Kamis, 31 Agustus 2017

Khutbah idul adha

Khutbah I

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ.

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانِ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلِ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ.

اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ،

فَيَاعِبَادَ اللهِ: اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

.

Hari raya kurban atau biasa kita sebut Idul Adha yang kita peringati tiap tahun tak bisa terlepas dari kisah Nabi Ibrahim
Meskipun, praktik kurban sebenarnya sudah dilaksanakan putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil. Diceritakan bahwa kurban yang diterima adalah kurban Habil bukan Qabil. Itu pun bukan daging atau darah yang Allah terima namun ketulusan hati dan ketakwaan dari si pemberi kurban.

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)

Kendati sejarah kurban sudah berlangsung sejak generasi pertama umat manusia, namun syariat ibadah kurban dimulai dari cerita perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail (‘alaihissalâm).
Seorang anak yang di idam-idamkan bertahun-tahun karena istrinya sekian lama mandul. Dalam Surat ash-Shaffat ayat 100 sampai 107 dijelaskan bahwa semula Nabi Ibrahim berdoa:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ.

“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.”

فبشَّرْناهُ بغلامٍ حليمٍ١٠١

Maka kami beri dia kabar gembira dengan anugerah kelahiran seorang anak yang amat cerdas dan sabar (ghulâm halîm). ( ash shoffat 101 )

ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺑَﻠَﻎَ ﻣَﻌَﻪُ ﺍﻟﺴَّﻌْﻲَ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺑُﻨَﻲَّ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺭَﻯٰ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﻨَﺎﻡِ ﺃَﻧِّﻲ ﺃَﺫْﺑَﺤُﻚَ ﻓَﺎﻧْﻈُﺮْ ﻣَﺎﺫَﺍ ﺗَﺮَﻯٰ ۚ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺃَﺑَﺖِ ﺍﻓْﻌَﻞْ ﻣَﺎ ﺗُﺆْﻣَﺮُ ۖ ﺳَﺘَﺠِﺪُﻧِﻲ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﺎﺑِﺮِﻳﻦَ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar ( ash shoffat102 )

ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺃَﺳْﻠَﻤَﺎ ﻭَﺗَﻠَّﻪُ ﻟِﻠْﺠَﺒِﻴﻦِ

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). ( Ash shoffat 103 )

Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Lalu Ibrâhîm membaringkan Ismail dengan posisi pelipis di atas tanah dan siap disembelih.

ﻭَﻧَﺎﺩَﻳْﻨَﺎﻩُ ﺃَﻥْ ﻳَﺎ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢُ

Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, (ash shoffat104)

ﻗَﺪْ ﺻَﺪَّﻗْﺖَ ﺍﻟﺮُّﺅْﻳَﺎ ۚ ﺇِﻧَّﺎ ﻛَﺬَٰﻟِﻚَ ﻧَﺠْﺰِﻱ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ

sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. ( Ash shoffat 105 )

Atas kehendak Allah, drama penyembelihan anak manusia itu batal dilaksanakan. Allah berfirman dalam ayat berikutnya:

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ. ١٠٦
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ. سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ. كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ ١٠٧

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”( Ash shaffat 106 107 )

Hadirin, Rohimakumullah

Ibadah kurban tahunan yang umat Islam laksanakan adalah bentuk i’tibar atau pengambilan pelajaran dari kisah tersebut. Setidaknya ada tiga pesan yang bisa kita tarik dari kisah tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta ritual penyembelihan hewan kurban secara umum.

Pertama, tentang totalitas kepatuhan kepada Allah subhânau wata’âla. Nabi Ibrahim yang mendapat julukan “khalilullah” (kekasih Allah) mendapat ujian berat pada saat rasa bahagianya meluap-luap dengan kehadiran sang buah hati di dalam rumah tangganya. Lewat perintah menyembelih Ismail, Allah seolah hendak mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa anak hanyalah titipan. Anak—betapapun mahalnya kita menilai—tak boleh melengahkan kita bahwa hanya Allahlah tujuan akhir dari rasa cinta dan ketaatan.

Nabi Ibrahim lolos dari ujian ini. Ia membuktikan bahwa dirinya sanggup mengalahkan egonya untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Dengan penuh ketulusan, Nabi Ibrahim menapaki jalan pendekatan diri kepada Allah sebagaimana makna qurban, yakni pendekatan diri.

Sementara Nabi Ismail, meski usianya masih belia, mampu membuktikan diri sebagai anak berbakti dan patuh kepada perintah Tuhannya. Yang menarik, ayahnya menyampaikan perintah tersebut dengan memohon pendapatnya terlebih dahulu, dengan tutur kata yang halus, tanpa unsur paksaan. Atas dasar kesalehan dan kesabaran yang ia miliki, ia pun memenuhi panggilan Tuhannya.

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullâh,

Pelajaran kedua adalah tentang kemuliaan manusia. Dalam kisah itu di satu sisi kita diingatkan untuk jangan menganggap mahal sesuatu bila itu untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan, namun di sisi lain kita juga diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk tubuh manusia—sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman dulu—adalah hal yang diharamkan.

Manusia dengan manusia lain sesungguhnya adalah saudara. Mereka dilahirkan dari satu bapak, yakni Nabi Adam ‘alaihissalâm. Seluruh manusia ibarat satu tubuh yang diciptakan Allah dalam kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu manusia ibarat membunuh manusia atau menyakiti manusia secara keseluruhan. Larangan mengorbankan manusia sebetulnya penegasan kembali tentang luhurnya kemanusiaan di mata Islam dan karenanya mesti dijamin hak-haknya.

Pelajaran yang ketiga yang bisa kita ambil adalah tentang hakikat pengorbanan. Sedekah daging hewan kurban hanyalah simbol dari makna korban yang sejatinya sangat luas, meliputi pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya.

Pengorbanan merupakan manifestasi dari kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Bayangkan, bila masing-masing manusia sekadar memenuhi ego dan kebutuhan sendiri tanpa peduli dengan kebutuhan orang lain, alangkah kacaunya kehidupan ini. Orang mesti mengorbankan sedikit waktunya, misalnya, untuk mengantre dalam sebuah loket pejualan tiket, bersedia menghentikan sejenak kendaraannya saat lampu merah lalu lintas menyala, dan lain-lain. Sebab, keserakahan hanya layak dimiliki para binatang. Di sinilah perlunya kita “menyembelih” ego kebinatangan kita, untuk menggapai kedekatan (qurb) kepada Allah, karena esensi kurban adalah solidaritas sesame dan ketulusan murni untuk mengharap keridhaan Allah.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Nahl: 120-123

إِنَّ إِبۡرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةٗ قَانِتٗا لِّلَّهِ حَنِيفٗا وَلَمۡ يَكُ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ.

شَاكِرٗا لِّأَنۡعُمِهِۚ ٱجۡتَبَٰاهُ وَهَدَاٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ.

وَءَاتَيۡنَٰهُ فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗۖ وَإِنَّهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ لَمِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ.

ثُمَّ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),

(dia) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus,

Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh,

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS an-Nahl: 120-123)

Ayat tersebut menggambarkan profil Nabi Ibrahim AS di antaranya bahwa beliau adalah seorang pemimpin teladan, yang patuh kepada Allah, selalu konsisten dalam menjalankan perintah-Nya, orang yang bertauhid yang hanya menyembah kepada Allah, orang yang bersyukur atas segala nikmatnya, orang pilihan di antara para Nabi, di dunianya bernasib baik dan di akhiratnya termasuk hamba Allah yang sholeh.

Nabi Ibrahim AS adalah figur seorang bapak yang tabah dalam mengurusi rumah tangganya, beliau juga orang yang berhasil mendidik keturunannya menjadi orang yang beriman, Ibrahim juga adalah sosok seorang nabi yang jujur.Ibrahim adalah seorang nabi yang sangat lembut hatinya dan penyantun.

إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيْمٌ

Artinya: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang nabi yang sangat lembut hatinya dan penyantun” (QS an-Nahl: 114).

Siapa pun ingin hidupnya sukses tapi lupa harus bagaimana mereka berbuat dan kepada siapa mereka berkiblat.

Kalau berbicara figur buat rujukan di hari raya Idul Adha ini yang paling relevan adalah Nabi Ibrahim AS. Karena Idul Adha adalah 'id-nya Nabi Ibrahim AS, buat mengenang perjalanan Nabi Ibrahim AS.

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,

Ada beberapa poin penting yang harus dijaga, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Nabi Ibrahim pemimpin teladan.

Beliau lebih mengutamakan nasib orang lain daripada dirinya. Ibrahim lebih melihat generasi penerusnya daripada pribadinya.

Lihat ketika Ibrahim akan diangkat menjadi pemimpin, beliau berkata “Ya Allah bagaimana nasib keturunanku?” Allah menjawab, “Ya, juga keturunanmu, asal keturunanmu itu tetap istiqamah bersamamu dan tidak berbuat dzalim sesuai dg firman Allah dalam surat Albaqoroh 124

ﻭَ ﺇِﺫِ ﺍﺑْﺘَﻠَﻰ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﺭَﺑُّﻪُ ﺑِﻜَﻠِﻤَﺎﺕٍ ﻓَﺄَﺗَﻤَّﻬُﻦَّ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﻧِّﻲْ ﺟَﺎﻋِﻠُﻚَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﺇِﻣَﺎﻣًﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻭَ ﻣِﻦْ ﺫُﺭِّﻳَّﺘِﻲْ ﻗَﺎﻝَ ﻻَ ﻳَﻨَﺎﻝُ ﻋَﻬْﺪِﻱ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴْﻦ‏( 124 )

Dan (ingatlah) tatkala telah diuji Ibrahim oleh TuhanNya dengan beberapa kalimat, maka telah dipenuhinya semuanya.
Diapun berfirman : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan engkau Imam bagi manusia.
Dia ( Ibrahim ) berkata : Dan juga dari antara anak-cucuku. 
Allah Berfirman : Tidaklah akan tercapai perjanjianKu itu kepada orang-orang yang zalim.

Bagi kita penting memperhatikan kepemimpinan sebab pemimpinlah yang akan menentukan nasib agama dan bangsa. Pemimpinlah yang akan mewarnai segala corak masyarakat sebuah bangsa. Oleh karena itu kewajiban kita hanya satu dalam masalah kepemimpinan ini yaitu memilih pemimpin yang beriman dan amanah.

2. Nabi Ibrahim adalah orang yang sangat patuh kepada Allah walaupun melaksanakan perintah yg menurut kita merugikan.
Contohnya ketika Allah menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya, tanpa ragu-ragu langsung dilaksakan kemudian dipangggilnya Ismail untuk bermusyawarah. Dari musyawarah itu Ismail setuju dirinya dijadikan kurban oleh ayahnya (QS as-Shaffat: 107), ketika Ismail dieksekusi oleh ayahnya, Ismail sabar dan pasrah kepada Allah. Nabi Ibrahim yakin tidak akan ada sebuah perintah dari Allah tanpa jaminan dari Allah. Buktinya benar bahwa sembelihan Ibrahim diganti dengan sembelihan kambing yang sangat besar, inilah cikal bakal adanya syariat kurban. Oleh karena itu marilah kita berkurban semoga Allah akan menggantinya dengan rezeki yang lebih besar.

3. Ibrahim adalah orang yang hanif, artinya orang yang ajeg dalam agamanya, tidak miring ke kiri dan tidak miring ke kanan, lurus sebagaimana pesan Allah. Hal ini terlihat dari dua kaki yang membekas pada batu yang sering disebut dengan maqam Ibrahim. Bekas telapak kaki beliau yang kanan condong ke kiri dan yang kiri condong ke kanan. Artinya Nabi Ibrahim berkarakter istiqamah seperti disebutkan dalam ayat

فاستقم كما أمرت
maka istiqamahlah kamu sebagaimana diperintahkan.

4. Nabi Ibrahim adalah orang yang bertauhid yang hanya menyembah kepada Allah, sebagaimana ikrar kita dalam doa iftitah “Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada pencipta langit dan bumi, dengan patuh dan tunduk serta aku bukan hamba yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah untuk Rab seluruh alam, tiada sekutu bagi-Nya dan aku diperintahkan untuk itu dan aku adalah hamba yang berserah diri”. Nabi Ibrahim merupakan seorang yang konsisten membela tauhid dari sejak remaja. Sejarah menceritakan kisah beliau yang menghancurkan sesembahan Namrud yang membuatnya dihukum dengan cara dibakar meski beliau selamat dan tidak ada selembar rambutpun yang terbakar. Ayahnya juga mengancam dan mengusir Ibrahim dari rumahnya gara-gara mengusik keyakinannya tapi Ibrahim selalu membalas dengan kata-kata yang santun tanpa caci maki, bahkan beliau memohonkan ampun untuk ayahnya. Itulah kesantunan Ibrahim yang sangat lembut
إن إبراهيم لاوَّاهٌ حَليم
(QS At-Taubah 114).

5. Nabi Ibrahim adalah orang yang bersyukur kepada Allah di antaranya beliau orang yang sangat pemurah tangannya, penyayang kepada siapa pun. Disebut juga khalilullah karena beliau sangat baik pergaulannya dengan siapa pun terutama kepada tamu yang datang kepadanya. Beliau tidak pernah makan kecuali selalu berjamaah, bahkan sengaja beliau mengundang tetangga buat menemani makan sampai harus berjalan jauh ke kampung-kampung.

Berjamaah dalam makan dan minum adalah sunnah Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang banyak barokahnya. Makanan sedikit pun bisa dinikmati oleh orang banyak. Rasulullah sendiri pernah berbagi roti dengan para sahabatnya di sebuah perjalanan. Uniknya, walaupun rotinya sedikit, ternyata cukup untuk banyak orang.

6. Nabi Ibrahim AS adalah hamba pilihan Allah. Beliau tak hanya diangkat menjadi seorang Nabi, tapi juga bapaknya para nabi. Dari kedua putranya, Ismail AS dan Ishak AS lahirlah keturunan para nabi yang amat banyak. Agama Ibrahim AS dipilih sebagai millah yang menjadi anutan semua nabi sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Agama Yahudi, Nashrani dan Islam asalnya sama sama memiliki ajaran tauhid, karena sama-sama menjunjung tinggi ajaran Ibrahim AS. Hanya setelah generasinya berubah maka berubah pula akidahnya.

7. Ibrahim AS diberi jalan yang lurus atau shirathal mustaqim. Maksudnya agama yang benar, agama yang hanif yang semakna dengan agama Islam adalah diinul qayyimah agama yang bebas dari syirik dan kesesatan. Agama yang diridlai yang akan diterima Allah SWT, Siapa pun harus ridha dengan Islam sebagai agamanya.
Sabda Nabi Muhammad saw "Islamlah, pasti kamu selamat". Islam adalah agama damai, agama yang mengedepankan kebersamaan dan toleransi walaupun beda agamanya. "Orang muslim adalah orang yang menjadikan orang muslim lainnya terjamin dari ucapan serta perbuatannya."

8. Ibrahim AS adalah orang berbahagia di dunianya, di antaranya di masa tuanya diberi anak yang saleh yang setia membantu pekerjaannya. Terutama pada waktu Ka'bah dibangun, maka putranyalah yang setia mendampingi sang ayah menjadi arsitek, demikian pula waktu pemeliharaannya, sampai Ibrahim AS berdoa di depan Ka'bah sebagaimana terekam dalam Surat Al-Baqarah 127- 129.

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ. رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ. رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana’.”

9. Ibrahim AS di akhiratnya sebagai bagian dari hamba yang sholeh, artinya hamba yang mendapat derajat yang sangat tinggi di dalam surga, salah satunya adalah kedudukan orang yang membaca tashbih, diberikan pahala bagaikan panen yang tidak pernah berhenti, setiap panen tumbuh lagi setiap panen tumbuh lagI, itu adalah orang yang selalu membaca tasbihnya Ibrahim AS.

Kita sering memohon nikmat di akhirat, sebenarnya yang kita minta adalah nikmatnya para nabi, shiddiiqin, syuhada dan shalihin. Empat kelompok ahli surga yang sudah berada pada shirathal mustaqim, artinya mereka sudah mendapatkan nikmat yang sebenarnya yaitu
صراط الذين أنعمت عليهم

karena mereka sudah memenuhi syarat yaitu taat kepada Allah dan rasul-Nya. Firman Allah dalam QS An-Nisa ayat 69:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Artinya: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa: 69)

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,

Dalam momen hari raya kurban kali ini, marilah kita kenang sejarah Nabi Ibrahim AS dengan mengikuti ajarannya. Pastikan Nabi Ibrahim AS adalah nabi teladan bagi umat Nabi Muhammad SAW. Betapa banyak ajaran Nabi Ibrahim yang menjadi ajaran Nabi Muhammad Saw, baik dalam haji, ibadah shalat dan akhlak, demikian pula shalawat.

Ketika kita menjadi ayah, jadilah seperti Nabi Ibrahim, ketika jadi anak jadikanlah seperti kedua anak Nabi Ibrahim, yakni Nabi Ismail dan Ishak, dan ketika jadi istri jadilah seperti istri beliau, yakni Siti Sarah dan Siti Hajar dalam kepatuhannya kepada Allah. Semoga kita bisa meneladani ini semua. Amiin 

 اعوذ بالله من الشيطان الرجيم 

 بسم الله الرحمن الرحيم

 إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ.
وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. 
وَتَقَبَّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. 

  (وقل رب اغفر وارحم وانت خير الراحمين)

Khutbah II

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلي يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.

عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Rabu, 30 Agustus 2017

Hukum oral sex menurut berbagai ulama

Hukum oral sex menurut para ulama

PENGANTAR

Oral seks adalah aktivitas seksual yang menjadikan alat kelamin lelaki dan wanita sebagai obyek. Baik itu dengan cara mencium, mengecup, menjilat, mengulum, atau mempermainkan alat kelamin pasangannya. Baik dilakukan sebagai aktivitas pemanasan (foreplay) sebelum bersetubuh maupun sebagai sarana seks tersendiri untuk mencapai orgasme.

Dalam istilah kontemporer, oral seks dibahasakan dengan

الجنس الفموي/الجنس الشفوي/الجماع الفموي

Seksual / الجنس

Oral seks berupa dua macam, yakni aktivitas menjilat kelamin wanita oleh lelaki (Cunnilingus) dan aktivitas menghisap kelamin lelaki oleh wanita (Fellatio).

Mengenai Cunnilingus (oral seks pada kelamin wanita) disebutkan secara sharih keterangan kebolehannya oleh sejumlah ulama:

- Zainuddin al-Malaibari:

( تتمة ) يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها

"Boleh bagi suami menikmati semua jenis aktivitas seks dari istrinya selain pada lingkaran duburnya, meskipun dilakukan dengan menghisap klitorisnya" (Fathul Mu'in, 3/340).

- Al-Bahuthi:

قال القاضي يجوز تقبيل فرج المرأة قبل الجماع

"Qadhi Ibnu Muflih berkata: Boleh mencium kelamin isterinya sebelum bersetubuh" (Kasysyaful Qana', 5/17).

- Al-Haththab:

وقد روي عن مالك أنه قال لا بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع وزاد في رواية ويلحسه بلسانه

"Disebutkan riwayat dari Imam Malik bahwasanya beliau berkata: Tidak apa-apa melihat kemaluan saat bersetubuh. Ditambahkan dalam riwayat lain: Serta menjilat kemaluan tersebut dengan lidahnya." (Mawahib al-Jalil, 5/23).

- Al-Qurthubi:

وقد قال أصبغ من علمائنا : يجوز له أن يلحسه بلسانه

"Ashbagh salah satu ulama [malikiyah] kami berkata: Boleh baginya [suami] menjilatnya [kemaluan istrinya] dengan lidahnya." (Tafsir Al-Qurthubi, 12/232).

Sedangkan mengenai Fellatio (oral seks pada kelamin lelaki) disebutkan secara mafhum dari dhabith umum kebolehan semua aktivitas seksual serta pendekatan-pendekatan tekstual dalam beragam literatur klasik:

- Dalam Fathul Mu'in tentang dhabith umum tamaththu':

( تتمة ) يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها

"Boleh bagi suami menikmati semua jenis aktivitas seks dari istrinya selain pada lingkaran duburnya, meskipun dilakukan dengan menghisap klitorisnya" (Fathul Mu'in, 3/340)

Mahallu syahid: 'menikmati semua jenis aktivitas seks dari istrinya.'

- Dalam Tafsir ath-Thabari tentang obyek umum tamaththtu' dzakar:

حدثنا تميم قال، أخبرنا إسحاق، عن شريك، عن ليث قال: تذاكرنا عند مجاهد الرجل يلاعب امرأته وهي حائض، قال: اطعن بذكرك حيث شئت فيما بين الفخذين والأليتين والسرة، ما لم يكن في الدبر أو الحيض.

"Telah menceritakan kepada kami Tamim, telah mengkhabarkan kepada kami Ishaq, dari Syarik, dari Laits berkata: Kami di sisi Mujahid membicarakan tentang seorang lelaki yang mencumbu istrinya saat Haid. Mujahid berkata; "Tusukkan alat kelaminmu di manapun yang engkau kehendaki; di antara dua paha, dua pantat, dan pusar. Selama tidak di anus atau saat datang haidh." (Tasfir ath-Thabari, 4/380)

Mahallu syahid: 'Tusukkan alat kelaminmu di manapun yang engkau kehendaki.'

- Dalam Hasyiyah ad-Dasuqi tentang hukum asal mubahnya tubuh istri selama tidak ada ketentuan khusus nash:

قَوْلُهُ ( فَيَجُوزُ التَّمَتُّعُ بِظَاهِرِهِ ) أَيْ وَلَوْ بِوَضْعِ الذَّكَرِ عليه وَالْمُرَادُ بِظَاهِرِهِ فَمُهُ من خَارِجٍ وما ذَكَرَهُ الشَّارِحُ من جَوَازِ التَّمَتُّعِ بِظَاهِرِ الدُّبُرِ هو الذي ذَكَرَهُ الْبُرْزُلِيُّ قَائِلًا وَوَجْهُهُ عِنْدِي أَنَّهُ كَسَائِرِ جَسَدِ الْمَرْأَةِ وَجَمِيعُهُ مُبَاحٌ إذْ لم يَرِدْ ما يَخُصُّ بَعْضُهُ عن بَعْضٍ بِخِلَافِ بَاطِنِهِ اه

"[Diperbolehkan mencumbui pada luar dubur] yakni walau dengan menaruh kemaluan di atasnya. Yang dimaksud dengan luar dubur yaitu mulut dubur dari arah luar tubuh. Pendapat Pensyarah tentang kebolehan mencumbui luar dubur adalah sebagaimana yang dikatakan oleh al-Burzuli, dia berkata: 'Konsepnya, menurutku, bagian luar dubur adalah sebagaimana keseluruhan bagian tubuh wanita, kesemua tubuh wanita diperbolehkan mengingat tidak dijumpai ketentuan khusus nash pada bagian tubuh wanita tertentu, berbeda dengan bagian dalam dubur.' Demikian perkataan al-Burzuli. " (Hasyiyah ad-Dasuqi, 2/216)

Mahallu syahid: 'Kesemua tubuh wanita diperbolehkan mengingat tidak dijumpai ketentuan khusus nash pada bagian tubuh wanita tertentu'.

- Dalam al-Inshaf tentang mencium dzakar:

الثانية: ليس لها استدخال ذكر زوجها وهو نائم بلا إذنه ولها لمسه وتقبيله بشهوة

"Tidak berhak bagi istri memasukkan alat kelamin suaminya tanpa seijinnya sementara suami dalam keadaan tidur, namun istri boleh merabanya dan menciumnya dengan syahwat" (al-Inshaf, 8/27)

- Dalam al-Mughni li Ibni Qudamah tentang kesunahan foreplay:

وقد روي عن عمر بن عبد العزيز عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال :لا تواقعها إلا وقد أتاها من الشهوة مثل ما أتاك لكيلا تسبقها بالفراغ

"Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, dari Nabi SAW bahwasanya beliau berkata: Janganlah engkau menyetubuhinya kecuali dia telah bangkit syahwatnya sebagaimana dirimu, agar engkau tidak mendahuluinya dalam klimaks." (al-Mughni li Ibnu Qudamah, 8/136)

PERBANDINGAN

Berangkat dari kaidah umum para ulama klasik, selanjutnya oral seks dibahas juga oleh sejumlah ulama kontemporer:

- Ali Jum'ah, Mufti Mesir:

السؤال  سألني أحدهم عن الحكم الشرعي عن مسألة مص، أو لعق الرجل لفرج المرأة، أو العكس - أجلكم الله - هل هو حرام؟

الجواب  يجوز لكل من الزوجين الاستمتاع من الآخر بكل شئ ما خلا الدبر والحيضة للأحاديث الواردة، انظر ما رواه البخاري (302)، ومسلم (293) وفي الحيض نص قرآني انظر سورة البقرة الآية (222).

"Pertanyaan: Seseorang bertanya kepadaku tentang masalah menghisap, atau menelannya lelaki terhadap alat kelamin wanita atau sebaliknya -semoga Allah mengagungkanmu- apakah hal itu diharamkan?

Jawaban: Diperbolehkan bagi suami-istri untuk mencumbui satu sama lain dengan apapun selain pada dubur serta dalam keadaan haidh, berlandaskan sejumlah hadits, lihatlah riwayat Bukhari no. 302, riwayat Muslim no. 293, dan al-Baqarah ayat 222."

- Said Ramadhan al-Buthi, Mufti Suriah:

ما المحرَّمات في الاستمتاع الجنسي بين الزوجين؟

العلاقات الجنسية واسعة النطاق ، ولم يحرم إلا أمورًا ضيقة ، وفي هذه النظرة التوسعية دعوة لكل من الرجل والمرأة للاكتفاء بالمعاشرة المباحة ، وترك كل علاقة محرمة ،

والمحرم في العلاقة الجنسية بين الزوجين هو الجماع وقت الحيض ، والجماع في الدبر ، وكل استمتاع ثبت ضرره ،لأنه لا ضرر ولا ضرار، وماسوى ذلك فيرجع للعرف وللزوجين على أنه لا يجب إكراه أحد الزوجين للآخر في فعل شيء

إن الحقَّ المتبادل بين الزوجين ليس خصوص (الجماع) بل عموم ما سمّاه القرآن (الاستمتاع)، وهذا يعني أن لكلٍّ من الزوجين أن يذهب في الاستمتاع بزوجه المذهب الذي يريد، من جماع وغيره.ولا يستثنى من ذلك إلا ثلاثة أمور:

1ـ الجماع أيام الطَّمث..

2ـ الجماع في الدبر، أي الإيلاج في الشرج..

3ـ المداعبات التي ثبت أنها تضرُّ أحد الزوجين أو كليهما، بشهادة أصحاب الاختصاص أي الأطباء.

أما ما وراء هذه الأمور الثلاثة المحرَّمة، فباقٍ على أصل الإباحة الشرعية...

"Apakah yang diharamkan dari percumbuan seksual di antara suami-istri ?

Hubungan seksual luas untuk dibicarakan. Tidak diharamkan kecuali pada beberapa hal saja. Dan dalam bahasan yang luas ini terkandung ajakan bagi suami-istri untuk mencukupkan diri pada pergaulan yang mubah serta meninggalkan hubungan yang diharamkan. Yang diharamkan dari hubungan seksual antara suami-istri yaitu bersetubuh di saat haidh, bersetubuh pada dubur, serta setiap percumbuan yang menimbulkan dampak buruk, sebab ada kaidah 'la dharara wa la dhirar'. Selain yang telah disebutkan maka dikembalikan hukumnya pada 'urf dan suami-istri, mempertimbangkan bahwa tidak diwajibkan untuk memaksa pasangannya melakukan hal itu."

"Sesungguhnyalah, hak bersama antara suami-istri tidak sebatas pada konteks bersetubuh melainkan terlaku umum pada apa yang dibahasakan al-Qur'an dengan itimta' (percumbuan). Begitulah, yakni tiap suami-istri berhak memilih percumbuan dengan pasangannya dengan pilihan apapun yang ia kehendaki. Dalam konteks persetubuhan ataupun lainnya. Tidak ada pengecualian dalam hal ini selain pada tiga perkara:

1. Bersetubuh saat haidh.
2. Bersetubuh pada dubur, yakni penetrasi pada anus.
3. Aktivitas percumbuan yang menimbulkan dampak buruk bagi salah satu atau keduanya, lewat persaksian pakar di bidangnya (dokter).

Sedangkan selain tiga hal yang diharamkan tersebut maka statusnya tetap pada hukum asal kebolehan syariat."

JAWABAN-JAWABAN

Menengok pada dinamika opini ilmiah masa kini tentang oral seks, maka terdapat sejumlah pendapat berseberangan yang masih perlu ditinjau ulang. Berikut akan disajikan sejumlah wacana tersebut beserta jawabannya:

Wacana pertama, oral seks adalah tradisi Romawi Kuno dan India kuno. Dengan demikian terjadi tasyabbuh bil kuffar yang diharamkan.

Jawaban : Tidak semua tasyabbuh itu haram. Ibnu Hajar al-'Asqalani menggarisbawahi bahwa tasyabbuh yang diharamkan adalah selain tasyabbuh dalam urusan kebaikan. Sementara oral seks adalah bagian dari pemanasan seksual yang dianjurkan.

- Dalam Fathul Bari:

وقال الشيخ أبو محمد بن أبي جمرة نفع الله به ما ملخصه ظاهر اللفظ الزجر عن التشبه في كل شيء لكن عرف من الأدلة الأخرى أن المراد التشبه في الزي وبعض الصفات والحركات ونحوها لا التشبه في أمور الخير

"Syekh Abu Muhammad bin Abi Hamzah -semoga Allah memberi kemanfaatan padanya- berkata: Kesimpulan dari dzahir teks nash adalah larangan menyerupai pada setiap sesuatu (dari orang kafir). Akan tetapi dalil-dalil lainnya menunjukkan yang dimaksud menyerupai adalah menyerupai dalam atribut, sebagian sifat-sifat, perilaku, dan semacamnya. Bukan menyerupai dalam urusan kebaikan." (Fathul Bari, 13/333)

- Dalam al-Mughni li Ibni Qudamah:

وقد روي عن عمر بن عبد العزيز عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال :لا تواقعها إلا وقد أتاها من الشهوة مثل ما أتاك لكيلا تسبقها بالفراغ

"Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, dari Nabi SAW bahwasanya beliau berkata: Janganlah engkau menyetubuhinya kecuali dia telah bangkit syahwatnya sebagaimana dirimu, agar engkau tidak mendahuluinya dalam klimaks." (al-Mughni li Ibnu Qudamah, 8/136

Selain itu pengambilan contoh tradisi era Romawi dan India Kuno juga tidak tepat dikategorikan tasyabbuh. Sebab oral seks umum dijumpai saat ini sehingga menjadi tidak identik dengan peradaban tertentu. Tasyabbuh yang hilang ciri khasnya tidak lagi dinamakan tasyabbuh.

- Dalam Hasyiyah asy-Syarqawi:

(قوله والمترجلات) اى المتشبهات بالرجال فى أقوالهن وأحوالهن كلبس الطرابيس إلا إن غلب عرف بلبس ذلك للرجال والنساء كما هو حاصل الآن بمصرى فهو جائز لهن

"[Bertingkah kelelakian] yakni sikap menyerupai dengan lelaki dalam ucapan dan keadaan, seperti memakai topi tarbus, kecuali bila penggunaannya sudah merata oleh lelaki dan perempuan sebagaimana yang terjadi di Mesir sekarang maka boleh bagi wanita memakainya." (Hasyiyah asy-Syarqawi, 2/430)

Wacana kedua, mulut istri bukanlah tempat yang diperintahkan Allah kepada suami untuk memasukkan kemaluannya.

Jawaban: Klarifikasi atas wacana tersebut bisa diketahui dari telaah dalil yang dijadikan acuan.

Dalil yang dimaksud berasal dari QS. Al-Baqarah ayat 222:

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

"Apabila mereka telah suci, maka datangilah (setubuhilah) mereka itu pada sisi/dari sisi yang diperintahkan Allah kepadamu"

1. Telaah pertama: lafazh fa-tuhunna.

Disebutkan dalam Tafsir al-Jalalain (1/47), Tafsir Munir (1/76), Audhah at-Tafsir (69/44), Aysar at-Tafsir (1/205) dan beragam kitab tafsir lainnya bahwa yang dikehendaki dengan ityan pada fa-tuhunna adalah jima' (bersetubuh). Jima', baik sebagai denotatif ataupun konotatif dari nikah, didefinisikan dengan:

النكاح إيلاج ذكر في فرج ليصير بذلك كالشيء الواحد وقال الراغب أصل النكاح العقد ثم استعير للجماع ومحال أن يكون في الأصل للجماع ثم استعير للعقد لأن أسماء الجماع كلها كنايات

"Nikah adalah membenamkan dzakar ke dalam farji sehingga seolah-olah menjadi satu kesatuan. Ar-Raghib berkata: Asal pemakaian kata nikah adalah untuk akadnya, lalu dipakai sebagai kiasan dari jima'. Mustahil dikatakan nikah adalah asal dari jima' yang seterusnya dikiaskan pada akadnya, sebab semua nama-nama jima' adalah kiasan." (At-Tauqif 'ala Muhimmat at-Ta'arif, 1/710)

Dengan demikian diketahui bahwa maksud kelamin wanita sebagai tempat yang diperintahkan Allah pada suami untuk memasukkan kemaluannya adalah dalam konteks jima' (bersetubuh) bukan bercumbu (istimta').

2. Telaah kedua: lafazh min haitsu

Wacana kedua itu mengartikan 'min haitsu amarakumullah' sebagai 'fi haitsu amarakumullah' sehingga maknanya: Maka datangilah (setubuhilah) mereka itu pada sisi (dari tempat) yang diperintahkan Allah kepadamu. Tafsiran semacam itu boleh saja, dengan catatan dalam konteks jima' sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, meski sebenarnya ada empat pendapat berbeda tentang tafsir lafazh 'min haitsu':

قوله تعالى: مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ الله فيه اربعة أقوال.

أحدها: أن معناه من قبل الطهر لا مِنْ قِبَلِ الْحَيْضِ، قاله ابن عباس، وأبو رزين، وقتادة، والسدي في آخرين.

والثاني: أن معناه: فأتوهن من حيث أمركم الله أن: لا تقربوهن فيه، وهو محل الحيض، قاله مجاهد، وقال من نصر هذا القول: إنما قال: أَمَرَكُمُ الله, والمعنى نهاكم لأن النهي أمر بترك المنهي عنه، و من بمعنى في كقوله تعالى يَـٰۤأَيـُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوۤا إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ, الجمعة: 9.

والثالث: فأتوهن من قبل التزويج الحلال لا من قبل الفجور، قاله ابن الحنفية.

والرابع: أن معناه فاتوهن من الجهات التي يحل أن تقرب فيها المرأة، ولا تقربوهن من حيث لا ينبغي مثل أن كن صائمات، أو معتكفات، أو محرمات، وهذا قول الزجاج، وابن كيسان

"Firman Allah: Min haitsu amarakumullah, terdapat empat pendapat mengenai ayat ini :

1.Pertama, maknanya adalah dari sisi ketika suci bukan dari sisi ketika haidh, ini pendapat Ibnu 'Abbas, Abu Razin, Qatadah, dan as-Sudi dari generasi terakhir salaf.

2.Kedua, bahwasanya maknanya adalah: datangilah di sisi (tempat) yang diperintahkan Allah, bahwasanya janganlah mendekatinya pada tempat itu, yakni tempat darah haidh. Ini pendapat Mujahid. Dikuatkan oleh pernyataan: teks ayat 'amarakumullah' adalah satu konsep dengan larangan kebalikannya, sebab larangan sama juga dengan perintah untuk meninggalkan yang dilarang. Sedangkan 'min' bermakna 'fi' sebagaimana dalam ayat 'Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat di hari Jum'at' (min yaumil jumu'at, pen).

3.Ketiga, datangilah dari sisi pernikahan yang halal bukan dari sisi yang tercela. Ini pendapat Abu Hanifah.

4.Keempat, bahwasanya maknanya adalah datangilah dari sisi yang dihalalkan untuk mendekati wanita, dan jangan dekati dari sisi yang tidak seharusnya, seperti ketika pereempuan itu berpuasa, i'tikaf, ataupu beribadah ihram. Ini pendapat az-Zujaj dan Ibnu Kaisan." (Zad al-Masir, 1/223)

Wacana ketiga, oral seks tidak menghasilkan anak dan tidak sesuai dengan maksud penciptaan syahwat.

Jawaban : Oral seks adalah bagian dari percumbuan (istimta') bukan persetubuhan (jima'). Bahkan pada persetubuhan sekalipun menghasilkan anak tidak disepakati menjadi syarat wajib hubungan suami istri. Antara lain mengambil i'tibar dari kebolehan 'azl (mengeluarkan sperma di luar organ kelamin wanita) yang mana berkonsekuensi persetubuhan yang tidak menghasilkan anak. Disebutkan dalam hadits:

كُنَّا نَعْزِل عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْهَنَا

"Kami melakukan 'azl di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu hal itu sampai pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau tidak melarang kami." (HR. Muslim)

وَلَا يَحْرُمُ فِي الزَّوْجَةِ عَلَى الْمَذْهَبِ سَوَاءٌ الْحُرَّةُ وَالْأَمَةُ بِالْإِذْنِ وَغَيْرِهِ

"Azl tidak diharamkan menurut qaul madzhab, baik pada perempuan merdeka ataupun hamba sahaya, baik dengan seijinnya maupun tidak." (Hasyiyah al-Bujairimi 'ala al-Khatib, 14/278)

Wacana keempat : Oral seks menyerupai perilaku hewan, dimana tasyabbuh dengan tingkah hewan diharamkan sesuai keterangan beberapa hadits.

Jawaban : Koreksi atas wacana tersebut datang dari dua sisi.

Koreksi pertama, dalil-dalil tasyabbuh dengan hewan tersebut dijumpai dalam konteks shalat, tidak dijumpai qiyas ulama dalam kondisi lainnya.

Dalil-dalil yang dimaksud antara lain:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

"Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seimbangkanlah kalian dalam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan tangannya." (H.R.Bukhari-Muslim)

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ اسْكُنُوا فِي الصَّلَاةِ

"Dari Jabir bin Samurah berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menemui kami dan bersabda: Mengapa aku melihat kalian mengangkat tangan kalian, seakan-akan ia adalah ekor kuda yang gelisah. Tenanglah kalian di dalam shalat." (HR. Muslim)

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَلِيُّ لَا تُقْعِ إِقْعَاءَ الْكَلْبِ

"Dari Ali berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Hai Ali, janganlah duduk seperti duduknya anjing (dalam shalat)." (HR. Ibnu Majah)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَافْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوَطِّنَ الرَّجُلُ الْمَكَانَ فِى الْمَسْجِدِ كَمَا يُوَطِّنُ الْبَعِيرُ.

Dari Abdurrahman bin Syibli berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang (sujud dengan cepat) seperti burung gagak mematuk dan (menghamparkan lengan ketika sujud) seperti binatang buas yang sedang membentangkan kakinya dan melarang seseorang mengambil lokasi khusus di masjid (untuk ibadahnya) sebagaimana unta menempati tempat berderumnya (berlutut turun dengan kedua kaki depan atau keempat kakinya, pen)." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasai, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah)

Komentar Ibnu Daqiq al-'Ied dan Ibnu Hajar al-'Asqalani tentang hadits tersebut:

وقال ابن دقيق العيد هو ذكر الحكم مقرونا بعلته لأن التشبيه بالأشياء الخسيسة يناسب تركه في الصلاة ذكره السيوطي قال ابن حجر فيكره ذلك لقبح الهيئة المنافية للخشوع والأدب إلا لمن أطال السجود حتى شق عليه اعتماد كفيه فله وضع ساعديه على ركبتيه

"Ibnu Daqiq al-'Ied berkata: hadits itu berisi tentang penuturan hukum beserta alasannya. Sebab penyerupaan dengan sesuatu yang rendah bersesuaian untuk ditinggalkan dalam shalat, diungkapkan juga oleh as-Suyuthi. Ibnu Hajar berkomentar bahwa hal itu dimakruhkan sebab merupakan tingkah yang buruk yang meniadakan sifat khusu' dan adab, kecuali pada orang yang panjang sujudnya sehingga kepayahan menyangga dengan kedua telapak tangannya, maka dia boleh meletakkan kedua lengannya pada kedua lututnya". (Mirqat al-Mafatih syarh Misykat al-Mashabih, 3/425).

Koreksi kedua, bersetubuh dengan gaya belakang (doggy style) diperbolehkan oleh syariat meski nyata tasyabbuh dengan banyak hewan.

- Dalam tradisi kaum Anshar

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَال إِنَّ ابْنَ عُمَرَ وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ أَوْهَمَ إِنَّمَا كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلَّا عَلَى حَرْفٍ وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَرًا وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ وَقَالَتْ إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ }  أَيْ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ

"Dari Ibnu Abbas berkata, sesungguhnya Ibnu Umar -semoga Allah mengampuninya- dia telah khilaf, sesungguhnya terdapat sebuah pemukiman Anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama pemukiman Yahudi yang merupakan ahli kitab. Mereka memandang orang-orang yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Maka mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang Yahudi. Di antaranya adalah para ahli kitab tidak menggauli isterinya kecuali dengan cara miring berhadapan di mana hal tersebut dipandang lebih menjaga rasa malu seorang wanita.

Kaum Anshar mengambil tradisi tersebut sementara kaum Quraisy menggauli isteri mereka dengan cara yang ditentang (oleh kaum Anshar). Kaum Quraisy bersenang-senang dengan isterinya baik dengan model menghadap, membelakangi, serta terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah seorang di antara mereka menikahi wanita anshar. Kemudian dia menggaulinya dengan cara Quraisy itu. Wanita anshar tersebut mengingkarinya dan berkata: Sesungguhnya kami hanya didatangi dengan cara miring berhadapan, lakukan hal itu jika tidak jauhilah aku! Akhirnya tersebarlah permasalahan mereka berdua dan sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lantas Allah 'azza wajalla menurunkan ayat: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.

Yakni dalam keadaan menghadap, membelakangi, serta terlentang, pada tempat lahirnya anak (farji)." (HR. Abu Dawud)

- Dalam perilaku Umar

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ وَمَا الَّذِي أَهْلَكَكَ قَالَ حَوَّلْتُ رَحْلِيَ الْبَارِحَةَ قَالَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِهِ هَذِهِ الْآيَةَ { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ

"Dari Ibnu Abbas berkata, Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah aku telah binasa. Beliau bertanya: Apa yang membinasakanmu? Umar menjawab: Aku membalik tungganganku (istriku) tadi malam. Ibnu Abbas berkata: Beliau tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Ibnu Abbas melanjutkan: Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat ini: Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Lalu beliau mengatakan): "Bagaimana saja kamu kehendaki, baik dari depan atau belakang tapi hindarilah dubur dan wanita haidh." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Thabarani, dan Abu Ya'la)

Wacana kelima, oral seks adalah hal menjijikkan, menyalahi fitrah, tidak beradab, serta mulut yang dipakai untuk berdzikir dan membaca al-Qur'an tidak layak berinteraksi dengan kemaluan sehingga patut diharamkan.

Jawaban : Argumen tersebut adalah perasaan subyektif manusia yang tidak bisa semata-mata dijadikan dalil. Sifatnya relatif dan bisa berbeda-beda tiap manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam enggan menyantap dhab (sejenis reptil arab) sementara Khalid bin Walid memakannya. Gaya persetubuhan dari belakang tadinya dipandang hina oleh kaum wanita Anshar dan Umar namun syariat memperbolehkannya.

Alasan mulut sebagai tempat berdzikir sehingga tidak layak berinteraksi dengan farji juga tidak cukup dijadikan illat. Mata berguna untuk membaca al-Qur'an namun boleh untuk melihat farji. Tangan yang dipakai untuk bersedekah juga tidak dilarang untuk menyentuh farji.

Wacana keenam, oral seks menimbulkan resiko bermacam penyakit seperti kanker mulut, penyakit kulit, jamur pada kelamin wanita, kanker tenggorokan,hepatitis A/B/C, syphilis, AIDS, dll. Dengan demikian oral seks berimbas pada madharat. Madharat berimbas pada hukum haram.

Jawaban : Resiko penyakit pada oral seks adalah informasi medis, bukan bukti medis.

Penjelasannya, informasi medis dan bukti medis diistilahkan oleh KH. Arwani Faishal ketika mengomentari madharat rokok. Diungkapkan olehnya bahwa hasil penelitian medis sekarang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun tentang kemudharatan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi.

Tangan yang tidak dicuci menurut informasi medis rentan resiko penyakit Flu Singapura, Hepatitis A, Shigellosis (bakteri diare), dan Giardiasis (parasit usus). Sementara dari bukti medis belum diketahui berita masyarakat yang jatuh sakit karena makan tidak cuci tangan.

Dalam bahasa fiqih, dharar yang belum tahaqquq (belum sampai pada taraf bukti medis) tidak akan berimbas pada hukum haram.

Ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami:

فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ

"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225).

Perlu diketahui bahwa analisa istinbath hukum dari bahan konsumsi yang madharat setidaknya diproses lewatlima tahapan. Metodologi ini disarikan dari fatwa Ibnu Hajar ketika menjelaskan golongan tumbuhan yang madharat.

1.Tahapan pertama, tahaqquq dharar. Yakni hukum dharar mulai digali ketika sifat dhararnya tahaqquq. Bila tidak tahaqquq maka tidak haram, dan bila terbukti tahaqquq maka boleh melangkah ke tahap kedua.

2.Tahapan kedua, qath'i dharurat dharar. Yakni menelusuri apakah dharar itu bersifat qath'i darurat lewat pembuktian riset dari orang dengan reputasi adil yang dijamin stabil dihukumi dharar dari masa ke masa. Hal ini mustahil mengingat hasil riset pernyataan madharat tidak ada jaminan untuk tidak berubah di kemudian hari, sehingga melangkah ke tahap ketiga.

3.Tahapan ketiga, khabar mutawatir tentang dharar. Yakni menelusuri apakah ada khabar mutawatir tentang madharat tersebut dari golongan yang reputasi adil. Bila ada maka dijadikan pegangan, namun bila timbul dua khabar mutawatir saling bertentangan maka melangkah ke tahap keempat.

4.Tahapan keempat, memadukan khabar mutawatir dharar yang bertentangan. Yakni bila dua khabar itu bisa dipadukan maka wajib dipadukan sesuai kaidah ushul, dilakukan dengan mengarahkan khabar adanya dharar pada sebagian kondisi serta khabar tidak adanya dharar pada sebagian kondisi yang lain.

5.Tahapan kelima, tarjih khabar dharar. Yakni bila khabar mutawatir itu tidak bisa dipadukan maka kedua khabar berubah statusnya menjadi hukum zhanni. Dalam perspektif dalil zhanni maka boleh mentarjih satu dari dua khabar bertentangan yang dianggap lebih dipercaya, memilih suatu pendapat tersendiri dari orang yang dipercaya (ketika tidak ada pertentangan khabar), atau lewat pembuktian pada diri sendiri atas madharat tersebut.

Berikut sejumlah kutipan ta'bir terpisah dari fatwa Ibnu Hajar untuk dijadikan acuan:

Ta'bir tahapan pertama:

فَوَرَاءَ ذلك نَظَرٌ آخَرُ وهو أَنَّ ما يَخْتَلِفُ كَذَلِكَ هل النَّظَرُ فيه إلَى عَوَارِضِهِ اللَّاحِقَةِ له فَيَحْرُمُ على من ضَرَّهُ دُونَ من لم يَضُرَّهُ أو إلَى ذَاتِهِ فَإِنْ كان مُضِرًّا لِذَاتِهِ حَرُمَ مُطْلَقًا وَإِلَّا لم يَحْرُمْ مُطْلَقًا

"Di balik semua pentafshilan itu ada sebuah pertimbangan, yakni pada dampak yang berlainan seperti itu, yang dijadikan pertimbangan nanti apakah karena faktor luar yang dijumpai pada benda itu sehingga diharamkan bagi yang terkena madharat saja dan bukan bagi lainnya, atau bisa karena faktor esensi benda itu, bila secara alamiah berbahaya maka diharamkan sedang bila tidak berbahaya maka tidak diharamkan." (Fatawa al-Kubra, 4/224)

فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ

"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225)

Ta'bir tahapan kedua:

وَبِالضَّرُورَةِ الْقَطْعِيَّةِ الْعِلْمُ بِحَقِيقَةِ هذا النَّبَاتِ مُتَعَسِّرٌ لِأَنَّهُ لَا طَرِيقَ إلَى الْعِلْمِ بها إلَّا خَبَرُ الصَّادِقِ وهو ما يَئِسَ منه إلَى أَنْ يَنْزِلَ عِيسَى على نَبِيِّنَا وَعَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَأَزْكَى السَّلَامِ أو التَّجْرِبَةُ وَهِيَ مُعْتَذِرَةٌ -إلى أن قال-

ثُمَّ قُلْت له لَا بُدَّ أَنْ تَسْتَنِدَ إلَى حُجَّةٍ لم يَقَعْ فيها تَعَارُضٌ وَلَا نِزَاعٌ وَهِيَ التَّجْرِبَةُ فقال لَا يُمْكِنُنِي لِأَنَّ التَّجْرِبَةَ تَسْتَدْعِي مِزَاجًا وَزَمَانًا وَمَكَانًا مُعْتَدِلَاتٍ وَعَدَالَةَ الْمُجَرِّبِ لِأَنَّهُ يُخْبِرُ عَمَّا يَجِدَهُ من ذلك النَّبَاتِ فَلَا بُدَّ من عَدَالَتِهِ حتى يُقْبَلَ إخْبَارُهُ وَذَلِكَ كُلُّهُ مُتَعَذِّرٌ في هذه الْأَقَالِيمِ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُعْتَدِلَةٍ

"Sulit mengetahui hakekat dari tumbuhan ini secara hukum dharurat qath'i. Sebab tidak ada jalan untuk sampai pada taraf tahu kecuali dengan khabar dari seorang yang shadiq, yaitu seseorang yang mampu hidup dari masa ia hidup sampai masa turunnya Nabi Isa kelak -'ala nabiyyina wa 'alaihi wa 'ala sairil anbiyai wal mursalin afdhalush shalat wa azkas salam- ataupun dengan percobaan (riset).

Aku katakan padanya: Hal itu wajib disandarkan pada hujjah yang tidak mengenal pertentangan dan perselisihan. Dia berkata: Itu mustahil bagiku, sebab riset percobaan selalu bergejolak seiring waktu dan tempat yang bersesuaian, juga dikarenakan syarat adilnya pelaku riset mengingat dia yang mengkhabarkan penemuan dari tumbuhan itu, sehingga wajib diketahui sifat adilnya agar khabarnya bisa diterima. Semua hal itu mustahil di masa sekarang sebab hasil riset tidaklah stabil" (Fatawa al-Kubra, 4/224).

Ta'bir tahapan ketiga:

فَنَتَجَ من هذا كُلِّهِ أَنَّهُ لَا طَرِيقَ لنا إلَى الْعِلْمِ بِحَقِيقَتِهِ إلَّا مُجَرَّدُ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ من مُتَعَاطِيهِ بِمَا يَجِدُونَهُ منه

"Bisa disimpulkan dari semua hal tadi (kemustahilan khabar shadiq dan riset) bahwa tidak ada jalan lain mencapai taraf benar-benar tahu selain dengan khabar mutawatir semata dari penemuan orang-orang yang terlibat dengannya." (Fatawa al-Kubra, 4/224).

Ta'bir tahapan keempat:

ولم يَتِمَّ لِمَا عَلِمْت مِمَّا أَشَرْت إلَيْهِ من الْخِلَافِ فيه وَالِاخْتِلَافِ إذْ الْقَائِلُونَ بِالْحِلِّ نَاقِلُونَ عن عَدَدٍ مُتَوَاتِرٍ أَنَّهُ لَا ضَرَرَ فيه بِوَجْهٍ وَالْقَائِلُونَ بِالْحُرْمَةِ نَاقِلُونَ عن عَدَدِ التَّوَاتُرِ أَنَّ فيه آفَاتٍ وَمَفَاسِدَ

وَغَلَبَ على الظَّنِّ أَنَّ سَبَبَ ذلك الِاخْتِلَافِ أَنَّهُ يَخْتَلِفُ تَأْثِيرُهُ وَعَدَمُ تَأْثِيرِهِ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ بِغَلَبَةِ أَحَدِ الْأَخْلَاطِ وَالطَّبَائِعِ الْأَرْبَعِ عليها وَأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ التَّوْفِيقُ بين هذه الْأَخْبَارِ الْمُتَنَاقِضَةِ مع عَدَالَةِ قَائِلِهَا وَبَعْدَ كَذِبِهِمْ إلَّا بِأَنْ يُفْرَضَ أَنَّهُ يُؤَثِّرُ في بَعْضِ الْأَبَدَانِ دُونَ بَعْض

وقد أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا بِمَا قَدَّمْتُهُ فَتَعَيَّنَ الْمَصِيرُ إلَيْهِ وَأَنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ إذْ الْقَاعِدَةُ الْأُصُولِيَّةُ أَنَّهُ مَتَى أَمْكَنَ الْجَمْعُ لَا يُعْدَلُ إلَى التَّعَارُضِ

"Hujjah dengan khabar mutawatir tidak sempurna diterima sebab dijumpainya khilaf yang telah aku isyaratkan. Kaum yang berkata halal mengutip khabar dari golongan mutawatir bahwa tumbuhan itu tidak madharat, sementara kaum lainnya berkata haram sembari mengutip juga khabar dari golongan mutawatir tentang bahaya dan dampak buruknya.

Timbul dugaan kuat bahwa perbedaan pendapat itu bermuara dari bahwasanya berdampak atau tidaknya tergantung dari perbedaan watak seseorang yang dipengaruhi oleh dominasi salah satu dari empat elemen tubuh. Tidak dimungkinkan perpaduan pendapat di antara khabar yang bertentangan ini di mana pembawa kabar telah dianggap adil kemudian dianggap berdusta, kecuali dengan membuat ketentuan bahwa efek tumbuhan tersebut berdampak buruk bagi sebagian orang dan tidak bagi lainnya.

Telah dimungkinkan memadukan dua khabar tadi dengan metode yang kujelaskan, maka kembalilah berpegang pada metode tadi. Dampak buruk itu bisa berbeda tergantung tabiat orangnya, sebab memandang juga kaidah ushul ketika mungkin untuk dipadukan maka tidak boleh beralih pada pertentangan." (Fatawa al-Kubra, 4/224)

Ta'bir tahapan kelima:

وَلَيْسَ هذا أَمْرًا قَطْعِيًّا كما عَلِمْت لِتَطَرُّقِ التُّهَمِ وَالْكَذِبِ إلَى بَعْضِ الْمُخْبِرِينَ عنه بِضَرَرٍ أو عَدَمِهِ وَتَوَاتُرِ الْخَبَرِ في جَانِبٍ مُعَارِضٍ بِتَوَاتُرِهِ في جَانِبٍ آخَرَ بِخِلَافِهِ فَسَقَطَ النَّظَرُ فيه إلَى الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ وَوَجَبَ النَّظَرُ فيه إلَى أَنَّهُ تَعَارَضَ فيه أَخْبَارٌ ظَنِّيَّةُ الصِّدْقِ وَالْكَذِبِ

وَعَلَى فَرْضِ أَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الْجَمْعُ بِذَلِكَ لِمَا مَرَّ أَنَّ بَعْضَ الْمُخْبِرِينَ سَلَبَ الضَّرَرَ عن هذا النَّبَاتِ سَلْبًا كُلِّيًّا وَبَعْضُهُمْ أَثْبَتَهُ له إثْبَاتًا كُلِّيًّا فَيَجِبُ الْإِمْعَانُ في تَرْجِيحِ أَحَدِ الْمُخْبِرِينَ بِدَلَائِلَ وَأَمَارَاتٍ بِحَسَبِ اسْتِعْدَادِ الْمُسْتَدِلِّ وَتَضَلُّعِهِ من الْعُلُومِ السَّمْعِيَّةِ وَالنَّظَرِيَّةِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْإِلَهِيَّةِ وَهَذَا شَأْنُ كل حَادِثَةٍ لم يَسْبِقْ فيها كَلَامُ الْمُتَقَدِّمِينَ

"Hal ini bukan lagi hukum qath'i sebab ada dugaan sifat tercela dan dusta pada sebagian pembawa khabar dharar atau tidaknya tanaman itu, juga sebab munculnya khabar mutawatir di sisi yang berseberangan dengan khabar mutawatir lainnya. Maka tidak berlaku lagi pertimbangan akan khabar mutawatir, yang menjadi ketentuan sekarang adalah pertimbangan akan adanya pertentangan beberapa khabar zhanni yang mungkin benar dan salah.

Dengan berpijak pada ketentuan tidak dimungkinkannya memadukan khabar tersebut, sebab sebagian kalangan menolak dharar pada tanaman itu sepenuhnya dan sebagian lagi menetapkannya, maka wajib teliti dalam mentarjih salah satu khabar dengan mengacu pada sejumlah dalil dan pertanda tertentu, di mana hal itu tergantung pada kualitas gagasan pendapat orang dijadikan dalil serta kematangan dan analisis ilmu syariatnya. Ini adalah konteks yang berlaku pada setiap perkara kontemporer yang tidak dijumpai pendapat ulama mutaqaddimin mengenainya." (Fatawa al-Kubra, 4/225).

والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام ، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره ، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً ، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها

"Pendapat yang jelas, bahwasanya jika didapati padanya dampak yang diharamkan bagi orang yang terkena dampak buruk tersebut pada pikiran atau tubuhnya maka dihukumi haram. Sebagaimana haramnya madu bagi orang yang sakit demam dan haramnya lumpur bagi yang terkena dampak madharatnya. Kadang dijumpai hal yang membuatnya mubah bahkan sunah, sebagaimana ketika dipergunakan untuk berobat berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa itu bisa diminum untuk dijadikan obat." (Bughyatul Mustarsyidin: 552).

Lihat keterangan selengkapnya di Fatawa Kubra al-Fiqhiyyah bab al-asyribat wa al-mukhaddirat (minuman dan bahan konsumsi memabukkan) untuk mendapatkan gambaran lebih utuh.

Wacana ketujuh, oral seks bisa membuat madzi tertelan sementara madzi najis dan haram dimakan.

Jawaban : Analogi yang paling dekat dengan masalah ini adalah pada oral seks Cunnilingus. Sebagaimana dijelaskan di atas, telah disebutkan dalam Fathul Mu'in, Kasysyaful Qana', Mawahibul Jalil, dan beragam kitab lainnya bahwa oral seks kelamin wanita diperbolehkan meskipun sama-sama beresiko menelan madzi. Boleh jadi hal itu karena sifat keluarnya madzi tidak pasti, di samping bisa dimuntahkan. Antara lain mengambil i'tibar dari kesucian dzakar dari rembasan farji (ruthubah farji) dikarenakan sifat keluarnya ruthubah yang tidak bisa dipastikan kapan keluar dari kelamin wanita.

أَمَّا الرُّطُوبَةُ الْخَارِجَةُ مِنْ الْبَاطِنِ فَنَجِسَةٌ مُطْلَقًا وَإِنَّمَا قُلْنَا بِطَهَارَةِ ذَكَرِ الْمُجَامِعِ وَنَحْوِهِ ؛ لِأَنَّا لَا نَقْطَعُ بِخُرُوجِهَا

"Sedangkan rembasan yang keluar dari dalam farji maka mutlak najis, sedangkan mengenai pendapat kami tentang sucinya dzakar orang yang bersetubuh dan sebagainya maka hal itu dikarenakan kami tidak bisa memastikan keluarnya rembasan farji itu." (Syarhul Bahjah al-Wardiyyah, 1/149)

Wacana kedelapan, oral seks makruh ketika terjadi inzal (keluar mani) disamping faktor menjijikkannya.

Jawaban : Wacana ini cukup bagus. Posibilitas makruh dari sisi inzal, yakni dari tinjauan hukum 'azl, bisa dipahami. Namun tambahan 'illat jijik yang dikombinasi dengan tiadanya nash sharih bukan merupakan illat yang kuat sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Pernyataan ini dilontarkan oleh salah seorang tokoh Mesir dengan kutipan ucapannya:

أما إذا كان القصد منه الإنزال فهذا الذي يمكن أن يكون فيه شيء من الكراهة، ولا أستطيع أن أقول الحرمة لأنه لا يوجد دليل على التحريم القاطع، فهذا ليس موضع قذر مثل الدبر، ولم يجئ فيه نص معين إنما هذا شيء يستقذره الإنسان

"Adapun ketika oral seks ditujukan sebagai inzal maka dimungkinkan hukum makruhnya. Aku tidak mampu mengatakan haram sebab tidak ada dalil yang menegaskan keharamannya, oral seks juga bukan pada tempat yang kotor seperti dubur, tidak ditemukan nash spesifik tentang oral seks hanya saja ini termasuk perkara yang dianggap jijik oleh manusia."

PENUTUP

Oral seks secara dzatiahnya dihukumi mubah, mengingat tidak ada ketentuan khusus nash tentang hal itu sehingga dikembalikan pada hukum mubahnya.

Namun oral seks dilihat dari amrun 'aridh (faktor eksternal) bisa menjadi makruh ketika :

- Dilakukan dengan mata terbuka, sebab ada pendapat yang masyhur tentang makruhnya melihat farji (kelamin lelaki dan wanita).

( وَلِلزَّوْجِ ) وَالسَّيِّدِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ ( النَّظَرُ إلَى كُلِّ بَدَنِهَا ) أَيْ الزَّوْجَةِ وَالْمَمْلُوكَةِ الَّتِي تَحِلُّ وَعَكْسُهُ ، وَإِنْ مَنَعَهَا كَمَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ ، وَإِنْ بَحَثَ الزَّرْكَشِيُّ مَنْعَهَا إذَا مَنَعَهَا وَلَوْ الْفَرْجَ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَلَوْ حَالَةَ الْجِمَاعِ

"[Boleh bagi suami] juga bagi majikan hamba sahaya di masa hidupnya [melihat setiap badan wanita] istrinya dan sahayanya yang mana dihalalkan serta diperbolehkan juga sebaliknya, meskipun suami/majikan itu tidak berkenan [auratnya dilihat oleh wanita, pen] sebagaimana penjelasan general para ulama, meskipun imam az-Zarkasyi membahas tentang larangannya ketika pihak lelaki tidak memperkenankan, meskipun melihat pada farji namun disertai hukum makruh meskpun saat bersetubuh." (Tuhfatul Muhtaj, 29/281).

- Dilakukan sampai inzal (keluar mani), sebab akan terhukumi sebagaimana 'azl yang juga masyhur hukum makruhnya.

ويكره بنحو يدها كتمكينها من العبث بذكره حتى ينزل لأنه في معنى العزل

"Dimakruhkan istimna dengan tangan istrinya, sebagaimana dimakruhkan memperkenankan istrinya bermain-main dengan dzakarnya sampai keluar mani, sebab hal disamakan konteksnya dengan 'azl." (Fathul Mu'in, 4/143).

Seyogyanyalah setiap aktivitas yang berkaitan dengan alat kelamin untuk dibasuh setelahnya ketika hal itu dilakukan sampai terjadinya orgasme (inzal), baik pada mulut ataupun alat kelamin itu sendiri, sebagai sikap kehati-hatian atas peluang keluarnya madzi yang mengiringi mani.

فَلْيَغْسِلْ ما أَصَابَهُ منه وَإِنْ لم نَحْكُمْ بِنَجَاسَتِهِ احْتِيَاطًا رِعَايَةً لِلْغَالِبِ الذي ذَكَرَهُ من سَبْقِ الْمَذْيِ النَّجِسِ لِلْمَنِيِّ الذي يَعْقُبُهُ

"Maka basuhlah apa yang bersentuhan dengan dzakar meskipun ketika kita tidak menghukuminya najis, sebagai sikap hati-hati dan bentuk antisipasi atas umumnya peristiwa yang telah dituturkan mengenai madzi yang keluar mendahului mani." (Fatawa Kubra, 1/42).

Wallahu subhanahu wata'ala a'lam..