwa niat dan pembatalan puasa sunnah boleh dilakukan secara tiba-tiba. Riwayat ini kita jadikan perbandingan kalau membatalkan saja boleh, maka sudah tentu merobah niat puasa yang asalnya Tasu`ah menjadi puasa sunnah yang lain lebih boleh

Kesimpulan

·           Merobah niat puasa sunnah tidak terlarang.

Minggu, 19 Agustus 2018

Wajib haji


Wajib Haji

1- Mabit di Muzdalifah artinya menginap atau bermalam di Muzdalifah pada malam 9 Dzul Hijjah atau selepas dari wukuf di Arafah. Wajib bagi orang yang melakukan haji untuk datang ke Muzdalifah pada malam Nahar dengan cara menginap atau melewati sepintas lalu.

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ واضْطَجَعَ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ وَصَلَّى الْفَجْرَ (رواه مسلم)

Dari Jabir ra, ia berkata: Rasulallah saw datang ke Muzdalifah, lalu shalat maghrib dan Isya. Kemudian beliau berbaring (istirahat tidur), ketika terbit fajar beliau shalat subuh. (HR Muslim)

2- Melontar Jumroh Aqobah

Ada tiga buah Jumroh di Mina, yaitu: Jumrah Aqobah, Jumroh Wustho dan Jumroh Ula. Yang dimaksud dengan jumrah Aqobah adalah melempar pada tanggal 10 Dzul Hijjah yang dilontar hanyalah Jumroh Aqobah. Hal ini dilakukan setelah mabit di Muzdalifah dan setelah terbit matahari.

لِمَا صَحَّ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أََتَى الجمْرةَ يَعْنِي يَوْمَ النَحْرِ فَرَمَاهَا بسَبْع حَصَيَاتٍ يكبِّرُ معَ كلِّ حَصَاةٍ منها كُلُّ حَصَاةٍ مِثْلَ حَصَى الخَذْفِ رَمَى مِنْ بَطْنِ الوَادِي ثمَّ انْصَرَفَ (رواه مسلم)

Sungguhnya Rasulallah saw tiba di Jumrah Aqobah (yaitu di hari Nahar). Maka beliau melemparnya dengan tujuh kerikil dan bertakbir setiap melempar satu kerikil yang besarnya seperti batu untuk melempar. Beliau melakukannya dari dasar lembah. Setelah itu, beliau berpaling (HR Muslim)

3- Melontar ketiga Jumroh dimulai dari Jumroh Ula, Wusthah, dan Aqobah pada hari hari tasyriq yaitu tg 11, 12, dan 13, setiap jumroh tujuh kali lemparan batu. Adapun cara melontar tiga jumroh pada hari-hari tasyriq menurut sunnah Rasulullah saw adalah sebagai berikut: Dimulai melontar Jumroh Ula tujuh kali, dan membaca takbir bersama setiap lontaran. Lalu melontar Jumroh Wustho tujuh kali, dan membaca takbir bersama setiap lontaran Lalu melontar Jumroh Aqobah tujuh kali, dan membaca takbir bersama setiap lontaran.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّهُ كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عَلَى إِثْرِ كُلِّ حَصَاةٍ ، ثُمَّ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يُسْهِلَ مُسْتَقْبِلا الْقِبْلَةَ فَيَقُومُ طَوِيلا وَيَدْعُو ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الْوُسْطَى ، ثُمَّ يَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيُسْهِلُ ، وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلا الْقِبْلَةَ ، ثُمَّ يَدْعُو وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ ، وَيَقُومُ طَوِيلا ، ثُمَّ يَرْمِي جَمْرَةَ ذَاتِ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلا يَقِفُ عِنْدَهَا ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ ، وَيَقُولُ : هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ (رواه البخاري)

Menurut hadits sesungguhnya Ibnu Umar pernah melontar Jumroh Dunia (Ula) dengan 7 kerikil sambil bertakbir setiap melempar kerikil, lalu maju ke tempat yang datar, lalu berdiri lama menghadap kiblat sambil berdoa dengan mengangkat kedua tangannya. Kemudian melontar Jumroh Wustho, lalu mengambil arah ke kiri pergi ke tempat yang datar, lalu berdiri menghadap kiblat kemudian berdoa dengan mengangkat kedua tangannya dan berdiri lama. Kemudian melontar Jumroh Aqobah dari tengah lembah dan tidak berdiri di situ kemudian menyingkir dan berkata: Begitulah saya lihat Rasulullah saw. berbuat. (HR. Bukhari).

4- Mabit di Mina atau bermalam di Mina pada malam-malam Tasyriq.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا قَالَتْ أَفَاضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ يَوْمِ النَحْرِ حِيْنَ صَلَّى الظُهْرَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مِنًى فَمَكَثَ بِهَا لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ؛ يَرْمِى الْجَمْرَةَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ (ابو داود وابن حبان)

Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bertawaf Ifadhoh di hari akhir (hari Nahar) sewaktu shalat Dhuhur, kemudian kembali ke Mina lalu tinggal di Mina pada malam hari Tasyriq, melontor Jumroh jika matahari telah tergelincir. (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ : إِنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اسْتَأْذَنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيتَ بِمَكَّةَ لَيَالِيَ مِنًى مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ ، فَأَذِنَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُ مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ (رواه مسلم) .

Dari Ibnu Umar ra, diriwayatkan sesungguhnya Abbas bin Abdul Muthallib ra memohon ijin kepada Rasulullah saw. untuk bermalam di Mekah pada malam-malam (orang menginap di Mina) karena tugas memberi minum (orang haji), lalu beliau memberinya ijin. (HR Muslim).

5- Melakukan Ihram dari miqat

Miqat artinya batasan. Miqat ada dua macam, miqat zamani (miqat waktu) dan miqat makani (miqat tempat)

Miqot zamani yaitu batasan waktu yang orang harus memulai amalan haji dan umrah.  Bagi Haji adalah pada bulan-bulan haji, yaitu Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul-Hijjah. Adapun miqot zamani Umroh adalah sepanjang tahun, tidak ada batas waktu tertentu.

Miqat makani yaitu batasan tempat yang orang harus memulai amalan Haji atau Umroh.

– Bagi orang Madinah atau orang yang datang dari arah Madinah adalah Dzul Hulaifah (suatu tempat kurang lebih 12 km arah selatan Madinah, atau kira-kira 486 km arah utara Mekah, sekarang orang menyebutnya Bir Ali).

– Bagi orang Syam atau yang datang dari arah Syam adalah Juhfah (suatu desa dekat Robigh kira-kira 204 km arah barat Mekah)

– Bagi orang Najd atau yang datang dari arah Najd adalah Qornul Manazil (suatu tempat yang orang sekarang menyebutnya As-Sail al-Kabir kira-kira 94 km arah timur Mekah.

– Bagi orang Yaman atau yang datang dari arah Yaman adalah Yalamlam (suatu tempat kira-kira 89 km arah selatan Mekah).

– Bagi orang Iraq atau yang datang dari arah Iraq adalah Dzatu Irq (satu tempat kurang lebih 94 km arah timur laut Mekah).

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَقَّتَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ : ذَا الْحُلَيْفَةِ . وَلأَهْلِ الشَّامِ: الْجُحْفَةَ . وَلأَهْلِ نَجْدٍ : قَرْنَ الْمَنَازِلِ . وَلأَهْلِ الْيَمَنِ : يَلَمْلَمَ . هُنَّ لَهُنّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ , مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَوْ الْعُمْرَةَ (رواه البخاري)

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Rasulullah saw. telah menetapkan miqot bagi penduduk Madinah Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam Juhfah, bagi penduduk Najd Qornul-Manazil dan bagi penduduk Yaman Yalamlam. Miqot-Miqot itu bagi (penduduk) negeri-negeri itu dan bagi orang yang datang melalaui negeri-negeri itu yang bukan dari penduduknya yang hendak melakukan haji dan umrah. (HR.Bukhari dan Muslim)

– Sedangkan bagi penduduk Mekah atau orang luar yang berada di Mekah, miqat hajinya adalah tempat tinggalnya di Mekkah. Jadi baginya untuk memulai

umroh ia harus keluar ke Tan’im  atau Ji’ronah.

6- Thawaf wada’ (tawaf perpisahan). Tawaf ini dikerjakan saat mau berangkat meninggalkan Mekah. la wajib dikerjakan, kecuali wanita yang sedang haid.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَُكُوْنَ آخِرُ عَهْدهِ بِالبَيْتِ (رواه مسلم)

Ada hadits yang menerangkan yang diriwatkan dari ibnu Abbas ra, Rasulallah saw bersabda: “Janganlah salah seorang diantara kalian keluar, sehingga akhir urusannya adalah (thawaf) di Baitullah. (HR Muslim)

Keterangan (Ta’liq):

Muzdalifah

Muzdalifah: terletak antara Mina dan Arafah. Batasnya dari wadi Muhassir sampai Al-Ma’zamain atau dua gunung yang saling berhadapan yang dipisahkan oleh jalan. Muzdalifah ini termasuk masy’aril haram dan tanah suci,

firman Allah  

فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنْتُمْ مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ – البقرة ﴿١٩٨﴾

 Artinya: “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”. (Qs Al-Baqarah ayat:198)

Menurut ibnu umar ra. yang dimaksud dengan Masy’aril haram dalam ayat tersebut ialah Muzdalifah seluruhnya.

Muzdalifah juga merupakan tempat mabit atau bermalam, setelah meninggalkan Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Jamaah Haji dianjurkan untuk sholat Maghrib & Isya jama’ ta’khir dengan satu Azan dan 2 kali Iqamat di Muzdalifah, lalu menuju ke Mina setelah shalat Subuh. Dianjurkan memungut batu kerikil untuk melempar Jumroh di Mina atau diperbolehkan juga memungut batu kerikil di Mina.

Mina

Mina merupakan tanah haram karena lokasinya berdekatan dengan Makkah. Jaraknya dengan Makkah kurang lebih 7 km. Mina adalah perkampungan kecil yang dihuni oleh manusia setahun sekali dengan tujuan mabit (bermalam) dalam rangka manasik haji, karena itu orang Arab menyebutnya Mina.

Mina mulai penuh didatangi oleh jamaah haji pada tanggal 8 Dzulhijah atau sehari sebelum wukuf di Arafah. Jama’ah haji tinggal disini sehari semalam sehingga dapat melakukan sholat lima waktu. Kemudian setelah sholat Subuh tanggal 9 Dzulhijah, jamaah haji berangkat ke Arafah. Kemudian Jama’ah haji datang lagi ke Mina setelah selesai melaksanakan wukuf di Arafah yaitu pagi tanggal 10 sampai dengan tanggal 13 Dzulhijah dan wajib untuk bermalam dan melempar jumroh pada hari-hari tersebut.

Adapun pergi ke Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah (hari Tarwiyyah) hukumnya sunah. Sementara itu mabit atau menginap di Mina dan melontar Jumroh pada hari-hari tasyrik merupakan wajib haji, artinya bila tidak dikerjakan maka hajinya tetap sah namun dia harus membayar denda yang disebut dalam ilmu fiqih ”Dam”.

Di Mina ada tempat melempar jumroh, yaitu Jumroh Aqabah, Jumroh Wustha dan Jumroh Ula. Tentu ketiga jamarat itu memiliki nilai sejarah yang sangat penting bagi umat islam yang berkaitan erat dengan sejarah nabi Ibrahim dan puteranya Ismail as.

Selain 3 jumroh kita temukan sebuah masjid bersejarah yang disebut masjid al-Kheif. Konon letaknya dikaki gunung tidak berjauhan dari jumrah Ula. Di sana Nabi saw pernah sholat demikian pula para Nabi sebelum beliau.

Rasulullah saw ketika haji wada’ bermalam dan sholat di Mina pada malam hari-hari Tasyriq yaitu hari 10, 11,12, 13 Dzul Hijjah, dimana didalamnya terdapat pula Hari Raya Idul Adha.

قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَحَرْتُ هَاهُنَا , وَمِنًى كُلّهَا مَنْحَر , فَانْحَرُوا فِي رِحَالِكُمْ (رواه مسلم)

Nabi saw bersabda: “Aku menyembelih korban di sini, dan seluruh Mina ialah tempat menyembelih, maka sembelihlah korban dalam perjalanan kalian”. (Shahih Muslim)

وَاذْكُرُواْ اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ

 Artinya: ”Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari (Maksudnya Nafar Awal), maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu) (Maksudnya Nafar Tsani), maka tiada dosa baginya” (Qs al-Baqarah ayat:203)

Hari raya Qurban

Idul adha hariraya qurban

Kata kurban dalam bahasa arab berarti “udlhiyah”. Udlhiyah dan dluha pada awalnya bermakna “waktu dluha” yaitu waktu antara dari pukul 7 pagi hingga pukul 11 siang. Kemudian dijadikan sebagai nama bagi sembelihan kurban yang pelaksanaannya dianjurkan pada waktu dluha, di hari ke-10,11,12 dan 13 Dzulhijjah.

Secara bahasa “udlhiyah” atau jamaknya “dlahaya” berarti hewan sembelihan, atau menyembelih binatang pada pagi hari. Jadi definisi kurban (arabnya udlhiyah) ialah binatang yang disembelih pada hari raya kurban (Idul Adha). Dalam ilmu fiqh, kurban berarti penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT. (kurban) pada hari raya haji (Idul Adha) dan atau hari Tasriq (tanggal 10,11,12 dan 13 dzulhijjah).

Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili, kurban (udlhiyah) secara bahasa ialah nama untuk suatu hewan yang disembelih, atau untuk hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha, sedangkan menurut fiqh kurban ialah menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah di dalam waktu tertentu. Muhammad al-Khatib al-Syarbani memberi definisi kurban (udlhiyah) sebagai berikut :

وَهِيَ مَا يُذ بَحُ مِنَ النَّعَمِ تَقَرُّبًا إِلى اللهِ تَعَاَلى مِنْ يَوْمِ ْالعِيْدِ إِلَى أخِرِ أيَّام التَّشْرِيْقِ

Artinya : “Kurban ialah hewan yang disembelih dari jenis hewan ternak untuk mendekatkan diri kepada Allah di hari raya Idul Adha sampai akhir hari tasyrik.“

Dan menurut Al-Jaziri kurban ialah untuk menyebutkan sesuatu hewan dari jenis hewan ternak yang disembelih atau dijadikan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. di hari raya Idul Adha baik dia sedang melaksanakan ibadah haji ataupun tidak mengerjakan.Dari definisi –definisi tersebut di atas, kurban adalah penyembelihan hewan ternak yang dilakukan pada hari raya Idul Adha dan sampai akhir hari

tasyrik (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijah) untuk mandekatkan diri kepada Allah SWT.

Dasar Hukum Kurban

Al-Qur’an maupun al-Sunnah sebagai sumber pokok hukum Islam banyak sekali menyebutkan tentang ibadah kurban, dan memerintahkan secara jelas dan tegas di antaranya :

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلنَا مَنْسَكًا لِيَذْ كُرُوا اسْمَ اللهِ عَلى مَارَزَقهُمْ مِنْ بَهِيْمَة

Artinya : “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizqikan Allah kepada mereka”. (QS. Al-Hajj : 34)

Ayat al-Qur’an tersebut menunjukan adanya anjuran supaya berkurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. yaitu dengan menyembelih binatang ternak. Ayat lain dalam surat al-Kautsar dinyatakan, sebagai berikut :

إِنَّاَ أعْطيْنَاكَ اْلكَوْثَر. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأبْتَرُ.

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah, sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” . (QS : al-Kautsar:1-3)

Surat tersebut menunjukan agar selalu beribadah kepada Allah SWT. Dan berkurban sebagai tanda bersyukur atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Sedangkan hadits Nabi SAW yang menjadi dasar hukum kurban diantaranya :

يَا يُّهَاالنَّاسُ اِنَّ عَلى كُل أهْلِ بَيْتٍ في كلِّ عَامٍ أُضْحِيَّة (رواه أبو داود)

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya atas tiap-tiap ahli rumah pada tiap-tiap tahun disunatkan berkurban”. (HR. Abu Dawud).

Hadits Nabi SAW tersebut menerangkan bahwa berkurban itu bukanlah ditentukan untuk sekali saja melainkan disunatkan tiap-tiap tahun kalau ada kesanggupan untuk berkurban. Dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda:

عَنْ َأبِي هُرَيْرَة: َأنَّ رَسُوْل اللهِ صلى الله عليه وسلم قال : مَنْ كَانَ لهُ سَعَة وَلمْ يُضَحِّ فَلا يَقْربَنَّ مُصَلَّانَا (رواه احمد وابن ماجه)

Artinya : “Dari Abi Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri tempat shalat kami” . (HR. Ahmad dan Ibn Majah)

Dalil-dalil nash tersebut di atas, menurut jumhur ulama bahwa hukum kurban ialah sunat muakad dan bukan wajib. Namun menurut Abu Hanifah hukum kurban ialah wajib, karena menurut Abu Hanifah suatu perintah

menuntut adanya kewajiban. Istilah wajib disini menurut Abu Hanifah kedudukannya sedikit lebih rendah dari pada fardlu, dan lebih tinggi dari pada sunnah, karena hukumnya wajib, maka berdosalah orang yang meninggalkannya jika ia tergolong orang yang mampu. Selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa hukum kurban ialah sunnat muakad dan tidak wajib, namun dimakruhkan bagi orang yang mampu berkurban dan tidak melaksanakan ibadah kurban.

Sejarah Disyari’atkannya Kurban

Ibadah kurban termasuk syari’at Nabi Ibrahim A.S. dan beliaulah yang mula-mula melaksanakannya. Nabi bersabda :

عَنْ زَيْدِبْنِ َأرْقمْ قال : قال َأصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَارَسُوْل اللهِ مَا هَذِهِ الأُضْحِيُّ؟ قَالَ : سُنَّة َأبِيْكمْ إِبْرَاهِيْمَ (واه ابن ماجه)

Artinya : “Dari Zaid Ibn Argam berkata : para sahabat Rasulullah SAW bersabda : ada apa dengan kurban ini ? Nabi bersabda: Sunnah bapakmu Ibrahim” . (HR. Ibn Majah)

Kita melaksanakan kurban karena meneladani sunnah Nabi Ibrahim, dan mengenang peristiwa agung yaitu penyembelihan kurban, Ibrahim mendapatkan wahyu dalam mimpi untuk menyembelih anaknya Ismail. Beliau mematuhi isi wahyu tersebut, lalu menemui putranya dan buah hatinya itu, anak yang baru dimiliki Ibrahim setelah ia lanjut usia. Ismail adalah anak yang dirindukan kelahirannya, namun setelah Allah SWT memberinya kegembiraan berupa anak, tiba-tiba datanglah wahyu agar menyembelih putranya itu. Ini merupakan ujian yang sangat berat bagi Nabi Ibrahim dan putranya.

Dalam kondisi seperti itu tiba-tiba perintah Allah SWT datang “Sembelihlah dia” Allah SWT hendak menguji hati Ibrahim, apakah dia masih setia dan tulus ikhlas kepada Allah SWT, ataukah hatinya bergantung dan sibuk dengan anaknya. Ibrahim lulus dalam menghadapi ujian ini. Ia pergi menemui anaknya, ia tidak mengambilnya dengan tiba-tiba dan tidak pula mencari kelengahannya, tetapi dikemukakan hal itu secara terang-terangan dengan menyatakan :

يبُنَيَّ إِنِّى أرى فِى المَنَامِ إِنِّىَ أذْبَحُكَ َفانْظرْ مَاَذا تَرَى (الصفات : ١٥٢)

Artinya : “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembilihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu” . (QS. Ash Shafaat : 102)

Ismail anak yang patuh dan mengerti kedudukan orang tuanya dan posisi sebagai anak, ia tidak membangkang atau tidak bimbang. Dengan penuh keimanan dan kepercayaan sebagai seorang mukmin, ia berkata :

يَأبَتِ َأْفعَل مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى إِن شَاءَ الله منَ الصَّابِرِيْنَ ( الصفات : ١٠٢)

Artinya : “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“. (QS. Ash Shafaat : 102)

Suatu jawaban yang memancarkan keimanan, tawadhu’ dan tawakal kepada Allah SWT. Dan tatkala keduanya telah berserah diri (si ayah telah menyerahkan anaknya, dan si anak telah menyerahkan lehernya) Dan Nabi Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipisnya (hendak melaksanakan perintah-Nya), tiba-tiba datanglah kabar gembira kepadanya, sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an:

فَلمَّاَ أسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنَ. وَنَادَيْنَهُ َأن يَاِ بْرَاهِيْمُ. قَدْ صَدقْتَ الرُّءْيَا إِنَّا كذلِكَ نَجْزِىْ المحْسِنِيْنَ. إِنَّ هذا َلهُوَ البَلائ المُبِيْنُ. وَفدَيْنَهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ (الصفات :١٠٧–١٠٣)

Artinya: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya), dan Kami panggil dia “hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah

membenarkan mimpi itu, sesunggguhnya Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan

seekor sembelihan yang besar” . (QS. Ash Shafaat :103-107)

Tatkala Ismail sedang dibaringkan, malaikat Jibril datang kepada Ibrahim dengan membawa seekor kibas (domba) seraya berkata : ”Sembelihlah ini sebagai ganti dari anakmu”, lalu jadilah yang demikian itu sebagai sunnah, dan kita menyembelih kurban untuk mengenang peristiwa itu. Setelah datang Nabi Muhammad SAW maka menyembelih hewan atau berkurban itu disyari’atkan pula kepada umatnya yang dilakukan pada hari raya Idul Adha dan hari –hari Tasyriq.

Syarat-syarat Kurban1. Macam-macam hewan kurban.

Ulama sepakat bahwa sesungguhnya hewan kurban itu tidak sah kecuali dari hewan ternak, yaitu : unta, sapi (termasuk kerbau), kambing (termasuk biri-biri) dan segala macamnya, baik jantan atau betina. Kurban tidak boleh dengan selain binatang ternak (bahimatul an’am) seperti sapi liar, kijang dan sebagainya.20 Berdasarkan firman Allah SWT. :

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلنَا مَنْسَكا لِيَذْكرُوا اسْمَ اللهِ عَلىَ مَارَزَقهُمْ مِنْ بَهِيْمَة الأَنْعَامِ ( الحج : ٣٤)

Artinya : “Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syari’atkan penyembilihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka“. (QS. Al-Hajj : 34)

Arti lafadz “bahimatul an’am” pada ayat tersebut adalah unta, sapi dan kambing.

Nabi dan para sahabatnya tidak pernah melakukan kurban, dengan selain hewan ternak, karena kurban adalah ibadah yang berhubungan dengan hewan, maka ini ditentukan dengan hewan ternak. Ulama sepakat

bahwa yang bisa dijadikan kurban ialah hewan ternak yang temasuk kelompok bahimatul an’am, yaitu : unta, sapi dan kambing. Namum mereka berbeda pendapat mengenai hewan mana yang lebih utama. Ulama-ulama Malikiyah berpendapat, yang lebih utama adalah kambing, kemudian sapi, kemudian unta, karena dipandang dari segi bagusnya daging, karena Nabi SAW., berkurban dengan dua kambing kibas, dan Nabi tidak melakukan kecuali yang lebih utama dahulu.

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat sebaliknya. Menurut mereka hewan kurban yang lebih utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian biri-biri , kemudian kambing kacang. Karena dipandang

dari segi banyaknya daging dan untuk maksud memberi kelapangan bagi orang-orang fakir.23 Menurut Hanafi yang lebih utama ialah, yang lebih banyak dagingnya tanpa membedakan binatang mana yang lebih utama, namun apabila kedua hewan tersebut, sama banyak dagingnya, maka yang lebih utama adalah yang lebih bagus dagingnya.

2. Sifat hewan yang dikurbankan

Binatang yang dijadikan kurban itu hendaklah binatang yang sehat, bagus, bersih dan enak dipandang mata, mempunyai anggota tubuh yang lengkap, tidak ada cacat, seperti : pincang, rusak kulit dan sebagainya,

sebagaimana yang diterangkan dalam hadits :

عَنْ بَرَاءِ بْنِ عَازِبْ قال: قَال رَسُول اللهِ صَلى عَليْهِ وَسَلَّمْ َأرْبَعٌ لاتجزئ فِى الأضَاحِي العَوْرَاءُ البَيِّن عَوْرُهَا وَاَلمرِيْضَةُ ْالبَيِّن مَرِيْضُهَا وَالعَرْجَاءُ البين طْلعُهَا وَالكسِيْرَةُ الَّتِى َلاتُنْقِى (رواه ابو داود وابن ماجه)

Artinya : “Dari Bara’ Ibn. ‘Azib berkata: Rasulullah SAW, bersabda: Empat macam binatang yang tidak boleh dijadikan binatang kurban, yaitu yang buta lagi jelas kebutaannya, yang sakit lagi jelas sakitnya, yang pincang lagi jelas kepicangannya dan binatang yang kurus kering dan tidak bersih” . (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)

Syarat hewan kurban ialah harus selamat dari cacat, yang dapat mengurangi dagingnya, maka tidak boleh berkurban dengan hewan yang kurus, majnun (stress) dan yang terpotong sebagian kupingnya, yang pincang,

yang buta, yang sakit dan yang mempunyai penyakit kulit yang jelas, dan hewan yang tidak mempunyai tanduk, dan juga hewan yang sobek dan berlubang daun telinganya. Hewan kurban ialah hewan yang dipersembahkan kepada Allah SWT.

Sebagai wujud ketakwaan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka hewan yang disembelih hendaklah hewan yang benar-benar sehat, bagus, tidak cacat, dan enak dipandang mata. Dalam hadits diterangkan bahwa Rasulullah SAW berkurban dengan dua ekor kambing yang bagus dan enak dipandang mata :

عَنْ َأنَسٍ قال : ضُحَى النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم بِكبْشَيْنِ َأقْرَنَيْنِ َذبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَ كبَّرَ (رواه البخاري ومسلم)

Artinya : ”Dari Anas berkata : “Bahwasannya Nabi SAW telah berkurban dengan dua ekor kibas yang enak dipandang mata lagi mempunyai tanduk. Beliau menyembelih sendiri dengan membaca basmalah dan mengucapkan takbir” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut menerangkan bahwa Nabi berkurban dengan dua ekor kambing kibas yang bagus dan enak dipandang mata. Hewan kurban adalah sembelihan yang dikurbankan untuk Allah SWT, maka sebaiknya memilih hewan yang gemuk dan bagus. Sebaiknya seorang muslim memberikan sesuatu yang lebih utama kepada Allah SWT, jangan sebaliknya memberikan sesuatu kepada Allah SWT yang dia sendiri tidak menyukainya.

3. Umur hewan kurban

Para ulama sepakat, bahwa kambing atau domba yang akan dijadikan hewan kurban adalah yang telah tanggal dan berganti gigi surinya atau yang lebih tua dari itu, berdasarkan hadits :

عَنْ جَابِرٍ قال: قال رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: َلاتَذبَحُوْا إِلَّامُسِنَّة اِلَّا َأن يَّعْسُرَ عَليْكمْ فَتَذْبَحُوْا جَذعَة مِنَ الضَّأْنِ (رواه الجماعة الا البخاري)

Artinya: “Dari Jabir berkata: bersabda Rasulullah SAW janganlah kamu menyembelih untuk kurban melainkan yang “musinah” (berumur dua tahun), jika kamu sukar memeperolehnya maka sembelihlah hewan yang berumur satu tahun”. ( HR. Jama’ah selain Bukhari)

Yang dimaksud dengan musinah ialah : kalau kambing ialah yang telah sempurna berumur dua tahun dan telah masuk tahun ke tiga. Dan musinah dari unta ialah yang telah sempurna berumur lima tahun dan sudah masuk tahun ke enam. Dan musinah dari sapi ialah sapi yang telah sempurna berumur dua tahun dan sudah masuk tahun ke tiga.30 Dan kambing yang telah tanggal giginya (jadzah) ialah kambing yang telah sempurna berumur satu tahun dan sudah memasuki tahun ke dua dan juga boleh dengan kambing yang giginya
tanggal sebelum sempurna umurnya satu tahun.

Rasullullah pernah membolehkan kaum muslimin berkurban dengan anak kambing, sebagaimana diterangkan dalam hadits :

عَنْ عُقْبَة بْنِ عَاِمٍر الجُهَنِىَّ قال: َقسَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْنَا ضَحَايَا فَأصَابَنِى جَذعٌ َفقُلْتُ: يَارَسُوْل اللهِ إِنَهُ أصَابَنِى جَذعٌ فَقَال ضَحَّ بِهِ (رواه البخارى ومسلم )

Artinya : ”Dari Uqbah ibn Amir al-Juhani berkata : Rasulullah SAW membagi kepada kami hewan kurban, maka saya memperoleh anak kambing, saya berkata, Ya Rasulullah saya hanya memperoleh anak kambing, Rasulullah menjawab, berkurbanlah dengan anak kambing itu“. (HR. Bukhari Muslim)

Sebenarnya berkurban dengan anak kambing di bawah umur satu tahun atau anak sapi di bawah umur dua tahun atau anak unta di bawah umur lima tahun tidak mencukupi, tetapi dibolehkan jika terpaksa karena sukar mendapatkan musinah.

4. Waktu Peyembelihan Hewan Kurban

Penyembelihan hewan kurban dilakukan pada hari-hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan hari Tasyriq, yaitu 11,12, dan 13 Dzulhijjah, berdasarkan firman Allah SWT :

لِيَشْهدُوْا مَنَافِعَ َلهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أيَّامٍ مَعْلوْمَاتٍ عَلى مَارَزَقهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ الأنْعَامِ َفكُلوْا مِنْهَا وَأطْعِمُواْ البَائِسَ ْالَفقِيْرَ (الحج : ٢٨)

Artinya : “Supaya mareka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan. Atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak maka makanlah sebagian daripadanya (dan sebagian lagi) berikan untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” . (QS. Al-Hajj. 28)

Yang dimaksud dengan hari-hari yang ditentukan (ayyam maklumat) pada ayat diatas ialah hari raya Idul Adha dan hari Tasyriq.34 Yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Hal ini dijelaskan lagi oleh hadits Nabi.

عَنْ جَبِيْرِ بْنِ مَطعَمْ قَال النبي صلى الله عليه وسلم  كلّ أيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبْحٌ (رواه احمد)

Artinya : “Dari Jubair bin Muth’im berkata. Bersabda Nabi SAW seluruh hari Tasyriq merupakan waktu penyembelihan”. (HR. Ahmad)

Disyaratkan hewan kurban untuk tidak disembelih kecuali setelah terbitnya matahari dihari raya Idul Adha, dan kira-kira telah dilaksanakan shalat Idul Adha dan sah disembelih tiga hari setelah itu baik siang atau

malam kecuali setelah habisnya hari tersebut. Dalam hadits diterangkan :

عَنْ َأنَسِ ابْنِ مَالِكِ قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ َذبَحَ َقبْل الصَّلَاة فإِنَّمَاَ ذبح لِنَفْسِهِ وَمَنْ َذبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ َفَقدْ تَمَّ نُسكهُ وَأصَابَ سُنَّةْ المُسْلِمِيْنَ (متفق عليه)

Artinya : “Dari Annas bin Malik : Nabi SAW bersabda “Barang siapa yang menyembelih (hewan kurban) sebelum sholat Idul Adha, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri dan barang

siapa yang menyembelih sesudah shalat Idul Adha, maka sesungguhnya sempurnalah ibadahnya dan mengikuti sunnah kaum muslim”. (Mutafaq ‘allaih)

Dalam hadits lain diterangkan :

عَنْ جُنْدَ بْنِ سُفْيَانِ ْالبَجَلِي قال: شَهدْتُ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَ النَّحْرِ فقال: مَنْ َذبَحَ َقبْل َأن يُصَلِّىَ فلْيُعِدْ مَكَان أخَرَ وَمَنْ َلمْ يَذبَحْ فلْيَذْبَح (رواه البخاري)

Artinya : ”Dari Jundab bin Sufyan al-Bajali, dia berkata “Aku menyaksikan Nabi SAW, pada hari kurban. Beliau bersabda “ Barang siapa yang menyembelih kurban sebelum dia melakukan sembahyang Idul Adha, maka ia hendaknya mengulang. Dan barang siapa yang belum nemyembelih hendaklah dia lakukan“. (HR. Bukhori)

Hadits tersebut menerangkan bahwa orang yang belum menyembelih hewan kurban sebelum dilaksanakan shalat Idul Adha, maka ibadah kurbannya tidak sah, dan apabila ingin sah kurbannya maka hendaknya ia

mengulang lagi.

5. Jumlah Hewan Kurban Untuk Satu Orang

Para ulama ahli fiqih sepakat bahwa seekor biri-biri atau kambing hanya untuk berkurban satu orang, dan seekor unta atau sapi boleh untuk berkurban tujuh orang. Berdasarkan keterangan hadits :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْد اللهِ أنَّهُ قال: نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَة عَنْ سَبْعَةٍ وَالبَقرَة عَنْ سَبْعَةٍ (رواه مسلم والترمذي وأبوداود)

Artinya : “Dari Jabir ibn Abdullah berkata : pada tahun perjanjian Hudaibiyah kami menyembelih kurban bersama Nabi SAW unta untuk tujuh orang dan sap juga untuk tujuh orang“. ( HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Jika penyembelihan kurban tidak menurut ketentuan-ketentuan diatas, seperti seekor kambing untuk lima orang, delapan orang, maka penyembelihan itu tidak termasuk penyembelihan ibadah kurban tetapi menurut penulis hanyalah termasuk sedekah saja, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam ibadah kurban.

6. Hukum Daging Kurban

Hukum orang berkurban boleh memakan daging kurbannya dan menyedekahkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah :

فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوْ بِهَا فَكُلوْا مِنْهَا وَأطْعِمُواْ القَانِعَ وَالمعْتَرَّ (الحج : ٣٦)

Artinya: “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang-orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta”. (QS. Al-Hajj.36)

Yang lebih utama pembagian daging kurban ialah sepertiga untuk dimakan, yang kurban, sepertiga untuk disedekahkan, dan sepertiganya untuk disimpan. Berdasarkan hadits Nabi SAW :

عَنْ عَائِشَة رَضِي الله عَنْهَا قالت دَفَّ النَّاس مِنْ َأهْلِ ْالبَادِيَة حَضْرَةُ ْالأَضْحَى فِي زَمَاِن رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم َادْخِرُوا ا لثُلث وَتَصَدَّقوْا بِمَا بَقِي (رواه ابو داود)

Artinya : ”Dari Aisyah Ra berkat : pernah manusia penduduk desa berduyunduyun untuk menghadiri kurban di masa Rasulullah SAW. Maka bersabda Rasulullah SAW “simpanlah sepertiga daging itu, dan sedekahkahnlah yang lainnya” (HR. Abu Daud).

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi pembagian daging kurban yang lebih utama ialah menjadi tiga bagian, yakni : sepertiga untuk dimakan oleh yang berkurban beserta keluarganya, sepertiga untuk tetangga sekitarnya (lebih-lebih jika mereka tergolong orang-orang yang berekonomi lemah atau tidak mampu berkurban), dan sepertiga untuk fakir miskin. Seandainya yang bersangkutan (pengurban) menyedekahkan seluruh daging kurbannya, tentu hal itu lebih utama dan lebih baik lagi, dengan syarat ia harus mengambil berkah, seperti makan hatinya atau lainnya. Hal itu sebagai bukti bahwa ia telah memakan sebagian dari dagingnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW, dan para sahabatnya.

Dalam hadits diterangkan bahwa Rasulullah SAW, pernah melarang pengurban menyimpan daging kurban beberapa hari, sebab terbukti bahwa pada waktu itu banyak orang yang patut ditolong, layak diberi daging kurban, yakni mereka yang termasuk dalam golongan fakir dan miskin. Pada waktu itu Rasulullah SAW, menyuruh mereka agar berkurban untuk mengutamakan menyedekahkan kurbannya, dan mereka yang berkurban hanya diberi izin mengambil daging kurbannya kira-kira cukup untuk keperluan tiga hari saja.

Kemudian pada tahun yang lalu itu masih tetap berlaku atau tidak, Rasulullah SAW pun menerangkan bahwa peraturan tersebut ditetapkan karena pada tahun berikutnya keadaan telah pulih kembali, tidak banyak yang memerlukan bantuan. Oleh karena itu Rasulullah SAW memberikan izin untuk turut memakannya.

Seperti diterangkan dalam hadits :

عَنْ سَلمَة بنِ الأَكْوَعِ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ ضَحَّى مِنْكمْ َفلا يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثالَثةِ وَفِيْ بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْ ٌ َفَلمَّاكَان العَامُ المُقْبِلُ قاُلوْا : يَارَسُوْل اللهِ نَفْعَلُ كمَا فَعَلْنَا العَامَ الْمَاض قال: كُلوْا وَأطعِمُوْا وَأدَّخِرُوْا َفأِنَّ َذلِكَ ْالعَامَ كَان بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأرَدْتُ أن تُعِيْنُوْا فِيْهَا (متفق عليه)

Artinya : ”Dari Salamah Ibn al-Akwa’ berkata : Nabi SAW bersabda barang siapa diantara kamu sekalian berkurban maka janganlah. Menyimpan sesuatu pun (dari daging kurban) setelah tiga hari. Kemudian pada tahun berikutnya para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah apakah kami melakukan seperti tahun lalu? Rasulullah bersabda ”makanlah (dari kurban mu), dan berilah orang-orang, dan simpanlah, sesungguhnya pada tahun yang lalu itu orang-orang mendapat kesusahan, maka aku ingin kamu menolong mereka”. (Muttafaq ‘Alah)

Orang yang berkurban tidak boleh mengambil sebagian dari kurbannya untuk dijual maupun dijadikan upah jagal atau si penyembelih. Bila si penjagal ingin ikut menikmati daging kurban, kita dapat memberinya melalui

undangan makan yang sajiannya daging kurban. Jika dia fakir miskin, dia berhak diberi daging kurban agar dia dan keluarganya turut bergembira. Yang membantu menyembelih kurban dan yang turut mengerjakannya tidak boleh diberi upah dari kurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah dari yang berkurban.

Seperti diterangkan dalam hadits :

عن علي قال : أمَرَنِي رسو ل الله صلى الله عليه وسلم أن َأقُوْمَ عَلى بدْنِهِ وَأنْ َأتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُوْدِهَا وَاجِلَتِهَا وَأنْ لَاأُعْطِي الْجَزَّارَ مِنْهَا قَال: “نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا ” (متفق عليه)

Artinya : ”Dari sahabat Ali RA. Berkata : Rasulullah SAW menyuruhku untuk menangani unta kurban dan membagikan kulit dan penutup tubuhnya (kain yang dipakaikan pada hewan kurban), serta melarangku memberikan kepada si penjagal sesuatu dari padanya. Beliau berkata “kita memberi dia upah dari kita sendiri”. (HR. Muttafaq ’alaih)

Bila yang mengerjakan orang miskin, maka ia diberi daging kurban, bukan karena ia bekerja, melainkan karena kemiskinannya. Yang berkurban, selain berkurban juga mesti memberi ongkos-ongkos yang diperlukan untuk menyelesaikannya serta mengurusnya.

والله اعلم بالصواب

Hikmah Qurban

SUNGGUH selalu ada hikmah di setiap perintah yang Allah Subhanahu Wata’ala serukan kepada kita umatnya, meskipun jika dipandang berat menjalaninya. Begitulah perintah berqurban yang didasari kepada kisah sepasang ayah dan anak nan sholeh, nabiyullah Ibrahim dan putranya Ismail alaihi sallam.

Pada hakekatnya berqurban adalah wajib bagi yang mampu. Ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.

أخبرنا الحسن بن يعقوب بن يوسف العدل ، ثنا يحيى بن أبي طالب ، ثنا زيد بن الحباب ، عن عبد الله بن عياش القتباني ، عن الأعرج ، عن أبي هريرة رضي الله عنه ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من وجد سعة لأن يضحي فلم يضح ، فلا يحضر مصلانا »

“Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda : Siapa yang memperoleh kelapangan untuk berkurban, dan dia tidak mau berkurban, maka janganlah hadir dilapangan kami (untuk shalat Ied).” [HR Ahmad, Daru qutni, Baihaqi dan al Hakim]

1. Qurban Pintu Mendekatkan Diri Kepada Allah

Sungguh ibadah qurban adalah salah satu pintu terbaik dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagaimana halnya ibadah shalat. Ia juga menjadi media taqwa seorang hamba. Sebagaimana firman Allah surat Al-Maidah ayat 27, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa”.

Berqurban juga menjadi bukti ketaqwaan seorang hamba.

Allah Subhanahu wata’ala telah berfirman:

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS:Al Hajj:37)

2. Sebagai sikap Kepatuhan dan Ketaaan pada Allah

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” [QS: Al Hajj : 34]

3.Sebagai Saksi Amal di Hadapan dari Allah

Ibadah qurban mendapatkan ganjaran yang berlipat dari Allah SWT, dalam sebuah hadits disebutkan, “Pada setiap lembar bulunya itu kita memperoleh satu kabaikan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Juga kelak pada hari akhir nanti, hewan yang kita qurbankan akan menjadi saksi.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ ابْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنِي أَبُو الْمُثَنَّى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidak ada amalan yang dikerjakan anak Adam ketika hari (raya) kurban yang lebih dicintai oleh Allah Azza Wa Jalla dari mengalirkan darah, sesungguhnya pada hari kiamat ia akan datang dgn tanduk-tanduknya, kuku-kukunya & bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah tersebut akan sampai kepada Allah Azza Wa Jalla sebelum jatuh ke tanah, maka perbaguslah jiwa kalian dengannya.” [HR. ibnumajah No.3117].

4. Membedakan dengan Orang Kafir

Sejatinya qurban (penyembelihan hewan ternak) tidak saja dilakukan oleh umat Islam setiap hari raya adha tiba, tetapi juga oleh umat lainnya. Sebagai contoh, pada zaman dahulu orang-orang Jahiliyah juga melakukan qurban. Hanya saja yang menyembelih hewan qurban untuk dijadikan sebagai sesembahan kepada selain Allah.

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (qurbanku), hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” [QS: al-An’am : 162-163]

5. Ajaran Nabiullah Ibrahim AS

Berkurban juga menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim – ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَلَفٍ الْعَسْقَلَانِيُّ حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا سَلَّامُ بْنُ مِسْكِينٍ حَدَّثَنَا عَائِذُ اللَّهِ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنْ الصُّوفِ حَسَنَةٌ

“Berkata kepada kami Muhammad bin Khalaf Al ‘Asqalani, berkata kepada kami Adam bin Abi Iyas, berkata kepada kami Sullam bin Miskin, berkata kepada kami ‘Aidzullah, dari Abu Daud, dari Zaid bin Arqam, dia berkata: berkata para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, hewan qurban apa ini?” Beliau bersabda: “Ini adalah sunah bapak kalian, Ibrahim.” Mereka berkata: “Lalu pada hewan tersebut, kami dapat apa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Pada setiap bulu ada satu kebaikan.” Mereka berkata: “Bagaimana dengan shuf (bulu domba)?” Beliau bersabda: “Pada setiap bulu shuf ada satu kebaikan.” [HR. Riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya No. 3127]

6. Berdimensi Sosial Ekonomi

Ibadah qurban juga memiliki sisi positif pada aspek sosial. Sebagaimana diketahui distribusi daging qurban mencakup seluruh kaum muslimin, dari kalangan manapun ia, fakir miskin hingga mampu sekalipun.

Sehingga hal ini akan memupuk rasa solidaritas umat. Jika mungkin bagi si fakir dan miskin, makan daging adalah suatu yang sangat jarang. Tapi pada saat hari raya Idul Adha, semua akan merasakan konsumsi makanan yang sama.

Hadits dari Ali bin Abu Thalib,

وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: { أَمَرَنِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ أَقْوَمَ عَلَى بُدْنِهِ, وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلالَهَا عَلَى الْمَسَاكِينِ, وَلا أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئاً } مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

”Rasulullah memerintahkan kepadaku untuk mengurusi hewan kurbannya, membagi-bagikan dagingnya, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi sesuatu apapun dari hewan kurban (sebagai upah) kepada penyembelihnya.”

Wallahu ‘alam bisshawab