Al-'Aul dan Ar-Raad
Definisi al-’Aul
Al-’aul adalah bertambahnya pembagi (jumlah bagian fardh) sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan banyaknya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya telah melebihi nilai 1, sehingga di antara ashhabul furudh tersebut ada yang belum menerima bagian yang semestinya. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat 1/2 dapat berubah menjadi 1/3 dalam keadaan tertentu, seperti bila pembaginya dinaikkan, dari 6 menjadi 9. Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (1/2) hanya memperoleh 3/9 (1/3). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pembaginya naik atau bertambah.
Latar Belakang Terjadinya ‘Aul
Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus ‘aul tidak pernah terjadi. Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata, "Orang yang pertama kali menambahkan pembagi (yakni ‘aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Riwayat kejadiannya adalah: Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Dengan demikian, berarti pembilangnya melebihi pembaginya, karena 1/2 + 2/3 = 7/6. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara perempuan sekandung, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi hal demikian Umar pun berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah bagian suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin Tsabit mengusulkan kepada Umar agar menggunakan metode ‘aul. Umar menerima anjuran tersebut dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati sebagian besar sahabat Nabi saw., kecuali Ibnu ‘Abbas yang tidak menyetujui adanya ‘aul ini.
Pembagi yang Tidak Dapat Di-’aul-kan
Pembagi yang tidak dapat di-’aul-kan ada empat, yaitu 2, 3, 4, dan 8.
Contoh – Pembagi 2
Seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian suami 1/2, dan bagian saudara perempuan sekandung 1/2. Dalam hal ini, pembaginya adalah 2. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 3
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: Ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pembaginya adalah 3. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 4
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian istri 1/4, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara laki-laki sekandung dengan saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dalam hal ini pembaginya adalah 4. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 8
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 8, bagian istri 1/8 berarti satu bagian, anak 1/2 berarti empat bagian, sedangkan saudara perempuan sekandung menerima sisanya, yakni 3/8. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Kesimpulan
Ketika diketahui jumlah seluruh bagian ahli waris, dimana nilai pembaginya lebih besar atau sama dengan pembilangnya, maka disana tidak perlu menggunakan metode ‘aul.
Metode ‘aul digunakan jika nilai pembaginya lebih kecil dari pembilangnya.
Pembagi yang Dapat Di-’aul-kan
Angka-angka pembagi yang dapat di-’aul-kan ialah angka 6, 12, dan 24. Namun, ketiga pembagi itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri.
Pembagi 6 hanya dapat di-’aul-kan/dinaikkan menjadi 7, 8, 9, atau 10. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pembagi 6 hanya dapat dinaikkan hingga empat kali saja.
Kemudian pembagi 12 hanya dapat dinaikkan menjadi 13, 15, atau 17. Lebih dari itu tidak bisa. Maka pembagi 12 hanya dapat di-’aul-kan maksimum tiga kali saja.
Sedangkan pembagi 24 hanya dapat di-’aul-kan ke angka 27 saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah". Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 7
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti tiga, bagian saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 7/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 7.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 8
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu bagian, saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 8/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 8.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 9
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara perempuan sekandung, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pembaginya 6. Bagian suami 1/2 berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3 berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu 1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 9/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 9.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 10
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya enam. Bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu, bagian dua orang saudara seayah 2/3 berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu 1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 10/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 10.
Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 13
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, bagian ibu 1/6 berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan sekandung 2/3 berarti delapan bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 13/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 13.
Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 15
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara perempuan sekandung, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, ibu mendapat 1/6 berarti dua bagian, saudara perempuan sekandung memperoleh 1/2 berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah 1/6, sebagai penyempurna dua pertiga, yang berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga 1/6 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 15/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 15.
Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 17
Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya 12. Bagian ketiga orang istri adalah 1/4 berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah 1/6 yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah 2/3 nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu 1/3 yang berarti empat bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 17/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 17.
Contoh – Pembagi 24 di ‘Aulkan ke 27
Masalah ini dikenal dengan sebutan al-mimbariyyah. Kasusnya adalah: Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pembaginya 24. Ayah mendapat 1/6 berarti empat bagian, ibu memperoleh 1/6 berarti empat bagian, istri mendapat 1/8 berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat 1/2 berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat 1/6, sebagai penyempurna 2/3, yang berarti empat bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 27/24. Oleh karena itu, pembagi 24 dinaikkan menjadi 27.
Kesimpulan
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian 1/2 dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian 1/2, maka pembaginya dari 2, dan tidak dapat di-’aul-kan.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lainnya 2/3, maka pembaginya dari 3, dan tidak ada ‘aul.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/4 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat 1/4 dan yang lain berhak mendapat 1/2, maka pembaginya dari 4, dan dalam hal ini tidak ada ‘aul.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/8 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pembaginya dari delapan, dan tidak ada ‘aul.
Definisi ar-Radd
Ar-radd adalah berkurangnya pembagi (jumlah bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan sedikitnya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum mencapai nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih tersisa, sementara tidak ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima sisa harta waris. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menurunkan atau mengurangi pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ar-radd adalah kebalikan dari al-’aul.
Syarat-syarat Terjadinya ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
Adanya ashhabul furudh
Tidak adanya ashabah
Adanya sisa harta waris
Bila dalam pembagian harta waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.
Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd
Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang, yakni:
Anak perempuan
Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
Saudara perempuan sekandung
Saudara perempuan seayah
Ibu kandung
Nenek sahih (ibu dari bapak)
Saudara perempuan seibu
Saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya, maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ashabah.
Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd
Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
Macam-macam ar-Radd
Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam Ar-radd tersebut adalah:
Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, tanpa adanya suami atau istri.
Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, tanpa adanya suami atau istri.
Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri
Hukum Keadaan Pertama
Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari ashhabul furudh dengan bagian yang sama, misalnya, semuanya hanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya, dimana dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris (total orangnya).
Contoh 1
Seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/3 bagian. Pembaginya adalah tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka yang sesuai fardh adalah 2/3 dibagi secara rata, dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris yang mendapatkan bagian yang sama.
Contoh 2
Seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara perempuan sekandung, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/10 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh, yakni 2/3 dibagi secara rata. Maka pembaginya adalah 10, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya adalah 10.
Contoh 3
Seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka masing-masing dari mereka mendapat 1/2 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh, yakni nenek 1/6 dan saudara perempuan seibu 1/6. Maka pembaginya adalah dua, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya hanya dua.
Hukum Keadaan Kedua
Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ashhabul furudh yang beragam, dimana di sana tidak ada salah satu dari suami atau istri, maka nilai pembagi diambil dari nilai pembilangnya, bukan dihitung dari jumlah ahli waris (per kepala).
Contoh 1
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu 1/6, untuk kedua saudara laki-laki seibu 1/3. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:
Perhatikan nilai 3/6 diatas, ia kurang dari satu. Maka pembagi diturunkan dari 6 menjadi 3. Maka bagian ibu adalah 1/3 dan dua orang saudara laki-laki seibu 2/3.
Contoh 2
Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya, bagi seorang anak perempuan 1/2, untuk seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:
Maka pembaginya dari 4, karena jumlah pembilangnya adalah 4. Dengan demikian bagian seorang anak perempuan adalah 3/4 dan seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/4.
Hukum keadaan Ketiga
Apabila para ahli waris semuanya dari ashhabul furudh yang mempunyai bagian yang sama, disertai salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pembaginya ashhabul furudh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Contoh 1
Seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
- Suami: 2/8
- Anak perempuan masing-masing mendapatkan: 3/8
Contoh 2
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada dua orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara perempuan seibu secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini tidak memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
- Istri: 1/4
- Saudara seibu masing-masing mendapatkan: 1/3
Contoh 3
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Maka istri mendapatkan 1/8 bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya 7/8 merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
- Istri: 5/40
- Anak perempuan masing-masing mendapatkan: 7/40
Hukum keadaan Keempat
Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang bagiannya berbeda-beda, dan di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah suami atau istri, kemudian sisanya diberikan kepada ashhabul furudh lainnya menurut bagiannya masing-masing.
Contoh 1
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada nenek dan dua orang saudara perempuan seibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:
Nenek + Saudara Perempuan Seibu:
Pembagi diatas di radd kan dari 6 menjadi 3, sehingga bagian nenek adalah 1/3 dan dua orang saudara perempuan seibu 2/3. Pembagian akhir:
- Nenek = 1/3 x 3/4 = 3/12. Nilai 3/4 ini diambil dari sisa bagian setelah diberikan kepada istri.
- Dua orang saudara perempuan seibu = 2/3 x 3/4 = 6/12, sehingga masing-masing saudara perempuan seibu mendapatkan 3/12.
- Istri = 1/4 x 3/3 = 3/12. Nilai 3/3 ini diambil dari pembagi yang baru yang telah di radd kan.
Contoh 2
Seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu. Bagian istri adalah 1/8, dan sisanya 7/8 diberikan kepada dua orang anak perempuan dan ibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:
Anak Perempuan + Ibu:
Pembagi diatas di radd kan dari 6 menjadi 4, sehingga bagian dua orang anak perempuan adalah 3/4 dan ibu 1/4. Bagian 2 orang anak perempuan adalah 3/4, karena itu harus ditashih, sehingga bagiannya menjadi 3/4 x 2/2 = 6/8. Dengan demikian bagian ibu pun menjadi 1/4 x 2/2 = 2/8. Bagian istri menjadi 1/8 x 2/2 = 2/16. Pembagian akhir:
- Dua orang anak perempuan = 6/8 x 7/8 = 42/64, sehingga masing-masing anak perempuan mendapatkan 21/64.
- Ibu = 2/8 x 7/8 = 14/64.
- Istri = 2/16 x 4/4 = 8/64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.