TINGKATAN TOBAT
IMAM Al-Ghazali mengungkapkan bahwa orang yang melakukan taubat itu dapat ditilik dari keadaan taubatnya dan sikapnya dalam empat tingkatan:
Pertama , seorang yang bertaubat dan terus tetap bertaubat hingga akhir usianya. Di dalam hatinya ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosanya lagi. Tentu saja hal ini dikecualikan atas kesalahan yang menurut kebiasaan manusia tidak dapat menghindarinya. Inilah yang disebut istiqamah, kemantapan dalam taubatnya.
Taubat semacam ini dinamakan taubat nasuha, taubat yang mampu menasehati dirinya sendiri. Untuk selanjutnya tidak membuat pelanggaran lagi dengan keinsyafan yang sebenar-benarnya. Orang yang bertaubat seperti itu adalah orang yang memiliki jiwa yang tenang nafsul mutmainah .
Kedua , orang yang bertaubat tetapi belum dapat melepaskan diri dari berbagai dosa yang menghinggapinya. Dalam hatinya sama sekali tidak terketuk untuk berbuat dosa. Namun keadaan memaksa ia terjebak dosa. Saat dosa menghampirinya, saat itu pula ia bertaubat, dan benar-benar menyesalinya.
Jiwa orang semacam ini tergolongan nafsu lawwamah , jiwa penyesalan; jiwa yang selalu menyesal atas dosa yang dilakukannya. Padahal dosa itu sendiri bukan dorongan hati dan tidak ada kesengajaan sama sekali.
Taubat semacam ini tergolong taubat yang nilainya tinggi, tetapi lebih rendah mutunya dari taubat yang pertama. Dan taubat ini umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang. Pelakunya berhak diberi janji baik dari Allah:
“Orang-orang yang mendapatkan kebaikan yaitu orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan beberapa kemaksiatan, kecuali yang hanya merupakan lintasan dalam hati. Sesungguhnya Tuhanmu adalah amat luas pengampunannya. ” (QS. An-Najm: 31-32)
Oleh karena itu, maka segala yang terlintas dalam hati dianggap dosa kecil, yang bukan keinginannya sendiri. Kesalahan semacam ini dapat dimaafkan. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang memperoleh kebahagiaan ialah orang-orang yang apabila melakukan keburukan atau menganiaya dirinya sendiri, maka mereka segera mengingat pada Allah, kemudian memohon ampunan dari dosa-dosanya. ” (QS. Ali-Imran: 135)
Dalam hadist disebutkan:
“Setiap mukmin tentu terkena dosa yang menimpanya pada setiap waktu.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Keterangan ini sebagai dalil bahwa kadar dosa yang demikian itu tidak merusak taubat yang sudah diikrarkan dan orang yang melakukannya tidak termasuk yang mengekalkan kemaksiatan.
Ketiga, seseorang yang bertaubat namun pada saat-saat tertentu ia dikalahkan oleh nafsu syahwatnya dengan melakukan beberapa macam kemaksiatan. Dan ia sadar bahwa kemaksiatan yang dilakukannya sengaja, karena memang tidak mampu mengekang nafsu syahwatnya.
Dalam waktu yang sama ia tetap melaksanakan ketaatan dan sebagian dosa-dosa besar ditinggalkan. Dalam hatinya ia berkeinginan agar mampu menghindari dorongan nafsu syahwatnya. Malahan saat selesai melaksanakan kemaksiatan, ia menyesali dirinya sendiri. Namun kekuatan nafsunya terkadang berimbang dengan iman.
Jiwa yang demikian itu dinamakan nafsu musawwalah ; jiwa yang memerintah diri. Mereka ini tergolong orang yang disinggung oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firmannya:
“Ada pun orang-orang lain yang sudah mengakui dosa-dosanya, tetapi mereka itu suka mencampurkan amalan baiknya dengan amalan buruknya. ” (QS. At-Taubah: 102)
Keempat, seorang yang bertaubat dengan waktu yang terbatas untuk selanjutnya ia kembali menjerumuskan dirinya dalam berbagai perbuatan dosa. Orang semacam ini sama sekali tidak menyesali perbuatan dosanya itu dan tidak ada keinginan segera bertaubat.
Jiwa yang demikian itu disebut nafsu amarah bissuui , yaitu jiwa yang mengajak pada kejahatan. Indikasinya ia suka mendekati keburukan dan menjauhi kebaikan.
Taubat ketiga dan keempat ini dikhawatirkan berujung pada su-ul khatimah , yakni penghabisan yang buruk.*/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.