Rabu, 29 Januari 2020

Sholawat Nahdliyah Nariyah


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَشْغِلِ الظَّالِمِيْنَ بِالظَّالِمِيْنَ وَأَخْرِجْنَا مِنْ بَيْنِهِمْ سَالِمِيْنَ وَعَلَي الِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Allahumma sholli ‘ala sayyidina muhammad wa asyghilidz dzolimin bidz dzolimin wa akhrijna min bainihim salimin wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


صَلَاةً تُرَغِّبُ وَ تُنَشِّطُ


وَ تُحَمِّسُ بِهَا الجِهَاد لِإِحْيَاءِ


وَ اِعْلَاءِ دِيْنِ الإِسْلَام


وَاِظْهَارِشَعَائِرِهِ عَلَي طَرِيْقَةِ


جَمْعِيَّةِ نَهْضَةِ العُلَمَاءِ


وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ


. اللهُ اللهُ اللهُ اللهُ.


ثَبِّتْ وَانْصُرْ اَهْلَ جَمْعِيَّة


جَمْعِيَّة نَهْضَةِ العُلَمَاءِ


لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللهِ




أللّهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ الّذِي تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ


ياَ لَلْوَطَنْ ياَ لَلْوَطَن ياَ لَلْوَطَنْ
Ya lal wathon ya lal wathon ya lal wathon
حُبُّ الْوَطَنْ مِنَ اْلإِيمَانْ
Hubbul wathon minal iman
وَلاَتَكُنْ مِنَ الْحِرْماَنْ
Wala takun minal hirman
اِنْهَضوُا أَهْلَ الْوَطَنْ
Inhadlu alal wathon

اِندُونيْسِياَ بِلاَدى
Indonesia biladi
أَنْتَ عُنْواَنُ الْفَخَاماَ
Anta ‘Unwanul fakhoma
كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ
Kullu may ya’tika yauma
طَامِحاً يَلْقَ حِماَمًا
Thomihay yalqo himama


كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ
Kullu may ya’tika yauma
طَامِحاً يَلْقَ حِماَمًا
Thomihay yalqo himama


Pusaka hati wahai tanah airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai bangsaku

Pusaka hati wahai tanah airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai bangsaku

Indonesia negeriku
Engkau panji martabatku
Siapa datang mengancammu
Kan binasa di bawah durimu,,,,
Siapa datang mengancammu
Kan binasa di bawah durimu,,,,


Zakat terhadap keluarga

Bolehkah Zakat Fitrah Diberikan kepada Keluarga?

Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam membayar zakat fitrah adalah mengenai orang yang kita berikan harta zakat fitrah. Allah SWT menjelaskan secara rinci tentang orang-orang yang berhak menerima zakat dalam salah satu firman-Nya:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya, “Sungguh zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah maha mengetahui, maha bijaksana,” (Surat At-Taubah ayat 60).

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat teringkas dalam delapan golongan. Delapan golongan yang disebutkan dalam ayat di atas dipilih sebagai penerima zakat secara umum, baik itu zakat fitrah maupun zakat mal (harta).

Hal yang patut dipertanyakan tentang golongan yang berhak menerima zakat ini, apakah mencakup terhadap keluarga dari orang yang membayar zakat (muzakki) sehingga boleh bagi mereka untuk menerima zakat dengan wujudnya salah satu dari delapan sifat di atas, atau tidak mencakup terhadap keluarga dari orang yang membayar zakat?

Para ulama’ syafi’iyah memberikan perincian hukum tentang keluarga yang boleh diberikan zakat dan keluarga yang tidak boleh menerima zakat.
Jika yang dimaksud keluarga dari pihak muzakki (orang yang membayar zakat) adalah orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki, maka tidak boleh baginya untuk memberikan zakat kepada mereka.
Hal ini misalnya memberikan zakat kepada orang tua dan anak yang wajib dinafkahi oleh muzakki, misalnya karena anaknya masih kecil dan tidak mampu untuk bekerja, orang tua sudah tua dan tidak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya.
Maka dalam keadaan demikian tidak boleh memberikan zakat kepada mereka.

Alasan pelarangan pemberian zakat kepada keluarga yang wajib dinafkahi oleh muzakki, dikarenakan dua hal.
Pertama, mereka sudah tercukupi dengan nafkah dari muzakki.
Kedua, dengan memberikan zakat pada orang tua atau anaknya, maka akan memberikan kemanfaatan pada muzakki, yakni tercegahnya kewajiban nafkah pada orang tua atau anaknya, karena sudah tercukupi oleh harta zakat, seandainya hal demikian diperbolehkan.
Namun patut dipahami bahwa larangan memberikan zakat kepada keluarga yang wajib dinafkahi, hanya ketika mereka termasuk dari golongan fakir, miskin atau mualaf.
Jika mereka termasuk dari selain tiga golongan tersebut, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk menerima zakat.

Penjelasan tentang ketentuan ini seperti yang tercantum dalam Kitab Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab berikut:

قوله (ولا يجوز دفعها الي من تلزمه نفقته من الاقارب والزوجات من سهم الفقراء لان ذلك انما جعل للحاجة ولا حاجة بهم مع وجوب النفقة) قال أصحابنا لا يجوز للإنسان أن يدفع إلى ولده ولا والده الذي يلزمه نفقته من سهم الفقراء والمساكين لعلتين (احداهما) أنه غني بنفقته (والثانية) أنه بالدفع إليه يجلب إلى نفسه نفعا وهو منع وجوب النفقة عليه

Artinya, “Tidak boleh memberikan zakat kepada orang yang wajib untuk menafkahinya dari golongan kerabat dan para istri atas dasar bagian orang-orang fakir. Sebab bagian tersebut hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan, dan tidak ada kebutuhan bagi para kerabat yang telah wajib dinafkahi. Para ashab berkata, ‘Tidak boleh bagi seseorang untuk memberikan zakat pada anaknya dan juga tidak pada orang tuanya yang wajib untuk dinafkahi, dari bagian orang fakir miskin karena dua alasan.
Pertama, dia tercukupi dengan nafkah. Kedua, dengan memberikan zakat pada orang tua atau anak akan menarik kemanfaatan pada muzakki, yakni tercegahnya kewajiban nafkah pada orang tua atau anaknya.’”

قال أصحابنا ويجوز أن يدفع إلى ولده ووالده من سهم العاملين والمكاتبين والغارمين والغزاة إذا كانا بهذه الصفة  ولا يجوز أن يدفع إليه من سهم المؤلفة ان كان ممن يلزمه نفقته لأن نفعه يعود إليه وهو إسقاط النفقة فإن كان ممن لا يلزمه نفقته جاز دفعه إليه

Artinya, “Para Ashab berkata, ‘Boleh membagikan zakat kepada anak dan orang tua dari bagian ‘Amil, Mukatab, Orang yang punya hutang, Orang yang berperang ketika memiliki sifat-sifat tersebut. Tidak boleh membagikan zakat dari golongan orang-orang muallaf, jika termasuk orang yang wajib menafkahinya. Sebab terdapat kemanfaatan yang kembali pada pihak yang membayar zakat, yakni gugurnya nafkah. Jika orang tua atau anak termasuk orang yang tidak wajib menafkahinya maka boleh untuk memberikan zakat kepadanya,’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab, juz VI, halaman 229).

Sedangkan ketika keluarga yang akan diberi zakat adalah keluarga yang tidak wajib dinafkahi oleh muzakki, seperti saudara kandung, paman, bibi, anak atau orang tua yang sudah tidak wajib dinafkahi dan para kerabat yang lain, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk menerima zakat dari muzakki, meski statusnya masih keluarga. Kebolehan memberikan zakat kepada mereka tentunya ketika mereka termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam referensi berikut:

وإذا كان للمالك الذي وجبت في ماله الزكاة أقارب لا تجب عليه نفقتهم ، كالأخوة والأخوات والأعمام والعمات والأخوال والخالات وأبنائهم وغيرهم، وكانوا فقراء أو مساكين، أو غيرهم من أصناف المستحقين للزكاة، جاز صرف الزكاة إليهم، وكانوا هم أولى من غيرهم

Artinya, “Jika pemilik harta yang wajib zakat memiliki kerabat yang tidak wajib baginya untuk menafkahi mereka, seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dari jalur ayah, bibi dari jalur ayah, paman dari jalur ibu, bibi dari jalur ibu, anak-anak mereka dan kerabat lainnya, keadaan kerabat tersebut fakir atau miskin, atau memiliki sifat lain dari golongan orang-orang yang wajib zakat, maka boleh membagikan zakat kepada mereka, bahkan para kerabat ini lebih berhak dari orang lain,” (Lihat Syekh Mushtafa Said Al-Khin dan Syekh Mushtafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘alal Madzhabil Imamis Syafi’i, juz II, halaman 42).

Bahkan dalam referensi yang sama dijelaskan bahwa dianjurkan bagi seorang istri untuk memberikan zakat kepada suami atau anaknya yang berstatus fakir. Hal ini dikarenakan tidak wajib bagi sang istri untuk menafkahi suaminya, begitu juga anaknya, maka ia boleh memberikan zakat kepada suami dan anaknya. Berikut penjelasan tentang hal ini:

يسن للزوجة إذا كانت غنية، ووجبت في مالها الزكاة، أن تعطي زكاة مالها لزوجها إن كان فقيرا، وكذلك يستحب لها أن تنفقها على أولادها إن كانوا كذلك، لأن نفقة الزوج والأولاد غير واجبة على الأم والزوجة.

Artinya, “Disunnahkan bagi istri yang kaya dan wajib zakat dari hartanya, untuk memberikan zakat tersebut kepada suaminya yang fakir. Begitu juga disunnahkan bagi istri tersebut untuk memberikan zakat pada anak-anaknya, jika anaknya dalam keadaan fakir, sebab menafkahi suami dan anak tidak wajib bagi istri dan ibu,” (Lihat Syekh Mushtafa Said Al-Khin dan Syekh Mushtafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘alal Madzhabil Imamis Syafi’i, juz II, halaman 42).

Bahkan memberikan zakat kepada keluarga yang tidak wajib dinafkahi, tergolong sebagai hal yang disunnahkan. Sebab seorang muzakki dengan melakukan hal tersebut akan mendapatkan dua pahala, yakni pahala membayar zakat dan pahala menyambung tali persaudaraan. Dalam hadits dijelaskan:

إنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ وَهِيَ عَلَى ذِيْ الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Artinya, “Shadaqah pada orang miskin mendapatkan (pahala) shadaqah, Shadaqah kepada saudara mendapatkan dua pahala, yakni (pahala) shadaqah dan (pahala) menyambung tali persaudaraan,” (HR An-Nasa’i).

Wal hasil, memberikan zakat kepada keluarga adalah hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan, ketika mereka bukan termasuk orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki.
Sedangkan ketika mereka adalah orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki, yaitu istri, anak, dan orang tua, maka mereka dilarang untuk menerima zakat, jika memang pemberian zakat ini atas nama sifat fakir, miskin dan mualaf.
Adapun ketika mereka termasuk selain dari tiga golongan tersebut, maka mereka tetap boleh untuk diberi zakat.

Wallahu a’lam. 

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/107046/bolehkah-zakat-fitrah-diberikan-kepada-keluarga

Selasa, 21 Januari 2020

Hadits Tentang Syafaat Rasul


حدثنا محمد بن مقاتل: أخبرنا عبد الله: أخبرنا أبو حيان التيمي، عن أبي زرعة بن عمرو بن جرير، عن أبي هريرة رضي الله عنه قال:
أتي رسول الله صلى الله عليه وسلم بلحم، فرفع إليه الذراع، وكانت تعجبه، فنهس منها نهسة ثم قال: (أنا سيد الناس يوم القيامة، وهل تدرون مم ذلك؟ يجمع الله الناس الأولين والآخرين في صعيد واحد، يسمعهم الداعي وينفذهم البصر، وتدنو الشمس، فيبلغ الناس من الغم والكرب ما لا يطيقون ولا يحتملون، فيقول الناس: ألا ترون ما قد بلغكم، ألا تنظرون من يشفع لكم إلى ربكم؟ فيقول بعض الناس لبعض: عليكم بآدم، فيأتون آدم عليه السلام فيقولون له: أنت أبو البشر، خلقك الله بيده، ونفخ فيك من روحه، وأمر الملائكة فسجدوا لك، اشفع لنا إلى ربك، ألا ترى إلى ما نحن فيه، ألا ترى إلى ما قد بلغنا؟ فيقول آدم: إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله، ولن يغضب بعده مثله، وإنه نهاني عن الشجرة فعصيته، نفسي نفسي نفسي، اذهبوا إلى غيري، اذهبوا إلى نوح فيأتون نوحا فيقولون: يا نوح، إنك أنت أول الرسل إلى أهل الأرض، وقد سماك الله عبدا شكورا، اشفع لنا إلى ربك، ألا ترى إلى ما نحن فيه؟ فيقول: إن ربي عز وجل قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله، ولن يغضب بعده مثله، وإنه قد كانت لي دعوة دعوتها على قومي، نفسي نفسي نفسي، اذهبوا إلى غيري، اذهبوا إلى إبراهيم فيأتون إبراهيم فيقولون: يا إبراهيم، أنت نبي الله وخليله من أهل الأرض، اشفع لنا إلى ربك، ألا ترى إلى ما نحن فيه؟ فيقول لهم: إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله، ولن يغضب بعده مثله، وإني قد كنت كذبت ثلاث كذبات – فذكرهن أبو حيان في الحديث – نفسي نفسي نفسي، اذهبوا إلى غيري، اذهبوا إلى موسى فيأتون موسى فيقولون: يا موسى، أنت رسول الله، فضلك الله برسالته وبكلامه على الناس، اشفع لنا إلى ربك، ألا ترى إلى ما نحن فيه؟ فيقول: إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله، ولن يغضب بعده مثله، وإني قد قتلت نفسا لم أومر بقتلها، نفسي نفسي نفسي، اذهبوا إلى غيري، اذهبوا إلى عيسى فيأتون عيسى فيقولون: يا عيسى، أنت رسول الله، وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه، وكلمت الناس في المهد صبيا، اشفع لنا، ألا ترى إلى ما نحن فيه؟ فيقول عيسى: إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله قط، ولن يغضب بعده مثله – ولم يذكر ذنبا – نفسي نفسي نفسي، اذهبوا إلى غيري، اذهبوا إلى محمد صلى الله عليه وسلم فيأتون محمدا صلى الله عليه وسلم فيقولون: يا محمد أنت رسول الله، وخاتم الأنبياء، وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر، اشفع لنا إلى ربك، ألا ترى إلى ما نحن فيه؟ فأنطلق فآتي تحت العرش، فأقع ساجدا لربي عز وجل، ثم يفتح الله علي من محامده وحسن الثناء عليه شيئا لم يفتحه على أحد قبلي، ثم يقال: يا محمد ارفع رأسك، سل تعطه، واشفع تشفع، فأرفع رأسي فأقول: أمتي يا رب، أمتي يا رب، فيقال: يا محمد أدخل من أمتك من لا حساب عليهم من الباب الأيمن من أبواب الجنة، وهم شركاء الناس فيما سوى ذلك من الأبواب، ثم قال: والذي نفسي بيده، إن ما بين المصراعين من مصاريع الجنة كما بين مكة وحمير، أو: كما بين مكة وبصرى)[1] [3162]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah, telah dibawakan daging. Beliau lalu membentangkan tangannya. Beliau menyukai daging tersebut, kemudian Beliau menggigitnya. Beliau bersabda, “Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat, apakah kamu mengetahui mengapa demikian? Allah akan mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian dalam suatu lapangan. Lalu ada seseorang yang menyeru kepada mereka, dan penglihatannya dapat menembus mereka. Matahari dekat kepada mereka. Maka, manusia sampai kepada suatu kebingungan dan kesusahan yang mereka tiada mampu (mengatasinya) dan tidak kuat menaggungnya.
Manusia berkata kepada sebagian lainnya, ‘Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kamu? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kamu? Apakah kamu tidak melihat siapakah orang yang dapat mensyafaati (membela) kamu kepada Tuhanmu?’
Lalu sebagian manusia berkata kepada sebagian yang lainnya, ‘Datanglah kamu kepada Adam.’ Lalu mereka berkata kepadanya, ‘Engkau adalah Bapaknya manusia, Allah telah menjadikanmu dengan tangan-Nya. Dia meniupkan roh-Nya dan Dia menyuruh para malaikat agar sujud, dan mereka bersujud kepadamu. Syafaatilah kami kepada Tuhanmu! Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kami? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kami?’
Maka Adam berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan-ku telah membenciku pada hari ini dengan kebencian yang belum pernah dia berikan. Sesungguhnya Dia telah melarangku memakan buah suatu pohon (larangan), namun aku melanggarnya. Bagaimana aku dapat memberikan syafaat kepadamu? Pergilah kamu kepada Nuh a.s.’
Lalu mereka datang kepada Nuh dan berkata kepadanya, ‘Wahai Nuh, engkau adalah rasul yang awal di muka bumi dan Allah telah menyebutmu seorang hamba yang sangat bersyukur. Syafaatilah kami kepada Tuhan Kami, apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kami? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kami?’
Maka Nuh berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Tuhan-ku telah membenciku pada hari ini dengan kebencian yang belum pernah dia berikan. Sesungguhnya aku telah mendoakan celaka atas kaumku. Bagaimana aku dapat memberikan syafaat kepadamu? Pergilah kamu kepada Ibrahim a.s.’
Lalu mereka datang kepada Ibrahim dan berkata, ‘Wahai Ibrahim, engkau adalah nabi Allah dan kekasih-Nya dari penduduk bumi. Syafaatilah kami kepada Tuhanmu, apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kami? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kami?’
Maka Ibrahim berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Tuhanku telah membenciku pada hari ini dengan kebencian yang belum pernah Dia berikan. –Nabi Ibrahim menyebutkan dusta-dustanya—, bagaimanakah aku dapat memberikan syafaat kepadamu? Pergilah kamu kepada selainku, pergilah kamu kepada Musa a.s.’
Lalu mereka pergi kepada Musa dan berkata, ‘Wahai Musa, engkau adalah utusan Allah, Allah telah menganugerahkan kepadamu dengan risalah-Nya dan firman-Nya atas manusia. Syafaatilah kami kepada Tuhanmu, apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kami? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kami?’
Maka Musa berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Tuhanku telah membenciku pada hari ini dengan kebencian yang belum pernah Dia berikan sebelumnya. Sesungguhnya aku telah membunuh seorang (manusia), padahal aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Bagaimana aku dapat memberikan syafaat kepadamu? Pergilah kepada Isa a.s.’
Lalu mereka datang kepada Isa a.s. dan berkata, ‘Wahai Isa, sesungguhnya engkau adalah utusan Allah dan kalimat yang Dia letakkan kepada Maryam, dan kamu berbicara dengan manusia pada waktu dalam buaian. Syafaatilah kami kepada Tuhanmu, apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kami? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kami?’
Maka Isa berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Tuhanku telah membenciku pada hari ini dengan kebencian yang belum pernah Dia berikan sebelumnya. –Namun dia tidak menyebutkan dosanya—. Bagaimana aku dapat memberikan syafaat kepadamu? Pergilah kamu kepada Muhammad saw.’
Maka mereka datang kepada Nabi Muhammad saw. dan berkata, ‘Wahai Muhammad engkau adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Sesungguhnya Allah telah mengampuni bagi Tuan (dosa) yang terdahulu dan yang kemudian. Syafaatilah kami kepada Tuhanmu. Apakah Tuan tidak melihat apa-apa yang ada pada kami?’
Maka Nabi Muhammad pergi, lalu datang di bawah arasy. Beliau bersujud kepada Tuhannya. Kemudian Allah membukakan dan memberitahukan kepada Beliau, yaitu pujian-pujian kepada-Nya dan (ucapan) tanda terima kasih yang baik kepada-Nya. Dia tidak membukakannya bagi seorang pun selain Beliau.
Kemudian Allah berfirman, ‘Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu dan mohonkanlah (kepada-Ku), niscaya kamu akan Kuberi, dan mohonlah syafaat (kepada-Ku), niscaya kamu (diizinkan) memberi syafaat.’
Maka Nabi Muhammad mengangkat kepalanya, lalu berkata, ‘Ya Tuhanku, selamatkanlah umatku. Selamatkanlah umatku.’ Lalu dikatakan kepada Beliau saw., ‘Aku akan memasukkan sebagian dari umatmu ke surga, yaitu orang-orang yang tiada hisaban atasnya melalui Baabul Aiman, yaitu salah satu pintu surga. Mereka adalah sekutu-sekutu manusia lainnya mengenai pintu-pintu selain Baabul Aiman.’
Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya antara dua daun pintu dari pintu-pintu surga seperti jarak antara Mekah dan Hajr, dan seperti jarak antara Mekah dan Bashrah.”—Dalam hadits Bukhari, “

Minggu, 19 Januari 2020

Memahami Aul dan Rad contoh singkat

KALALAH, AUL DAN RAD


Kalalah

Kalalah adalah jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya (QS An-Nisa' 4:176)

Aul

Aul artinya bertambah, maksudnya bertambahnya asal masalah (kpk) dikarenakan jumlah bagian Ahlul furudh melebihi jumlah asal masalah. 

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.

Ketiga pokok masalah yang dapat di-aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

Contoh Aul:
a.Asal masalah (kpk): 12
- suami -> 1/4 x 12 = 3/12
- 2 anak pr -> 2/3 x 12 = 8/12
- ibu -> 1/6 x 12 = 2/12
Jumlah 3+8+2 = 13/12 

Disebabkan jumlah bagian melebihi kpk, maka kpk dijadikan 13.
- Suami 3/12 dirubah menjadi 3/13 x 52.000=6000;-
- Dua anak pr 8/12 dirubah menjadi 8/13x52.000=6000;-
- Ibu 2/12 dirubah menjadi 2/13x52.000=4000;-

b. Asal masalah (kpk): 6
- suami -> 1/2x6=3
- ibu -> 1/6x6=1
- 2 sdr pr sekandung -> 2/3x6=4
Jumlah (3+1+4=8)8.

kpk 6 dijadikan 8
-Suami 3/6 dirubah menjadi 3/8x240.000=90.000;-
-Ibu 1/6 dirubah menjadi 1/8x240.000=30.000;-
-dua sdr pr sekandung 4/6 dirubah menjadi 4/8x240.000=120.000;-

Rad

Rad adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.

Dengan kata lain, Apabila ada kelebihan harta warisan padahal semua ahli waris sudah mendapat bagian, maka kelebihan itu dikembalikan (radd) pada ahli waris yang ada; masing-masing menurut kadar bagiannya kecuali suami atau istri yang tidak mendapatkan bagian dari radd ini. Kelebihan harta hanya dikembalikan pada ahli waris lain selain suami atau istri. 

Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.

Syarat Terjadinya Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat yaitu (a) adanya ashhabul furudh; (b) tidak adanya 'ashabah; (c) ada sisa harta waris.

Penerima Bagian Pasti yang Bisa Mendapatkan Radd 

Penerima bagian pasti yang dapat menerima Radd ada 8 yaitu: anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, bu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, saudara laki-laki seibu

Keadaan Terjadinya Masalah Radd ada 4 (Empat) 

a. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri

Cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Contoh, (i) seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan. (ii) seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan

b. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri

Cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu.

c. adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri

Menjadikan pokok masalahnya dari penerima bagian pasti yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala. Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan.

d. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Contoh, Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu.

Contoh riil masalah Radd dan Solusinya

(a) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah anak perempuan dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta. 

Cara Penyelesaian:

Bagian anak perempuan 1/2 (setengah) sedangkan ibu 1/6 (seperenam). Asal masalah adalah 6 (enam).

Anak Perempuan = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah = 4

Asal masalah adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka solusi dengan radd, asal masalahnya dikembalikan kepada 4. Caranya sebagai berikut:

Anak perempuan = 3/4 x 40 Juta = Rp. 30.000 (tigapuluh juta)
Ibu = 1/4 x 40 Juta = Rp. 10.000 (sepuluh juta)

(b) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah istri, 2 orang saudara seibu dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta.
Bagian istri 1/4, 2 orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.

Istri = 1/4 x 12 = 3 
2 saudara = 1/3 x 12 = 4
Ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah = 9

Karena ada istri sedangkan istri tidak mendapakatkan bagian radd, maka sebelum sisa warisan dibagikan, hak untuk istri diberikan lebih dahulu dengan menggunakan asal masalah sebagai pembagi. Caranya sebagai berikut:

Bagian untuk istri = 3/12 x Rp. 40 Juta = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta).

Sisa warisan setelah diberikan pada istri adalah Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta) dibagi untuk 2 orang saudara laki-laki seibu dan ibu. Cara membaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris yaitu 4+2=6. Maka bagian masing-masing adalah :

2 Saudara = 4/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 20.000.000 (dua puluh juta)
Ibu = 2/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta)
Jumlah = Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta)

Maka perolehan masing-masing ahli waris adalah :
Istri = Rp. 10.000.000
2 sdr = Rp. 20.000.000
Ibu = Rp. 10.000.000
Jumlah = Rp. 40.000.000 (empat puluh juta)

Semua ashabul furudh dapat memperoleh bagian radd kecuali suami/istri.


Al-Aul dan Ar-Raad

Al-'Aul dan Ar-Raad

Definisi al-’Aul

Al-’aul adalah bertambahnya pembagi (jumlah bagian fardh) sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan banyaknya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya telah melebihi nilai 1, sehingga di antara ashhabul furudh tersebut ada yang belum menerima bagian yang semestinya. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi berkurang.

Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat 1/2 dapat berubah menjadi 1/3 dalam keadaan tertentu, seperti bila pembaginya dinaikkan, dari 6 menjadi 9. Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (1/2) hanya memperoleh 3/9 (1/3). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pembaginya naik atau bertambah.

Latar Belakang Terjadinya ‘Aul

Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus ‘aul tidak pernah terjadi. Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata, "Orang yang pertama kali menambahkan pembagi (yakni ‘aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."

Riwayat kejadiannya adalah: Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Dengan demikian, berarti pembilangnya melebihi pembaginya, karena 1/2 + 2/3 = 7/6. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara perempuan sekandung, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.

Menghadapi hal demikian Umar pun berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah bagian suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin Tsabit mengusulkan kepada Umar agar menggunakan metode ‘aul. Umar menerima anjuran tersebut dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati sebagian besar sahabat Nabi saw., kecuali Ibnu ‘Abbas yang tidak menyetujui adanya ‘aul ini.

Pembagi yang Tidak Dapat Di-’aul-kan

Pembagi yang tidak dapat di-’aul-kan ada empat, yaitu 2, 3, 4, dan 8.

Contoh – Pembagi 2

Seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian suami 1/2, dan bagian saudara perempuan sekandung 1/2. Dalam hal ini, pembaginya adalah 2. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

Contoh – Pembagi 3

Seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: Ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pembaginya adalah 3. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

Contoh – Pembagi 4

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian istri 1/4, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara laki-laki sekandung dengan saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dalam hal ini pembaginya adalah 4. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

Contoh – Pembagi 8

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 8, bagian istri 1/8 berarti satu bagian, anak 1/2 berarti empat bagian, sedangkan saudara perempuan sekandung menerima sisanya, yakni 3/8. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

Kesimpulan

Ketika diketahui jumlah seluruh bagian ahli waris, dimana nilai pembaginya lebih besar atau sama dengan pembilangnya, maka disana tidak perlu menggunakan metode ‘aul.


Metode ‘aul digunakan jika nilai pembaginya lebih kecil dari pembilangnya.

Pembagi yang Dapat Di-’aul-kan

Angka-angka pembagi yang dapat di-’aul-kan ialah angka 6, 12, dan 24. Namun, ketiga pembagi itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri.

Pembagi 6 hanya dapat di-’aul-kan/dinaikkan menjadi 7, 8, 9, atau 10. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pembagi 6 hanya dapat dinaikkan hingga empat kali saja.

Kemudian pembagi 12 hanya dapat dinaikkan menjadi 13, 15, atau 17. Lebih dari itu tidak bisa. Maka pembagi 12 hanya dapat di-’aul-kan maksimum tiga kali saja.

Sedangkan pembagi 24 hanya dapat di-’aul-kan ke angka 27 saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah". Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 7

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti tiga, bagian saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 7/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 7.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 8

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu bagian, saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 8/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 8.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 9

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara perempuan sekandung, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pembaginya 6. Bagian suami 1/2 berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3 berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu 1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 9/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 9.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 10

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya enam. Bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu, bagian dua orang saudara seayah 2/3 berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu 1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 10/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 10.

Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 13

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, bagian ibu 1/6 berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan sekandung 2/3 berarti delapan bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 13/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 13.

Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 15

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara perempuan sekandung, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, ibu mendapat 1/6 berarti dua bagian, saudara perempuan sekandung memperoleh 1/2 berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah 1/6, sebagai penyempurna dua pertiga, yang berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga 1/6 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 15/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 15.

Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 17

Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya 12. Bagian ketiga orang istri adalah 1/4 berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah 1/6 yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah 2/3 nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu 1/3 yang berarti empat bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 17/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 17.

Contoh – Pembagi 24 di ‘Aulkan ke 27

Masalah ini dikenal dengan sebutan al-mimbariyyah. Kasusnya adalah: Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pembaginya 24. Ayah mendapat 1/6 berarti empat bagian, ibu memperoleh 1/6 berarti empat bagian, istri mendapat 1/8 berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat 1/2 berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat 1/6, sebagai penyempurna 2/3, yang berarti empat bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 27/24. Oleh karena itu, pembagi 24 dinaikkan menjadi 27.

Kesimpulan

Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian 1/2 dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian 1/2, maka pembaginya dari 2, dan tidak dapat di-’aul-kan.


Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lainnya 2/3, maka pembaginya dari 3, dan tidak ada ‘aul.


Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/4 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat 1/4 dan yang lain berhak mendapat 1/2, maka pembaginya dari 4, dan dalam hal ini tidak ada ‘aul.


Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/8 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pembaginya dari delapan, dan tidak ada ‘aul.

Definisi ar-Radd

Ar-radd adalah berkurangnya pembagi (jumlah bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan sedikitnya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum mencapai nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih tersisa, sementara tidak ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima sisa harta waris. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menurunkan atau mengurangi pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ar-radd adalah kebalikan dari al-’aul.

Syarat-syarat Terjadinya ar-Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:

Adanya ashhabul furudh


Tidak adanya ashabah


Adanya sisa harta waris


Bila dalam pembagian harta waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.

Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd

Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang, yakni:

Anak perempuan


Cucu perempuan keturunan anak laki-laki


Saudara perempuan sekandung


Saudara perempuan seayah


Ibu kandung


Nenek sahih (ibu dari bapak)


Saudara perempuan seibu


Saudara laki-laki seibu


Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya, maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ashabah.

Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd

Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

Macam-macam ar-Radd

Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam Ar-radd tersebut adalah:

Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, tanpa adanya suami atau istri.


Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, tanpa adanya suami atau istri.


Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, dan dengan adanya suami atau istri


Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Hukum Keadaan Pertama

Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari ashhabul furudh dengan bagian yang sama, misalnya, semuanya hanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya, dimana dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris (total orangnya).

Contoh 1

Seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/3 bagian. Pembaginya adalah tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka yang sesuai fardh adalah 2/3 dibagi secara rata, dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris yang mendapatkan bagian yang sama.

Contoh 2

Seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara perempuan sekandung, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/10 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh, yakni 2/3 dibagi secara rata. Maka pembaginya adalah 10, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya adalah 10.

Contoh 3

Seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka masing-masing dari mereka mendapat 1/2 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh, yakni nenek 1/6 dan saudara perempuan seibu 1/6. Maka pembaginya adalah dua, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya hanya dua.

Hukum Keadaan Kedua

Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ashhabul furudh yang beragam, dimana di sana tidak ada salah satu dari suami atau istri, maka nilai pembagi diambil dari nilai pembilangnya, bukan dihitung dari jumlah ahli waris (per kepala).

Contoh 1

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu 1/6, untuk kedua saudara laki-laki seibu 1/3. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:


Perhatikan nilai 3/6 diatas, ia kurang dari satu. Maka pembagi diturunkan dari 6 menjadi 3. Maka bagian ibu adalah 1/3 dan dua orang saudara laki-laki seibu 2/3.

Contoh 2

Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya, bagi seorang anak perempuan 1/2, untuk seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:


Maka pembaginya dari 4, karena jumlah pembilangnya adalah 4. Dengan demikian bagian seorang anak perempuan adalah 3/4 dan seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/4.

Hukum keadaan Ketiga

Apabila para ahli waris semuanya dari ashhabul furudh yang mempunyai bagian yang sama, disertai salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pembaginya ashhabul furudh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.

Contoh 1

Seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:

-         Suami: 2/8

-         Anak perempuan masing-masing mendapatkan: 3/8

Contoh 2

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada dua orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara perempuan seibu secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini tidak memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:

-         Istri: 1/4

-         Saudara seibu masing-masing mendapatkan: 1/3

Contoh 3

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Maka istri mendapatkan 1/8 bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya 7/8 merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:

-         Istri: 5/40

-         Anak perempuan masing-masing mendapatkan: 7/40

Hukum keadaan Keempat

Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang bagiannya berbeda-beda, dan di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah suami atau istri, kemudian sisanya diberikan kepada ashhabul furudh lainnya menurut bagiannya masing-masing.

Contoh 1

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada nenek dan dua orang saudara perempuan seibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:

Nenek + Saudara Perempuan Seibu:

Pembagi diatas di radd kan dari 6 menjadi 3, sehingga bagian nenek adalah 1/3 dan dua orang saudara perempuan seibu 2/3. Pembagian akhir:

-         Nenek = 1/3 x 3/4 = 3/12. Nilai 3/4 ini diambil dari sisa bagian setelah diberikan kepada istri.

-         Dua orang saudara perempuan seibu = 2/3 x 3/4 = 6/12, sehingga masing-masing saudara perempuan seibu mendapatkan 3/12.

-         Istri = 1/4 x 3/3 = 3/12. Nilai 3/3 ini diambil dari pembagi yang baru yang telah di radd kan.

Contoh 2

Seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu. Bagian istri adalah 1/8, dan sisanya 7/8 diberikan kepada dua orang anak perempuan dan ibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:

Anak Perempuan + Ibu:

Pembagi diatas di radd kan dari 6 menjadi 4, sehingga bagian dua orang anak perempuan adalah 3/4 dan ibu 1/4. Bagian 2 orang anak perempuan adalah 3/4, karena itu harus ditashih, sehingga bagiannya menjadi 3/4 x 2/2 = 6/8. Dengan demikian bagian ibu pun menjadi 1/4 x 2/2 = 2/8. Bagian istri menjadi 1/8 x 2/2 = 2/16. Pembagian akhir:

-         Dua orang anak perempuan = 6/8 x 7/8 = 42/64, sehingga masing-masing anak perempuan mendapatkan 21/64.

-         Ibu = 2/8 x 7/8 = 14/64.

-         Istri = 2/16 x 4/4 = 8/64.

Pembagian Waris

BAB AHLI WARIS (Orang-Orang yang mendapat Warisan)


باب الوارثين من الرجال

Orang-orang yang berhak menerima warisan dari kelompok laki-laki ada 10 orang, yaitu:

1. ibnun ( ابن ) anak laki-laki

2. Ibnul-ibni ( ابن الابن ) cucu laki-laki dari anak laki-laki

3. Abun ( أب ) Ayah/Bapak

4. Akhun ( ا خ ) Saudara laki-laki

– Akhun li abawaen ( اخ لابوين ) saudara seayah seibu

– Akhun li abin ( اخ لاب ) saudara laki-laki seayah

– Akhun li ummin ( اخ لام ) saudara laki-laki seibu

5. Jaddun ( جد ) kakek dari ayah

6. Ibnul-akhi ( ابن الاخ ) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki

– Ibnul-akhi li abawaen ( ابن الاخ لابوين ) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah seibu

– Ibnul-akhi li abin ( ابن الاخ لاب ) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah

7. ‘Amun ( عم ) paman dari ayah

-‘Ammun syaqiq ( عم شقيق ) paman yang seayah seibu dengan ayah

-‘Ammun li abin ( عم لاب ) paman yang seayah dengan ayah

8. Ibnul-‘ammi ( ابن العم ) saudara sepupu/anak paman dari ayah

-Ibnul-‘ammi syaqiq ( ابن العم شقيق ) saudara sepupu/anak paman yang seayah seibu dengan ayah

-Ibnul-‘ammi li abin ( ابن العم لاب ) saudara sepupu/anak paman yang seayah dengan ayah

9. Zaujun ( زوج ) suami

10. Mu’tiq ( معتق ) majikan laki-laki yang memerdekakan

Apabila semua ahli warits tersebut hadir (masih hidup), maka yang lebih berhak mendapat warisan hanya 3 orang dan yang lainnya tidak mendapat warisan karena terhijab oleh orang yang lebih dekat hubungannya dengan mayit. 3 orang itu adalah :

1. zaujun ( زوج ) Suami mempunyai bagian rubu’ (1/4)

2. abun ( أب ) ayah mempunyai bagian sudus (1/6)

3. ibnun ( ابن ) Anak laki-laki mempunyai bagian ‘Ashobah ( عصبة ) yaitu sisa

Jadi apabila mayit meninggalkan warisan sebesar 24 juta, maka bagiannya adalah

– suami ( زوج ) adalah 1/4×24=6 juta

– ayah ( أب ) adalah 1/6×24=4 juta

– anak laki-laki adalah 24-(6+4)=14 jutaباب الوارثات من النساء

Orang-orang yang berhak menerima warisan dari kelompok perempuan ada 7 (tujuh), yaitu:

1. Bintun ( بنت ) anak perempuan

2. Bintul-ibni ( بنت الابن ) cucu perempuan dari anak laki-laki

3. Ummun ( أم ) ibu

4. jiddatun ( جدة ) nenek

-Jiddatun minal-abi ( جدة من الاب ) nenek dari ayah

-Jiddah minal-ummi ( جدة من الأم ) nenek dari ibu

5. Zaujatun ( زوجة ) istri

6. Ukhtun ( أخت ) saudara perempuan

-Ukhtun li abawen ( أخت لابوين ) saudara perempuan seayah seibu

-Ukhtun li abin ( أخت لاب ) saudara perempuan seayah

-Ukhtun li ummin ( أخت لام ) saudara perempuan seibu

7. Mu’tiqah ( معتقة ) majikan perempuan yang memerdekakan

Apabila semua ahli warits dari kelompok perempuan tersebut hadir (masih hidup), maka yang lebih berhak mendapat warisan hanya 5 orang dan yang lainnya tidak mendapat warisan karena terhijab oleh orang yang lebih dekat hubungannya dengan mayit. 


5 orang itu adalah :

1. Zaujatun ( زوجة ) istri mendapat bagian tsumun (1/8)

2. Bintun ( بنت ) anak perempuan mendapat bagian nishfu (1/2)

3. Bintul-ibni ( بنت الابن ) cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat bagian sudus (1/6)

4. Ummun (أم ) ibu medapat bagian sudus (1/6)

5. Ukhtun li abawen ( أخت لابوين ) mendapat bagian asobah (sisa)

Jadi apabila mayit meninggalkan harta sebesar 24 juta, maka bagiannya adalah:

– Zaujatun ( زوجة ) adalah 1/8×24=3 juta

– Bintun ( بنت ). adalah 1/2×24=12 juta

– Bintul-ibni (بنت الابن ) adalah 1/6×24=4 juta

– Ummun ( أم ) adalah 1/6×24=4 juta

– Ukhtun li abawain ( أخت لابوين ) adalah 24-(3+12+4+2=1 juta

Dan apabila ahli waris dari kelompok laki-laki dan kelompok perempuan semuanya berkumpul, maka yang akan mendapatkan warisan hanya 5 orang yaitu:

Apabila yang meninggalnya suami, maka ahli warisnya :

1. Zaujatun (istri) ==>1/8

2. Abun (ayah). ==>1/6

3. Ummun (ibu). ==>1/6

4. Ibnun (anak laki-laki). => ‘ashobah binnafsi

5. Bintun (anak perempuan)=>’ashobah bilgoer

Apabila yang meninggalnya istri, maka ahli warisnya :

1. Zaujun (suami) ==> 1/4

2. Abun (ayah). ==>1/6

3. Ummun (ibu). ==>1/6

4. Ibnun (anak laki-laki). ==>’ashobah binnafsi

5. Bintun (anak perempuan) ==>’ashobah bilgoer

Penjelasannya :

Mencakup pembahasan berikut ini :

Ashab Furudh

Ashobah

Al Hajb

Ta’siil Masalah

Qismah Tarikah

Mirots Dzawil Arham

Mirots Haml

Mirots Huntsa Musykil

Mirots Mafqud

Mirots Ghorqo wal Hadma wa nahwihi

Mirots Qotil

Mirots Ahlul Milal

Mirots Mar’ah

ILMU WARIS (FARAIDH)

Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah sendiri yang menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.

Oleh sebab itu Allah-lah yang langsung mengatur sendiri pembagian serta rincianya dalam Kitab-Nya, meratakannya diantara para ahli waris sesuai dengan keadilan serta maslahat yang Dia ketahui.

Manusia memiliki dua keadaan: keadaan hidup dan keadaan mati, kebanyakan hukum yang ada dalam ilmu Faraidh berhubungan dengan mati, maka Faraidh bisa dikatakan setengah dari ilmu yang ada, seluruh orang pasti butuh kepadanya.

Pada zaman Jahiliyyah dahulu, mereka hanya membagikan harta untuk orang-orang dewasa tanpa memberi kepada anak-anak, kepada laki-laki saja tidak kepada wanita, sedangkan Jahiliyyah pada zaman ini memberikan jatah kepada para wanita apa-apa yang bukan hak mereka dari kedudukan, pekerjaan maupun harta, sehingga bertambahlah kerusakan, sedangkan Islam telah berbuat adil kepada wanita dan memuliakannya, memberikan hak yang sesuai untuk mereka seperti pemberian kepada lainnya.

Ilmu Faraidh : Ilmu yang diketahui dengannya siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.

Pembahasannya : Seluruh peninggalan, yaitu apa yang ditinggalkan oleh Mayit baik itu berupa harta ataupun lainnya.

Hasilnya : Penyampaian seluruh hak kepada mereka yang berhak menerimanya diantara ahli waris.

Faridhah : adalah jatah tertentu sesuai syari’at bagi setiap ahli waris, seperti : sepertiga, seperempat dan lainnya.

Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan ada lima, dilaksanakan berurutan jika semua itu ada, sebagaimana dibawah ini :

1. Dikeluarkan dari harta waris untuk penyelesaian kebutuhan mayit, seperti kain kafan dan lainnya.

2. kemudian hak-hak yang berhubungan dengan barang yang ditinggalkan, seperti hutang dengan sebuah jaminan barang dan semisalnya.

3. Kemudian pelunasan hutang, baik itu yang berhubungan dengan Allah seperti zakat, kafarat dan semisalnya, ataupun yang berhubungan dengan manusia.

4. Kemudian pelaksanakan wasiat.

5. kemudian pembagian waris –dan inilah yang dimaksud dalam ilmu ini-

Rukun waris ada tiga :

1. Al-Muwarrits, yaitu mayit.

2. Al-Warits, yaitu dia yang masih hidup setelah meninggalnya Al-Muwarrits.

3. Alhaqqul Mauruts, yaitu harta peninggalan

Penyebab waris ada tiga :

1. Nikah dengan akad yang benar, hanya dengan akad nikah maka suami bisa mendapat harta warisan istrinya dan istripun bisa mendapat jatah dari suaminya.

2. Nasab (keturunan), yaitu kerabat dari arah atas seperti kedua orang tua, keturunan seperti anak, ke arah samping seperti saudara, paman serta anak-anak mereka.

3. Perwalian, yaitu ashobah yang disebabkan kebaikan seseorang terhadap budaknya dengan menjadikannya merdeka, maka dia berhak untuk mendapatkan waris jika tidak ada ashobah dari keturunannya atau tidak adanya ashab furudh.

Penghalang waris ada tiga :

1. Perbudakan : Seorang budak tidak bisa mewarisi dan tidak pula mendapat waris, karena dia milik tuannya.

2. Membunuh tanpa dasar : Pembunuh tidak berhak untuk mendapat waris dari orang yang dibunuhnya.

3. Perbedaan agama : seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi Muslim.

Dari Usamah bin Zaid r.a bahwa Nabi SAW bersabda :


“Orang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi orang Muslim” Muttafaq alaihi. 

(H.R Muttafaq Alaih, Riwayat Bukhori nomer (6764) dan Muslim nomer (1614)).


Seorang istri yang di ceraikan dengan talak ruju’ masih tetap mendapatkan jatah waris antara dia dengan suaminya selama masih dalam iddahnya.

Seorang istri jika di cerai suaminya dengan talak bain, jika suaminya dalam keadaan sehat maka tidak ada perwarisan diantara keduanya, sedangkan jika dalam keadaan sakit parah dan tidak ada sangkaan kalau dia menceraikan dengan tujuan agar istrinya tidak mendapat waris, maka dalam keadaan seperti inipun istrinya tidak berhak untuk mendapat waris, akan tetapi jika diperkirakan kalau dia menceraikannya dengan tujuan agar istrinya tidak mendapat waris maka sesungguhnya dia berhak untuk mendapatkannya.

Macam-macam waris :

1. Waris dengan fard : yaitu jika seorang ahli waris mendapat jatah tertentu, seperti: setengah, seperempat (ataupun lainnya).

2. Waris dengan Ta’shib: yaitu seorang ahli waris yang mendapat jatah yang tidak terbatasi.

Furudh yang terdapat dalam Al-Qur’an ada enam: Setengah, Seperempat, Seperdelapan, Dua pertiga, Sepertiga, Seperenam, adapun sepertiga dari sisa ditetapkan oleh ijtihad.

Secara rinci Laki-laki yang berhak mendapat waris ada lima belas, mereka adalah:

Putra serta putranya (cucu) dan seterusnya dari keturunan laki-laki, ayah serta kakek dan seterusnya dari orang tua laki-laki, saudara kandung, saudara satu ayah, saudara satu ibu, putra saudara kandung serta putra saudara satu ayah dan seterusnya dari keturunan laki-laki mereka, suami, paman kandung dan keatasnya, paman satu ayah dan keatasnya, putra paman kandung serta putra paman satu ayah dan keturunan mereka yang laki-laki, orang yang memerdekakan dan asobahnya.

Laki-laki selain dari mereka termasuk Dzawil Arham, seperti: saudara-saudara ibu (paman dari ibu), putra saudara satu ibu, paman satu ibu, putra paman satu ibu dan lainnya.

Secara rinci wanita yang berhak mendapat waris ada sebelas, mereka adalah:

Putri, putri dari anak laki (cucu) dan keturunannya selama ayahnya dari anak laki, ibu, nenek dari ibu dan keatasnya dari ibu mereka, nenek (ibunya ayah) dan keatasnya dari ibu mereka, neneknya ayah, saudari kandung, saudari satu ayah, saudari satu ibu, istri dan wanita yang memerdekakan budak.

Wanita selain dari mereka termasuk dari Dzawil Arham, seperti para saudari ibu (bibi) dan lainnya.

Allah berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا 

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” 


(An-Nisaa: 7)


1. ASHAB FURUDH

Waris ada dua macam: Fardhu dan Ta’shib, para ahli waris menurut keduanya terbagi menjadi empat bagian:

1. Dia yang hanya mendapat waris dengan fardhu saja, mereka ada tujuh: ibu, saudara satu ibu, saudari satu ibu, nenek dari fihak ibu, nenek dari fihak ayah, suami dan istri.

2. Dia yang hanya mendapat waris dengan ta’shib saja, mereka ada dua belas: putra, cucu laki dari putra dan keturunannya, saudara kandung, saudara satu ayah, putra saudara kandung serta putra saudara satu ayah dan keturunannya, paman kandung serta paman satu ayah dan ayah mereka, putra paman kandung serta putra paman satu ayah dan keturunannya, laki-laki yang memerdekakan dan wanita yang memerdekakan.

3. Dia yang terkadang mendapat waris dengan fardhu, terkadang dengan ta’shib dan terkadang dari kedua-duanya, mereka ada dua: ayah dan kakek, satu dari keduanya mendapat jatah fardhu seperenam jika mayit memiliki keturunan, dan menjadi ta’shib sendirian jika mayit tidak memiliki keturunan, serta menjadi fardhu dan ta’shib jika hanya terdapat keturunan mayit yang wanita, itupun jika tersisa setelah ashabul furudh lebih dari seperenam, contoh: seseorang meninggal dengan meninggalkan (satu putri, ibu dan ayah), maka permasalahannya dari enam: untuk putri setengah, ibu seperenam, dan sisanya dua untuk ayah sebagai fardhu dan ta’shib.

4. Dia yang terkadang mendapat waris dengan fardhu, terkadang dengan ta’shib dan tidak berkumpul pada keduanya, mereka ada empat: satu orang putri atau lebih, putri anak laki (cucu) satu orang atau lebih dan yang dibawahnya dari anak laki, saudari kandung satu orang atau lebih, dan saudari satu ayah satu orang atau lebih, mereka mendapat waris dengan fardhu ketika tidak ada yang menjadikan mereka ashobah, yaitu saudara laki-laki mereka, jika ada saudara laki-laki maka mereka akan menjadi ashobah, seperti putra dengan putri, saudara dengan saudari, maka para putri serta saudari menjadi ashobah.

Ashabul furudh ada sebelas orang, mereka: suami, istri satu orang atau lebih, ibu, ayah, kakek, nenek satu orang atau lebih, anak perempuan, putri anak laki (cucu wanita dari anak laki), saudari kandung, saudari satu ayah, saudara satu ibu baik laki maupun wanita, pembagian waris mereka seperti berikut ini:

1. Bagian Waris Suami
1. Suami mendapat jatah waris setengah dari peninggalan istrinya jika si istri tidak memiliki keturunan, yang dimaksud keturunannya adalah: “anak-anaknya, baik itu putra maupun putri, cucu dari putranya sampai kebawah” adapun cucu dari putri mereka termasuk dari keturunan yang tidak mendapat waris.
2. Suami mendapat jatah waris seperempat dari istrinya jika si istri memiliki keturunan, baik itu keturunan darinya ataupun dari suami lain.

Allah berfirman:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ - 

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya..” 


(QS. An-Nisaa: 12).


2. Bagian Waris Istri

1. Seorang istri mendapat seperempat dari peninggalan suaminya jika si suami tidak memiliki keturunan.
2. Istri mendapat waris seperdelapan dari suami jika dia (suami) memiliki keturunan, baik itu darinya ataupun dari istrinya yang lain.
berkumpul beberapa orang istri dalam seperempat atau seperdelapan jika mereka lebih dari satu orang. Allah berfirman:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ - 


“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu..” 


(QS. An-Nisaa: 12).


3. Bagian Waris Ibu

1. Ibu mendapat sepertiga peninggalan dengan tiga syarat: Mayit tidak memiliki keturunan, tidak adanya sejumlah saudara, baik laki-laki maupun wanita, serta permasalahannya tidak termasuk dari Umariyatain (permasalahan dua Umar).

2. Ibu mendapat jatah seperenam: jika mayit memiliki keturunan, atau adanya sejumlah saudara, baik laki-laki maupun wanita.

3. Ibu mendapat jatah sepertiga dari sisa harta dalam permasalahan Umariyatain, dan disebut pula permasalahan Ghorowiatain, 

kedua permasalahan tersebut adalah:

1. Istri, ibu dan ayah: permasalahannya dari empat: untuk istri seperempat yaitu satu, untuk ibu sepertiga dari sisa harta yaitu satu, dan sisanya yang dua untuk ayah.

2. Suami, ibu dan ayah: permasalahan dari enam: untuk suami setengah, yaitu tiga, untuk ibu sepertiga dari sisa yaitu satu dan sisanya yang dua lagi untuk ayah.


Ibu diberi bagian sepertiga dari sisa harta; agar apa yang dia dapat tidak melebihi bagian ayah, padahal keduanya satu derajat bagi si mayit, agar bagian laki-laki menjadi dua kali lebih banyak dari wanita.

Allah berfirman:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا 

… Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya..” 


(QS.An-Nisaa: 11).


4. Bagian Waris Ayah

1. Ayah mendapat waris seperenam secara fardhu dengan syarat adanya keturunan laki-laki bagi si mayit, seperti putra ataupun cucu dari putranya.
2. Ayah mendapat waris sebagai ashobah jika si mayit tidak memiliki keturunan.

3. Ayah mendapat waris dengan fardhu dan ta’shib sekaligus jika terdapat keturunan mayit yang wanita, seperti: putrinya atau putri dari putranya (cucu), dalam keadaan ini ayah berhak mendapat seperenam sebagai fardhu dan juga mendapatkan sisa harta sebagai ashobah.

Saudara-saudara kandung atau satu ayah ataupun satu ibu, seluruhnya jatuh (tidak mendapat waris) dengan keberadaan ayah atau kakek.

5. Bagian Waris Kakek

Kakek yang berhak untuk mendapat waris adalah dia yang tidak terdapat diantara dirinya dengan mayit seorang wanita, seperti ayahnya ayah, besarnya apa yang dia dapat sama seperti ayah kecuali dalam permasalahan Umariatain (dua Umar), sesungguhnya ibu dalam kedua permasalahan ini akan mendapatkan

sepertiga harta walaupun ada kakek, sedangkan ketika bersama ayah, ibu akan menerima sepertiga dari sisa setelah diambil oleh jatah suami atau istri, sebagaimana yang telah lalu.

1. Kakek akan mendapat waris seperenam secara fardhu dengan dua syarat: adanya keturunan mayit, tidak adanya ayah.

2. Kakek akan mewarisi sebagai ashobah jika mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada ayah.

3. Kakek akan mewarisi dengan fardhu dan ta’shib bersamaan ketika ada keturunan mayit yang wanita, seperti putri dan putrinya putra (cucu).

6. Bagian Waris Nenek

Nenek yang berhak untuk mendapat waris: adalah ibunya ibu, ibunya ayah, ibunya kakek dan begitulah seterusnya dengan asal wanita, dua orang dari arah ayah dan satu dari arah ibu.

Secara mutlak tidak ada jatah waris untuk seluruh nenek jika ada ibu, sebagaimana pula tidak ada waris secara mutlak untuk kakek ketika ada ayah.

Waris yang didapat oleh satu orang nenek ataupun lebih adalah seperenam (mutlak) dengan syarat tidak ada ibu.

7. Bagian Waris anak-anak putri

1. Satu orang putri ataupun lebih akan mendapat waris dengan ta’shib jika ada bersama mereka saudara laki-laki, dengan hitungan untuk laki-laki seperti jatah dua orang wanita.

2. Seorang putri mendapat waris setengah harta dengan syarat tidak adanya muasshib baginya, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada yang menyertainya, yaitu saudarinya yang lain.

3. Dua orang putri ataupun lebih berhak mendapat waris dua pertiga dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, tidak ada muasshib bagi mereka, yaitu saudara laki-laki mereka.

Allah berfirman:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا 

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.. ” (An-Nisaa: 11)


8. Bagian Waris Cucu (Cucu Dari Anak Laki-Laki)

1. Seorang cucu perempuan dari anak laki ataupun lebih dari satu akan mendapat waris sebagai ta’shib jika ada bersamanya saudara laki-laki mereka yang sederajat dengannya, yaitu putranya putra (cucu laki).

2. Binti Ibn mendapat waris setengah harta dengan syarat tidak ada muasshibnya, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada yang menyertainya, yaitu saudarinya yang lain, tidak ada keturunan mayit yang lebih tinggi derajatnya, seperti putra ataupun putri mayit.

3. Dua orang binti ibn ataupun lebih akan mendapat waris dua pertiga dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, tidak adanya muasshib mereka, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak adanya keturunan yang derajatnya lebih tinggi dari mereka.

4. Satu orang atau lebih dari binti ibn mendapat waris seperenam dengan syarat tidak adanya muasshib mereka, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak ada keturunan mayit yang lebih tinggi derajat darinya kecuali satu orang putri yang berhak mendapat setengah harta peninggalan, karena mereka tidak akan mengambil seperenam kecuali dengan keberadaannya, begitu pula hukumnya dengan putrinya cucu bersama cucu perempuan dari anak laki, dst.

9. Bagian Waris Saudari Kandung


1. Seorang saudari kandung mendapat waris setengah dari harta dengan syarat tidak ada yang menyertainya dari saudari lainnya, tidak ada muasshib, yaitu saudaranya, tidak ada asli waris, yaitu ayah atau kakek si mayit, tidak ada keturunan.

2. Beberapa saudari kandung mendapat bagian dua pertiga dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada asal waris yang pria, tidak ada muasshib mereka, yaitu saudara mereka.

3. Seorang saudari kandung ataupun lebih akan menjadi ashobah jika ada bersama mereka muasshibnya, yaitu saudara laki, dengan pembagian untuk laki-laki sama dengan dua bagian wanita, atau ketika mereka bersama keturunan mayit yang wanita seperti putri mayit.

Allah berfirman:

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ 

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal..” 


(An-Nisaa: 176)


10. Bagian Waris Saudari se-Ayah

1. Saudari satu ayah mendapat bagian setengah harta dengan syarat tidak ada yang menyertainya dari saudari selainnya, tidak ada muasshib, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada asal waris dari laki-laki, tidak ada keturunan mayit, tidak ada saudara kandung, baik laki-laki maupun wanita.

2. Saudari satu ayah berhak mendapat dua pertiga bagian dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, tidak ada muasshib, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak ada asli waris laki, tidak ada keturunan, tidak ada saudara kandung, baik laki-laki maupun wanita.

3. Seorang saudari satu ayah atau lebih akan mendapat bagian seperenam dengan syarat adanya seorang saudari kandung mayit yang mendapat bagian setengah dengan fardhu, tidak ada muasshib baginya, tidak ada keturunan mayit, tidak ada asli waris laki-laki, tidak ada saudara kandung, baik itu satu orang ataupun lebih.

4. Seorang saudari satu ayah ataupun lebih akan mendapat waris sebagai ta’shib jika ada bersama mereka muasshibnya, yaitu saudara laki-laki mereka, maka pembagiannya untuk satu orang laki-laki sama dengan dua orang wanita, atau mungkin juga jika mereka ada bersama keturunan mayit yang wanita, seperti putri mayit.

11. Bagian Waris Saudara Se-Ibu

Saudara satu ibu tidak dibedakan antara laki-laki dan wanitanya, laki-laki mereka tidak menta’shibkan wanitanya, bahkan mereka mendapat bagian dengan merata (sama).

1. Saudara satu ibu, baik laki-laki maupun wanita mendapat bagian seperenam dengan syarat si mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada asli waris yang laki-laki, dia hanya satu orang.

2. Saudara satu ibu, baik itu laki-laki ataupun wanita mendapat bagian sepertiga dengan syarat jumlah mereka lebih dari satu orang, mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada asli waris yang laki-laki. 

Allah berfirman:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ - 


“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun” 


(An-Nisaa: 12)


Permasalahan Ahlul Furudh

Permasalah Faraidh berdasarkan apa yang ada didalamnya dari furudh terbagi menjadi tiga:

1. Apabila bagian (siham) yang ada didalamnya sama dengan asli masalah, yang demikian dinamakan al-adilah.

Contoh: suami dan saudari, masalahnya dari dua, untuk suami setengah, yaitu satu dan untuk saudari juga setengah, yaitu satu.

2. Apabila bagian yang ada didalamnya lebih sedikit dari asli masalah, yang seperti ini dinamakan an-naqisoh, apa yang tersisa darinya diberikan kepada ashabul furudh selain dari suami istri, apabila ashabul furudh tidak menghabiskan harta peninggalan dan tidak ada ashobah, maka mereka lebih berhak atas pembagian dan mengambil sesuai dengan bagian masing-masing.

Contoh: istri dan putri, asal masalah dari delapan, untuk istri seperdelapan: satu, dan untuk putri tujuh, sebagai fardhu dan bagian sisa.

3. Apabila bagian yang ada lebih banyak dari asli masalah, yang seperti ini dinamakan aailah.

Contoh: suami dan dua orang saudari (bukan satu ibu), jika suami diberi setengah, maka tidak akan cukup bagian untuk kedua orang saudari tersebut, yaitu dua pertiga, maka asli masalah yang enam dirubah menjadi tujuh, untuk suami setengah, yaitu tiga, dan untuk kedua saudari dua pertiga, yaitu empat, sehingga kekurangan mencakup seluruhnya, sesuai dengan bagian masing-masing.

2. ASHOBAH

Ashobah adalah mereka yang mendapat waris dengan tanpa batasan.

Ashobah terbagi menjadi dua: 1- Ashobah binnasab 2- Ashobah bissabab

1. Ashobah binnasab terbagi menjadi tiga bagian:

1. Ashobah binnafsi

Mereka adalah seluruh ahli waris laki-laki kecuali (suami, saudara satu ibu, orang yang memerdekakan), rinciannya adalah: putra, cucu (putranya putra) dan seterusnya kebawah, ayah, kakek dan seterusnya keatas, saudara kandung, saudara satu ayah, putra saudara kandung dan seterusnya kebawah, putra saudara satu ayah dan seterusnya kebawah, paman kandung, paman satu ayah, putra paman kandung dan seterusnya kebawah, putra paman satu ayah dan seterusnya kebawah.

Jika hanya ada satu orang saja diantara mereka, maka dia akan mendapat seluruh harta, dan jika berkumpul dengan ashabul furudh, dia akan mengambil apa yang tersisa setelah ashabul furudh, dan jika ashabul furudh telah mengambil seluruh harta peninggalan, maka dia tidak mendapat harta.

Tingkatan ashobah ini sebagiannya lebih dekat dari sebagian lainnya, secara berurutan mereka ada lima: Bunuwah (anak dan keturunannya), kemudian ubuwwah (ayah dan keatasnya), kemudian ukhuwah (saudara dan keturunannya), kemudian a’mam (paman dan keturunannya), kemudian wala (perwalian/yang memerdekakan).

Jika terdapat dua ashobah atau lebih, maka akan ada beberapa keadaan:

1. Keadaan pertama: Jika keduanya berkumpul dalam satu tingkat, derajat dan kekuatan, seperti dua orang putra, dua orang saudara atau dua orang paman, dalam keadaan ini keduanya akan berbagi harta secara merata.

2. Keadaan kedua: Jika keduanya berkumpul dalam tingkatan dan derajat akan tetapi berbeda dalam kekuatannya, seperti jika berkumpul antara paman kandung dan paman satu ayah, maka yang lebih kuat akan lebih dikedepankan, oleh karenanya hanya paman kandung yang akan menerima waris, sedangkan paman satu ayah tidak.

3. Keadaan ketiga: Jika keduanya berkumpul dalam satu tingkatan akan tetapi berbeda dalam derajatnya, seperti bertemunya putra dan cucu (cucu laki dari putra), maka yang lebih dekat derajatnyalah yang akan dikedepankan, sehingga harta peninggalan hanya akan didapat oleh putra.

4. Keadaan keempat: Jika keduanya berbeda tingkatan, maka yang tingkatannya terdekat yang akan dikedepankan dalam waris, walaupun derajatnya sangat jauh dari mayit jika dibandingkan dengan tingkatan yang jauh walaupun derajatnya dekat (dari mayit), maka cucu (putra dari anak laki) lebih diutamakan dari ayah.


2. Ashobah bilghoir

Mereka ada empat: Satu orang putri atau lebih dengan satu orang putra atau lebih, satu orang cucu (putri dari putra) atau lebih dengan satu orang cucu (putranya putra) atau lebih, satu orang saudari kandung atau lebih dengan satu orang saudara kandung atau lebih, satu orang saudari satu ayah atau lebih dengan satu orang saudara satu ayah atau lebih, pembagian waris diantara mereka adalah jatah satu orang laki-laki sama dengan jatah dua orang wanitanya, mereka mendapatkan apa yang tersisa setelah ashabul furudh, dan jika ashabul furudh telah mengambil seluruh harta maka merekapun tidak akan mendapatkan apa-apa.

3. Ashobah ma’alghoir

Mereka ada dua kelompok: Satu orang saudari kandung atau lebih bersama satu orang putri atau lebih atau bersama satu orang cucu (putrinya putra) atau lebih ataupun juga bersama keduanya, lalu satu orang saudari satu ayah atau lebih bersama satu orang putri atau lebih atau bersama satu orang cucu (putrinya putra) atau lebih ataupun juga bersama keduanya, disini saudari perempuan selalu bersama putri atau cucu (putrinya putra) menjadi ashobah bersama, bagi mereka adalah apa yang tersisa setelah ashabul furudh, dan jika ashabul furudh telah mengambil seluruh harta, maka merekapun tidak akan mendapat apa-apa.

2. Ashobah bissabab: Mereka adalah laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak, dan keashobahan mereka dinisbatkan kepada diri mereka masing-masing.

1- Allah berfirman:

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ 

“Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” An-Nisaa:176


2- Dari Ibnu Abbas r.a, dia berkata: telah bersabda Rosulullah SAW:



“Berikanlah jatah harta peninggalan kepada orang yang berhak atasnya, dan apa yang masih tersisa berikanlah kepada dia yang lebih berhak dari golongan laki-laki” 


H.R Bukhori. (Riwayat Bukhori nomor (6732) dan Muslim nomor (1615))

3. AL-HAJB


Al-Hajb: adalah Larangan terhadap dia yang berhak mendapat waris dari jatah warisnya secara keseluruhan atau dari jatah terbesarnya.

Al-Hajb termasuk dari bab Faraidh terpenting dan terbesar, barang siapa yang tidak mengetahuinya maka bisa jadi dia akan melarang hak seseorang untuk sampai kepadanya, atau mungkin juga dia akan memberikan harta kepada dia yang tidak berhak atasnya, padahal pada keduanya terdapat dosa serta kedzoliman.

Ada tiga keadaan jika seluruh ahli waris berkumpul:

1. Jika seluruh laki-laki berkumpul, maka yang akan mendapat waris diantara mereka hanyalah tiga: Ayah, Putra dan Suami.

Permasalahan mereka dari duabelas: untuk ayah seperenam yaitu dua, untuk suami seperempat yaitu tiga, dan sisanya tujuh untuk putra sebagai ashobah.

2. Jika seluruh wanita berkumpul, maka yang akan mendapat waris diantara mereka hanyalah lima: Putri, Cucu (putrinya putra), Ibu, Istri, Saudari kandung, selain mereka akan jatuh dan tidak mendapat waris.

Permasalahannya dari duapuluh empat: untuk istri seperdelapan yaitu tiga, untuk ibu seperenam yaitu empat, untuk putri setengah yaitu duabelas, sisanya satu untuk saudari kandung sebagai ashobah.

3. Jika berkumpul seluruh laki-laki dan wanita, maka yang akan mendapatkan waris diantara mereka hanyalah lima: Ibu, Ayah, Putra, Putri, dan salah satu Suami atau Istri.


1. Jika bersama mereka ada istri, maka permasalahannya dari duapuluh empat: untuk ayah seperenam yaitu empat, untuk ibu seperenam yaitu empat, untuk istri seperdelapan yaitu tiga, dan sisanya untuk putra dan putri sebagai ashobah, untuk laki-laki seperti bagian untuk dua orang wanita.

2. Jika bersama mereka ada suami, maka permasalahannya dari duabelas: untuk ayah seperenam yaitu dua, untuk ibu seperenam yaitu dua, untuk suami seperempat yaitu tiga, dan sisanya untuk putra dan putri sebagai ashobah, untuk laki-laki seperti bagian untuk dua orang wanita.


Macam-Macam Al-Hajb


Al-Hajb terbagi menjadi dua bagian:


1. Al-Hajb bilwasf: yaitu seorang ahli waris yang disifati sebagai salah satu yang terlarang dari bagian waris, dia adalah: perbudakan, pembunuhan atau perbedaan agama, hal ini mencakup seluruh ahli waris, siapa yang saja yang memiliki salah satu dari sifat tersebut, maka dia tidak mewarisi dan keberadaannya seperti tidak ada.

2. Al-Hajb bissyahsi: -inilah yang dimaksud disini- yaitu jika sebagian dari ahli waris terhalangi oleh ahli waris lainnya, bagian ini terbagi menjadi dua: Hajb Nuqson dan Hajb Hirman, penjelasannya sebagai berikut:


1. Hajb Nuqson: Yaitu penghalangan seseorang dari bagian terbesarnya, bagian yang dia dapat akan berkurang disebabkan oleh dia yang menutupinya, permasalahan ini terbagi tujuh: empat intiqol (perpindahan) dan tiga izdiham (berdesak-desakan), 

adapun intiqol:

1. Berpindahnya dia yang di Hajb dari fardhu kepada fardhu yang lebih sedikit, mereka ada lima: suami-istri, ibu, cucu (putrinya putra), saudari satu ayah, contohnya adalah seperti perpindahan suami dari seperempat menjadi seperdelapan.

2. Perpindahan dari ashobah kepada fardhu yang lebih sedikit bagiannya, ini khusus hanya dalam permasalahan ayah dan kakek saja.

3. Perpindahan dari fardhu kepada ashobah yang bagiannya lebih kecil, ini berkaitan dengan mereka yang termasuk dari kelompok yang mendapat jatah setengah: putri, cucu (putrinya putra), saudari kandung dan saudari satu ayah, hal ini terjadi jika ada bersama setiap dari mereka saudaranya yang laki-laki.

4. Perpindahan dari ashobah kepada ashobah yang lebih sedikit bagiannya, ini berhubungan dengan ashobah ma’alghoir, maka saudari kandung ataupun yang satu ayah ketika bersama putri ataupun cucu (putrinya putra) akan mengambil sisa yaitu setengah, padahal jika bersama saudara laki-lakinya, dia akan mengambil seluruh sisa bersama dan pembagiannya bagi laki-laki sama seperti dua bagian wanita.

5. Sedangkan izdiham akan terjadi dalam fardhu, dan ini terjadi dalam tujuh golongan dari ahli waris, mereka adalah: kakek, istri, sejumlah putri dan cucu

(putrinya putra), beberapa orang saudari kandung, beberapa orang saudari satu ayah, dan beberapa orang saudara satu ibu.

6. Izdiham dalam ashobah: ini akan terjadi pada mereka yang menjadi penyebab ashobah, seperti putra, saudara, paman dan semisalnya.

7. Izdiham dalam Aul: ini akan terjadi pada ashabul furudh jika mereka saling berdesakan.


2. Hajb Hirman: Seseorang menjatuhkan orang lain dari waris secara keseluruhan, ini akan terjadi pada seluruh ahli waris kecuali enam: ayah, ibu, suami, istri, putra dan putri.


Beberapa kaidah dalam hajb hirman bissyahsi:

1. Setiap ahli waris dari ushul (atas) menjatuhkan dia yang berada lebih atas darinya, jika mereka satu jenis, oleh karena itu ayah akan menjatuhkan kakek dan ibu menjatuhkan nenek, begitulah seterusnya.

2. Setiap ahli waris dari keturunan yang laki-laki akan menjatuhkan dia yang berada dibawahnya, baik itu satu jenis ataupun tidak, seorang putra akan menjatuhkan seluruh cucu, baik itu cucu laki-laki ataupun wanita, sedangkan keturunan wanita, dia tidak akan menjatuhkan kecuali dia yang berada dibawahnya, itupun jika dia telah mengambil duapertiga, maka akan jatuhlah seluruh wanita yang berada dibawahnya, kecuali jika dijadikan ashobah bersama saudara laki-lakinya, bagi mereka apa yang masih tersisa dari harta.

3. Setiap ahli waris baik itu yang ushul ataupun keturunan, dia akan menjatuhkan seluruh hawasyi (arah samping), baik itu laki-laki ataupun wanita, tanpa terkecuali.

Hawasyi: mereka adalah seluruh saudara atau saudari, baik itu yang kandung ataupun satu ayah beserta keturunan mereka yang laki-laki, saudara-saudara satu ibu, paman, baik kandung ataupun satu ayah beserta keturunan laki-laki mereka. Adapun wanita, baik itu ushul ataupun keturunan, mereka tidaklah menjatuhkan hawasyi kecuali hanya keturunan saja, mereka adalah: putri dan putrinya putra (cucu) yang menjatuhkan saudara satu ibu.

4. Hawasyi sebagian mereka bersama sebagian lainnya, setiap dari mereka yang menjadi ashobah maka dia akan menjatuhkan siapa saja yang berada dibawahnya, baik itu dari segi arah, kedekatan ataupun kekuatan.

Saudara satu ayah akan jatuh oleh saudara kandung ataupun saudari kandung yang menjadi ashobah ma’alghoir, putra saudara kandung akan jatuh oleh keberadaan saudara kandung, saudari kandung yang menjadi ashobah ma’alghoir, saudara satu ayah dan saudari satu ayah yang menjadi ashobah ma’alghoir, putra saudara satu ayah akan jatuh oleh empat kelompok diatas dan oleh putra saudara kandung.

Paman kandung akan jatuh oleh lima kelompok diatas dan oleh putra saudara satu ayah, paman satu ayah akan jatuh oleh enam kelompok diatas dan oleh paman kandung, putra paman kandung akan jatuh oleh tujuh kelompok diatas dan oleh paman satu ayah, putra paman satu ayah akan jatuh oleh delapan kelompok diatas dan oleh putra paman kandung, adapun saudara-saudara satu ibu mereka akan jatuh oleh keturunan ahli waris serta oleh ushul waris yang laki-laki.

5. Ushul tidak ada yang bisa menjatuhkan mereka kecuali ushul juga, keturunanpun tidak bisa dijatuhkan kecuali oleh keturunan pula, sebagaimana yang telah lalu, sedangkan hawasyi akan dijatuhkan oleh ushul, keturunan dan hawasyi lainnya –sebagaimana yang telah lalu-.

6. Berdasarkan hajb hirman, ahli waris terbagi menjadi empat bagian:

Kelompok pertama bisa menjatuhkan namun tidak bisa dijatuhkan, mereka adalah kedua orang tua serta putra dan putri, kelompok kedua bisa dijatuhkan tapi tidak bisa menjatuhkan, mereka saudara-saudara satu ibu, kelompok ketiga tidak bisa menjatuhkan dan tidak bisa pula dijatuhkan, mereka adalah suami dan istri, kelompok keempat adalah mereka yang bisa menjatuhkan dan bisa dijatuhkan, mereka adalah ahli waris selain dari yang telah disebut diatas.

7. Orang yang memerdekakan budak, baik itu laki-laki ataupun wanita akan jatuh oleh setiap ashobah dari kerabat mayit.

4. TA’SILUL MASAIL

Asli dari setiap permasalahan akan berbeda sesuai dengan perbedaan ahli waris, jika mereka seluruhnya hanya ashobah, maka asli masalahnya sesuai dengan jumlah setiap bagian dari mereka, untuk laki-laki seperti dua bagian wanita, seperti jika seseorang meninggal dan hanya meninggalkan satu putra dan satu putri, maka asli masalahnya dari tiga, untuk putra dua dan untuk putri satu.

Jika dalam permasalahan terdapat seorang ashabul furudh dan ashobah, maka asli masalahnya diambil dari ashabul furudh tersebut, seperti jika seseorang meninggal dan meninggalkan seorang istri dan satu putra, maka permasalahannya dari delapan, untuk istri seperdelapan, yaitu satu dan sisanya untuk putra sebagai ashobah.

Jika dalam permasalahan terdapat beberapa ashabul furudh saja, atau ada ashobah bersama mereka, maka dilihat antara ashabul furudh dengan nisab yang empat, yaitu (mumatsalah, mudaholah, muwafaqoh dan mubayanah) kemudian hasilnya dijadikan asli masalah, pada furudh seperti setengah, seperempat, seperenam, sepertiga, seperdelapan dan dua pertiga, jika terjadi mutamatsilan (dua yang serupa) maka cukuplah dengan salah satunya, jika mutadahilan (saling masuk) maka cukup dengan yang terbesar, jika mutawafiqon, maka perkecilan dari salah satunya dikalikan dengan yang lainnya, dan jika mutabayinan, maka keduanya dikalikan langsung, contohnya seperti berikut ini:

Mumatsalah (1/3 dan 1/3), 

mudaholah (1/6 dan 1/2), 

muwafaqoh (1/8 dan 1/6), 

mubayanah (2/3 dan 1/4) dst.

Asli masalah untuk ashabul furudh ada tujuh: dua, tiga, empat, enam, delapan, duabelas dan duapuluh empat.

Jika harta masih tersisa setelah ashabul furudh dan tidak terdapat ashobah, maka dia harus dibagikan kepada ashabul furudh, selain suami dan istri, contoh suami dan putri, permasalahan dari empat: untuk suami seperempat yaitu satu dan sisanya untuk putri sebagai fardhu dan rod .. dst.

5. PEMBAGIAN TARIKAH (Harta Pusaka)


Tarikah: Apa yang ditinggalkan mayit dari harta ataupun lainnya.

Peninggalan akan dibagikan kepada ahli waris dengan menggunakan salah satu dari beberapa cara berikut ini:

1. Nisbah: Yaitu dengan cara menyandarkan bagian setiap waris kepadanya, lalu memberikan hasilnya dari peninggalan sesuai dengan hitungannya, jika seseorang meninggal dan meninggalkan (istri, ibu dan paman) lalu harta peninggalannya sebesar seratus duapuluh, maka asli masalahnya dari duabelas, untuk istri seperempat yaitu tiga, untuk ibu sepertiga yaitu empat dan sisanya untuk paman yaitu lima. Bagian istri dari asli masalah adalah seperempatnya, maka dia berhak atas seperempat peninggalan yaitu tigapuluh, bagian ibu sepertiganya, maka dia akan mendapat empatpuluh, bagian paman yang lima menurut asli masalah adalah seperempat dan seperenamnya, maka dia mendapat limapuluh.

2. Cara berikutnya adalah dengan cara mengalikan bagian setiap waris dengan peninggalan, kemudian hasilnya dibagi oleh asli masalah, maka akan keluarlah bagian yang akan didapatnya, dalam permasalahan lalu, istri mendapat seperempat yaitu tiga, kalikanlah dengan peninggalan (120) hasilnya adalah (360) lalu bagilah dengan asli masalah (12) sehingga menjadikan bagiannya dari peninggalan adalah (30) begitulah seterusnya.

3. Berikutnya adalah dengan cara membagi peninggalan terhadap asli masalah, nilai yang dihasilkannya dikalikan oleh bagian setiap waris dalam permasalahan, hasil yang didapat adalah bagian yang akan diperoleh oleh setiap ahli waris.

Dalam permasalahan lalu, peninggalan (120) dibagi oleh asli masalah (12), maka akan diperoleh hasil (10), hasil ini dikalikan oleh bagian setiap waris, maka bagian ibu dalam masalah tersebut mendapat sepertiga yaitu empat, kita kalikan dengan sepuluh (10 x 4 = 40), demikianlah hasil yang didapatnya dari peninggalan, dst.

Jika pada waktu pembagian waris ada kerabat mayit yang tidak mendapat waris namun dia hadir, ada juga anak-anak yatim, ataupun orang miskin, hendaklah mereka diberi dari harta peninggalan sebelum dibagi.

Allah berfirman:

وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا


“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik“. 


(An-Nisaa: 8)



6. MIROTS (BAGIAN) DZAWIL ARHAM


Dzawil Arham: Mereka adalah seluruh kerabat dekat yang tidak mendapat waris, tidak dengan fardhu dan tidak pula dengan ashobah.


Dzawil arham akan mendapat waris dengan dua syarat: Tidak adanya ashabul furudh selain suami-istri, tidak adanya ashobah.

Pembagian waris terhadap dzawil arham dilakukan dengan cara melihat kedudukan, setiap dari mereka menduduki tempat yang menjadi penghubungnya, kemudian barulah hasilnya dibagikan terhadap mereka, maka apapun bagian yang didapat oleh penghubung, itulah yang akan mereka dapat, rinciannya sebagai berikut:


1. Putra dari putri (cucu), putranya cucu putri, mereka menempati kedudukan ibu mereka.

2. Putri saudara dan putrinya keponakan, kedudukan mereka sama seperti kedudukan ayahnya, putra saudara satu ibu kedudukannya sama dengan kedudukan saudara satu ibu, putra saudari secara mutlak kedudukannya sama seperti kedudukan ibu mereka.

3. Saudara ibu baik yang laki ataupun wanita dan ayahnya ibu, kedudukannya sama seperti ibu.

4. Saudari ayah dan paman satu ibu menduduki kedudukan ayah.

5. Nenek yang jatuh (mereka yang tidak berhak waris) baik itu dari arah ayah ataupun ibu, seperti ibu ayahnya ibu (neneknya ibu) dan ibu ayahnya kakek (neneknya ayah), yang pertama menduduki kedudukan nenek dari arah ibu dan kedua menduduki kedudukan nenek dari arah ayah.


6. Kakek yang jatuh (mereka yang tidak berhak waris), baik itu dari arah ayah ataupun ibu, seperti ayahnya ibu dan ayah ibunya ayah (ayahnya nenek), yang pertama menduduki kedudukan ibu dan kedua menduduki kedudukan nenek (ibunya ayah).


7. Setiap dari dia yang berhubungan dengan ini, maka dia akan menduduki kedudukan orang yang menjadi penghubungnya, seperti bibinya saudari ayah dan bibinya saudari ibu dst.

Arah dzawil arham hanya tiga: 


bunuwwah (keturunan), 


ubuwwah (keatas) dan 


umumah (paman).

7. MIROTS (BAGIAN) AL-HAML

Al-Haml: Adalah janin yang masih berada dalam perut ibunya.
Al-Haml akan mendapat waris setelah dia terlihat mengeluarkan suara, ketika mayit meninggal dia sudah berada dalam janin walaupun hanya berbentuk air mani, suaranya bisa dengan teriakan, karena haus, menangis ataupun semisalnya.


Dari Abu Hurairoh r.a: bahwasanya Rosulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorangpun keturunan Adam yang dilahirkan kecuali dia akan disentuh oleh setan pada saat dilahirkan, sehingga dia akan berteriak mengeluarkan suara yang disebabkan oleh sentuhan setan tersebut, kecuali Maryam dan putranya“. (Muttafaq ‘Alaih, riwayat Bukhori nomor (3431) dan lafadz darinya, Muslim nomor (2366))


Barang siapa yang meninggalkan ahli waris dan terdapat padanya haml, ada dua keadaan bagi mereka:

1. Mereka menunggu sampai janin dilahirkan dan jelas kelaminnya, barulah kemudian dilakukan pembagian waris.

2. Atau bisa juga mereka meminta untuk dibagikan harta peninggalan sebelum dia dilahirkan, dalam keadaan seperti ini akan disisakan untuk janin dari harta waris sebesar bagian dua orang putra atau dua orang putri, setelah dilahirkan dia akan mengambil bagiannya, sedangkan sisanya akan dikembalikan kepada dia yang berhak, siapa saja yang tidak terhajb (terhalangi) oleh janin, maka dia akan mengambil seluruh bagiannya, contohnya adalah nenek, dan siapa yang sekiranya akan berkurang olehnya, maka dia akan mengambil bagian terkecil, contohnya seperti istri dan ibu, dan siapa saja yang sekiranya akan jatuh olehnya, maka dia tidak akan mengambil bagian sedikitpun, contohnya seperti saudara.


8. MIROTS (BAGIAN) HUNTSA MUSYKIL (BANCI)


Huntsa Musykil adalah dia yang berkelamin ganda (memiliki kelamin pria dan wanita) Huntsa Musykil jika tidak jelas keadaannya, maka dia akan mendapat setengah bagian laki-laki dan setengah bagian wanita.


Apabila huntsa tersebut bisa diharapkan untuk diketahui kejelasan kelaminnya, maka dia harus ditunggu sampai ada kejelasannya, jika mereka tidak mau menunggu dan meminta agar harta peninggalan dibagi, maka hendaklah diberikan kepada dia ataupun lainnya dengan bagian terkecil, kemudian sisanya dibiarkan terlebih dahulu sampai terbukti keadaannya. Pertama-tama buatlah permasalahan dengan menganggap dia itu seorang pria, kemudian buatlah permasalahan baru dengan menjadikannya seorang wanita, setelah itu berikanlah kepada huntsa


ataupun ahli waris lainnya bagian terkecil, sedangkan sisa harta hendaklah dibiarkan sampai keadaannya bisa dibedakan.


Diketahui kejelasan keadaan huntsa oleh beberapa perkara:


Kencing atau keluarnya air mani dari salah satu kelamin, jika kencing dari keduanya maka hendaklah melihat kepada yang lebih dahulu keluar, akan tetapi jika berbarengan, maka hendaklah melihat dari segi banyaknya, kecondongannya terhadap lawan jenis, tumbuhnya jenggot, haid, hamil, tumbuhnya dua buah susu, keluarnya air susu dari dadanya, dlsb.

9. MIROTS (BAGIAN) MAFQUD

Mafqud: Adalah dia yang terputus beritanya, keadaannya tidak diketahui, apakah dia masih hidup ataukah meninggal.


Mafqud memiliki dua keadaan: meninggal dan hidup, pada keduanya ada pembahasan hukum khusus, hukum yang berhubungan dengan istrinya, hukum yang berhubungan dengan warisannya dari orang lain, warisan orang lain darinya, serta warisan bersama antara dia dengan yang lainnya, jika tidak bisa dipastikan keadaannya antara hidup dan mati, maka haruslah ditentukan waktu tertentu untuk membuktikan kenyataannya dan juga kesempatan untuk mencarinya, ketentuan waktu tersebut diserahkan kepada ijtihad seorang hakim.


Keadaan mafqud:

1. Jika mafqud sebagai orang yang diwarisi, apabila waktu menunggu yang telah ditentukan habis dan keadaannya belum diketahui, maka dia dihukumi telah meninggal, lalu harta pribadinya dibagikan, begitu pula dengan harta miliknya yang dihasilkan dari warisan orang lain terhadapnya, seluruhnya dibagikan kepada ahli warisnya yang ada ketika dia dihukumi meninggal, dan tidak diberikan kepada mereka yang telah meninggal pada masa penantian.

2. Jika mafqud menjadi salah seorang yang mendapat waris dan tidak ada orang lain padanya, maka harta tersebut untuk sementara dibiarkan sampai ada kejelasan tentangnya, atau habis masa penantiannya, jika ada ada ahli waris lain bersamanya dan mereka menuntut agar harta tersebut dibagikan, hendaklah seluruhnya diperlakukan dengan mendapat bagian terkecil, sementara sisanya dibiarkan sampai ada kejelasan tentangnya, jika hidup maka dia akan mengambil


bagiannya dan jika meninggal maka harta yang ada dibagikan kepada mereka yang berhak.


Pertama kali hendaklah dibuat sebuah permasalahan yang dianggap padanya kalau mafqud hidup, kemudian dibuat sebuah permasalahan kedua dengan menganggapnya sebagai mayit, barang siapa yang mendapat waris pada dua keadaan tersebut dengan bagian berbeda, maka hendaklah diberikan kepadanya bagian terkecil, barang siapa yang pada keduanya mendapat bagian yang sama, maka diberikan haknya secara penuh, sedangkan dia yang hanya mendapat bagian pada salah satunya saja, maka dia tidak diberikan harta sedikitpun, lalu apa yang masih tersisa dari harta dibiarkan untuk sementara sampai ada kejelasan tentang keadaan mafqud.

10. MIROTS (BAGIAN) GHORQO, HADMA DAN SEMISALNYA

Yang dimaksud disini: Sekelompok ahli waris yang meninggal bersama dalam sebuah kejadian tertentu, seperti tenggelam, kebakaran, peperangan, runtuhnya gedung, kecelakaan mobil, pesawat, kereta api dan semisalnya.


Keadaan mereka: mereka memiliki lima keadaan:


1. Diketahui dengan pasti kalau salah seorang dari mereka meninggal belakangan, maka dia berhak untuk mendapat waris dari dia yang meninggal lebih dahulu, dan tidak sebaliknya.

2. Diketahui jika mereka seluruhnya meninggal berbarengan, maka mereka tidak akan saling mewarisi satu dengan lainnya.

3. Tidak diketahui bagaimana mereka meninggal, apakah meninggalnya satu persatu? Ataukah berbarengan? Maka mereka tidak akan saling mewarisi.

4. Diketahui jika meninggalnya mereka berurutan, akan tetapi tidak diketahui dengan pasti siapa yang meninggal terakhir diantara mereka, maka dalam keadaan inipun mereka tidak akan saling mewarisi.

5. Diketahui siapa yang terakhir meninggal, namun kemudian dilupakan, maka dalam keadaan inipun mereka tidak akan saling mewarisi.


Dalam empat keadaan terakhir mereka tidak saling mewarisi, dengan demikian harta dari setiap mereka hanya dibagikan kepada ahli warisnya yang masih hidup saja, tidak dengan mereka yang meninggal berbarengan.

11. MIROTS (BAGIAN) AL-QOTIL (PEMBUNUH)

Barang siapa yang membunuh langsung orang yang mewarisinya atau ikut secara langsung dalam pembunuhannya ataupun menjadi penyebabnya tanpa hak, maka dia tidak berhak untuk mendapat warisan darinya, pembunuhan dengan tidak hak: dia yang terjamin oleh beberapa ketentuan, diyat ataupun kafarat, seperti pembunuhan dengan disengaja dan yang mirip dengan disengaja ataupun kesalahan dalam membunuh, serta apa saja yang mirip dengan kesalahan mebunuh, seperti pembunuhan dengan sebab, pembunuhan anak kecil, orang tidur dan orang gila.


Orang yang membunuh dengan sengaja tidak berhak untuk mendapat waris, hikmah darinya adalah: keterburu-buruan untuk mendapat waris, dan siapa saja yang menyegerakan sesuatu sebelum saatnya tiba, maka dia akan dihukum dengan tidak mendapatkannya, sedangkan pembunuhan yang tidak sengaja, pelarangannya dari waris sebagai bentuk penutupan terhadap ancaman dan penjagaan terhadap penumpahan darah; agar tidak dijadikan penyebab atas ketamakan dalam menumpahkan darah.


Jika pembunuhan dalam bentuk qisos, had ataupun pembelaan diri dan semisalnya, hal seperti ini tidak menghalangi seseorang dari mendapat waris.


Orang murtad tidak mewarisi siapapun dan tidak pula mendapat waris, jika dia meninggal dalam keadaan murtad, maka seluruh harta miliknya diserahkan kepada baitul mal kaum muslimin.

12. MIROTS (BAGIAN) LAIN AGAMA

Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi Muslim; dikarenakan oleh perbedaan agama mereka, orang kafir itu seperti mayit dan mayit tidak bisa mewarisi.

Orang-orang kafir sebagian mereka mewarisi sebagian lainnya, jika mereka satu agama, dan tidak saling mewarisi jika berlainan agama, karena agama ini bermacam-macam, yahudi merupakan sebuah agama, nasrani agama, majusi agama dan begitulah seterusnya.

Orang-orang yahudi akan saling mewarisi sesama mereka, orang-orang nasrani dan majusipun demikian, sama halnya dengan agama-agama yang lainnya, sehingga seorang yahudi tidak mungkin akan mewarisi dari nasrani, begitu pula dengan agama lainnya.

13. WARIS (BAGIAN) WANITA

Islam telah memuliakan wanita, menghargainya serta memberinya bagian dari waris yang sesuai dengan keadaannya, sebagaimana berikut ini:

1. Terkadang dia mendapat bagian yang sama dengan pria, sebagaimana yang terjadi dengan saudara dan saudari satu ibu, ketika bergabung mereka akan menerima bagian yang sama.

2. Terkadang dia mendapat bagian yang sama atau lebih sedikit dari pria, sebagaimana yang terjadi dengan ayah dan ibu, jika terdapat bersama keduanya putra mayit yang laki atau laki dan perempuan, maka setiap dari ayah dan ibu akan menerima seperenam, dan jika yang ada hanya keturunan mayit yang perempuan saja, maka untuk ibu seperenam dan untuk ayah seperenam beserta sisa harta ketika tidak ada ashobah.

3. Terkadang wanitapun akan mendapat setengah dari bagian laki-laki, dan inilah yang lebih umum.

Penyebabnya: bahwa Islam telah mewajibkan kepada laki-laki beberapa beban dan kewajiban dari hartanya, pada saat hal tersebut tidak diharuskan terhadap wanita, seperti pembayaran mahar (mas kawin), menyediakan rumah, memberi nafkah kepada istri dan anak, membayar diyat, sementara wanita tidak diwajibkan bagi mereka untuk memberi nafkah, tidak terhadap dirinya dan tidak pula terhadap anak-anaknya.

Oleh sebab itu semua, Islam telah memuliakan wanita ketika meniadakan seluruh beban tersebut darinya, dan membebankannya kepada laki-laki, kemudian memberikan setengah bagian dari apa yang didapat oleh laki-laki, sehingga hartanya semakin bertambah, sementara harta laki-laki akan berkurang oleh nafkah terhadap dirinya, istrinya dan juga anak-anaknya, inilah dia bentuk keadilan diantara dua jenis kelamin yang berbeda, karena sesungguhnya Rob kalian tidak akan pernah berbuat kedzoliman terhadap hamba-Nya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

1. Allah berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…“. 


(An-Nisaa: 34)




2. Firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ


“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran“. (An-Nahl: 90)