Kamis, 11 Januari 2018

Niat dalam beramal ibadah

KEDUDUKAN NIAT DALAM BERAMAL
"Diterangkan dari Amirul Mukminin Abu Hafsn Umar bin Khattab ra, ia berkata : "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:"sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanyalah apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang tujuan hijrahnya kepada Allah dan utusan-Nya maka hijrahnya itu kepada Allah dan utusan-Nya. Dan barangsiapa yang tujuan hijrahnya adalah harta dan wanita. Maka yang didapat hanyalah harta dan wanita."
Hadist diatas menegaskan bahwa niat adalah faktor yang amat menentukan diterima atau tidaknya amal perbuatan seseorang di sisi Allah.
Artinya, kebenaran suatu amal ditentukan oleh niat. Bila niatnya baik maka baik pula nilai amalnya, dan kalau niatnya jelek maka nilai amalnya pun menjadi jelek. Apabila dikaitkan dengan niat maka amal kebaikan itu akan masuk salah satu dari tiga kemungkinan, yakni :
Pertama :
Motif dalam beramal adalah karena takut terhadap siksa Allah. Maka amalnya itu adalah sebagaimana pengabdian seorang hamba. Dalam melakukan pekerjaan dikarenakan merasa takut kepada tuannya
Kedua :
Motif dalam beramal adalah karena mengharap balasan surga serta pahala. Maka amalnya itu adalah sebagaimana kerja seorang pedagang, dalam melakukan pekerjaan adalah karena mengharapkan laba dan keuntungan
Ketiga :
Motif dalam beramal adalah karena merasa malu kepada Allah, melaksanakan pengabdian dan kesyukuran. Ia melihat bahwa amal kebaikan yang dilakukan amat sedikit, ia merasa khawatir karena tidak mengetahui apakah amal yang dikerjakan itu diterima oleh Allah atau ditolak. Inilah amalan orang merdeka. Dia beramal dengan dilandasi oleh niat yang tulus ikhlas.
Ibadah kategori terakhir inilah yang menjadi motifasi Rasulullah SAW dalam melaksanakan pengabdian kepada Allah SWT, sebagaimana beliau pernah ditegur oleh sang istri tercinta, A’isyah ra, saat bangun tengah malam lalu beribadah hingga kedua telapak kaki beliau membengkak. A’isyah ra berkata :
"wahai utusan Allah, kenapa engkau beribadah sedemikian tekunnya padahal Allah telah mengampuni (segala) dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Jawab beliau : "Tak bolehkah aku menjadi hamba yang gemar bersyukur?"
Muncullah pertanyaan : Mana yang lebih utama, ibadah karena rasa takut atau ibadah dengan pengharapan?
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali berkata :
“Ibadah yang disertai pengharapan adalah utama, karena ibadah yang disertai pengharapan akan menumbuhkan perasaan cinta sedangkan ibadah yang disertai perasaan takut akan menumbuhkan perasaan bosan.”
Tetapi rasa bosan ini hanya bisa muncul pada orang-orang yang tidak ikhlas dalam beribadah. Oleh karenanya bagi orang-orang yang ikhlas, maka ketiga kategori amal ibadah ini semuanya benar. Sehingga seyogyanya motivasi amal ibadah kita adalah ketiga-tiganya, yakni karena takut, mengharap pahala serta hendak bersyukur dan menunaikan hak Allah.
Di hadapan keikhlasan amal itu selalu siaga beragam penyakit yang hendak menghancurkannya, antara lain adalah :
1. Ujub, yakni perasaan kagum terhadap diri sendiri atau amal perbuatan yang bisa dilakukan.
Orang yang melakukan amal kebaikan tetapi terserang penyakit yang pertama ini maka amalnya akan gugur, sia-sia, tak mendapat imbalan dari Allah SWT.
2. Takabur, yakni menyombongkan diri atau amal perbuatan yang telah dilakukan.
Orang yang beramal tetapi terserang penyakit yang kedua ini nasibnya sama dengan yang pertama, yakni amalnya sia-sia.
3. Orang yang beramal untuk mencari dunia dan akhirat sekaligus.
Sementara ulama berpendapat bahwa amal perbuatan yang diniatkan untuk dunia dan akhirat tidak diterima di sisi Allah SWT. Mereka bersandar terhadap sabda Rasulullah SAW dalam hadist qudsi berikut :
“Allah berfirman:”aku tidak memerlukan sekutu-sekutu. Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan dengan menyekutukan selain Aku da
Terhadap masalah ini, dalam kitab ar-Ri’ayah al-Harist al-Muhasibi berkata:
“Ikhlas adalah engkau beramal dengan niat semata-mata melakukan ketaatan kepada Allah, dan tidak ada maksud-maksud yang lain selain ketaatan itu”.
Sedangkan riya’ itu ada dua macam:
Pertama, seseorang beramal tetapi sama sekali tidak bermaksud melakukan ketaatan, dan ia hanya ingin dilihat oleh manusia.
Kedua, ia beramal karena mengharap penilaian manusia dan mengharap penilaian Tuhan manusia. Keduanya sama-sama batal, tidak diterima oleh Allah SWT
Pandangan tersebut diambil oleh al-Hafizh Abu Nu’aim dari pandangan sebagian salafus saleh. Sebagian diantara mereka ada yang mengambil dalil dari firman Allah:
Maha Perkasa dan Maha Besar, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (QS. Al-Hasyr:23).
Misalnya orang yang membanggakan istri, anak, sahabat. Maka di sini Allah membanggakan Dzat-Nya, tak menerima amalan yang dikerjakan sembari menyekutukan dengan amalan selain-Nya.
Imam Abu Laits as-Samarqadi melihat permasalahan ini secara lebih substansial. Beliau berkata :
“Apa yang dilakukan karena Allah maka diterima dan apa yang dilakukan karena manusia maka itulah yang tertolak.”
Misalnya, orang yang mengerjakan shalat zhuhur. Ia mengerjakan itu dengan niat melaksanakan kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah. Tetapi dalam memanjangkan rukun-rukun dan bacaannya serta dalam memperbagus gerak-geriknya adalah agar dipuji orang yang shalat bersamanya. Dalam kasus ini maka shalat orang tersebut tetap sah (diterima oleh Allah) sedangkan panjangnya rukun-rukun yang dikerjakan serta bacaanya maupun bagusnya gerak-geriknya ini tidak diterima oleh Allah, sebab niatnya untuk manusia.
Syaikh Izzudin Abdus Salam ditanya tentang orang yang memanjangkan shalatnya karena manusia. Beliau menjawab:
“Saya berharap hal itu tidak merusak amalannya yang dasar (ashlul ‘amal) yaitu shalat fardhu. Sedangkan yang rusak adalah sifat shalatnya, yakni dalam memanjangkan shalat tersebut, karena itu dilakukan karena manusia.”
Sebagaimana dalam mengerjakan amal perbuatan, riya’ pun bisa terjadi pula dalam meninggalkan amal perbuatan yang motivasinya adalah manusia, maka ini pun termasuk riya’.
Al-Fadhil bin ‘Iyadh berkata:
“Meninggalkan amal perbuatan karena manusia adalah riya’, sedangkan mengerjakan amal perbuatan karena manusia adalah syirik. Adapun ikhlas adalah apabila motifnya semata-mata karena Allah, baik dalam mengerjakan suatu amal maupun dalam meninggalkannya.”
Maksud dari ucapan beliau ini adalah, barangsiapa yang bermaksud mengerjakan amal ibadah tetapi tidak jadi mengerjakannya amal ibadah tetapi dia tidak jadi mengerjakannya karena takut dilihat manusia maka ini termasuk riya’. Sebab dia meninggalkan amal perbuatan karena manusia. Tetapi kalau dalam meninggalkan itu karena dia ingin berkhalwat, maka ini justru disunatkan.
Lain halnya kalau yang dikerjakan itu adalah ibadah (shalat) fardhu, atau zakat wajib.
Demikian pula tokoh agama yang mengerjakan amal-amal kebaikan secara terang-terangan agar diteladani oleh pihak lain, maka apa yang dilakukannya itu lebih utama
Sebagaimana riya’ yang merusak nilai amal ibadah, maka demikian pula dengan tasmi’ (sum’ah). Yakni mengerjakan amal ibadah di tempat yang sepi dari manusia, tetapi kemudian apa yang dilakukan itu diceritakannya kepada orang lain.
Rasulullah SAW bersabda :
Barangsiapa yang memperdengarkan (amalannya) maka Allah akan memperdengarkan dengannya, dan siapa yang memamerkan/memperlihatkan (amalnya) Allah akan memamerkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama berpendapat bahwa kalau seseorang alim menceritakan amal perbuatan yang telah dilakukan kepada orang lain dengan tujuan agar mereka mengikutinya, maka tasmi’ semacam ini diperbolehkan dan tidak merusak nilai amalnya di sisi Allah SWT.
Imam al-Marzabaniy berkata :”orang yang mengerjakan shalat yang menghendaki agar shalatnya diangkat di sisi Allah, maka dia memerlukan empat hal berikut :
- Hudhurul Qalb (hadirnya hati)
- Syuhudul Aql (sadarnya akal)
- Hudhu’ul Arkan (mendatangi rukun-rukun shalat)
- Husyu’ul jawarih (khusuknya anggota tubuh)
Oleh karenanya maka :
- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai hadirnya hati, maka ia shalat dengan lalai.
- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai kesadaran akal, maka ia shalat dengan lupa.
- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai kepatuhan pada rukun-rukunnya, maka ia shalat dengan mencuri rukun-rukunnya.
- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai kepatuhan anggota tubuh, maka ia shalat dengan keliru.
- Barangsiapa yang mengerjakan shalat dengan memenuhi keempat perkara di atas maka ia shalat dengan sempurna.
Sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung pada niatnya.”
Yang dimaksudnya dengan amal dalam hadist ini adalah amal-amal ketaatan, bukan yang mubah.
Al-Haritsi al-Muhasibi berkata:
“Keikhlasan itu tidak mencakup pada hal-hal yang mubah. Karena ia tidak bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, misalnya membangun rumah yang besar serta megah. Adapun bila untuk kemaslahatan umum seperti membangun masjid, jembatan dan sebagainya maka yang demikian itu amat dianjurkan, bahkan menjadi amalan sunat yang dicintai oleh Allah SWT.”
Beliau menegaskan:
“Tidak ada ikhlas dalam perbuatan yang haram atau perbuatan yang makruh.”
Kata Al-Harits:
“Maka pemberian sifat yang obyektif kaitannya dengan keikhlasan adalah dengan mempertimbangkan aspek yang samar (sirr) berikut yang jelas (‘alaniyah), yang lahir berikut yang batin.”
Sabda Nabi SAW :
“Sesungguhnya setiap amal……..”
Ini terkandung maksud: sesungguhnya sahnya amal, atau yang menjadikan sah setiap amal, atau diterimanya setiap amal, atau sempurnanya setiap amal.
Terhadap hadist ini Imam Abu Hanifah membuat pengecualian mengenai hal-hal tertentu, seperti menghilangkan najis, mengembalikan barang yang dighashab (dipergunakan tanpa seijin pemiliknya, dan tidak dimaksudkan mencuri), menyampaikan hadiah, dan semacamnya. Karena keabsahan perbuatan-perbuatan tersebut tidak terikat pada niat. Hanya saja, dia tetap memperoleh pahala kalau di dalam mengerjakannya itu disertai niat untuk bertaqarrub kepada Allah.
Demikian halnya memberi makan pada binatang ternak, misalnya. Apabila dalam memberi makan ini dimaksudkan untuk mngikuti perintah Allah maka ia memperoleh pahala. Akan tetapi apabila dalam mengerjakannya dia hanya bermaksud mengamankan harta maka dia tidak memperoleh pahala.
Secara bahasa, arti niat adalah kehendak (qashd). Sedangkan arti niat secara syara’ adalah berkehendak kepada suatu beriringan dengan mengerjakannya. Sebab bila kehendak itu masih jauh dari perbuatan, maka ia dinamakan ‘azm (maksud).
Dan niat itu disyariatkan karena dialah yang membedakan antara adat kebiasaan dengan ibadah, serta membedakan antara bagian ibadah satu dengan yang lainnya.
Contoh pertama:
Duduk di dalam masjid. Duduk itu sendiri menurut kebiasaan, duduk dimaksudkan untuk beristirahat. Tetapi kalau diniati I’tikaf maka ia merupakan ibadah. Di sini yang membedakan antara adat kebiasaan dengan ibadah adalah niat.
Demikian pula mandi. Sebagai adat kebiasaan, mandi dimaksudkan untuk membersihkan badan, dan secara khusus ia pun bisa dimaksudkan sebagai ibadah, yang membedakan antara keduanya adalah niat pula.
Inilah yang dikehendaki oleh isyarat dalam sabda Rasulullah SAW, saat beliau ditanya tentang lelaki yang berperang karena riya’, mempertahankan status serta keberaniannya:
“Yang manakah dari itu yang berperang di jalan Allah?” Maka beliau menjawab: “Barangsiapa yang berperang agar kalimah Allah menjadi tinggi, maka dia di jalan Allah!” (HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh Kedua:
Yang membedakan dalam tertib ibadah. Seperti orang yang mengerjakan shalat empat rakaat. Ini bisa dimaksudkan mengerjakan shalat Zhuhur dan bisa pula dimaksudkan mengerjakan shalat sunnah. Yang membedakan antara keduanya adalah niat
Juga memerdekakan budak. Ia bisa dimaksudkan sebagai kafarat dan bisa pula yang lain, misalnya dimaksudkan untuk melaksanakan nadzar dan seterusnya. Yang membedakannya adalah niat.
“Dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang ia niatkan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.