NASIB DAN NASAB
Kebanyakan dari kita sering menempatkan Tuhan hanya pada saat keadaan kritis atau ketika kita berduka. Misal, ketika menemui kegagalan atau kesusahan dalam mencapai sesuatu. Saat pekerjaan kita yang menghasilkan rupiah pas-pasan saja dan mungkin mendekati kekurangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kita menggumam “Ya Allah, kok nasibku ngenes tho?”. Sapaan ke Tuhan sering kali berbentuk renungan atas nasib.
Kita sering berandai-andai ketika merenungi nasib yang berujung dengan menyalahkan Tuhan. “Mengapa nasibku jadi orang miskin ya Tuhan? Seandainya aku jadi orang kayakan aku bisa naik haji tiap tahun. Kita tidak berkaca pada apa saja yang telah kita lakukan selama ini sehingga kita mengalami nasib seperti itu. Padahal untuk apa nasib kita renungi?
Membandingkan adalah awal dari sebuah keluhan, tidak jadi masalah kalau kemudian membuat kita termotivasi untuk melakukan perubahan. Menjadi lebih rumit ketika keluhan malah membuat kita apriori kepada Tuhan.
“Yang perlu direnungi adalah perkembangan kerja kerasmu, ketekunan atau kemalasanmu, ketangguhan atau kerapuhan mentalmu, ketenangan atau kegalauan hatimu, pengolahan kecerdasan atau pembodohan akal pikiranmu.
Yang perlu direnungi adalah naik turunnya kesabaranmu selama menunggu waktu di bumi sebelum dipindahkan ke tempat yang lain. Keteguhan jiwamu menjalani jarak dari awal hingga akhir tugasmu yang ini, supaya kualitas penugasan atasmu meningkat pada era berikutnya sesudah kepastian yang untuk sementara disebut kematian.
Yang perlu direnungi bukan keputusan Tuhan. Yang harus direnungi untuk diperbaiki adalah keputusan-keputusanmu sendiri. Atas keputusan Tuhan, jelas masalahnya: ikhlas menerima, kemarin, hari ini atau besok.”
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri. Jadi masihkah kita akan terus meratapi nasib yang kita terima atau merenungi proses apa sajakah yang telah kita lakukan sehingga kita mendapatkan hasil seperti ini? Kalau ternyata usaha kita melakukan perubahan nasib tidak kunjung berhasil, apa ada kemungkinan bahwa anak-cucu kita lah yang akan menikmatinya? Bukankah anak-cucu kita adalah kita juga, Episode selanjutnya dari kita?
*****
Nasib dan Nasab Bila perhatikan
Bila diperhatikan, sebenarnya, keduanya mempunyai kesamaan kalau mau dipaksa-paksakan.
nasib itu garis hidup sedang nasab adalah garis keturunan.
Tidak sampai di sana, nasib konon bisa diketahui untuk rentang waktu tertentu, entah itu 1 jam, 1 minggu, bahkan dalam hitungan bulan. Pernah mendengar pernyataan seperti ini dari para ahli, "...nasib perusahaan itu akan gulung tikar dalam hitungan bulan," nah itu! Apakah ini ramalan? Bukan! Inilah apa yang disebut analisa. Ramalan, itu hanya kata yang dipakai paranormal buat mengibuli si dungu. Padahal kalau dicermati kata si paranormal, itu semua hanya analisa semata. Namun, jauh dari itu sejatinya akal dan kehebatan analisa seseorang tak mampu menjangkau 'cara main' dari nasib, bahkan untuk 1 jam kemudian sekali pun.
Kemudian nasab, bermanfaat sekali sekiranya seorang dari sebuah klan keluarga mengetahui muasal garis keturunannya sejauh-jauhnya. Namun, sukar memang untuk mengetahui sampai 7 keturunan muasal dari sebuah garis keturunan. Kecuali jika terdokumentasi dengan baik. Saya sendiri baru tahu muasal nasab hanya sampai ayah-ibunya kakek-nenek saya. Setahu saya bangsa yang baik dalam mendalami ilmu nasab adalah bangsa Arab. Nabi Muhammad bahkan diketahui nasabnya sampai nabi Ibrahim, meski ini masih diperdebatkan kalangan ulama. Yang umum, moyang Nabi Muhammad diketahui sampai Adnan, moyangnya yang ke-20.
Nasib dan nasab sama-sama memiliki dimensi waktu yang sama, waktu lampau (past time), sekarang (present) dan yang akan datang (future). Waktu lampau nasib, yakni apa yang sudah diperbuat. Waktu sekarangnya, apa yang sedang kita alami. Dan waktu akan datangnya, yakni apa yang belum kita alami. Sedang nasab, Past time-nya adalah moyang kita, present time-nya, adalah kita sendiri, dan future-nya adalah anak cucu kita kelak. Dahsyat, ternyata runtutan akan nasib-nasab memang ada kesamaan!
Lalu bagaimana?
Pengetahuan tentang nasab membantu manusia untuk punya posisi yang tepat dalam mengambil keputusan hidup. Secara biologis, orangtua menurunkan nasab kepada anak-anaknya. Dari mereka sifat-sifat dan keahlian juga ada kemungkinan diwariskan ke generasi berikutnya. Nenek moyang kita memberi perhatian lebih atas pertimbangan bibit-bebet-bobot. Hal ini karena mereka menginginkan kebaikan nilai-nilai terjaga sepanjang keturunannya nanti di masa depan. Ibarat menanam padi, harus tahu bibit yang bagus, ladang yang subur, dan perlakuan khusus semasa tandur agar menghasilkan tanaman terbaik.
isyarat dari firman Allah
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوا العلم درجات
"ALLAH mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu"
ان اكرمكم عند الله اتقاكم
"kemulyaan itu berdasarkan ketaqwaan"
انَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"nasib kaum itu bedasarkan bagaimana ia merubahnya".
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah dan dalam kondisi merdeka. Bahwa Manusia itu sama-sama memiliki peluang untuk bernasib baik atau bernasib buruk dan hal tersebut ditentukan oleh amal perbuatan. Manusia bebas untuk memilih, dan ia bertanggungjawab atas pilihannya tersebut. Dan akhirnya, tentunya kita tidak boleh membanggakan diri karena berasal dari garis keturunan ningrat priyayi, sebaliknya, kita juga tidak boleh rendah diri karena berasal dari keluarga yang kurang beruntung.
Sebagai manusia, kita seharusnya bersikap wajar dengan latar belakang yang kita miliki, sembari terus berupaya untuk melakukan yang terbaik.
Sayyidina Ali RA, Sahabat Rosululloh pernah mengatakan yang kurang lebih sebagai berikut:
ليس الفتى من يقول كان أبي. ولكن الفتى من يقول ها أنا ذا.
(seorang pemuda bukanlah ia yang mengatakan "inilah ayahku", tapi ia adalah yang berkata "inilah aku")
Kemudian sangat dianjurkan untuk menghayati apa yang tertulis dalam Al Qur'an:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." – (QS.13:11)
***
Rabb, saya benar-benar ingin nasib dan nasab saya selalu baik dan baik
***
Dari saya yang fakir dan banyak dosa, dan yang sangat mendambakan nasib-nasab yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.