Selasa, 26 Maret 2019

Fidyah sholat

Qadha sholat & Fidyah sholat

Kita mengenal istilah qadha shalat yang artinya melunasi hutang shalat. Berarti yang bersangkutan pernah meninggalkan shalat, disengaja atau tidak itu lain soal. Yang jelas, hutang kewajiban shalat sama halnya dengan hutang kewajiban kepada Allah yang lain, ia harus dilunasi.
Bahwa shalat yang kita tinggalkan itu adalah disebabkan kelalaian kita. Kepada manusia saja hutang harus dibayar, kenapa hutang kepada Allah justru dipermudah? Walaupun kita tahu Allah adalah Dzat Maha Pemaaf, tapi itu masalah lain.<>

Dalil yang kita pakai:
ﺍﺗَّﻔَﻖَ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀُ ﻋَﻠَﻰ ﺃﻥَّ ﻗَﻀَﺎﺀَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَﺍﺟِﺐٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨﺎَّﺳِﻲّ ﻭَ ﺍﻟﻨّﺎَﺋِﻢِ ﻟِﻤَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ ﻗَﻮْﻝِ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَ ﺳَﻠَّﻢَ، ﺃﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﻮْﻡِ ﺗَﻔﺮِﻳْﻂٌ . ﻭَ ﺇﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟﺘَّﻔْﺮِﻳْﻂُ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﻴَﻘْﻈَﺔِ . ﻓَﺈﺫَﺍ ﻧَﺴِﻲَ ﺃَﺣَﺪٌ ﺻَﻼَﺓُ ﺃﻭْ ﻧََﺎﻡَ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻓَﻠْﻴُﺼَﻠِّﻴْﻬَﺎ ﺇﺫَﺍ ﺫَﻛَﺮَﻫَﺎ
Para ulama sepakat bahwa melunasi hutang shalat yang ditinggalkan itu wajib hukumnya, baik karena lupa ataupun tertidur. Seperti pernah disampaikan Rasul: Tertidur itu bukan kelengahan karena yang dikatakan lengah itu bila seseorang tidak tidur. Apabila ia lupa atau tertidur dan tidak mengerjakan shalat, shalatlah ketika teringat. (Lihat dalam FIqhus Sunnah , Juz II, hlm. 185)
Kita memang dapat membayarnya lain waktu yang senggang. Akan tetapi, lebih cepat membayar, lebih baik. Misalnya, kita baru saja hutang shalat Subuh karena bangun kesiangan maka waktu yang terbaik dapat dikerjakan jam tujuh atau jam delapan pagi ketika kita bangun dari tidur, atau ketika kita sempat membayamya dan tidak perlu ditunda-tunda. Meski pada dasarnya hutang (qadha) shalat Subuh dapat dikerjakan di waktu shalat Zhuhur, Maghrib, Ashar, atau kapan saja.
Demikian juga berlaku pada shalat-shalat lain yang kita tinggalkan. Soal apakah dosa besar ketika kita meninggalkan shalat, tentu saja akan dilihat alasannya. Kalau kita beralasan tidur, tidak ada yang membangunkan, tentu Allah Mahatahu. Berbeda bila kita meninggalkan shalat karena alasan lain seperti bus yang kita tumpangi tidak berhenti, atau di kereta yang katanya tidak ada tempat, di pesawat yang katanya tidak ada air, atau sedang sakit, semua itu Allah Mahatahu.
Yang jelas, shalat bagi kaum muslimin merupakan suatu kewajiban yang harus dikerjakan pada waktunya, dalam kondisi apapun. Jika tidak bisa berdiri, duduk. Tidak bisa duduk, tiduran. Tidak bisa tiduran, isyarat mata. Tidak bisa isyarat mata, dengan hati. Begitu mudahnya syari'at Islam, namun kemudahan itu masih saja dirasa berat oleh orang yang suka bermalas-malasan.
Sekarang, bagaimana jika hutang shalat satu minggu karena sakit belum bisa membayarnya keburu meninggal, siapa yang harus membayar?
Hutang shalat tadi bisa dibayar lewat dua cara. Cara pertama, dilunasi keluarganya; dan cara kedua, bisa melunasinya dengan membayar fidyah (denda), yaitu 1 waktu shalat yang ditinggalkan sama dengan 6 ons beras atau makanan pokok lainnya. Berarti, keluarga harus membayarkan 6 ons beras x 5 x 7 dan diberikan kepada tetangga yang miskin.
ﻭَﻣَﻦْ ﻣَﺎﺕَ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺻَﻼَﺓٌ ﻓَﻼ ﻗَﻀَﺎﺀَ ﻭَ ﻻَ ﻓِﺪْﻳَﺔَ . ﻭَ ﻓِﻲْ ﻗَﻮْﻝٍ ﻛَﺠَﻤْﻊِ ﺍﻟْﻤُﺠْﺘَﻬِﺪِﻳْﻦَ ﺃﻧَّﻬَﺎ ﺗَﻘْﻀَﻰ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻟِﺨَﺒَﺮِ ﺍﻟﺒُﺨَﺎﺭِﻱ ﻭَ ﻏَﻴْﺮِﻩِ . ﻭَ ﻣِﻦْ ﺛَﻢَّ ﺍﺧْﺘﺎَﺭَﻩُ ﺟَﻤْﻊٌ ﻣِﻦْ ﺃﺋِﻤَّﺘِﻨﺎَ ﻭَ ﻓَﻌَﻞَ ﺑِﻪِ ﺍﻟﺴُﺒْﻜِﻲ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﺃَﻗﺎَﺭِﺑِﻪِ
ٍSiapa meninggal dunia sedang ia punya hutang shalat, baginya tak perlu diqadha. Tetapi menurut sebagian besar ulama Mujtahidin: bagi keluarganya tetap terkena kewajiban membayar karena ada hadits riwayat Imam Bukhari, dll. Rupanya pendapat terakhir ini cenderung diikuti ulama-ulama, Syafi’iyah, antara lain Imam Subki dan sebagian sahabatnya. (Lihat Ahkamul Fuqoha , Juz II, hal 50)
ﺍﻟﺼَّﺤِﻴْﺢُ ﻫَﻮَ ﺍﻹﻓْﺘﺎَﺀُ ﺍﻷﻭَّﻝُ ﺑِﺈﺧْﺮَﺍﺝِ ﺍﻟْﻔِﺪْﻳَﺔِ ﺃﺭْﺑَﻌِﻴْﻦَ ﻣُﺪًّﺍ ﻟِﺘَﺮْﻙِ ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕِ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘُﻮْﺑَﺔِ ﺛَﻤَﺎﻧِﻴَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻓِﻲْ ﺧَﻤْﺲِ ﻣَﻜْﺘُﻮْﺑﺎَﺕٍ
... yang benar adalah fatwa pertama yang mengatakan: harus mengeluarkan fidyah (denda) 40 mud (1 mud = 6 ons) bagi yang telah meninggalkan shalat selama 8 hari, yang seharusnya dia mengerjakan shalat 5 kali sehari. (Lihat dalam I’anatut Thalibin , Juz II, hal 229)

KH Munawir Abdul Fattah
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta

*****

Kitab Fathul Muin menyebutkan bahwa as -Subki pernah mengqadha shalat keluarganya yang sudah meninggal . Zainudin al - Malibari menyebutkan bahwa perbuatan mengqadha tersebut terdapat dalam khabar , pendapat sahabat . Namun , Zainudin tidak menyebutkan dengan jelas apa khabar yang dimaksud itu . Karenanya, Syekh Abu Bakar Syatha , penulis I ’ anah at -Thalibin menyebutkan bahwa khabar itu antara lain disebutkan dalam Sahih al -Bukhari. Berikut khabar tersebut :
ﻭَﺃَﻣَﺮَ ﺍﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ ، ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ، ﺟَﻌَﻠَﺖْ ﺃُﻣُّﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﻔْﺴِﻬَﺎ ﺻَﻼَﺓً ﺑِﻘُﺒَﺎﺀٍ ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ‏« ﺻَﻠِّﻲ ﻋَﻨْﻬَﺎ ‏» ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ، ﻧَﺤْﻮَﻩُ
Artinya; Sahabat Ibnu Umar pernah menyuruh seorang perempuan untuk mengqadha shalat ibunya yang pernah ditinggal. Waktu itu ibunya bernazar untuk melakukan shalat di Masjid Quba , namun meninggal sebelum melakukannya . “ Qadhakanlah nazar shalat ibumu itu , ” perintah Ibnu Umar pada perempuan tersebut . Hal ini juga merupakan pendapat yang disampaikan Ibnu Abbas.
Terkait pendapat sahabat Ibnu Abbas, Imam Ibnu Hajar berpendapat bahwa perempuan itu juga diperintah untuk berjalan kaki menuju Masjid Quba sebagaimana nazar yang dilakukan ibunya . Selain itu , Imam Ibnu Hajar juga mengutip pendapat Ibnul Munir , yang dimaksud ﺻَﻠِّﻲ ﻋَﻨْﻬَﺎ di atas adalah shalat biasa, bukan shalat qadha .
Namun demikian , amal shalat yang dilakukan perempuan itu pahalanya dapat dihadiahkan untuk mengganti nazar shalat ibunya yang belum sempat dilakukan . Ibnul Munir menambahkan , kasus seperti ini hanya khusus bisa dilakukan oleh anak untuk menggantikan ibadah orangtuanya . Oleh karena itu , selain anak orang yang bersangkutan maka tidak diperbolehkan.
Atas dasar khabar ini , Syekh Abu Bakar Syatha menyampaikan bahwa sekelompok ulama Syafi’ iyyah membolehkan qadha shalat untuk orang yang sudah meninggal . Selain itu , Syekh Abu Bakar Syatha juga mengutip perkataan Ibnu Burhan bahwa qaul qadim (pendapat Imam Syafi’ i ketika di Irak ) menyatakan bahwa ahli waris orang yang meninggal itu wajib mengqadha shalat yang ditinggalnya .
Dalam pendapat lain di kalangan ulama Syafi’ i , ahli waris hanya diwajibkan memberi fidyah dengan satu mud (3 /4 liter ) beras untuk fakir - miskin sebagai ganti dari shalat yang ditinggal keluarga yang meninggal . Jadi , setiap satu shalat wajib yang ditinggal itu dibayar dengan beras satu mud . Semakin banyak shalat yang sempat ditinggal oleh salah satu anggota keluarga yang meninggal , maka semakin banyak pula fidyah yang dibayarkan .

*****

Pendapat Ulama’ Tentang Qadha dan Fidyah Shalat Bagi Mayit
Dari beberapa penjelasan yang telah dipaparkan mengenahi perihal kewajiban qadha shalat, bahwa apabila sesorang dengan tanpa adanya halangan meninggalkan shalat maka seseorang tersebut wajib mengqadha shalatnya. Sehingga apabila seseorang meninggal dunia dan masih meninggalkan shalat fardhu, maka hendaknya wajib diqadha ataupun dibayar fidyahnya.
Akan tetapi dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Sebagian dari mereka menerima adanya qadha’ atau fidyah, sedang yang lainnya menolak.
ﺇِﻥَّ ﻋَﺒْﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓَ ﺟَﻌَﻠَﺖْ ﺃُﻣُّﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻧَﻔْﺴِﻬَﺎ ﺻﻼﺓً ﺑِﻘُﺒﺎﺀَ ﻳﻌﻨﻲ ﺛﻢ ﻣﺎﺗﺖ ﻓﻘﺎﻝ ﺻﻠّﻲ ﻋﻨﻬﺎ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ )
“Sesungguhnya Abdullah bin Umar r.a. memerintahkan perempuan yang ibunya pernah bernadzar shalat di Quba’, lantas ibu itu meninggal sebelum sempat melakukannya. Ibnu Umar berkata kepada perempuan itu : Lakukanlah shalat untuk (mengqodhoi shalat) ibumu.” (H.R Bukhari)
Hal ini didukung dengan sebuah nukilan:
( ﻓَﺎﺋِﺪَﺓٌ ‏) ﻣَﻦْ ﻣَﺎﺕَ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺻَﻼَﺓٌ ﻓَﻼَ ﻗَﻀَﺎﺀَ ﻭَﻻَ ﻓِﺪْﻳَﺔَ . ﻭَﻓِﻲ ﻗَﻮْﻝٍ -ﻛَﺠَﻤْﻊٍ ﻣُﺠْﺘَﻬِﺪِﻳْﻦَ - ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺗُﻘْﻀَﻰ ﻋَﻨْﻪُ ﻟِﺨَﺒَﺮِ ﺍﻟْﺒُﺨَﺎﺭِﻱ ﻭَﻏَﻴْﺮِﻩِ، ﻭَﻣِﻦْ ﺛَﻢَّ ﺍﺧْﺘَﺎﺭَﻩُ ﺟَﻤْﻊٌ ﻣِﻦْ ﺃَﺋِﻤَّﺘِﻨَﺎ، ﻭَﻓَﻌَﻞَ ﺑِﻪِ ﺍﻟﺴُّﺒْﻜِﻲ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﺃَﻗَﺎﺭِﺑِﻪِ . ﻭَﻧَﻘَﻞَ ﺍﺑْﻦُ ﺑُﺮْﻫَﺎﻥٍ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻘَﺪِﻳْﻢِ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﻠْﺰَﻡُ ﺍﻟْﻮَﻟِﻲَّ ﺇِﻥْ ﺧَﻠَﻒَ ﺗِﺮْﻛَﺔً ﺃَﻥْ ﻳُﺼَﻠِّﻰَ ﻋَﻨْﻪُ، ﻛَﺎﻟﺼَّﻮْﻡِ . ﻭَﻓِﻲ ﻭَﺟْﻪٍ – ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻛَﺜِﻴْﺮُﻭْﻥَ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻨَﺎ – ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﻄْﻌَﻢُ ﻋَﻦْ ﻛُﻞِّ ﺻَﻼَﺓٍ ﻣُﺪًّﺍ ‏( ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ – ﺝ ۱ / ﺹ۳۳ )
Disebutkan bahwa: Ibnu Burhan mengutip dari qaul qadim, sesungguhnya wajib bagi wali/orang tua jika mati meninggalkan tirkah (warisan) agar dilakukan ganti darinya (mengqadha’ shalat yang ditinggalkan), seperti halnya puasa. Salat yang ditinggalkan mayit dapat diganti dengan membayar makanan sebanyak 1 mud (6 ons) bagi setiap salatnya (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24) [3]
Pendapat ini juga diperkuat oleh ulama’ Syafi’iyah, seperti yang disebutkan oleh al-Ibadiy dari Asy-Syafi’i bahwa: “Sesungguhnya shalat itu harus diqodho’kan oleh orang lain, baik orang mati itu berwasiat untuk hal ini atau tidak.” Adalah karena ada hadits yang menjelaskannya. Bahkan imam as-Subki melakukan qadha’ shalat yang ditinggalkan mayit dari sebagian kerabatnya. [4]
Tentang pahala tersebut akan sampai atau tidak kepada mayit, dijelaskan dalam kitab Nihayatuz Zain, bahwa Nabi pernah mengerjakan shalat sunnah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit.
ﻭﻣﻦ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻨﻔﻞ ﺻﻼﺓ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺒﺮ
Termasuk salah satu dari shalat sunnah dua rakaat pada malam pertama untuk menghibur mayit di dalam kubur.
ﻭﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﻩ ﺍﻟﺒﺪﺍﻧﻴﻪ ﻛﺎﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻗﺮﺃﺓ ﺍﻟﻘﺮﺃﻥ ﻭﺍﻟﺬﻛﺮ . ﻓﻤﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺟﻤﻬﻮﺭ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻭﺻﻮﻟﻬﺎ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺑﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﻪ ﻧﺺّ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﻳﺤﻲ ﺍﻟﻜﺤّﺎﻝ ﻗﺎﻝ : ﻗﻴﻞ ﻷﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ : ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻳﻌﻤﻞ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻣﻦ ﺻﻼﺓ ﺃﻭ ﺻﺪﻗﺔ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﺠﻌﻞ ﻧﺼﻔﻪ ﻷﺑﻴﻪ ﺃﻭ ﻷﻣﻪ؟ ﻗﺎﻝ : ﺍﺭﺟﻮ ﺃﻭ ﻗﺎﻝ : ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﺔ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﺎ . ‏[ 5 ]
Dalam sebuah nukilan tersebut dijelaskan bahwa Imam Ahmad dan Jumhur Ulama’ menyatakan bahwa pahala ibadah yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai kepadanya. Hal itu dipertegas oleh penjelasan dari sebagian sahabat Abu Hanifah di dalam riwayat Muhammad bin Yahya Al-Kahhal bahwa Abi Abdillah pernah ditanya tentang sampainya pahala melakukan shalat dan shadaqah yang dihadiahkan kepada ibu atau bapaknya. Maka kemudian Abi Abdillah mengatakan bahwa pahala tersebut akan sampai kepada keduanya.
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dibayarkan fidyah satu mud beras untuk tebusan untuk satu sholat yang ditingalkanya jadi menurut mazhab ahli sunah waljamaah boleh menghadiahkan pahala amalnya maupun sholatnya, untuk orang lain (mayit) dan pahala itu bisa sampai.
Oleh sebab itu, apabila seseorang yang telah meninggal dan masih memiliki tanggungan shalat, menurut madzhab Syafi’i diperbolehkan walinya mengqadha shalat yang telah ditinggalkan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah hanya perlu dibayarkan fidyahnya oleh ahli warisnya.
Akan tetapi banyak Ulama’ yang menolak adanya qadha’ dan fidyah shalat untuk orang yang telah meninggal dunia. Dengan alasan bahwa shalat merupakan ibadah badaniyah yang tidak bisa diwakilkan kepada siapapun kecuali dirinya sendiri yang melaksanakannya.
ﻭﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻓﻲ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺸﻔﻌﻲ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﺃﻥ ﻓﻀﻠﻪ ﻻ ﻳﺼﻞ . ﻭﺫﻫﺐ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺷﻲﺀ ﺍﻟﺒﺘﺔ ﻻ ﺩﻋﺎﺀ ﻭﻻ ﻏﻴﺮﻩ ‏[ 6 ]
Dalam nukilan tersebut dijelaskan bahwa penjelasan yang paling masyhur tentang penolakan pendapat sampainya pahala perwakilan ibadah kepada mayit adalah dari kalangan madzhab Syafi’i dan Maliki.
Seluruh Ulama’ sepakat bahwa mewakili orang dalam hal puasa dan shalat dari orang yang hidup tidak sah sama sekali. Baik orang yang diwakili itu mampu melakukan ibadah ataupun tidak mampu.
Empat Madzhab mengatakan tidak sah menggantikan orang mati sebagaimana menggantikan orang hidup. [7]
Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa kitab fiqih bahwa orang yang meninggal dan masih menanggung shalat maka tidaklah perlu untuk diqadha atau dibayar fidyahnya, seperti salah satu nukilan:
( ﺗﻨﺒﻴﻪ ‏) ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺻﻼﺓ ﻓﺮﺽ ﻟﻢ ﺗﻘﺾ ﻭﻟﻢ ﺗﻔﺪ ﻋﻨﻪ
“ Barang siapa meninggal dunia dan masih meninggalkan shalat fardhu, tidaklah wajib diqadha’ atau dibayar fidyahnya .” [8]
Pendapat Kelompok Tentang Qadha dan Fidyah Bagi Mayit
Dari beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, telah jelas bahwa apabila meninggalkan shalat fardhu baik disengaja, lupa ataupun tertidur maka wajib untuk mengganti atau mengqadhanya.
Shalat merupakan ibadah badaniyah yang tidak bisa diwakilkan pada orang lain untuk melaksanakannya. Akan tetapi, jika seseorang telah meninggal dunia sedangkan dia masih menanggung hutang shalat menurut kebanyakan Ulama’ tidak sah juga menggantikan shalatnya sebagaimana tidak sah menggantikan shalat pada orang yang masih hidup.
Akan tetapi demi adanya kehati-hatian dalam hal ini, kelompok kami sepakat bahwa apabila seorang yang telah meninggal dan masih menanggung hutang shalat, maka ahli warisnya harus menggantikannya. Baik dengan cara di qadha’ atau dibayar fidyah. Walaupun banyak ulama’ yang menolak hal ini, akan tetapi ada hadits yang jelas menerangkan:
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ : ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺻﻴﺎﻡ ﺻﺎﻡ ﻋﻨﻪ ﻭﻟﻴﻪ .
Dari Aisyah r.a, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang meninggal dan masih menanggung puasa, maka berpuasalah walinya atasnya.
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ : ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻣﻲ ﻣﺎﺗﺖ ﻭﻋﻠﻴﻬﺎ ﺻﻮﻡ ﺷﻬﺮ ﺃﻓﺄﻗﻀﻴﻪ ﻋﻨﻬﺎ؟ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ . ﻓﺪﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺣﻖ ﺃﻥ ﻳﻘﻀﻲ . ‏[ 9 ]
Dari Ibnu Abbas r.a berkata: Telah datang seorang laki-laki kepada nabi, dia bertanya: Ya Rasulallah, ibuku meninggal dan beliau masih menanggung puasa satu bulan, apakah saya boleh mengqadha puasa atasnya? Nabi menjawab: Boleh. Dan hutang pada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.
Dari kedua hadits tersebut jelas bahwa jika seseorang meninggal dan masih menanggung hutang puasa, maka harus dibayar (diqadha’) oleh walinya. Memang hadits tersebut tidak mengatakan tentang hal shalat, akan tetapi hukum mengqhada’ shalat dapat diqiyaskan dengan hukum mengqadha’ puasa, karena keduanya sama-sam merupakan ibadah badaniyah yang pada hakikatnya tidak bisa diwakilkan.
Dalam hadits yang ke dua dipertegas bahwa hutang pada Allah lebih berhak untuk ditunaikan. Maka, demi berhati-hati dalam hal ini, lebih baik untuk mengqadhanya. Masalah diterima atau tidaknya, sudah menjadi keputusan Sang Pembuat Hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.