Kamis, 07 Mei 2020

Kisah Tsabit AlBunani dan alam kubur

Kisah Tsabit al Bunani dan Pemuda dari Alam Kubur 

Ada sebuah kisah dari seorang ulama dari kalangan Tabi’in yang bernama Tsabit al-Bunani. Ia merupakan salah seorang murid dari sahabat sekaligus pembantu Rasulullah SAW yaitu Anas bin Malik RA.

Pada setiap malam Jumat, Tsabit al-Bunani punya kebiasaan selalu pergi berziarah ke makam dan bermunajat hingga menjelang waktu Shubuh tiba. Suatu ketika, saat beliau sedang khusyu’ bermunajat, rasa kantuk menyerangnya dengan hebat sehingga membuatnya tertidur.

Dalam tidurnya itu ia bermimpi melihat seluruh penghuni kubur itu bangkit dari kuburnya. Mereka tampak mengenakan pakaian yang indah-indah dan wajah mereka tampak putih berseri-seri. Masing-masing dari mereka juga mendapatkan seperangkat hidangan makanan yang beraneka macam dan terlihat lezat.

Namun di antara para penghuni kubur itu tampak seorang pemuda yang berwajah pucat, rambutnya acak-acakan, tampak sedih hati, berpakaian kumuh dan kepalanya menunduk sembari mengalir air matanya. Pemuda itu juga terlihat tidak mendapatkan makanan seperti penghuni kubur yang lain.

Kemudian, seluruh penghuni kubur itu kembali ke dalam kuburnya masing-masing dengan wajah berseri-seri selain pemuda yang berwajah muram itu. Pemuda itu pulang dengan diiringi rasa putus asa dan kesedihan yang mendalam. Maka, Tsabit pun mendekati pemuda itu dan bertanya, “Hai anak muda! Siapakah kamu? Apa yang terjadi denganmu? Mengapa mereka mendapat hidangan sehingga mereka kembali dengan bahagia, namun kamu tidak mendapatkan apa-apa, sehingga kamu kembali dengan putus asa, sedih, dan susah?”

Pemuda itu menjawab, “Wahai Imam kaum Muslimin, aku adalah seorang pengelana. Tidak ada satu pun dari keluargaku yang ingat lagi padaku dengan cara beramal baik dan berdoa. Berbeda dengan mereka yang mempunyai anak-anak, sanak kerabat, dan sahabat karib yang baik. Kebaikan dan pahala dari mereka yang masih hidup telah sampai kepada ahli kubur itu.”
“Sewaktu hidup, aku adalah seorang lelaki yang hendak menunaikan ibadah haji bersama ibuku. Namun dalam perjalanan, ketika kami memasuki kota ini, ajal menjemputku. Akhirnya ibuku pun memakamkanku di kuburan umum ini. Kemudian ibuku menikah lagi dengan orang lain dan lupa kepadaku. Ia tidak ingat padaku lagi untuk berkirim pahala sedekah dan berdoa, sehingga aku putus asa dan dirundung kesedihan setiap waktu.

Tsabit al-Bunani kemudian berkata, “Wahai anak muda! Katakanlah, dimanakah ibumu tinggal, akan kuceritakan keadaanmu ini kepadanya?”.

Pemuda itu menjawab, “Wahai Imam kaum Muslim, Ibuku tinggal di suatu tempat di desa ini. Ceritakanlah kepada ibuku, jika ia tidak mempercayaimu, maka katakanlah bahwa di dalam sakunya ada 100 gram perak peninggalan ayah. Perak itu adalah hak anak-anaknya dan mintalah dia bersedekah dengan harta tersebut sesuai tuntunan agama.”

Setelah sadar dari mimpi, Tsabit al Bunani pun bergegas mencari ibu pemuda itu dan ingin menceritakan apa yang dipesankan pemuda itu. Setelah sampai di rumah ibu pemuda itu, Tsabit menceritakan perihal anaknya yang ditemuinya dalam mimpi. Ia juga menyebutkan mengenai 100 gram perak yang berada di saku ibu pemuda itu. Mendengar penuturan Tsabit, mendadak ibu itu pingsan. Setelah siuman, ia langsung menyerahkan 100 perak itu kepada Tsabit al-Bunani seraya berpesan, “Sedekahkanlah ini demi anakku yang berkelana”.

Tsabit al Bunani pun menjalankan amanat ibu itu dan disedekahkannya 100 perak tersebut yang pahalanya dihadiahkan untuk anaknya itu. Ketika malam Jumat berikutnya, seperti biasa Tsabit al-Bunani pergi berziarah kubur ke makam itu. Kembali rasa kantuk yang berat dialaminya hingga kembali tertidur.

Dalam tidurnya kali ini ia kembali bertemu dengan pemuda pengelana itu. Namun kali ini pemuda itu tampak mengenakan pakaian yang sangat indah dengan wajah yang berseri-seri dan diliputi kebahagiaan. Pemuda itu berkata, “Wahai Imam kaum Muslim, semoga Allah berkenan mengasihimu sebagaimana engkau mengasihi diriku.

Demikianlah, mereka yang telah meninggal akan merasakan kesedihan bilamana keluarganya yang masih hidup tidak beramal saleh dan justru melakukan keburukan. Namun sebaliknya jika keluarganya senantiasa beramal baik, maka mereka yang telah meninggal akan merasakan kebahagiaan karena mendapat bagian pahala dari mereka yang masih hidup.


*Disarikan dari kitab al-Mawa’idz al-‘Ushfuriyyah, hal. 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.