Selasa, 12 Mei 2020

Syech Kepala Ikan

ada seorang syaikh yang hidup sederhana. Dia makan sekadar kebutuhan untuk bertahan-hidup saja. Karena profesinya nelayan, pagi-pagi dia memancing ikan.

Setelah mendapat banyak ikan, dia membelah ikan-ikan itu menjadi dua: batang tubuh ikan itu dibagi-bagikan kepada tetangganya, sementara kepalanya dia kumpulkan untuk dimasak sendiri. Karena terbiasa makan kepala ikan itulah sehingga dia diberi julukan Syaikh Kepala Ikan. Dia seorang sufi yang memiliki banyak murid.

Salah seorang muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol. Kebetulan Syaikh Kepala Ikan ini mempunyai seorang guru sufi besar di sana (Syaikh Al-Akbar). "Tolong kamu mampir ke kediaman guruku di Mursia, dan mintakan nasihat untukku," pesan syaikh kepada muridnya. Si murid pun pergi untuk berdagang. Setibanya di Mursia, dia mencari-cari rumah Syaikh Al-Akbar itu. Dia membayangkan akan bertemu dengan seorang tua, sederhana, dan miskin. Tapi ternyata orang menunjukkannya pada sebuah rumah besar dan luas. Dia tidak percaya, mana ada seorang sufi besar tinggal di sebuah bangunan yang mewah dan mentereng, penuh dengan pelayan-pelayan dan sajian-sajian buah-buahan yang lezat.

Dia terheran-heran: "Guru saya hidup dengan begitu sederhana, sementara orang ini sangat mewah. Bukankah dia gurunya guru saya?" Dia pun masuk dan menyatakan maksud kedatangannya. Dia menyampaikan salam gurunya dan memintakan nasihat untuknya. Syaikh pun bertutur, "Bilang sama dia, jangan terlalu memikirkan dunia." Si murid tambah heran dan sedikit marah, tidak mengerti. Syaikh ini hidup sedemikian kaya, dimintai nasihat oleh orang miskin malah menyuruh jangan memikirkan dunia. Akhirnya dengan kesal dia pulang.

Saat gurunya mendengar nasihat yang diperoleh melalui muridnya dia hanya tersenyum dan sedikit sedih. Si murid mengernyitkan kening tambah tidak paham. Apa maksud nasihat itu? Guru itu menjawab, "Syaikh Akbar itu benar. Menjalani hidup tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh harta kekayaan yang kita miliki dan tetap terpaut dengan Allah Swt. Bisa jadi orang miskin harta, tapi hatinya terus memikirkan dunia. Saya sendiri ketika makan kepala ikan, masih sering membayangkan bagaimana enaknya makan daging ikan yang sebenarnya?"

Kisah ini menunjukkan dua hal: menjadi orang kaya itu tidak mesti jauh dari kehidupan sufi dan menjadi orang miskin tidak otomatis mendekatkan orang pada kehidupan sufistik. Syaikh Al-Akbar yang disebut di atas adalah Muhyiddin Ibn Arab, salah satu sufi besar dan cemerlang dalam sejarah perkembangan tasawuf.

Seorang sufi lain mengatakan, kehidupan tasawuf adalah membiarkan tanganmu sibuk mengurusi dunia dan membiarkan hatimu sibuk mengingat Allah Swt.

Imam Ghazali mengatakan, jiwa harus merawat tubuh sebagaimana orang mau naik haji harus merawat untanya. Tapi kalau ia sibuk dan menghabiskan waktunya untuk merawat unta itu, memberi makan dan menghiasinya, maka kafilah (rombongan) akan meninggalkannya. Dan ia akan mati di gurun pasir. Artinya, kita bukan tidak boleh merawat yang bersifat fisik, tapi yang tidak boleh adalah kita tenggelam di dalamnya. Imam Al-Ghazali bertanya, "Apakah uang itu membuatmu gelisah? Orang yang hatinya terganggu oleh uang belumlah menjadi seorang sufi". Jadi, persoalannya bukan kita tidak boleh mempunyai uang. Justru, bagaimana caranya kita punya uang cukup, tapi pada saat yang sama hati kita tidak terganggu dengan harta yang kita miliki.

Menurut Ibn Arab, dunia ini adalah tempat kita diberi pelajaran dan harus menjalani ujian. Ambillah yang kurang daripada yang lebih di dalamnya. Puaslah dengan apa yang kamu miliki, betapapun yang kamu miliki itu kurang daripada yang lain. Tapi dunia itu tidak buruk. Sebaliknya, ia ladang bagi hari akhirat. Apa yang kamu tanam di dunia ini, akan kamu panen di akhirat nanti. Dunia adalah jalan menuju kebahagiaan puncak, dan karena itu baik, layak untuk dipuji dan dielu-elukan untuk kehidupan akhirat. Yang buruk adalah jika apa yang kamu perbuat untuk duniamu itu menyebabkan kamu buta terhadap kebenaran oleh nafsumu dan ambisi terhadap dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.