Di tengah malam yang gelap gulita, pada saat cahaya dari dalam rumah sudah padam, jalan mulai sepi, seorang hamba Allah berjalan dalam keheningan malam. Kedua matanya tanpa henti memperhatikan setiap rumah yang dilaluinya. Ia tak peduli, walau kakinya tersandung saat menahan berat beban yang ia panggul.
Sesekali, ia berhenti untuk sekadar menyimpan sebagian barang bawaannya di depan pintu rumah orang-orang miskin. Peristiwa ini berlangsung setiap malam selama bertahun-tahun.
Penduduk Madinah pun gempar, pasalnya saat pagi tiba, di depan rumah orang-orang miskin, selalu terdapat sekarung gandum. Hal ini terus terulang selama beberapa lama. Ketika persediaan gandum mereka sudah hampir habis maka akan ditemukan lagi sekarung gandum yang baru.
Yang membuat mereka heran adalah tidak seorang pun yang bisa mengetahui siapakah gerangan dermawan yang senantiasa mendatangi rumah mereka dan membagikan gandum. Rupanya sang dermawan sangat pintar menyembunyikan kedermawanannya. Dari sekian banyak penduduk, hanya seorang warga yang pernah mengetahui jati dirinya. Namun, atas permintaan sang dermawan, warga inipun merahasiakannya dengan hati-hati.
Sampai suatu ketika, ada seorang imam dan ulama terkemuka wafat. Warga heran, saat mereka akan memandikan sang imam. Sebab, mereka menemukan sejumlah bekas berwarna hitam di punggungnya. Setelah diselidiki, tanda hitam itu seperti bekas orang yang sering mengangkat beban di punggungnya. Ulama dan imam itu adalah Ali Zainal Abidin.
Tak ingin berpolemik terlalu lama, akhirnya orang yang mengetahui sosok dan jati diri sang dermawan itu membuka rahasia. “Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan oleh Imam Ali Zainal Abidin ke rumah-rumah warga di Madinah pada malam hari,” tuturnya membuka cerita yang dipendamnya selama bertahun-tahun.
Mengetahui hal itu, rasa haru dan kesedihan menyelimuti warga Madinah. Selama bertahun-tahun, sang dermawan yang merahasiakan jati dirinya, kini telah terungkap setelah wafatnya. Mereka bersedih, bukan karena tidak akan mendapatkan lagi gandum untuk keluarga mereka, melainkan telah ditinggal pergi untuk menghadap Ilahi oleh sang ulama dan imam yang begitu peduli terhadap warganya.
Sang ulama tak peduli dengan suasana dan gelapnya malam. Ia senantiasa memberikan sedekah untuk para fakir miskin. Ia juga tak peduli dengan segala pujian. Sebaliknya, ia menyembunyikan kedermawanannya agar terhindar dari sikap takabur, ujub, dan pamer (riya). Sebab, hal-hal yang demikian itu dapat merusak nilai-nilai keikhlasan dan ketulusan. Semua dilakukannya karena Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah secara sembunyi-sembunyi dapat memadamkan murka Allah.” (HR Baihaqi).
Riwayat Ali Zainal Abidin
Ketika Ali bin Abi Thalib (suami Fatimah binti Muhammad Rasulullah), memegang amanah ke-khalifahan, beliau menikahkan al-Husein puteranya, dengan seorang puteri Yazdigird, Kisra terakhir kekaisaran Persia yang bernama Shahrbānū. Dari perkawinan inilah Ali Zainal Abidin dilahirkan.
Ali Zainal Abidin, setelah dewasa dijuluki as-sajjad, karena banyaknya bersujud. Sedang gelar Zainal Abidin (hiasannya orang-orang ibadah) karena beliau selalu beribadah kepada Allah SWT. Bila akan shalat wajahnya pucat, badannya gemetar. Ketika ditanya: Mengapa demikian? Jawabannya: “Kamu tidak mengetahui di hadapan siapa aku berdiri shalat dan kepada siapa aku bermunajat”.
Zainal Abidin dilahirkan di kota Madinahpada tahun 33 H, atau dalam riwayat lain ada yang mengatakan 38 H. Beliau adalah termasuk generasi tabi’in.
Beliau banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya (Al-Imam Husain), pamannya Al-Imam Hasan, Jabir, Ibnu Abbas, Al-Musawwir bin Makhromah, Abu Hurairah, Shofiyyah, Aisyah, Ummu Kultsum, serta para ummahatul mukminin/isteri-isteri Nabi SAW.
Amalan terkadang dilakukan secara tersembunyi. Setelah wafat, barulah orang-orang mengetahui ternyata beliau, memikul tepung dan roti dipunggungnya guna dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga fakir miskin di Madinah.
Beliau meninggal di kota Madinah pada tanggal 18 Muharrom 94 H, dan disemayamkan di pekuburan Baqi’, dekat makam dari pamannya, Al-Imam Hasan. Beliau wafat dengan meninggalkan 11 orang putra dan 4 orang putri. Adapun warisan yang ditinggalkannya kepada mereka adalah ilmu, kezuhudan dan ibadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.