Minggu, 27 Februari 2022

Alam 4 yg dilewati salik


bulan Rajab tentu hal utama adalah kejadian Isra' Mi'raj Rasulullah Muhammad Saw.
menjelajahi 4 Alam

Tingkatan alam

Para ulama Allah yang kasyaf mengabarkan bahwa secara garis besar alam terdiri dari

alam nasut (alam mulk / alam jasad)
alam malakut (alam mitsal)
alam jabarut (alam ruh)
alam lahut

Alam lahut adalah alam derajat/tingkatan/maqom nya di atas Alam Jabarut

Alam Jabarut, adalah alam yang “paling dekat” dengan aspek-aspek Ketuhanan, penghuni alam Jabarut adalah ‘sesuatu yang bukan Allah dalam aspek Ahadiyyah’, melainkan derivasi (turunan) dari aspek Ahadiyyah yang tertinggi selain apa pun yang ada. Misal penghuni alam ini adalah Nafakh Ruh (Tiupan Ruh Allah) yang mampu manghidupkan jasad, Ruh Al-Quds.

Alam Malakut adalah suatu alam yang tingkat kedekatan dengan aspek Allahnya lebih rendah dari Alam Jabarut, namun masih lebih tinggi dari Alam Mulk.

Baik Alam Jabarut maupun Alam Malakut, keduanya adalah realitas/wujud yang tidak dapat ditangkap oleh indera jasadiah kita.

Indera jasad biasanya hanya bisa menangkap sesuatu yang terukur secara jasad, sedang Alam Jabarut dan Alam Malakut memiliki ukuran melampui ukuran jasad.
Misal penghuni Alam Malakut adalah malaikat, An-nafs (jiwa).

Alam Mulk, adalah alam yang tingkat kedekatannya dengan aspek Allah adalah yang paling rendah. Dalam wujudnya terbagi menjadi 2, yang tertangkap oleh indera jasad dan yang gaib (dalam arti tidak tertangkap/terukur) bagi indera jasad.

Jadi karena keterbatasan indera jasad kita, ada wujud yang sebetulnya bukan penghuni alam-alam yang lebih tinggi dari alam mulk, tetapi juga tidak tertangkap kemampuan indera jasad.

Yang terukur oleh indera jasad contohnya tubuh/jasad manusia, jasad hewan, jasad tumbuhan.

Sedangkan penghuni alam mulk yang tidak terukur oleh indera jasad contohnya adalah jin dengan segala kehidupannya. Jin dengan segala kehidupannya bisa dimengerti oleh indera-indera malakuti (indera-indera an-nafs/jiwa)

Para ulama menyebut alam fisik ini sebagai alam nasut (alam mulk), alam yang bisa kita lihat dan kita raba, Kita dapat menggunakan pancaindera kita untuk mencerapnya.

Sementara itu, an nafs (jiwa) kita hidup di alam ghaib (metafisik), tidak terikat dalam ruang dan waktu. Para ulama menyebut alam ini alam malakut.

Jiwa (an nafs) kita, karena berada di alam malakut, tidak dapat dilihat oleh mata lahir kita. Jiwa (an nafs) adalah bagian batiniah dari diri kita. Ia hanya dapat dilihat oleh mata batin (ain bashirah).

Jadi manusia terdiri dari ruh di alam jabarut, jiwa (an nafs) di alam malakut dan jasad di alam mulk

Jiwa (an nafs) juga memliki bentuk seperti jasad. Jiwa (an nafs) akan tumbuh dengan memakan cahaya ruh (amr Allah), sabda-sabda Allah, perintah-perintah Allah.

Bentuk ruh atau bentuk jiwa (an nafs) yang terbentuk bagi manusia yang sempurna atau muslim yang berakhlakul karimah adalah serupa dengan bentuk jasadnya yang terbaik, mereka yang sudah dapat mengalahkan nafsu hewani atau nafsu syaitan.

Imam Malik ra berkata: “Ruh manusia yang sholeh itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya.”

Ada sebagian di antara manusia yang dapat melihat bentuk ruh atau bentuk jiwa (an nafs) dirinya atau orang lain. Mereka dapat menengok ke alam malakut. Kemampuan itu diperoleh karena mereka sudah melatih mata batinya dengan riyadhah kerohanian atau karena anugrah Allah Ta’ala (al-mawahib al-rabbaniyyah).

Para Nabi, para wali Allah (shiddiqin), dan orang-orang sholeh seringkali mendapat kesempatan melihat ke alam malakut itu

*****


Tatkala Nabi Isra' alias perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha Nabi Muhammad bertemu dengan mahluk Allah dari tiga kategori.

Pertama, adalah Arwah Mujarradah, yaitu arwah haqiqiyah alias arwah yang masih berbentuk arwah belum menyatu pada penciptaan sebuah jasad sebagai tempat.

Dalam hal ini Nabi Muhammad bertemu dengan arwah Imam Ghozali yang saat itu jarak dengan kelahirannya masih terbilang kurang 451 tahun lagi.
atas permintaan Nabi Musa As yang ingin berjumpa dengan salah satu ulama dari Nabi Muhammad dimasa yang akan datang.

lalu bertemu dengan Syekh Abdul Qadir Al Jailani yang saat itu jarak dengan kelahirannya masih terbilang kurang 471 tahun lagi. رجل لسانه رطبا بذكر الله وقلبه معلق بالمسجد وبر بوالديه

Bukan hanya arwah Syekh Abdul Qadir saja, Rasulullah juga menjumpai arwah Uwais Al Qarani yang akan lahir dimasa Umar Bin Khattab.

Kedua adalah arwah mutasorrifah yaitu arwah yg masih tinggal dalam raga belum berpisah dengan jasadnya seperti ruh nabi isa nabi idris bilal binrabah, ghumaisah / Rumaisah binti milhan ibunda anas bin malik

ketiga arwah mufariqah yaitu arwah yang telah berpisah dari raganya seperti arwah para nabi yang yang di jumpai Nabi SAW.

*****


والحاصل : إنّ السالك إذا أخذ فى سيره إلى مولاه ، وجدّ فى سيره ، وتأدّب مع الرقيق فى مسراه قطع العوالم حتّى يتشرف بالوصول إلى تلك العوالم : 
(Dan hasilnya) bahwasanya seorang salik itu apabila mengambil pada perjalanan kepada Tuhannya dan bersungguh-sungguh ia pada perjalanannya dan beradab beserta Syaikhnya pada zahir bathinnya, diputuskan segala ‘awaalim hingga hampir dengan sampai kepada maksudnya daripada segala ‘awaalim itu.

فأوّل عالم  يُقَطِّعهُ عالم الملك وهو ما يدرك بالبصر من الأجسام وغيرها وهو عالم النفس ،
Maka pertama yang diputuskan ‘Alam Mulk dan yaitu yang didapat akan dia dengan mata kepala, daripada segala ajsam dan lainnya, maka dinamakan dia ‘alam an-Nafs.
ثمّ عالم  الملكوت وهو ما يدرك بالبصيرة وهو عالم القلب
Kemudian maka ‘alam malakut dan yaitu barang yang dapat akan dia dengan mata hati dan dinamakan dia ‘alam al-Qalb.
ثمّ عالم  الجبروت وهو عالم الروح
Kemudian maka ‘alam jabaruut dan yaitu dinamakan ‘alam arwah.
ثمّ عالم  اللاهوت وهو عالم السر وعنده يذهب الإسم والرسم ، ولايشهد هناك إلا الأحد وهذا غاية الفناء ، ومنه يرجع العارف إلى البقاء ويصير مرشدا ومقتدى ،
Kemudian maka alam lahuut dan dinamakan ‘alam as-Sir dan padanya hilang nama dan segala musamma dan tiada dilihat disana melainkan Tuhan Yang Waahidul Ahad. Dan inilah sehingga-hingga fana` dan daripadanya kembali orang yang ‘arif itu kepada baqa`nya, dan jadi ia mursyid, yakni yang menunjukkan muridin dan menjadi panutan
 seperti kata syair:
ولتخلع النعلين خلع محقق – وخلا عن الكونين في مسراه
ولتفن حتى عن فنائك إنه – عين البقاء فعند ذاك تراه

Dan tanggalkan olehmu dua sandal kamu yakni ilmu dan ‘amal itu sebagai tanggal yang sebenar-benarnya,
Dan sucikan di dalam hatimu daripada dua kaun [yakni] dunia dan akhirat

Dan fana`kan olehmu hingga daripada fana`mu, bahwasanya ialah dinamakan maqam baqa`
Maka ketika itu engkau akan melihat Dia

Dan katanya lagi:
أني يغيب وليس يوجد غيره لكن شديد ظهوره اخفاه

Betapa hilang dan tiada ada dapat akan yang lainnya tetapi sangat nyataNya itu jadi tersembunyi

Selasa, 22 Februari 2022

khutbah Rajab 2022



KHUTBAH RAJAB

اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ دينِ الاسلامْ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه ذو الفضلِ والانعام ، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ حبيب الرحمن وسيد الاكوان والحاضر مع من صلى عليه فى كل زمان ومكان وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ ذوى العرفان ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ
Ma’asyirol muslimin, Rahima kumulloh
Marilah kita senantiasa bertaqwa kepada Allah swt dengan sebenar-benar taqwa, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjahui larangan-larangan-Nya.
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
 Alhamdulillah, pada bulan ini kita masih berada di bulan mulia, yaitu bulan Rajab 1443 H. Perlu kita syukuri karena Rajab termasuk bulan yang mulia. Kata Rajab berasal dari kata “tarjib” yang bermakna agung dan mulia. Allah SWT memberikan keistimewaan terhadap Rajab di antara bulan-bulan lain yang juga menyandang predikat mulia, yaitu Muharram, Dzulhijjah, Dzulqa’dah, dan Rajab. Bulan Rajab adalah bulan yang penuh rahmat, anugerah, dan kebaikan dari Allah SWT.
 Menurut Syekh Abdul Qodir Al Jailani dalam kitab al-Ghuniyah, Rajab terdiri dari tiga huruf, yaitu Ra’, Jim, dan Ba’. Ra’ adalah Rahmatullâh (rahmat Allah), Jim adalah Jûdullâh (kemudahan Allah), dan Ba’ adalah Birrullâh (kebaikan Allah). Maksudnya, mulai awal hingga akhir bulan Rajab, Allah SWT melimpahkan tiga anugerah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu limpahan rahmat, kemudahan, dan kebaikan dari Allah SWT. Ini menunjukkan kemuliaan dan keagungan dari bulan Rajab. 
 Kemuliaan bulan Rajab semakin bertambah dengan peristiwa monumental  isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad SAW dari Masjidil haram  Makkah menuju masjidil Aqsho Palestina. Kemudian dilanjutkan dari masjidil Aqsha menuju Sidratil Muntaha untuk menghadap Allah SWT sang pencipta Alam semesta. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Isra’ ayat 1:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
 Artinya: Maha-Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Aqsho yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. 

 Peristiwa tersebut juga mendapat penjelasan dalam Shahih Bukhari,  juz 5 halaman 52. Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Allah SWT.  Allah SWT memerintahkan Nabi untuk melaksanakan shalat fardlu sebanyak lima puluh rakaat setiap hari. Nabi menerima dan kemudian kembali pulang, dalam perjalanan, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Musa AS, Nabi Musa mengingatkan bahwa umat Nabi Muhammad tidak akan mampu dengan perintah shalat lima puluh kali sehari, . Kemudian Nabi menghadap kepada Allah berkali kali dan akhirnya Allah menguranginya hingga mewajibkan shalat lima waktu. Nabi Muhammad kembali pada Nabi Musa, Nabi musa tetap mengatakan bahwa umatmu tidak akan kuat, Nabi Muhammad menjawab, saya malu untuk kembali menghadap pada Allah SWT. 
Peristiwa isra’ dan mi’raj yang terjadi di bulan Rajab semakin menambah terhadap kemuliaan bulan ini, lalu amalan apa yang perlu dilakukan dalam bulan Rajab yang mulia ini?
 
Pertama adalah melakukan puasa sunnah di bulan Rajab. Terkait kesunahan puasa di bulan Rajab ini terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahih Muslim juz 2 halaman 811:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ: " كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ "
Artinya: “Utsman bin Hakim berkata: saya bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab, ketika itu kami berada di bulan Rajab. Sa’id menjawab: saya mendengar Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW berpuasa (berturut-turut) hingga kami menduga beliau berpuasa, dan beliau tidak berpuasa (berturut-turut) hingga kami menduga beliau tidak puasa.” 
 Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim juz 8 halaman 38, hadits di atas tidak menunjukkan larangan khusus atau kesunahan khusus puasa di bulan Rajab. Karena itu, kesunahan puasa di bulan Rajab melihat terhadap dua aspek, pertama  hukum asal puasa hukumnya adalah sunnah.  Kedua, perintah Nabi yang menganjurkan puasa di bulan-bulan mulia, bulan Rajab adalah salah satunya. 
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
 Kedua, selalu menjalankan kewajiban shalat lima waktu tepat pada waktunya.  jika Nabi melakukan isra’ dan mi’raj dengan ruh dan jasadnya sebagai mu’jizat, maka sebuah keharusan bagi tiap Muslim menghadap (mi’roj) kepada Allah SWT lima kali sehari dengan jiwa dan hati yang khusyu’. Dengan shalat yang khusyu’, seseorang akan merasa diawasi oleh Allah SWT, sehingga ia malu untuk menuruti syahwat dan hawa nafsu, malu untuk berkata kotor, malu untuk mencaci orang lain, malu untuk berbuat bohong, dan sebaliknya lebih senang dan mudah untuk melakukan banyak kebaikan.  Hal tersebut demi untuk mengagungkan keesaan Allah, kebesaran Allah, sehingga dapat menjadi makhluk Allah yang terbaik di muka bumi ini.
   Ketiga, Rajab adalah bulan yang tepat untuk bertobat dari segala maksiat. “Putihkanlah lembaran hitammu di bulan Rajab, dengan amal baik yang menyelamatkanmu dari api yang melalap.” 
 Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab al-Ghuniyah menjelaskan ada tiga syarat agar tobat kita diterima oleh Allah SWT. Pertama, menyesali kesalahan dan kemaksiatan yang telah kita perbuat. Kedua, meninggalkan setiap kesalahan di mana pun dan kapan pun. Ketiga, berjanji untuk tidak mengulang dosa dan kesalahan. Ketiga syarat tersebut harus kita laksanakan agar tobat kita benar-benar diterima oleh Allah SWT.
 


Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
 
Wahai hamba Allah, raihlah (kebaikan) bulan Rajab dan kembalilah ke jalan Allah, Ampunan Allah akan diberikan pada hamba yang bertobat.  Di bulan ini pintu-pintu ampunan Allah telah terbuka, segeralah bertobat dan menyambutnya.
 
Syekh Dzunnun Al-Mishri sebagaimana dikutip Syekh Abdul Qadir dalam kitab al-Ghuniyah juz 1 halaman 326 mengatakan, Rajab adalah bulan untuk meninggalkan kejelekan, Sya’ban adalah bulan untuk menambah ketaatan, Ramadhan adalah bulan untuk menjemput kemuliaan. Seseorang yang tidak meninggalkan kejelekan, tidak melaksanakan ketaatan, tidak menjemput kemuliaan, maka ia adalah pengikut setan.  Na‘ûdzu billâhi min dzâlik.
 
Selain itu, Rajab adalah bulan bercocok tanam, Sya’ban bulan untuk menyiram, dan Ramadhan adalah bulan panen hasil bertanam. Setiap orang akan menuai apa yang ia tanam, setiap orang akan menuai perbuatannya. Siapa pun yang tidak menghiraukan tanamannya, ia akan menyesal di hari pembalasan.
 
Di Bulan Rajab ini, semoga kita menjadi hamba yang terhindar dari segala kejelekan dan kemaksiatan, selalu beruntung dengan melakukan banyak ladang amal ibadah, mendapatkan pahala amal ibadah yang berlipat dan selalu mendapatkan ridha dari Allah SWT.  Aamiin ya rabbal ‘alamiin.  

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
 
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

 (وقل رب اغفر وارحم وانت خير الراحمين)


Jumat, 18 Februari 2022

TASHAWWUR DAN TASHDIQ

TASHAWWUR DAN TASHDIQ

Lembaran pertama buku-buku mantik klasik biasanya menyuguhkan pembahasan mengenai dua jenis pengetahuan, yakni tashawwur dan tashdiq. Apa itu tashawwur? Dan apa itu tashdiq? Tulisan ini akan membahas dua istilah tersebut beserta contoh-contoh dan pembagian-pembagiannya.

Pengertian Tashawwur (Concept)

Dari sudut kebahasaan, kata tashawwur adalah bentuk mashdar dari kata kerja tashawwara-yatashawwaru, yang berarti membayangkan, atau menggambarkan. Dengan akar kata yang sama terangkailah kata shûrah, yang berarti gambar.

Dengan demikian, secara bahasa, tashawwur dapat diartikan sebagai bayangan atau gambaran. Adapun secara istilah, tashawwur itu ialah pengetahuan atau gambaran kita terhadap sesuatu yang tidak disertai penghukuman apapun terhadap sesuatu tersebut (idrâk al-Sya’i ma’a ‘adam al-Hukmi ‘alaihi).

Contohnya seperti pengetahuan kita terhadap buku, pulpen, kertas, kelas, masjid, rumah, hotel, dan sebagainya. Pengetahuan kita terhadap lafaz-lafaz tunggal itu, dalam bahasa ilmu mantik, dinamai tashawwur. Singkatnya, tashawwur itu ialah pengetahuan “telanjang” kita terhadap sesuatu.

Ada orang yang mengucapkan kata "buku", misalnya. Kemudian terbayanglah dalam benak Anda bentuk buku, seperti yang sering kita lihat. Tanpa menyertakan atribut seperti buku itu bagus, buku itu mahal, dan sebagainya. Nah, bayangan kita terhadap sesuatu yang tak disertai penghukuman itu, sekali lagi, namanya tashawwur.

Namun, penting untuk diketahui sejak awal bahwa contoh tersebut hanya salah satu jenis tashawwur, bukan satu-satunya. Tidak selamanya tashawwur itu dihasilkan melalui lafaz-lafaz yang berbentuk tunggal. Bisa jadi suatu kalimat itu tersusun (murakkab), tapi dia masih tergolong tashawwur.

Contohnya seperti: "Laptop Vero", "Baju Nabila", "Rumah Nurma", "Mobil Radit", "Nayla putri Nuruddin", dan sejenisnya. Meskipun ia terangkai dari dua kata, tapi karena tidak adanya unsur penghukuman yang pasti, maka ia tetap dinamai tashawwur. Biasanya, dalam bahasa Arab, kalimat-kalimat seperti di atas itu disebut dengan istilah murakkab idhafiy.

Atau bisa jadi juga lafaznya tersusun, disertakan atribut, tapi karena tidak adanya unsur penghukuman, maka ia tetap digolongkan kedalam tashawwur. Contohnya seperti: "hewan yang berpikir", "hewan yang meringkik", "cowok ganteng", "cewek cantik", “ustad jomblo” dan sebagainya.

Sekalipun tersusun, ia tetap dinamai tashawwur, karena di sana tidak ada unsur penghukuman. Dalam bahasa Arab, biasanya contoh kalimat kedua ini disebut dengan murakkab taushifiy, karena di samping tersusun, di sana juga ada penyertaan atribut atau sifat.  

Begitu juga halnya dengan kalimat yang berisikan perintah dan larangan. Sekalipun tersusun, ia masuk kedalam kategori tashawwur. Mengapa? Karena di sana tidak ada unsur penghukuman.

Misalnya, pacar Anda menggombal. “Sayang, please, jangan tinggalkan aku.” Atau, “Cinta, biarkan aku hidup selamanya di sampingmu.” Atau Anda berandai-andai: “Oh Tuhan, andaikan aku menjadi kekasihnya.” Semua ini masih tergolong tashawwur.

Mengapa? Karena, sekali lagi, tidak ada unsur penghukuman. Dengan kata lain, kalimat-kalimat tersebut tak bisa diuji benar atau salahnya. Dalam bahasa Arab, contoh kalimat seperti ini biasanya disebut dengan istilah murakkab insyai.

Bisa jadi juga kalimatnya sudah sempurna, ada objek, ada atribut, dan ada unsur penghukuman, tapi kita meragukan kebenarannya. Misalnya ada orang berkata: Mirza Ghulam Ahmad itu adalah seorang Nabi.

Meskipun kalimat tersebut sudah sempurna, ada subjek dan atribut, tapi kalau kita menyangsikan kebenarannya, maka itu juga masih tergolong tashawwur (gambaran), belum sampai pada tingkat tashdiq (pembenaran).

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tashawwur itu ialah pengetahuan kita terhadap sesuatu yang hanya sebatas gambaran, sementara tashdiq itu ialah pembenaran kita terhadap suatu proposisi, baik secara afirmatif maupun negatif.

Dua Macam Tashawwur 

Selanjutnya, tashawwur ini kemudian dibagi menjadi dua. Ada yang disebut dengan tashawwur dharuriy (apodictic), lalu ada yang disebut tashawwur nazhariyy (speculative).

Apa bedanya? Bedanya hanya satu, yang pertama tidak memerlukan penalaran (la yahtâju ilâ al-Nazhr), sedangkan yang kedua membutuhkan penalaran (yahtaju ila al-Nazhr).

Contoh tashawwur yang pertama, bayangan Anda terhadap pacar Anda. Ketika Anda terhanyut dalam kerinduan, lalu tiba-tiba ada seseorang yang menyebut nama pacar Anda, apa perlu Anda mikir berjam-jam untuk membayangkan wajah pacar Anda itu? Tentu tidak, bukan?

Contoh lain, bayangan Anda terhadap rasa lapar, dingin, panas dan sejenisnya. Perlukah Anda repot-repot pergi ke perpustakaan sambil mikir dalam-dalam untuk membayangkan rasa lapar ketika Anda ditimpa lapar? Tentu saja tidak.

Nah, gambaran kita terhadap sesuatu yang tidak membutuhkan penalaran itu namanya tashawwur dharuriy, atau badihiy.

Kebalikannnya adalah tashawwur jenis kedua, yakni tashawwur nazhariy. Jika yang pertama tak membutuhkan penalaran, maka yang kedua membutuhkan perenungan. Misalnya seperti gambaran kita tentang malaikat, jin, ruh, akal, dan hal-hal metafisik lainnya.

Ketika ada orang yang menyebut kata malaikat, misalnya, biasanya kita berspekulasi macam-macam. Kita membayangkan malaikat itu punya sayap, terbang ke langit, berwarna putih, menyertai orang-orang saleh, dan sebagainya.

Begitu juga ketika ada orang yang menyebut kata jin. Kita membayangkan jin itu adalah makhluk yang menyeramkan, memiliki tanduk, wajahnya seperti tengkorak, tubuhnya terangkai dari tulang belulang, punya ekor, dan lain-lain. Padahal, jinnya sendiri belum tentu sesuai dengan yang kita bayangkan itu.

Kesimpulannya, gambaran kita terhadap sesuatu yang membutuhkan penalaran itu namanya tashawwur nazhariyy. Sedangkan yang tidak membutuhkan penalaran disebut dengan tashawwur dharuriy, atau tashawwur badihiy.

Pengertian Tashdiq (Assentment)

Sama halnya dengan kata tashawwur, kata tashdiq adalah bentuk mashdar, dari kata kerja shaddaqa-yushaddiqu, yang berarti membenarkan. Tashdiq secara kebahasaan bisa diartikan sebagai pembenaran, atau persetujuan.

Pengertian singkatnya, kalau tashawwur itu hanya sekedar gambaran, maka tashdiq itu ialah tashawwur yang disertai hukum, baik secara negatif (al-Nafy) maupun secara afirmatif (al-Itsbat). Dalam tashdiq ini ada empat unsur yang harus kita ketahui, yaitu:

  • Maudhu/Mahkum ‘alaih (subjek)
  • Mahmul/Mahkum bih (atribut/predikat)
  • Al-Nisbah al-Hukmiyyah (keterkaitan antara atribut dan subjek)
  • Al-Hukm (penghukuman)

Kita ambil contoh yang sederhana.

Kalimat: Islam itu Indah.

Dari struktur kalimat di atas, kita melihat ada kata Islam, sebagai subjek, kemudian ada kata indah, sebagai atribut. 

Nah, ketika ada orang yang berkata kepada Anda: Islam itu Indah, tentu Anda belum bisa mengamini benar tidaknya pernyataan tersebut kecuali setelah mengetahui dan membayangkan keempat unsur di atas, yakni kata Islam, kemudian kata Indah, lalu keterkaitan antara Islam dan Indah, dan terakhir ialah berlaku-tidaknya keindahan untuk ajaran Islam.

Kalau Anda membenarkan pernyataan di atas, dalam arti mengakui keindahan Islam, baik secara pasti (al-Jazm) maupun hanya sekedar sangkaan (zhann), bukan rasa ragu (al-Syakk), maka itu namanya tashdiq (pembenaran).

Jadi, intinya, tashdiq itu ialah pengetahuan kita terhadap sesuatu yang disertai penghukuman baik secara negatif ataupun secara afirmatif (idrak al-Syai ma’a al-Hukmi ‘alaihi bi al-Nafy aw al-Itsbat).

Atau, seperti yang saya singgung di atas, tashdiq itu ialah pembenaran dan penerimaan kita terhadap suatu propisi (qadhiyyah) baik secara yakin dan pasti (al-Jazm wa al-Yaqin), maupun hanya sekedar sangkaan (al-Zhann).

Dua Macam Tashdiq

Sama halnya seperti tashawwur yang terbelah kedalam dua bagian, pembagian yang sama juga berlaku untuk tashdiq. Ada yang disebut tashdiq dharuriy, juga ada yang disebut tashdiq nazhariy.

Yang pertama bersifat apodiktik, yang kedua bersifat spekulatif. Yang kedua membutuhkan penalaran, sedangkan yang pertama tidak memerlukan pemikiran.

Contoh tashdiq yang dharuriy atau badihiy: Dua hal yang bertentangan itu tidak akan pernah berkumpul. Matahari itu terbit di sebalah Timur. Angka satu adalah setengah dari angka dua. Satu tambah satu itu sama dengan dua. Langit itu ada di atas. Dan contoh-contoh lainnya.

Contoh tashdiq yang nazhariy: Muhammad Saw itu adalah utusan Allah. Alam ini diciptakan dari ketiadaan. Allah Swt itu Maha Kekal. Indonesia itu adalah negara maju. Bumi ini datar (bagi orang-orang yang mengimaninya). Dan contoh-contoh lainnya.

Kesimpulannya, tashawwur adalah penggambaran kita terhadap sesuatu yang tidak disertai penghukuman. Sementara tashdiq adalah tashawwur yang disertai penghukuman.

Masing-masing dari keduanya terbagi kedalam dua bagian, yaitu dharuriy dan nazhariyDharuriy artinya yang tidak memerlukan penalaran, sementara nazhariy berarti sebaliknya.

Konsep Tashdiq Menurut al-Razi

Di atas telah penulis kemukakan bahwa tashdiq itu terdiri dari empat unsur, yakni maudhu’mahmulal-Nisbah al-hukmiyyah dan al-Hukm. Menurut Fakr al-Din al-Razi (w. 606 H), keempat unsur tersebut merupakan bagian (syathr) yang tak terpisahkan dari tashdiq.

Artinya, jika salah satu dari keempat unsur itu hilang, maka suatu frase tidak bisa menghasilkan tashdiq. Sama halnya seperti salat yang tak dipenuhi salah satu rukunnya.

Salat yang tak memenuhi salah satu rukun jelas tidak sah. Karena masing-masing dari rukun salat itu merupakan satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Begitu juga halnya dengan tashdiq yang tak memenuhi keempat unsur di atas.

Konsep tashdiq menurut al-Razi ini berbeda dengan konsep tashdiq yang dipahami oleh al-Hukama (para filsuf). Kelompok kedua ini memiliki konsep yang simpel (basith). Bagi mereka, tashdiq itu ialah hukum, yakni unsur keempat dari empat unsur sudah penulis sebutkan tadi.

Jika kita merujuk pada contoh kalimat di atas, maka tashdiq dalam kalimat tersebut ialah pemastian atau pembenaran kita bahwa Islam itu Indah. Sementara tiga unsur lainnya, yakni maudhu’, mahmulal-Nisbah al-Hukmiyyah, itu hanya sebagai syarat saja.

Artinya, kalau salah satu unsur dari yang tiga itu hilang, maka, dalam mazhab kedua ini, ia masih mungkin menghasilkan tashdiq, tapi tidak sempurna alias cacat (fâsid).

Sama halnya seperti salat yang tak memenuhi syarat. Wudhu itu termasuk salah satu syarat sahnya salat. Jika Anda salat tanpa berwudhu, maka salat Anda tidak sah.

Tapi, apakah salat yang Anda lakukan itu bukan salat? Itu tetap salat. Tapi bukan salat yang sah. Begitu juga halnya dengan konsep tashdiq menurut al-Hukama ini. Jika salah satu syaratnya tak terpenuhi, bisa saja ia dikatakan sebagai tashdiq, tapi tashdiq-nya tidak sempurna.

Kesimpulannya, al-Razi berpandangan bahwa keempat unsur di atas adalah rukun atau bagian yang tak terpisahkan dari tashdiq. Sementara para filsuf memandang bahwa tashdiq itu hanya yang nomer empat, tiga sisanya hanya sebagai syarat.

Kendati demikian, baik al-Razi maupun para filsuf sepakat bahwa tashdiq yang sempurna itu harus memenuhi keempat unsur tadi, yaitu maudhu, mahmul, al-Nisbah al-Hukmiyyah, dan al-Hukm

Tashawwur dan tashdiq ini termasuk dua konsep kunci yang akan mengantarkan kita pada dua poros pembahasan utama dalam ilmu mantik klasik, yakni ta’rif (definisi) dan qiyas (silogisme). Dua konsep kunci ini akan disusul dengan konsep-konsep lain yang insya Allah akan diulas pada bagian mendatang. Sekian. 

Sabtu, 12 Februari 2022

Hukum Sholat jumat di pabrik atau kantor

Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh. 
Apakah sah shalat Jum’at yang diadakan di gedung perkantoran <>dimana jama’ahnya adalah para pekerja yang bukan mukimin di wilayah seputaran tempat dilaksanakan shalat Jumat?” 

Shalat Jum’at merupakan salah satu ibadah yang telah ditetapkan kewajibannya oleh Allah swt kepada hamba-hamba-Nya yang beriman melalui sebuah firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Jumu’ah ayat 9. 

Kewajiban tersebut kemudian dijabarkan oleh Rasulullah saw tertuju kepada selain para budak, kaum perempuan, anak-anak yang belum baligh, orang yang sedang sakit dan dipandang sebagai uzur, serta orang yang sedang dalam bepergian dengan jarak yang telah memenuhi radius rukhshah (boleh tidak jum’atan). 

Setelah melakukan analisa yang cukup mendalam mengenai dalil-dalil yang terkait dengan shalat Jum’at baik dari Al-Qur’an maupun hadist, mayoritas ulama’ Syafii’yyah berpandangan bahwa termasuk syarat sah pelaksanaan khutbah Jum’at berikut shalatnya harus diikuti oleh minimal 40 orang ahli Jum’at (muslim, bukan budak, telah baligh dan dinyatakan sebagai penduduk tetap untuk satu daerah setempat yang mengadakan shalat Jum’at/mustauthin). 

Saudara penanya yang kami hormati. Permasalahan yang anda sampaikan ini sebenarnya pernah dibahas dalam musyawarah nasional alim ulama pada tahun 1997 di Lombok dengan keputusan bahwa Shalat Jum’at tanpa mustauthin dan muqimin atau dengan mustauthin dan muqimin, tetapi tidak memenuhi syarat, hukumnya tafshil atau dirinci sebagai berikut: 

1. Tidak sah, menurut mayoritas ulama Syafi’iyyah. Sementara Imam Syafi’i sendiri dalam qaul qadim yang dikuatkan oleh al-Muzanni memandang sah bila jumlah jama’ah itu diikuti mustauthin minimal 4 orang. 

2. Imam Abu Hanifah mengesahkan secara mutlak. Adapun rujukan yang digunakan antara lain:  
Risalah Bulugh al-Umniyah fi Fatawa al-Nawazil al-‘Ashriyah karya Muhammad Ali al-Maliki:
 بَلْ قَالَ شَيْخُنَا فِيْ تَقْرِيْرِهِ عَلَى إِعَانَتِهِ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلَيْنِ قَدِيْمَيْنِ فِيْ الْعَدَدِ أَيْضًا أَحَدُهُمَا أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ. حَكَاهُ عَنْهُ صَاحِبُ التَّلْخِيْصِ وَحَكَاهُ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ 
Artinya: Bahkan guruku, al-Bakri bin Muhammad Syaththa, dalam catatan atas kitab I’anah at-Thalibinnya berkata: “Sungguh Imam Syafi’i punya dua qaul qadim tentang jumlah jamaah shalat Jum’at pula. Salah satunya adalah minimal empat orang. Pendapat ini dikutip oleh pengarang kitab al-Talkhish dan dihikayatkan al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab. 
Dalam Al-Muhadzdzab yang disusun oleh Abu Ishaq al-Syairazi:
  مِنْ شَرْطِ الْعَدَدِ أَنْ يَكُوْنُوْا رِجَالاً أَحْرَارًا مُقِيْمِيْنَ بِالْمَوْضِعِ فَأَمَّا النِّسَاءُ وَالْعَبِيْدُ وَالْمُسَافِرُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ الْجُمْعَةُ لِأَنَّهُ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمْعَةُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ كَالصِّبْيَانِ وَهَلْ تَنْعَقِدُ بِمُقِيْمِيْنَ غَيْرَ مُسْتَوْطِنِيْنَ فِيْهِ وَجْهَانِ قَالَ أَبُوْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ لِأَنَّهُ تَلْزَمُهُمْ الْجُمْعَةُ فَانْعَقَدَتْ بِهِمْ كَالْمُسْتَوْطِنِيْنَ  
Artinya: Di antara syarat jumlah jamaah tersebut adalah, mereka terdiri dari laki-laki, merdeka dan menetap di suatu tempat. Adapun perempuan, budak dan musafir, maka shalat Jum’at tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, karena mereka tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at sehingga shalat itu pun tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, sama seperti anak-anak. Apakah shalat Jum’at itu sah dengan jamaah terdiri dari para muqimin (penduduk) yang tidak menetap. Dalam hal itu terdapat dua wajh; Abu Ali bin Abi Hurairah berpendapat: “Shalat Jum’at dengan mereka itu sah karena mereka berkewajiban shalat Jum’at, sehingga shalat itu menjadi sah, sama seperti para penduduk tetap.” 

Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Zuhaili: 
وَأَقَلُّهُمْ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٍ فِي اْلأَصَحِّ ثَلاَثَةُ رِجَالٍ سِوَى اْلاِمَامِ، وَلَوْ كَانُوْا مُسَافِرِيْنَ أَوْ مَرْضَى لِأَنَّ أَقَلَّ الْجَمْعِ الصَّحِيْحِ إِنَّمَا هُوَ الثَّلاَثُ  
Artinya: Dan jumlah minimal jamaah Jum’at menurut Abu Hanifah dan Muhammad dalam pendapat al-Ashah adalah tiga orang selain imam, walaupun mereka itu musafir dan orang sakit, karena minimal jumlah jamak yang sahih itu adalah tiga. 

Dari uraian ini ada beberapa pilihan bagi kita dalam menghadapi permasalahan ini: 

Pertama, mengikuti pendapat mayoritas ulama syafi’iyah yang menganggap jum’atan tersebut tidak sah dengan konsekuensi karyawan kantor mencari kampung terdekat yang menyelenggarakan shalat Jum’at oleh penduduk setempat. 

Kedua, mengikuti pendapat qaul qadim imam Syafi’i dengan konsekuensi harus ada atau kalau perlu mendatangkan minimal 4 orang penduduk di sekitar kantor untuk ikut shalat Jum’at di perkantoran. 

Ketiga, mengikuti pendapat imam Hanafi dengan konsekuensi mengetahui tata cara yang terkait dengan pelaksanaan shalat Jum’at mulai dari tata cara wudhu sampai dengan shalatnya berikut syarat,rukun dan hal-hal yang membatalkannya menurut madzhab Hanafi. Mudah-mudahan jawaban ini dapat membuka cakrawala kita mengenai keberagaman dalam menjalankan perintah agama. 
Amin.
Wallahu a’lam. 


Jumat, 11 Februari 2022

Talqin Mayyit NU arab

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ، وَهُوَ حَيٌّ دَائِمٌ لَا يَمُوْتُ، بِيَدِهِ الخَيْرُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ المَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُوْرَكُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ، وَمَا الحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الغُرُوْرِ،

يَا عَبْدَ اللهِ، ابْنَ عَبْدَيِ اللهِ (يَا أَمَةَ اللهِ، بِنْتَ عَبْدَيِ اللهِ)... 
يَا عَبْدَ اللهِ، ابْنَ حَوَاء (يَا أَمَةَ اللهِ، بِنْتَ حَوَاء)...

 اذْكُرِ (اذْكُرِي) العَهْدَ الَّذِيْ خَرَجْتَ (خَرَجْتِ) عَلَيْهِ مِنْ دَارِ الدُّنْيَا، وَهُوَ شَهَادَةُ أَنْ لَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَّ المَوْتَ حَقٌّ، وَأَنَّ القَبْرَ حَقٌّ، وَأَنَّ نَعِيْمَهُ حَقٌّ، وَأَنَّ عَذَابَهُ حَقٌّ، وَأَنَّ سُؤَالَ مُنْكَرٍ وَنَكِيْرٍ فِيْهِ حَقٌّ، وَأَنَّ البَعْثَ حَقٌّ، وَأَنَّ الحِسَابَ حَقٌّ، وَأَنَّ المِيْزَانَ حَقٌّ، وَأَنَّ الصِّرَاطَ حَقٌّ، وَأَنَّ شَفَاعَةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ، وَأَنَّ الجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، وَأَنَّ لِقَاءَ اللهِ تَعَالَى لِأَهْلِ الحَقِّ حَقٌّ، وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيْهَا، وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي القُبُوْرِ،

الآنَ قَدْ صِرْتَ (صِرْتِ) فِي أَطْبَاقِ الثَّرَى وَبَيْنَ عَسَاكِرِ المَوْتَى، فَإِذَا جَاءَكَ (جَاءَكِ) المَلَكَانِ المُوَكَّلَانِ بِكَ (بِكِ)، وَهُمَا مُنْكَرٌ وَنَكِيْرٌ فَلَا يُفْزِعَاكَ (يُفْزِعَاكِ) وَلَا يُرْهِبَاكَ (يُرْهِبَاكِ)، فَإِنَّهُمَا خَلْقٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى عَزَّ وَجَلَّ، وَإِذَا سَأَلَاكَ (سَأَلَاكِ) "مَنْ رَبُّكَ (رَبُّكِ) ومَنْ نَبِيُّكَ (نَبِيُّكِ) وَمَا دِيْنُكَ (دِيْنُكِ) وَمَا قِبْلَتُكَ (قِبْلَتُكِ) وَمَا إِمَامُكَ (إِمَامُكِ) وَمَنْ إِخْوَانُكَ (إِخْوَانُكِ)" فَقُلْ (فَقُوْلِيْ) لَهُمَا بِلِسَانٍ فَصِيْحٍ وَاعْتِقَادٍ صَحِيْحٍ "اللهُ رَبِّي ومُحَمَّدٌ نَبِيِّى وَالإِسْلَامُ دِيْنِي وَالكَعْبَةُ قِبْلَتِي وَالقُرْآنُ إِمَامِي وَالمُسْلِمُوْنَ وَالمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَانِي،" وَقُلْ (وَقُوْلِيْ) "رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا" عَلَى ذَلِكَ حُيِّيْتَ (حُيِّيْتِ) وَعَلَى ذَلِكَ مِتَّ (مِتِّ) وَبِذَلِكَ تُبْعَثُ (تُبْعَثِيْنَ) إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ الآمِنِيْنَ 
 (3 x) ثَبَّتَكَ اللهُ بِالقَوْلِ الثَّابِتِ (ثَبَّتَكِ اللهُ بِالقَوْلِ الثَّابِتِ) يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِالقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ، 
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ المُطْمَئِنَّةُ، ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً، فَادْخُلِى فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي
 
Kemudian Tahlil singkat

Kamis, 10 Februari 2022

Ilmu Mantiq/Logika bagian dari filoshofi

Ilmu mantiq atau logika merupakan ilmu yang lahir di Yunani namun akhirnya dipelajari oleh para ulama sehingga menghasilkan karya-karya yang luar biasa seperti, an-Najah fi Hikmah al-Mantiqiyyah wa at-Tabi’iyyah wa al-Ilahiyyah karya Ibnu Sina (W: 427 H), Shaun al-Mantiq wa al-Kalam ‘an Fan al-Mantiq wa al-Kalam karya as-Suyuti (W: 911 H), al-Mufakkirun al-Muslimun fi Muwajahati al-Mantiq al-Yunani karya at-Tabatabai dan masih banyak yang lainya mulai dari yang paling klasik sampai yang kontemporer.

Akan tetapi di samping lahirnya beberapa karya tadi, para ulama masih berselisih mengenai hukum mempelajarinya. Sebagaimana yang diutarakan oleh al-Akhdori (W: 983 H) bahwa Imam Nawawi dan Ibnu Sholah(W: 643 H) mengharamkan untuk mempelajari ilmu mantiq. al-Hafid az-Zahabi (W: 748 H) mengatakan:

وَالْمَنْطِقُ نَفْعُهُ قَلِيْلٌ  وَضَرَرُهُ وَبِيْلٌ وَمَا هُوَ مِنْ عُلُوْمِ الاِسْلَامِ

Manfaaat mantiq sedikit, kemudaratannya jelas membahayakan dan itu tidak termasuk ilmu-ilmu Islam [Zughl al-Ilmi, hal: 43]

Jalaluddin as-Suyuti(W: 911 H) juga ikut mengomentari:

فَنُّ الْمَنْطِقِ فَنٌّ خَبِيْثٌ مَذْمُوْمٌ يَحْرُمُ الاِشْتِغَالُ بِهِ

Ilmu mantiq adalah ilmu yang jelek atau kotor yang tercela sekaligus diharamkan untuk dipelajari[ al-Hawi lil Fatawa, jus: 1, hal: 244.

Adapula yang mengungkapkan:

لَايَحْتَاجُ إِلَيْهِ الذَّكِيْ وَلَايَنْتَفِعُ بِهِ الْبَلِيْدُ

Orang yang cedas tidak membutuhkannya dan orang bodoh tidak bisa mengambil manfaat darinya[ar-Raddu ‘ala al-Mantiqiyyin, hal:3]

Diantara ulama yang sangat menyukai dan mengapresiasi keberadaan ilmu ini ialah Ibnu Hazm (W: 456 H)¸ Imam al-Haramain (W: 478), dan Imam al-Ghazali (W: 505 H). Al-Ghazali memposisikan logika sebagai mukadimah dalam mempelajari ilmu Ushul fikih tepatnya pada karya beliau yang berjudul Al-Mustashfa. Bahkan menurutnya mantiq/logika adalah mukadimah bagi seluruh ilmu artinya mantiq harus dipelajari terlebih dahulu sebelum menyelami ilmu yang lain. Ulama yang dijuluki Hujjahtul Islam ini juga menyatakan:

مَنْ لَا يُحِيْطُ بِهَا فَلَا ثِقَةَ لَهُ بِعُلُوْمِهِ أَصْلاً

orang yang tidak mengusai mantiq maka kredibelitas keilmuanya perlu dipetanyakan.[Al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul, hal: 10].

Selain itu, Dr. Ya’qub bin Abdul Wahhab memaparkarkan 3 fungsi utama ilmu mantiq atau logika dalam kitabnya Turuq al-Istidlal wa Muqaddimatuha Inda al-Manatiqah wa al-Ushuliyyin, hal: 12. 

Pertama; meletakkan kaedah-kaedah umum untuk cara kerja fikiran. 

Kedua; menjelaskan  atau menanpakkan beberapa faktor dan konteks-konteks yang membuat tergelincir atau keliru dalam berfikir. 

Ketiga; membuat prinsip-prinsip dasar yang dapat menghatarkan kepada pengetahuan yang benar.

Imam al-Akhdori (W: 983 H) dan Ibnu as-Subki (W: 771 H) mencoba mengompromikan 2 mazhab di atas. Menurut as-Subki mempelajari ilmu mantiq hukumnya haram bagi orang-orang yang belum memahami betul tentang prinsip dan kaedah syariat. Sedangkan bagi orang yang sudah mahir atau paham betul tentu diperbolehkan apalagi bila ada kasus-kasus fikih yang baru dimana untuk memahaminya diperlukan menjamah ilmu logika atau ada oknum-oknum yang berusaha merusak agama Islam dengan pendekatan logika tentu kita harus siap untuk membela dan membantahnya.[Mu’id an-Ni’ami wa Mubid an-Niqami, hal: 64]

*****

ARTI DAN SEJARAH SINGKAT
  1. Logika berasal dari bahasa Latin, Logos yang berarti perkataan atau akal. Istilah Arabnya adalah Mantiq.
  2. Logika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang benar dan yang salah
  3. Mantiq adalah ilmu yang menggerakkan pikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh kebenaran.
  4. Sebagai ilmu, Logika lahir atas jasa Aristoteles, sebagai perintisnya adalah Kaum Sofis, Socrates dan Plato.
  5. Karya-karya Aristoteles tentang Logika ini adalah: Organon, Categoriae, De Interpretiae, Analitica Priora, Topika dan De Sophisticis Elenchis.
RESPON ULAMA TERHADAP LOGIKA
  1. Ibn Shalah dan Imam Nawawi menghukumi haram belajar Logika
  2. Al-Ghazali menganjurkan dan menganggap baik
  3. Jumhur ulama’ membolehkan bagi orang yang cukup akal dan kokoh imannya
  4. Pada abad XIII—XV muncul Logika Modern yang dipelopori oleh: Petrus Hisoanus, Roger Bacon, Roymyndus Lullus dan Wilhelm Ocham, yang berbeda tajam dengan Logika Arsistoteles
  5. Penemuan baru pada abad XVII dan XVIII ketika Frnacis Bacon mengembangkan metode induktif (empirisme)
  6. Tokoh-tokoh yang mengembangkan Logika Modern adalah: George Boole, Bertand Russell dan G. Frege.
PEMBAGIAN LOGIKA
  1. Dilihat dari aspek kualitas, Logika dapat diklasifikasikan dalam dua macam: logika Naturalis (al-Mantiq al-Ftri) dan logika ilmiah (al-Mantiq as-Shuri).
  2. Logika Naturalis ialah kecakapan logika berdasar kemampuan akal bawaan.
  3. Kemampuan logika setiap orang berbeda sesuai dengan tingkat pengetahuannya.
  4. Logika ilmiah adalah memperhalus, mempertajam dan mengarahkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien dan mudah.
  5. Dilihat dari aspek metode, Logika dapat dibedaklan menjadi dua macam: Logika tradisional dan logika modern.
  6. Logika tradisional adalah logika Aristoteles.
  7. Logika Modern tumbuh dan dimuali pada abad XIII
  8. Jika dilihat dari objeknya, logika dibagi menjadi: logika formal (al-Mantiq As-Shuwari) dan Logika Material (al-Maantiq al-Maddi).
  9.    Metode berpikir  dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu berpikir deduktif dan induktif.
  10. Berpikir deduktif dipergunakan dalam logika formal, yang mempelajari dasar-dasar dengan mempergunakan hukum-hukum dan rumus-rumus berpikir yang benar.
  11. Berpkir induktif dipergunakan dalam logika material yang mempelajari dasar-dasar pemikiran rasional dengan kenyataan empirik.
  12. Logika Formal disebut juga dengan Logika Minor
  13. Logika Meterial disebut juga dengan Logika Mayor.
Apakah kebenaran itu?
  1. Ada 3 macam kebenaran: kebenaran agama, kebenaran filsafat dan kebenaran ilmu.
  2. Kebenaran agama bersifat absolut berdasarkan keyakinan, kebenaran filsafat bersifat apriori (rasional-spikulatif), kebenaran ilmu bersifat a posteriori (rasional-empirik), logiko-hipotetiko-verifikatif. Keduanya bersifat relatif.
  3. Kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan.
  4. Tidak ada pertentangan dalam dirinya. Contoh: Ia adalah orang jujur yang suka menipu.
  5. Cara mendapatkan kebenaran melalui 2 metode: Induksi dan deduksi.
  6. Induksi adalah menarik kesimpulan dari yang khusus ke umum.
Contoh: Besi dipanaskan memuai, emas dipanaskan memauai, timah dipanaskan memuai, platina dipanaskan memuai Jadi, semua logam jika dipanaskan memuai.
  1. Metode induksi adalah menarik kesimpulan dari yang umum ke khusus. Contoh:
Semua logam jika dipanaskan memuai Besi adalah logam Maka besi jika dipanaskan memauai. Dst. Sillogisme Aristoteles: Semua manusia pasti mati (premis minor) Ali adalah manusia (premis mayor) Maka Ali akan mati (Konklusi).



Selasa, 01 Februari 2022

fiqih: sof wanita sejajar dg Sof lelaki


Sebagaimana yang umum tercantum dalam literatur fiqih, konsep penataan shaf yang dianjurkan dalam shalat berjamaah adalah berurutan mulai dari laki-laki dewasa, anak kecil, dan shaf terakhir ditempati oleh perempuan. Sehingga, ketika ketentuan penataan shaf dengan formasi demikian dilanggar, maka dihukumi makruh yang akan berpengaruh dalam hal hilangnya fadilah jamaah dari ritual shalat berjamaah yang dilakukan. 

 Penjelasan tentang perempuan menempati posisi shaf paling belakang berdasarkan hadits: 
خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها (رواه مسلم) ـ 
“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal.” (HR. Muslim) 

Maksud dari redaksi “shaf yang paling buruk” dalam hadits di atas adalah bahwa menempati shaf tersebut mendapatkan pahala yang paling sedikit dan dianggap menjauhi anjuran syara’. 

 Namun hal yang layak untuk cermati lebih dalam, apakah makna dari hadits di atas adalah umum dan meyeluruh pada seluruh shaf yang berlaku dalam shalat berjamaah? Atau hanya bermakna khusus, karena ada illat (penyebab atau alasan dasar) tertentu yang mendasari wanita dianjurkan berada di shaf paling belakang? Mengingat realitas yang sering terlaku di masyarakat, posisi shaf wanita berada di bagian kanan atau kiri jamaah laki-laki yang menempati ruang berbeda atau dipisah dengan satir (penghalang) antara jamaah wanita dan jamaah laki-laki,sehingga para jamaah wanita ini sejajar dengan shaf jamaah laki-laki dalam shalat berjamaah. 

 Setelah ditelaah secara mendalam, ternyata hal yang mendasari penempatan shaf wanita berada di akhir adalah dikarenakan konteks penempatan shalat berjamaah dalam hadits di atas yaitu ketika antara laki-laki dan wanita berada di satu tempat yang sama (ikhtilath). Sehingga ketika wanita berada di shaf awal, secara otomatis mereka bersanding dengan jamaah laki-laki dan hal ini jelas dianggap tidak pantas. Oleh sebab itu, wanita dianjurkan untuk menjauh dari jamaah laki-laki dengan menempati shaf yang paling belakang agar dapat terhindar dari fitnah serta larangan percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan. Sehingga ketika wanita dalam shalat berjamaahnya berada di ruangan tersendiri atau dipisah dengan penghalang yang mencegah pandangan jamaah laki-laki dari jamaah wanita, maka dalam keadaan demikian, posisi shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf yang paling awal, sebab illat (alasan yang mendasari sebuah hukum) kesunnahan menempati shaf paling belakang bagi wanita yang berupa menghindari fitnah dan percampuran dengan laki-laki dalam satu tempat, dalam keadaan ini illat tersebut sudah tidak wujud, sehingga hukum yang dihasilkan menjadi berbeda. Ketentuan demikian seperti yang dijelaskan dalam kitab Tafsir Ruh al-Bayan: 

خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها قال في فتح القريب هذا ليس على عمومه بل محمول على ما إذا اختلطن بالرجال فإذا صلين متميزات لا مع الرجال فهن كالرجال ومن صلى منهن في جانب بعيد عن الرجال فأول صفوفهن خير لزوال العلة والمراد بشر الصفوف في الرجال والنساء كونها أقل ثواباً وفضلاً وأبعدها عن مطلوب الشرع وخيرها بعكسه 

“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal. Dalam kitab Fath al-Qarib dijelaskan bahwa hadits ini tidaklah bermakna seperti halnya keumumannya akan tetapi diarahkan ketika wanita berkumpul bersama dengan laki-laki (dalam shalat berjamaah). Ketika para wanita shalat secara terpisah, tidak bersama dengan laki-laki, maka dalam hal ini mereka seperti laki-laki (dalam hal shaf yang paling utama adalah shaf yang di depan). Wanita yang shalat di tempat yang jauh dari jangkauan jamaah laki-laki maka awal shaf bagi wanita tersebut adalah shaf yang paling baik, dikarenakan hilangnya illah (alasan yang mendasari sebuah hukum). maksud dari “seburuk-buruknya shaf bagi laki-laki dan wanita” bahwa menempati shaf tersebut mendapatkan pahala yang paling sedikit dan dianggap menjauhi anjuran syara’, sedangkan hal yang paling baik adalah kebalikannya.” (Syekh Isma’il Haqi bin Mushtafa al-Hanafi, Tafsir Ruh al-Bayan, juz 4, hal. 303) 

Berdasarkan referensi tersebut maka tradisi yang sering terlaku di masyarakat berupa penempatan shaf wanita yang berada di awal shaf shalat berjamaah merupakan hal yang sudah benar dan tidak perlu disalahkan, bahkan merupakan hal yang dianjurkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asalnya shaf jamaah wanita dalam shalat berjamaah menempati posisi shaf yang paling akhir, sesuai dengan penjelasan yang terdapat dalam hadits. Namun anjuran tersebut hanya berlaku ketika laki-laki dan perempuan berada dalam satu tempat tanpa adanya pemisah. Sehingga ketika jamaah wanita berada di tempat yang berbeda dan terpisah dari jamaah laki-laki, maka shaf awal adalah shaf yang paling dianjurkan bagi mereka, seperti halnya ketentuan shaf yang dianjurkan bagi laki-laki. Wallahu a’lam. (Ustadz Ali Zainal Abidin)

Sumber: https://islam.nu.or.id/shalat/posisi-shaf-shalat-perempuan-sejajar-dengan-laki-laki-salahkah-mjIN3