TERJEMAH KITAB DURUSUL BALAGHOH
HUSNUS SIYAGHOH
PENDAHULUAN
FASHOHAH DAN BALAGHOH
A. FASHOHAH
Fashohah menurut bahasa adalah : kalimat yang menunjukkan arti jelas.
Dikatakan : "Seorang anak telah fasih dalam perkataannya" jika memang ucapannya sudah jelas.
Fashohah dalam istilah, itu menjadi sifat padakalimah, kalam, dan mutakallim.
a. Fashohatul Kalimah .
adalah : Terhidarnya suatu kalimah dariTanafur Huruf, Mukholafatul Qiyas, danGhorobah.
- Tanafur huruf adalah: Suatu sifat pada kalimah yang menyebabkan beratnya kalimah pada lidah dan sulit mengucapkannya.
Contoh :
الظَشُّ : tempat yang kasar.
الهِعْخِعْ : tanaman hitam, untuk penggembalaan unta
النُّقَاحِ : air tawar yang jernih
المُسْتَسْزِرِ : benang yang tepintal
Penjelasan :
Tanafur terbagi mejadi 2 yaitu :
1. Tanafur yang sangat berat terbatas. Contoh :
الظَشُّ : tempat yang kasar.
الهِعْخِعْ : tanaman hitam, untuk penggembalaan unta
Lafadz الهِعْخِعْ ini dikatakan tanafur karena kesemuanya huruf berasal dari satu makhroj yaitu huruf halaq.
2. Tanafur yang berat tak terbatas. Contoh :
النُّقَاحِ : air tawar yang jernih
Pada Ucapan Penyair :
وأَحْمَقَ ممن يلْعَق الماءَ قال لي دع الخمر واشْرَبْ من نُقاخ مُبَرَّدِ
Dan itu lebih bodoh lagi dari pada orang yang minum air lalu mengatakan padaku : “tinggalkan arak, dan minumlah dari air tawar yang jernih yang dingin.
Contoh lain :
المُسْتَشْزِرِ : benang yang tepintal
Lafadz ini dikatakan tanafur karena Huruf Syin (bersifat Hams dan Rokhwah) menengahi antara huruf ta' (bersifatHams dan Syadidah) dan huruf za' (bersifat Jahr).
Untuk membedakan antara kedua tanafur tersebut yaitu dengan menggunakan perasaan yang sehat (Dzauq Salim) yang diperoleh dengan mengkaji kalam Para ahli Balaghoh dan mendalami metode-metodenya baik dari sisi kedekatan antara makhroj hurufnya atau dari jauhnya.
- Mukholafah Qiyas adalah : kalimah yang tidak sesuai dengan prosedur kaidah ilmu shorof.
Contoh : lafadz بُوق dijama’kan menjadi بُوقَاتٌ seperti dalam Syairnya Abu toyyib Ahmad bin Husain Al-Ju’fiy al-Kandy Al-Kufy Al-Mutanabby yang sedang memuji pemimpin tentara Daulat Ibnu hamdan Raja Aleppo Syiria :
فإِنْ يَكُنْ بَعْضُ النَّاسِ سَيْفًا لِدَوْلَةٍ - فَفِيْ النَّاسِ بُوْقَاتٌ لَهَا وَطُبُوْلُ
"Jika sebagian manusia itu seperti tentara dalam pemerintahan ( ibnu Hamdan Raja Aleppo; Syiria ), maka dalam manusia akan terdapat terompet dan gendang untuk pemerintahan itu".
Karena menurut Qiyas dalam jama’ qillahnya adalah أَبْوَاقٌ
Dan juga seperti lafadz مَوْدَدَةٌ dalam ucapannya :
إِنَّ بَنِـــيَّ لَلِئَاَمٌ زَهَــدَهُ - مَالِيَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِنْ مَوْدَدَةٍ
"Sesungguhnya Anak-anakku memang orang yang hina yang tidak perhatian, tiada dihatinya ada rasa cinta padaku "
Menurut Qiyas ilmu shorof adalah dengan mengidghomkan lafadz مَوْدَدَةٍ menjadi مَوَدَّةkarena ada dua huruf sama, serta huruf yang kedua berharokat.
- Ghorobah adalah: adanya kalimah itu tidak jelas artinya.
Contoh :
تَكَأْكَأَ bermakna seperti lafadz إجتمع yaitu berkumpul.
إفْرَنْقَعَ bermakna seperti lafadz إنصرف yaitu bubar.
إلْطَخَمَّ bermakna seperti lafadz إشتدَّ yaitu berat dan besar
Keterangan :
Ghorobah terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Kata yang bisa diketahui maknanya dengan seringnya meneliti pada kitab bahasa Ajam karena tidak biasa digunakan pada bahasa murni arab.Contoh:
تَكَأْكَأَ bermakna seperti lafadz إجتمع yaitu berkumpul.
إفْرَنْقَعَ bermakna seperti lafadz إنصرف yaitu bubar.
إلْطَخَمَّ bermakna seperti lafadz إشتدَّ yaitu berat dan besar
b. Kata yang tidak diketahui maknanya pada kitab bahasa karena tidak digunakan bagi orang Arab, dan tidak berlakunya bahasa pembanding maka membutuhkan usaha keras untuk mengartikannya yang menyebabkan sulitnya memahami dan masih ada kesamaran.
Contoh :
مُسَرّج bermakna pedang suraijdaerah Qin dan ada yang mengatakan bermakna : Lampu.
B. Fashohatul Kalam.
adalah : Terhidarnya beberapa kalimah dari tanafur pada kumpulan kalimah (kalam),Dho'fu Ta'lif, Ta'kid, serta fashohahnya beberapa kalimah itu.
1. Tanafur pada Kalam adalah : Suatu sifat dalam Kalam yang menyebabkan beratnya kalam pada lisan dan sulit mengucapkannya.
Contoh dalam ucapan Penyair :
فِيْ رَفْعِ عَرْشِ الشَّرْعِ مِثلُكَ يَشْرَعُ
“pada keluhuran Arasynya Syara’, Orang sepertimu bisa mengambil”
Contoh lain:
وَقَبْرُ حَرْبٍ بِمَكَانٍ قَفْرٍ - وَلَيْسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرُ
" kuburan musuh harus ditempat yang sunyi, dan tiada
kuburan lain dekat kuburan itu"
Seperti Ucapan Abu tamam Habib bin A'us:
كَرِيْمٌ مَتَى أمْدَحْهُ أمْدَحْهُ وَالوَرَى مَعِيْ وَإذَا مَالُمْتُهُ لُمْتُهُ وَحْدِيْ
"Dia (Abu Ghoits Musa Bin Ibrahim Ar-Rofi'i) adalah orang yang mulia, jika aku memujinya maka aku memujinya beserta orang-orang yang bersamaku. Jika aku menghinanya, maka aku menginanya sendirian"
Penjelasan :
Tanafur ini juga terbagi mejadi 2 yaitu :
Tanafur Syadid / A'la; yang sangat berat pengucapannya
Contoh dalam ucapan Penyair :
فِيْ رَفْعِ عَرْشِ الشَّرْعِ مِثلُكَ يَشْرَعُ
Pada kalam tersebut dikatakan tidak fasih, karena sulit mengucapkannya disebabkan adanya pengulangan 3 huruf yaitu ro', a'in, dan syin".
Contoh lain:
وَقَبْرُ حَرْبٍ بِمَكَانٍ قَفْرٍ - وَلَيْسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرُ
Pada syair tersebut dikatakan tidak fasih, karena sulit mengucapkannya disebabkan adanya beberapa huruf yang sama serta diulang-ulang.
Tanafur Khofif/ Adna; yang tidak berat pengucapannya,
Seperti Ucapan Abu tamam Habib bin A'us:
كَرِيْمٌ مَتَى أمْدَحْهُ أمْدَحْهُ وَالوَرَى مَعِيْ وَإذَا مَالُمْتُهُ لُمْتُهُ وَحْدِيْ
Pada kalam tersebut dikatakan tidak fasih, karena sulit mengucapkannya disebabkan adanya pengulangan 2 huruf yaitu هاء dan حاء".
2. Dho'fu Ta'lif adalah : adanya kalam itu tidak sesuai dengan prosedur kaidah ilmu Nahwu yang masyhur.
Seperti membuat Dhomir sebelum menuturkan Marji'nya dalam lafadz dan ma'nanya, dalam ucapan Penyair :
جَزَى بَنُوْهُ أَبَا الغِيْلاَنِ عَنْ كِبَر وَحُسْنِ فَعْلٍ كَمَا يُجْزَى سِنِمَّارُ
"Anak-anaknya telah membalas kebaikan Abu Ghilan diusia tua seperti yang dilakukan oleh Sinimmaru (Arsitektur Negara rum)"
Penjelasan :
Kecacatan pada syair tersebut itu dari sisi Dhomirnya lafadz بَنُوْهُ yang kembali pada lafadz أَبَا الغِيْلاَنِ yang merupakan lafadz yang diakhirkan secara Lafadz dan tingkatan.
3. Ta'qid adalah : adanya kalam itu tidak jelas (masih samar) pada makna yang dikehendaki.
Dan kesamaran itu adakalanya dari aspek lafadz yang disebabkan mendahulukan (taqdim), mengakhirkan (ta'khir) atau memisah (Fashol). hal ini disebut Ta'kid Lafdhy.
Seperti Ucapan Al-Mutanabby :
جَفَخَتْ وَهُمْ لاَ يَجْفَخُوْنَ بِهَا بِهِمْ شِيَمٌ عَلَى الحَسَبِ الأَغَرِّ دَلاَئِلُ
"Suatu Kebiasaan (watak) yang menunjukkan atas keturunan yang baik merupakan Kebanggaan, dan mereka itu tidak bangga dengan itu".
Pentakdirannya adalah :
جَفَخَتْ بِهِمْ شِيَمٌ دَلاَئِلُ عَلَى الحَسَبِ الأَغَرِّ وَهُمْ لاَ يَجْفَخُوْنَ بِهَا
Penjelasan :
Pada syair tersebut, dikatakan Ta'kid lafdhykarena :
1. Memisah antara fi'il dan lafad yang berta'alluq padanya (muta'alliq) (جَفَخَتْ بِهِم ) dengan lafadz lain yaitu : وَهُمْ لاَ يَجْفَخُوْنَ بِهَا .
2. Mengakhirkan lafadz دَلاَئِلُ dari lafadz yang berta'alluq padanya :
عَلَى الحَسَبِ الأَغَرِّ.
3. Memisah antara Na'at dan man'utnya : شِيَمٌ دَلاَئِلُ dengan lafadz :
عَلَى الحَسَبِ الأَغَرِّ
Dan adakalanya dari aspek makna disebabkan adanya penggunaan majaz dan Kinayah yang Murodnya tidak bisa dipahami. hal ini disebutTa'kid Ma'nawy.
Seperti Ucapanmu : نَشَرَ المَلِكُ أَلْسِنَتهُ فِيْ المَدِيْنَةِ
Dengan menghendaki arti dari: أَلْسِنَتهُ sebagai "Mata-mata". dan yang benar adalah menggunakan lafadz : عُيُوْنهُ
dan Seperti juga Ucapan dari Penyair ( Abbas bin Ahnaf ) :
سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّارِ عَنْكُمْ لِتَقْرُبُوْا وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوْعَ لِتَجْمُدَ
"Aku mencari tempat tinggal jauh dari kalian, agar kalian kelak menjadi dekat denganku, dan kedua mataku mencucurkan air mata karena bahagia".
Penyair membuat kinayah (kata konotasi) pada lafad الجمود dengan arti bahagia, padahal lafadz tersebut biasa digunakan untuk sebuah kinayah (kata konotasi) untuk arti: "sulit meneteskan air mata pada saat menangis (susah)". Yaitu waktu susah ketika berpisah dengan kekasih, dan inilah yang seketika dipaham dari lafad الجمود , bukan kebahagiaan seperti yang dikehendaki oleh Penyair,
Untuk mengartikan sesuai yang dikehendaki Penyair itu membutuhkan perantara yang banyak yaitu : lafad الجمود diartikan dengan :keringnya mata dari air mata, lalu diganti dengan arti : tidak ada air mata ketika menangis, lalu diartikan : tidak adanya air mata secara muthlaq, lalu diartikan : tidak adanya kesusahan, lalu baru diartikan dengan : kebahagiaan. Oleh sebab itu dikatakan sebagai Ta’kid.
C. Fashohatul Mutakallim.
Adalah: Suatu sifat yang melekat pada seseorang (bakat) yang bisa menyampaikan suatu maksud dengan perkataan yang fashih pada semua tujuan yang ada (seperti memuji atau menghina).
B. BALAGHOH
Balaghoh menurut bahasa : Sampai , Tuntas.
Menurut Istilah itu menjadi sifat pada kalamdan Mutakallim.
Balaghotul Kalam
adalah : Kesesuaian suatu kalam padaMuqtadhol Hal (tuntutan keadaan) serta fashohahnya kalam itu.
Hal disebut juga Maqom adalah : Perkara yang mendorong Mutakkalim untuk mendatangkan perkataan pada bentuk tertentu.
Al-Muqtadho disebut juga I'tibar Munasib adalah : suatu bentuk tertentu yang didatangkan suatu ibarat untuk menyampaikannya.
Seperti :
Pujian adalah Suatu keadaan yang mendorong untuk mendatangkan ibarat dengan bentukIthnab (memanjangkan kalimat).
Cerdasnya Mukhotob adalah suatu keadaan yang mendorong untuk mendatangkan ibarat dengan bentuk Ijaz (menyingkat kalimat).
Pujian dan Cerdasnya Mukhotob disebut Hal, sedangkan Ithnab dan Ijaz disebut Muqtadho.
sedangkan mendatangkan kalam dalam bentuk Ithnab dan Ijaz dinamakan menyesuaikan padaAl-Muqtadho (tuntutan).
Balaghotul Mutakallim adalah : Suatu sifat yang melekat (bakat) pada sesorang yang bisa menyampaikan suatu maksud dengan Kalam yang Baligh pada semua tujuan apapun.
Tanafur itu bisa diketahui dengan Dzauq Shohih (Kemampuan batin/perasaan yang sehat).
sedangkan Mukholafatul Qiyas dengan Ilmu Shorof, dan Dho'fu Ta'lif dan Ta'qid Lafdhy dengan Ilmu nahwu, sedang Ghorobah dengan seringnya mempelajari kalam Arab, Ta'kid Ma'nawi dengan Ilmu Bayan, dan Hal dan Muqtadhol hal dengan Ilmu ma'any.
maka bagi seorang pelajar balaghoh harus mengetahui ilmu bahasa, shorof, nahwu, Ma'any dan bayan serta memiliki Dzauq yang salim dan memperbanyak mempelajari kalam Arab.
*****
ILMU MA'ANI
Ilmu Ma'ani adalah : Suatu Ilmu untuk mengetahui keadaan lafadz Arab yang bisa menyesuaikan dengan tuntutan keadaan. Maka bentuk kalam akan menjadi berbeda-beda karena adanya perbedaan kondisi.
Seperti Firman Allah SWT :
"وَأَنََّا لاَ نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِيْ الأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا"
"Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakahkeburukan yang dikehendaki bagi orang yang dibumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka" (QS. Al-Jin :10)
Lafadz sebelum أمْ merupakan bentuk kalam yang berbeda dengan bentuk kalam sesudahnya, karena Kalam yang pertama itu berupa fi'il mabni majhul, sedangkan yang kedua berupa Fi'il mabni ma'lum.
Kondisi yang menuntut seperti itu adalah menisbatkan semua kebaikan kepada Allah SWT pada kalam yang kedua, dan mecegah meninsbatkan keburukan kepada Allah padakalam yang pertama.
Pembahasan pada Ilmu Ma'ani teringkas dalam 6 bab yaitu :
BAB I
KHOBAR DAN INSYA'
Setiap kalam itu adakalanya berupa kalam Khobar dan adakalanya berupa kalam Insya'.
Kalam Khobar adalah : Kalam yang sah (secara logika) untuk dikatakan pada Pengucapnya bahwa Ia adalah Orang yang benar atau Dusta. Seperti Ucapan Seseorang :
سَافَرَ زَيْدٌ = Zaid telah bepergian.
عَلِيٌّ مُقِيْمٌ = Ali itu orang yang bermukim
Si Pengucap tersebut bisa dikatakan Orang yang benar perkataannya, jika memang perkataannya sesuai dengan faktanya, dan bisa dikatakan Orang yang Dusta, jika memang perkataannya tidak sesuai dengan faktanya.
Kalam Insya' adalah : Kalam yang tidak sah secara logika untuk dikatakan pada Pengucapnya bahwa Ia adalah Orang yang benar atau Dusta. Seperti Ucapan Seseorang :
سَافِرْ يَازَيْدُ = Pergilah hai Zaid !
أَقِمْ يَاعَلِيُّ = Tinggallah hai Ali !
Si Pengucap tersebut tidak bisa dikatakan sebagai Orang Jujur atau Orang yang Dusta karena ia hanya memerintahkan pada zaid atau ali.
Yang dimaksud dari Kebenaran Khobar adalah : Kesesuaian Khobar pada Faktanya. SedangkanKedustaan khobar adalah : tidak sesuainya Khobar pada Faktanya.
Pada Jumlah عَلِيٌّ مُقِيْمٌ , itu jika nisbat kalam yang dipahami (tetapnya Sifat Muqim bagi Ali) dari jumlah itu sesuai dengan kenyataannya maka dikatakan Khobar yang Benar, jika tidak benar maka dikatakan Khobar yang dusta.
Pada masing-masing Jumlah itu memiliki dua rukun yaitu :
Mahkum Alaih, disebut juga sebagai Musnad Ilaih seperti Fa'il, Na'ibul Fail, Mubtada' yang memiliki khobar.
Mahkum Bih, disebut juga sebagai Musnad seperti Fi'il, dan Mubtada' yang cukup dengan fa'il yang dirofa'kan.
*****
Kalam Khobar
Khobar itu adakalanya berupa Jumlah Fi'liyyahdan adakalanya berupa Jumlah Ismiyyah.
Jumlah Fi'liyyah adalah : Jumlah yang difungsikan untuk memberikan faidah suatu kejadian pada zaman tertentu serta ringkas (tidak butuk Qorinah seperti : Sekarang, Kemarin, atau besok).
dan terkadang berfaidah Istimror tajaddudy(Berlansung terus menerus secara bertahap) disebabkan adanya indikasi (qorinah) dengan syarat jika berupa Fi'il Mudhori' seperti ucapanThorif bin Tamim Al-Anbary yang menyifati dirinya sendiri dengan seorang pemberani.
أَوَكُلَّمَا وَرَدَتْ عُكَاظُ قَبِيْلَةٌ بَعَثُوْا إِلَيَّ عَرِيْفَهُمْيَتَوَسَّمُ
"Apakah (orang Arab telah mendatangi pasar Ukadz), bilamana suatu Qobilah dari mereka sampai dipasar Ukadz, Maka mereka mengirimkan pemimpin mereka padaku untuk meneliti satu persatu (apakah aku ikut bersama mereka atau tidak?) ".
Jumlah Ismiyah adalah : Jumlah yang difungsikan hanya murni menetapkan hukummusnad pada musnad ilaih. seperti :
الشَّمْسُ مُضِيْئَةٌ = Matahari itu menerangi.
dan terkadang berfaidah Istimror (terus menerus) sebab adanya indikasi (qorinah), jika khobarnya tidak berupa kalimah fi'il. contoh :
العِلْمُ نَافِعٌ = Ilmu itu bermanfaat.
Secara asal, Khobar itu disampaikan dengan bertujuan :
1. Memberi faidah kepada Mukhotob tentang hukum yang terkandung dalam jumlah itu. seperti dalam perkataan kita :
حَضَرَ الأَمِيْرُ = Pemimpin itu telah hadir.
karena kita bertujuan menyampaikan kepada Mukhotob bahwa tetapnya kehadiran pemimpin itu telah terwujud dan nyata sesuai faktanya.
2. Memberikan faidah bahwa Mutakallim itu mengetahui khobar itu. contoh :
أَنْتَ حَضَرْتَ أَمْسِ =
engkau telah hadir kemarin.
Karena kehadirannya itu telah diketahui oleh Mutakallim sendiri sebelum diberitahu.
Hukum yang dituju pada khobar disebut :Faidah Khobar.
Mutakallim yang mengetahui tentang khobar disebut Lazim Faidah.
*****
Macam-macam Khobar.
Sekiranya tujuan Mukhbir (orang yang menyampaikan berita) itu memberi faidah pada Mukhotob, maka sebaiknya kalam itu diringkas menurut kadar kebutuhan karena dikhawatirkan adanya Al-Laghwu (Ucapan yang sia-sia).
Jika Mukhotob merupakan Kholi Dzihny (orang yang hatinya sepi dari membenarkan atau mendustakan khobar/ belum tahu sama sekali tentang khobar) dari hukum, maka khobar disampaikan tanpa menggunakan taukid (kata penguat).contoh :
أَخُوْكَ قَادِمٌ = Saudaramu (lk) datang.
Jika Mukhotob merupakan orang yang ragu-ragu serta berusaha untuk mengetahui khobar, maka sebaiknya menguatkan khobar. seperti :
إِنَّ أَخَاكَ قَادِمٌ =
Sesungguhnya Saudaramu (lk) datang.
Jika Mukhotob merupakan orang yang mengingkari khobar (berkeyakinan sebaliknya), maka harus mendatangkan khobar dengan satu penguat atau dua penguat atau lebih dengan melihat tingkatan ingkarnya. seperti :
إِنَّ أَخَاكَ قَادِمٌ =
Sesungguhnya Saudaramu (lk) datang.
إِنَّ أَخَاكَ لَقَادِمٌ =
Sesungguhnya Saudaramu (lk) benar-benar datang.
وَاللهِ، إِنَّ أَخَاكَ لَقَادِمٌ
Demi Allah, Sesungguhnya Saudaramu (lk) benar-benar datang.
Dengan menisbatkan pada sepinya khobar dari taukid dan adanya taukid pada khobar, maka Khobar terbagi menjadi tiga macam seperti yang telah kamu ketahui.
Bentuk yang pertama (sepinya khobar dari taukid) disebut : Ibtida'i.
Bentuk ke 2 (mendatangkan khobar dengan satu taukid) disebut : Tholaby.
Bentuk ke 3 (kewajiban mendatangkan khobar dengan satu taukid atau lebih) disebut : Inkary.
Lafadz Taukid (penguat) dengan menggunakan lafadz :
١. إِنَّ، أَنَّ =
Sesungguhnya
٢. لاَمْ إبْتِدَاءْ =
Sungguh
3.Huruf Tanbih (Peringatan) seperti :
أَلاَ، أَمَا (ingatlah).
4.Huruf Qosam (sumpah).
5.Nun Taukid
6.Huruf Zaidah (tambahan).seperti ba'zaidah.
7.Pengulangan lafadz (takrir).
٨.قَدْ = Sungguh, benar-benar.
٩. أَمَّا yang menjadi Syarat.
Dan termasuk juga :
a. Menggunakan Jumlah ismiyah, karena itu lebih kuat dari pada jumlah Fi’liyyah.
b. Mendahulukan Fa’il maknawi contoh : الأميرُ حضَرَ
c. Lafadz إنَّمَا contoh : إنَّمَا خاَلِدٌ قَائِمٌ
d. Dhomir Fashol Contoh : زَيْدٌ هُوَ القَائِمُ
*****
Kalam Insya'
Kalam Insya' itu adakalanya Tholaby atau Ghoiru Tholaby.
Insya' tholaby adalah : Kalam yang menuntut pada sesuatu yang dituju yang belum didapatkan saat penuntutan.
Insya' Ghoiru Tholaby adalah : Kalam yang tidak menuntut pada sesuatu yang dituju yang belum didapatkan saat penuntutan.
Insya' Tholaby, terdapat 5 macam : Amar(perintah), Nahy (larangan), Istifham (bertanya), Tamanni (berharap), Nida' (kata seru).
*****
Amar (Perintah).
yaitu : Menuntut suatu pekerjaan dengan ucapan tertentu secara Isti'la' (merasa tinggi derajatnya).
amar memiliki 4 macam Shigot (bentuk kalimat) yaitu :
a. Fi'il Amar, Contoh =
خُذِ الكِتَابَ بِقُوَّةٍ = Ambilah Kitab itu (Taurot) dengan sungguh-sungguh. (Surat Maryam : 12)
b. Fi'il Mudhori yang bersamaan dengan Lam amar, Contoh :
لِيُنْفِقْ ذُوْسَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
Hendaklah orang yang mampu itu menafkahkan menurut kemampuannya . (Surat Ath-Tholaq : 7)
c. Isim Fi'il Amar, Contoh :
حَيَّ عَلَى الفَلاَحْ = marilah menuju kebahagiaan.
d. Isim Masdar yang menjadi pengganti dari Fi'il Amar, contoh :
سَعْيًا فِيْ الخَيْرِ = Sungguh berusahalah dalam melakukan kebaikan
Dan terkadang Sighot Amar itu keluar dari arti aslinya menjadi arti yang lain yang bisa dipahami dengan alur pembicaraan (Siyaqul kalam) dan Indikasi keadaan. seperti :
a. Do'a, (yaitu : menuntut suatu pekerjaan dengan cara merendah atau sopan, baik orang yang menuntut itu rendah atau tinggi ataupun sama derajatnya) contoh :
أَوْزِعْنِيْ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ = mohon Berikan Ilham padaku untuk mensyukuri nikmat-Mu (Surat An-Naml : 19) .
b. Iltimas (yaitu : menuntut suatu pekerjaan secara halus tanpa adanya Isti’la’ atau merendahkan diri baik orang yang memerintah itu lebih tinggi derajatnya, atau lebih rendah atau sama). seperti ucapanmu terdapap teman sebayamu :
أَعْطِنِيْ الكِتَابَ = berikan padaku kitab itu.
c. Tamanni (yaitu : Perintah suatu perkara yang disenangi tanpa adanya sifat toma'), contoh :
أَلاَ أَيُّهَا اللَّيْلُ الطّوِيْلُ أَلاَ انْجَلِيْ بِصُبْحٍ وَمَا الإصْبَاحُ مِنْكَ بِأَمْثَلِ
Ingatlah, wahai Sang malam yang panjang!, tampakkanlah dengan waktu shubuh, dan tiadalah kenampakan waktu shubuh darimu itu lebih utama (disisiku).
d. Tahdid (Mengancam), contoh :
إِعْمَلُوْا مَا شِئتمْ = Kerjakanlah sesuka hati kalian ! (Maka kalian akan melihat balasannya dihadapan kalian ) . (Surat Fushilat : 40)
e. Ta'jiz (melemahkan), Contoh :
يَا لَبَكْرٍ أَنْشِرُوْا لِيْ كُلَيْبَا يَالَبَكْرٍ أَيْنَ اَيْنَ الفِرَارُ
Wahai Bakar, hidupkanlah kembali Kulaib, Hai Bakar dimana? dimana engkau akan lari?
f. Taswiyyah (menyamakan), Seperti Firman Allah :
إصْلَوْهَا إِصْبِرُوْا أَوْ لاَ تَصْبِرُوْا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ
Masuklah kalian ke dalamnya (rasakanlah panas apinya), Bersabarlah kalian ataukah janganlah sabar kalian, sama saja bagi kalian.
(Surat At-Thur : 16)
Karena terkadang disalah persepsikan bahwa sabar itu bermanfaat, maka hal itu mendorong untuk menyamakan bagi mereka antara sabar dan tidak dalam hal sama- sama tiada bermanfaat.
*****
Nahi (Larangan)
Adalah : tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan secara Isti'la' (merasa tinggi derajatnya).
Nahi memiliki 1 macam Shigot (bentuk kalimat) yaitu : Fi'il Mudhori' yang bersamaan dengan La nahi.
Seperti Firman Allah :
وَلاَ تُفْسِدُوْا فِيْ الأرْضِ بَعْدَ إصْلاَحِهَا.
“Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah memperbaikinya” (Surat Al-A’rof : 56)
Dan terkadang Sighot Nahi itu keluar dari arti aslinya menjadi arti yang lain yang bisa dipahami dari maqom/Keadaan dan alur pembicaraan (Siyaqul kalam). seperti :
a. Do'a, (yaitu : tuntutan untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan cara merendah atau sopan) contoh pada Firman Allah :
فَلاَ تُشْمِتْ بِيَ الأَعْدَاءَ = MohonJanganlah kau membuat gembira para musuh dengan melihatku (Surat Al-A’rof : 150).
b. Iltimas (yaitu : Tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan tanpa adanya Isti'la' atau merendahkan diri). seperti ucapanmu terdapap teman sebayamu :
لاَتَبْرَحْ مِنْ مَكَانِكَ حَتى أرْجِعَ إلَيْكَ =Janganlah kau pindah dari tempatmu, sampai aku kembali padamu.
c. Tamanni, contoh :
يَا لَيْلُ طُلْ يَا نَوْمُ زُلْ يَا صُبْحُ قِفْ لاَ تَطْلُعْ
Wahai Malam, panjangkan waktumu, wahai tidur hilanglah, wahai Waktu subuh berhentilah, janganlah kau nampak.
d. Tahdid (Mengancam), Seperti ucapanmu kepada pelayanmu :
لاَ تُطِعْ أَمْرِيْ = Jangan kau patuhi perintahku !, (Maka akan kau rasakan akibatnya).
*****
Istifham (Bertanya)
Adalah : Menuntut suatu informasi atau pengetahuan atas terjadinya sesuatu dengan alat tertentu.
Alat untuk bertanya :
الهمزة، هَلْ، مَا، مَنْ ، مَتى، أَيَّانَ ، كَيْفَ، أَيْنَ ، أَنى، كَمْ، أيّ
Hamzah (أ)
Hamzah berfungsi untuk menuntut Tashowwur atau Tasdhiq.
Tashowwur adalah : mengetahui mufrod (sesuatu selain terjadinya penisbatan atau tidak)
Seperti Ucapanmu :
أَعَلِيٌّ مُسَافِرٌ أَمْ خَالِدٌ = Apakah Ali itu Orang yang pergi ataukah Kholid ?.
dengan berkeyakinan bahwa bepergian itu dilakukan oleh salah satu dari keduanya, tetapi engkau menuntut kejelasannya, maka dari itu dijawab dengan menentukan salah satunya, semisal dijawab : “Ali”.
Tasdhiq yaitu mengetahui bahwa penisbatan antara dua perkara itu terjadi sesuai dengan fakta atau tidak.
Contoh :
أَسَافَرَ عَلِيٌّ = Apakah Ali telah pergi?.
engkau bertanya tentang terjadinya pekerjaan"bepergian" atau tidak ? maka dijawab dengan : ya atau tidak.
Sesuatu yang ditanyakan dalam Tashowwur itu Lafadz yang bersanding dengan hamzah dan adanya kata pembanding yang disebutkan setelah Am. Kata Am disini disebut : Am Muttasil. maka kamu akan mengucapkan ketika bertanya tentang Musnad ilaih : "
أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا أَمْ يُوْسُفُ ؟
= Apakah kamu telah mengerjakan ini ataukah Yusuf?.
dan bertanya tentang Musnad :
أَ رَاغِبٌ أَنْتَ عَنِ الأمْرِ أَمْ رَاغِبٌ فِيْهِ
= Apakah Kamu membenci perkara ini ataukah kamu menyukainya?.
dan bertanya tentang Maf'ul bih :
أَ إِيَّايَ تَقْصِدُ أَمْ خَالِدًا ؟
= Apakah aku yang engkau tuju ataukah kholid ?.
dan bertanya tentang Hal :
أَ رَاكِبًا جِئتَ أَمْ مَاشِيًا ؟
=Apakah dengan berkendaraan engkau datang ataukah dengan berjalan kaki?.
dan bertanya tentang Dhorof :
أَ يَوْمَ الخَمِيْسِ قَدِمْتَ أَمْ يَوْمَ الجُمْعَةِ ؟
=Apakah pada hari kamis engkau datang ataukah pada hari jum'at?.
dan begitu seterusnya.
dan terkadang tidak disebutkan kata pembandingnya. contoh :
أَ أَنْتَ فَعَلْتَ كَذَا ؟ = Apakah Kamu telah melakukan ini?.
أَ رَاغِبٌ أَنْتَ عَنِ الأمْرِ ؟ = Apakah Kamu benci perkara ini?.
أَ إِيَّايَ تَقْصِدُ ؟ = Apakah aku yang engkau tuju?.
أَ رَاكِبًا جِئتَ ؟ = Apakah dengan berkendaraan kau datang?.
أَ يَوْمَ الخَمِيْسِ قَدِمْتَ ؟= Apakah pada hari kamis engkau datang?.
Sedangkan Sesuatu yang ditanyakan dalam Tashdiq adalah Nisbat (keadaannya dalam aspek terjadinya sesuatu atau tidak) serta tidak adanya Lafadz pembanding. maka apabila Amterletak setelah Jumlah yang menunjukkan suatu nisbat, maka am itu dikira-kirakan sebagai Am Munqoti' (terputus) dan bermakna seperti Bal (bahkan).
هَلْ
berfungsi untuk menuntut Tasdhiq saja.
Contoh :
هَلْ جَاءَ صَدِيْقُكَ ؟ = Apakah temanmu telah datang?.
jawabnya adalah ya atau tidak.
maka dari itu tidak perlu menyebutkan Lafadz pembanding. maka tidak boleh diucapkan :
هَلْ جَاءَ صَدِيْقُكَ أَمْ عَدُوُّكَ ؟ = Apakah temanmu telah datang ataukah musuhmu?.
هَلْ itu disebut Bashithoh, jika yang ditanyakan mengenai wujudnya sesuatu pada dzatnya. contoh :
هَلْ العَنْقَاءُ مَوْجُوْدَةٌ ؟ = Apakah burung Anqo' itu ada?.
dan disebut Murokkabah, jika yang ditanyakan mengenai wujudnya sesuatu pada sesuatu yang lain. Contoh :
هَلْ تَبِيْضُ العَنْقَاءُ وَتُفْرِخُ ؟ = Apakah burung Anqo'itu bertelur dan menetas ?
مَا
berfungsi untuk menuntut penjelasan suatu nama.
Contoh :
مَا العَسْجَدُ ؟ = Apa ‘asjad itu?. (Maka dijawab : itu adalah emas)
مَا اللُّجَيْنُ ؟ = Apa Lujain itu?. (Maka dijawab : itu adalah perak)
atau berfungsi untuk menanyakan tentang hakikat suatu nama benda. Contoh :
مَا الإنْسَانُ ؟ = Apa hakikat Manusia itu? (dengan menanyakan hakikat perorangan pada manusia, maka dijawab : bahwa perorangan manusia tidak bisa bertambah pada hakikatnya kecuali adanya hal-hal yang baru) .
atau berfungsi untuk menanyakan tentang keadaan(sifat) perkara yang disebutkan beserta ma. seperti ucapanmu kepada orang yang mendatangimu :
مَا أَنْتَ ؟ = Apa keperluanmu? (maka dijawab :”Aku berziaroh atau aku utusan dari Kholid”.
مَنْ
berfungsi untuk menuntut kejelasan tentang orang-orang yang berakal.
Contoh :
مَنْ فَتَحَ مِصْرَ ؟ = Siapa Orang yang menahklukan Mesir? (maka dijawab : Amr bin Ash pada zaman pemerintahan Kholifah Umar bin Khotob).
مَتَى
berfungsi untuk menuntut kejelasan tentang waktu yang telah lewat atau yang akan datang (atau yang terjadi sekarang).
Contoh :
مَتى جِئتَ = Kapan Engkau datang ? (maka dijawab : Waktu sahur)
َمَتى تَذهَبُ ؟ = Kapan kamu akan pergi?(maka dijawab : sekarang atau besok).
أَيَّانَ
berfungsi khusus untuk menuntut kejelasan masa yang akan datang. dan Lafadz أَيَّانَ digunakan pada tujuan Tahwil (memandang besar suatu perkara).
Seperti Firman Allah :
يَسْألُ أَيَّانَ يَوْمُ القِيَامَةِ ؟ = Ia bertanya : kapankah Hari kiamat itu ?.
كَيْفَ
berfungsi untuk menuntut kejelasan tentang suatu keadaan.
Contoh :
كَيْفَ أَنْتَ ؟ = Bagaimana keadaanmu?.
أَيْنَ
berfungsi untuk menuntut kejelasan tentang suatu tempat.
Contoh :
أَيْنَ تَذْهَبُ ؟ = ke mana engkau akan pergi?.
أَنى
berfungsi seperti Kaifa contoh :
أنى يُحْيِ هذه اللهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ؟ =Bagaimana Allah menghidupakan negeri ini setelah matinya (Ahli Qoryah) ?. (Surat Al-Baqoroh : 259).
berfungsi seperti Min Aina contoh (dalam Surat Ali Imron : 37) =
يَا مريم أَنى لَكِ هَذَا ؟ = Hai Maryam, Dari manakah makanan ini?.
berfungsi seperti Mata contoh :
أنى تَكُونُ زِيَادَةُ النَّيْلِ؟ = Kapan bertambahnya sungai Nil?.
كَمْ
berfungsi untuk menuntut kejelasan tentang suatu hitungan yang samar.
Contoh :
كَمْ لَبِثتمْ ؟ = Berapa lama kalian berdiam diri?. (Surat Al-kahfi :19)
أَيّ
berfungsi untuk menuntut perbedaan salah satu dari dua perkara yang berkumpul dalam satu perkara yang mencakup keduanya.
Contoh :
أَي الفَرِيْقَيْنِ خَيْرٌ مَقَامًا ؟ = Manakah Dua kelompok (Kafir dan Mu’min) yang lebih baik tempat tinggalnya ?. (Surat Maryam : 73)
Berfungsi juga untuk menanyakan tentang waktu, tempat, keadaan, hitungan orang yang berakal, dll dengan memandang pada lafadz yang disandarkan.
Dan terkadang Lafadz-lafadz Istifham itu keluar dari arti aslinya menjadi arti yang lain, yang bisa dipahami dari alur pembicaraan (Siyaqul kalam). seperti :
a. Taswiyah (menyamakan), contoh :
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأنْذَرْتَهُمْ أم لَمْ تُنْذِرْءهُمْ =sama saja apakah kamu memperingatkan mereka atau tidak ? (Surat Al-Baqoroh :6) .
b. Nafi (Meniadakan). seperti:
هَلْ جَزَاءُ الإحسَانِ إلا الإحْسَانُ = Tiadalah Balasan untuk berbuat kebaikan kecuali dengan berbuat kebaikan (Surat Ar-Rohman : 60).
c. Ingkar (Mengingkari), contoh :
أَغَيْرَ اللهِ تَدْعُوْنَ ؟
Apakah pada selain Allah kalian menyembah ? (Surat Al-An’am :40)
أَلَيْسَ اللهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ ؟
Bukankah Allah itu mencukupi Hamba-Nya ? (Surat Az-Zumar :36)
d. Amar (Perintah), contoh :
فَهَلْ أَنتم مُنْتَهُوْنَ ؟ = maka Berhentilah !. (surat Al-Maidah : 91)
أَأَسْلَمْتمْ؟ = maukah masuk islam ? !. (Surat Ali Imron : 20)
e. Nahi (Larangan), Contoh :
أَتَخْشَوْنهمْ فَاللهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ ؟
= Apakah kalian takut pada mereka? Padahal Allah itu lebih berhak kalian takuti. (Surat At-taubah : 13)
f. Tasywiq (Memotifasi), contoh :
هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ ؟
= Apakah Aku tunjukkan pada perdagangan yang menyelamatkan kalian dari siksa yang pedih ? (Surat Ash-Shof : 10).
g. Ta'dhim (Mengagungkan), contoh :
مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ؟ = Siapakah yang bisa memberi syafa’at disisi Allah tanpa Idzin-Nya ? (Surat Al-Baqoroh : 255)
h. Tahkir (Menghina), contoh :
أَ هَذَا الذيْ مَدَحْتَهُ كَثِيرًا ؟ = Apakah hanya pada orang ini engkau sering memujinya ?.
*****
Tamanni (Berharap)
Adalah : Menuntut sesuatu yang disukai yang tidak bisa diharapkan terwujudnya karena merupakan hal yang mustahil atau sulit terjadinya.
Contoh ucapan Penyair :
أَلاَ لَيْتَ الشَّبَابَ يَعُوْدُ يَوْمًا فَاُخْبِرُهُ بِمَا فَعَلَ المَشِيْبُ
Ingatlah, seandainya pada suatu hari masa muda itu kembali, maka akan aku ceritakan padanya atas sesuatu yang telah dilakukan oleh masa tua.
Dan seperti ucapan orang miskin :
لَيْتَ لِيْ أَلْفَ دِيْنَارٍ
Seandainya aku mempunyai uang seribu dinar !
Dan jika Perkara tersebut bisa diharapkan terwujudnya, maka mengandai-andai perkara tersebut disebut : Tarojji.
Contoh :
لَعَلَّ اللهُ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
Semoga Allah menjadikan setelahnya perkara lain (yang menyenangkan).
Tamanni itu memiliki 4 alat :
Yang satu merupakan Kata Ashli yaitu :
لَيْتَ
Sedangkan yang tiga adalah Kata tidak Ashli yaitu :
هَلْ , Contoh :
فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوْا لَنَا
Adakah bagi kami orang-orang yang menolong, sehingga menolong kami. (S. Al-A’rof : 53).
لَوْ , Contoh :
فَلَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَكُوْنَ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ
Seandainya bagi kami bisa kembali ke dunia, maka kami akan beriman. (Surat Al-Baqoroh : 167).
لَعَلَّ , Contoh ucapan penyair (Abbas bin Ahnaf) :
أَسْرِبَ القَطَا مَنْ يُعِيْرُ جَنَاحَهُ - لَعَلِّيْ إِلَى مَنْ قَدْ هَوَيْتُ أَطِيْرُ
Wahai Segerombol burung Qotho’, Siapakah yang mau meminjamkan sayapnya?, Seandainya aku bisa terbang menuju orang yang aku cintai
Karena menggunakan adat ini dalam Tamanni, maka fi’il mudhori’ yang jatuh setelahnya itu dinashobkan sebagai jawabnya.
*****
Nida: Insya Tholabi dalam Ilmu Ma’ani
النداءُ
NIDA
وأمَّا النداءُ، فهوَ طَلَبُ الإقبالِ بحرْفٍ نائبٍ مَنَابَ (أَدْعُو)، وأدواتُه ثمانيةٌ: (يا)، والهمزةُ، و(أيْ)، و(آ)، و(آي)، و(أيا)، و(هيا)، و(وا).
Adapun yg disebut NIDA (panggilan) adalah: menuntut tanggapan/perhatian, dengan menggunakan huruf nida sebagai pengganti dari lafazh AD’UU (aku memanggil).
Adawat nida ada delapan:
1.يا =Yaa
2.أ =Hamzah
3.أي =Ay
4.آ =Aa
5.آي =Aay
6.أيا =Ayaa
7.هيا =Hayaa
8.وا =Waa
فالهمزةُ و(أَيْ) للقريبِ، وغيرُهما للبعيدِ.
Huruf nida Hamzah dan Ay digunakan untuk penggilan dekat, huruf nida selain keduanya digunakan untuk panggilan jauh.
وقدْ يُنَزَّلُ البعيدُ مَنْزِلةَ القريبِ فَيُنَادى بالهمزةِ و(أيْ)، إشارةً إلى أنَّهُ لِشِدَّةِ استحضارِه في ذِهْنِ المتكلِّمِ صارَ كالحاضِرِ معهُ، كقولِ الشاعرِ
Dan terkadang panggilan jauh tsb diposisikan menjadi panggilan dekat, dengan menggunakan kata panggil Hamzah atau Ay. Sebagai isyarat bahwa di dalam fikiran mutakallim sangat membutuhkannya. Maka dihukumi sebagaimana dia berada bersamanya. Contoh perkataan seorang penyair:
أسُكَّانَ نَعْمانَ الْأَرَاكِ تَيَقَّنُوا = بأنَّكم في رَبْعِ قَلْبيَ سُكَّانُ
Wahai penghuni lembah Na’manal-Araak, yakinlah… sesungguhnya kalian berada di sekeliling hatiku.
وقدْ يُنَزَّلُ القريبُ مَنزلةَ البعيد،ِ فيُنادى بأحَدِ الحروفِ الموضوعةِ له، إشارةً إلى أنَّ المنادَى عظيمُ الشأنِ، رفيعُ المرْتَبَةِ، حتَّى كأنَّ بُعْدَ درجتِه في العِظَمِ عنْ درجةِ المتكلِّمِ بُعْدٌ في المسافةِ، كقولِك: (أيا مولايَ)، وأنت معَهُ.
أوْ إشارةً إلى انحطاطِ درجتِه، كقولِك: (أيا هذا)، لِمَنْ هوَ معكَ.
أوْ إشارةً إلى أنَّ السامعَ غافلٌ لنحْوِ نوْمٍ أوْ ذهولٍ، كأنَّهُ غيرُ حاضرٍ في المجلِسِ، كقولِكَ للساهِي: (أيا فلانُ).
Dan terkadang panggilan dekat diposisikan menjadi panggilan jauh, dengan menggunakan salah satu huruf nida jarak jauh. Sebagai isyarat bahwa yg dipanggil itu lebih agung statusnya, ditinggikan martabatnya. Sehingga jauhnya derajat munada ketimbang derajat mutakallim dalam hal keagungan, seakan jauh dalam jarak. Contoh kamu berkata: AYAA MAULAAYA = “wahai tuanku” padahal kamu bersamanya.
Atau digunakan sebagai isyarat kerendahan derajat orang yg dipanggil. Contoh kamu berkata: AYAA HAADZAA “hai kamu ini” pada sesorang yang bersamamu.
Atau digunakan sebagai isyarat bahwa pendengarnya lengah semisal orang tidur atau orang yg kacau pikirannya, seakan dia tidak hadir pada tempat. Contoh perkataanmu pada orang lalai tsb: AYAA FULAANU “hai fulan”.
*****
BAB II
DZIKR (PENYEBUTAN KATA) DAN HADZFU (PEMBUANGAN KATA)
Ketika diharapkan memberi faidah kepada Pendengar tentang hukum yang terkandung pada suatu lafadz, maka Lafadz manapun yang menunjukkan Arti, maka secara hukum asal adalah dengan menyebutkan lafadz itu.
dan lafadz manapun yang sudah diketahui dalam kalam, karena adanya petunjuk dari kalam lain pada lafadz tersebut maka secara hukum asal adalah membuang lafadz itu.
Apabila bertentangan antara dua hukum asal diatas, maka tidak diganti dari tuntutan salah satunya pada tuntuan yang lain kecuali karena faktor penyebab.
Faktor Penyebab Penyebutan Lafadz :
1. Menambah kemantapan (menjadikan pengakuan bagi mukhotob) dan penjelasan pada pemahaman pendengar, Contoh :
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَ أُولئِكَ هُمُ المُفْلِحُوْنَ
Mereka adalah orang yang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan Mereka adalah orang yang bahagia.
Penjelasan :
Pada ayat diatas disebutkan Isim Isyaroh yang kedua karena adanya tujuan tersebut dengan memberi faidah tentang keistimewaan mereka sebagai masing-masing dari keberuntungan diakhirot, dan mendapat petunjuk didunia, Seandainya tidak disebutkan maka akan menimbulkan persepsi bahwa keistimewaan mereka itu secara kompleks.
2. Tasjil (memberi catatan hukum/ laporan) pada pendengar hingga tidak dimungkinkan adanya pengingkaran. seperti ketika hakim berkata kapada Saksi : "Apakah Zaid ini mengakui bahwa ia mempunyai kewajiban begini ?" lalu saksi menjawab :
نَعَمْ ، زَيْدٌ هذا أقَرَّ بأَنَّ عَلَيْهِ كَذَا.
Ya, Zaid ini telah mengakui bahwa ia mempunyai kewajiban begini.
Faktor Penyebab Pembuangan Lafadz :
1. Menyamarkan suatu perkara pada selain mukhootob, Contoh :
أَقْبَلَ = Dia telah datang (dengan menghendaki Ali misalnya).
Kalau seumpama disebutkan : أَقْبَلَ عَلِيّ , maka orang yang duduk disekitarnya (selain Mukhotob) akan mencari sehingga jelas tidak ada tujuan menyamarkan.
2. Sempitnya kesempatan, disebabkan adakalanya karena merasa susah atau bosan, Contoh :
قَالَ لِيْ كَيْفَ أَنْتَ قُلْتُ عَلِيْلُ سَهْرٌ دَائِمٌ وَحُزْنٌ طَوِيْلُ
Dia berkata padaku : "Bagaimana kabarmu ? lalu aku menjawab : "Sakit, selalu tidak tidur malam, dan susah terus"
membuang Musnad Ilaih yaitu : أَنَا (saya), karena merasa susah.
Dan adakalanya karena takut kehilangan kesempatan, seperti ucapan seorang pemburu ketika melihat Kijang :
غَزَالٌ = Kijang ! (ini Kijang).
Membuang Musnad Ilaih yaitu : هَذَا (ini), karena khawatir kehilangan buruan).
3. Menjadikan Umum serta meringkas, contoh :
وَ اللهُ يَدْعُو إِلى دَارِ السَّلامِ
Dan Allah mengajak menuju tempat keselamatan (pada semua Hamba-Nya).
Membuang Maf'ul Bih yaitu : جَميع عباده(Semua hamba-Nya), karena dengan Pembuangan tersebut itu menunjukkan keumuman.
4. Memposisikan Fi'il Muta'adi sebagai Fi'il Lazim karena tidak adanya hubungan tujuan dengan Ma'mul,
Contoh :
هَلْ يَسْتَوِيْ الذِيْنَ يَعْلَمُون وَ الذِيْنَ لاَ يَعْلَمُون اي الدين
“apakah sama orang yang mengetahui dan tidak mengetahui (agama)”
Membuang Maf'ul Bih yaitu : الدين (Agama), lalu pembuangan itu memposisikan fiilnya sebagai Fi'il lazim dengan tujuan murni menetapkan fi’il pada fa’ilnya tanpa memperhatikan keumuman atau kekhususan.
Dan dikategorikan sebagai pembuangan, dengan menyandarkan fi'il pada na'ibul fa'il,
maka dikatakan : Fa'il dibuang dengan alasan karena takut pada Fa'il (pelaku) Contoh :
قُتِلَ قَتِيْلٌ = Korban itu telah dibunuh.
atau ada kekhawatiran buruk pada Fa'il (pelaku) nya, Contoh :
شُتِمَ الأمِيْرُ = Pemimpin itu telah dihina.
atau karena sudah mengetahui Fa'il (pelaku) nya Contoh :
وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيْفًا = Manusia itu dicipatakan dalam keadaan lemah.
atau karena belum mengetahui Fa'il (pelaku) nya, Contoh :
سُرِقَ المَتَاعُ = harta itu telah dicuri.
Atau untuk menjaga sajak contoh :
منْ طَابَتْ سَرِيْرَتُهُ حُمِدَتْ سِيْرَتُهُ = barang siapa yang baik hatinya, maka akan dipuji perilakunya.
Atau menghormati pelaku, jika pekerjaannya itu hina, contoh :
تَكَلَّمَ بِمَا لاَ يَلِيْقُ = Ia telah berbicara dengan kata yang tidak pantas.
Atau menghina pelaku dengan menjaga lisan dari menyebutkannya, contoh :
قَدْ قِيْلَ مَا قِيْلَ = Telah diucapkan sesuatu yang telah diucapkan.
*****
BAB III
TAQDIM (MENDAHULUKAN LAFADZ) DAN
TA'KHIR (MENGAKHIRKAN LAFADZ)
Seperti telah diketahui, bahwasanya tidaklah mungkin mengucapkan kalam dengan sekali ucapan, tetapi haruslah mendahulukan sebagian juz dan mengakhirkan sebagian juz yang lain.
dan Sebagian juz itu tidaklah dikatakan lebih tepat untuk didahulukan daripada yang lain, yang disebabkan adanya kesamaan pada semua lafadz dengan memandang dari sisi tingkatan I'tibar.
Maka wajib mendahulukan Lafadz karena adanya Faktor penyebab taqdim. diantaranya adalah :
1. Menimbulkan rasa ingin tahu pendengar pada Lafadz yang diakhirkan, jika Lafadz yang didahulukan menunjukkan sesuatu yang langka. Contoh pada :
بَانَ أمْرُ الإلَهِ وَاخْتَلَفَ النَّا سُ فَدَاعٍ إلَى ضَلاَلٍ وَ هَادِيْ
والذِيْ حَارَتْ البَرِيَّةُ فِيْهِ حَيَوَانٌ مُسْتَحْدَثٌ مِنْ جَمَادٍ
Perkara Tuhan telah jelas, sedangkan manusia itu berbeda pendapat. Maka ada yang mengajak pada kesesatan dan ada orang yang mendapat petunjuk.
“Suatu makhluk yang menjadikan Manusia itu bingung (berbeda pendapat apakah ia dibangkitkan pada hari kiamat atau tidak?) itu termasuk hewan yang diciptakan dari sperma”
2. Mempercepat kabar bahagia atau kesusahan.
Contoh :
العَفْوُ عَنْكَ صَدَرَ بِهِ الأَمْرُ = Pengampunan darimu itu berujung pada perkara yang baik.
Dengan ini Pendengar akan cepat memahami bahwa ucapan itu khobar yang menyenangkan.
القِصَاصُ حَكَمَ بِهِ القَاضِيْ = Hukum Ekskusi itu telah diputuskan oleh Bapak Hakim.
Dengan ini Pendengar akan cepat memahami bahwa ucapan itu khobar yang menyusahkan.
3. Lafad yang didahulukan merupakan perkara yang menimbulkan pengingkaran atau rasa heran.
Contoh :
أَبَعْدَ طُوْلِ التَجْرِبَةِ تَنْخَدِعُ بِهَذِهِ الزَّخَارِفِ
Apakah setelah lamanya melakukan percobaan, engkau merasa tertipu dengan perhiasan dunia ini.?
4. Mencetuskan Umumus Salbi (عموم السلب) atau Salbil Umum (سلب العموم).
Umumus Salbi, adalah mejadikan secara umum dalam meniadakan hukum pada masing-masing bagian lafadz yang menjadi sasaran hukum.
itu terjadi dengan mendahulukan Adat Umum (lafadz yang menunjukkan makna Umum) dari pada Adat Nafi (lafadz yang menunjukkan peniadaan).
Seperti Sabda Nabi SAW ketika menjawab pertanyaan Dzul Yadain " apakah Anda mengqoshor Sholat ataukah Anda lupa, Hai Rosulullah" lalu Beliau SaW menjawab :
كُلُّ ذلك لَمْ يَكُنْ
Semuanya itu (Lupa dan Qoshor) itu tidak ada.
Artinya : Secara keseluruhan baik qoshor maupun Lupa (secara bersamaan) itu tidak terjadi.
Umumus Salbi itu terjadi dengan tiga syarat :
Lafadz yang pertama bersamaan dengan adat umum.Lafadz yang kedua bersamaan dengan adat nafi.Lafadz yang pertama itu jika diakhirkan maka akan menjadi fail.
Salbil Umum, adalah meniadakan hukum umum (keseluruhan) dari beberapa bagian yang masih global yang tidak diperinci dan tidak ditentukan apakah itu keseluruhan atau sebagian, tetapi tetap mencakup pada dua perkara.
itu terjadi dengan mendahulukan Adat Nafi dari pada Adat Umum.
Contoh :
لَمْ يَكُنْ كُلُّ ذلك
Semuanya itu (Lupa dan Qoshor) tidak terjadi.
Keterangan : bisa dipersepsikan dengan tetapnya sebagian dan ternafikan sebagian yang lain. atau bisa dipersepsikan dengan meniadakan kesemua bagian .
5. Menspesifikkan (takhsis), Contoh :
Contoh :
مَا أَنَا قُلْتُ = Aku tidak berkata.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ = Hanya kepada Engkau (Allah) kami menyembah.
Untuk Taqdim dan Ta'khir, tidak disebutkan Faktor-faktor khusus karena jika salah satu dari dua rukun jumlah itu didahulukan maka yang satunya pasti menjadi akhir. karena keduanya itu saling melengkapi.
*****
BAB IV
QOSHOR
Qoshor adalah : Mengkhususkan suatu perkara dengan perkara yang lain dengan menggunakan metode / cara tertentu.
Qoshor terbagi menjadi 2 bagian : Qoshor Haqiqi dan Qoshor Idhofy.
Qoshor hakiki
adalah : Qoshor yang cara pengkhususannya dengan memandang pada fakta dan hakikatnya, tidak memandang pada keterkaitan dengan sesuatu yang lain. Contoh :
لاَ كَاتِبَ فِيْ المَدِيْنَة ِ إلا عَلِيٌّ
= tidak ada Seorang Penulisspun di Madinah kecuali Ali.
Jika memang faktanya Di Madinah hanyalah Ali saja yang menjadi seorang penulis.
Qoshor Idhofy
adalah : Qoshor yang cara pengkhususannya dengan memandang pada keterkaitan (hubungan) dengan sesuatu yang lain . Contoh :
مَا عَلِيّ إلا قَائِمٌ = tidalah ali kecuali orang yang berdiri.
artinya Ali itu Orang yang berdiri bukan duduk. Serta tidak ada tujuan meniadakan semua sifat yang dimiliki Ali selain berdiri, seperti membaca, menulis dll. tetapi tujuannya hanyalah meniadakan sifat duduk saja.
Dari masing-masing qoshor Hakiki maupun Idhofi dengan memandang pada fakta dan hakikatnya maka terbagi menjadi 2 macam yaitu : Qoshor Sifat ala Maushuf dan Qoshor maushuf ala Sifat.
Qoshor Sifat Ala Maushuf
Qoshor Sifat ala Maushuf jika dinisbatkan padaQoshor hakiki adalah : menghukumi bahwa Sifat itu hanya dimiliki oleh maushuf dan tidak menjalar pada Semua maushuf yang lain.
Contoh :
لاَ فَارِسَ إلا عَلِيّ = Tidak ada Penunggang kuda kecuali Ali.
Jika memang secara faktanya Ahli penunggang kuda hanya dimiliki Ali saja.
Qoshor Sifat ala Maushuf jika dinisbatkan padaQoshor Idhofy adalah : menghukumi bahwa Sifat itu hanya dimiliki oleh maushuf dan tidak menjalar pada maushuf lain ditentukan baik satu orang atau lebih, walupun kenyataannya dimiliki oleh maushuf lain yang tidak ditentukan.
Contoh :
Seperti Mukhotob meyakini bahwa Ahli Penunggang kuda di Tuban adalah Ali, Ahmad, Karim, dan Abdulloh. Lalu Mutakallim mengatakan :
لاَ فَارِسَ إلا عَلِيّ = Tidak ada Ahli Penunggang kuda kecuali Ali.
Sifat tersebut dikhususkan hanya kepada Ali, dan menafikan Ahmad, karim dan Abdulloh. Walaupun dalam kenyataanya Ahli Penunggang kuda juga dimiliki oleh orang lain Misalnya Zaid.
Qoshor Maushuf Ala Shifat
Qoshor Maushuf ala Sifat jika dinisbatkan pada Qoshor Hakiqi adalah : menghukumi bahwa Maushuf itu hanya Memiliki satu sifat.
Contoh :
مَا زَيْدٌ إلا كَاتِبٌ = Tiadalah Zaid kecuali Seorang Penulis .
Hal ini Jika dikehendaki bahwa Zaid tidak memiliki Sifat yang lain selain penulis.
Jika tidak begitu maka hal semacam ini mustahil terjadi karena mutakalim kesulitan menemukan beberapa sifat, sehingga memungkinkan ia menetapkan satu sifat, dan meniadakan sifat lain secara keseluruhan.
Qoshor Maushuf ala Shifat jika dinisbatkan pada Qoshor Idhofi adalah : menghukumi bahwa Maushuf hanya itu memiliki sifat itu, dan tidak memiliki sifat lain atau beberapa sifat yang ditentukan.
Contoh :
وَمَا مُحَمَّدٌ إلا رَسُوْلٌ =Tiadalah Nabi Muhammad kecuali Seorang Rosul.
Maushuf dikhususkan pada satu sifat, dan menafikan sifat lain yang disangka oleh mukhotob
Hal ini Ketika Orang-orang meyakini bahwa Nabi Muhammad memiliki 2 sifat yaitu : Sebagai Rosul dan Tidak mungkin wafat. Lalu Diqoshor dengan ucapan Bahwa Beliau adalah hanya Seorang Rosul. walaupun kenyataannya Sifat Kerosulan juga dimiliki oleh selainnya seperti Nabi Nuh AS.
Dan sekiranya dengan pemahaman adanya pengqosoran tersebut itu menunjukkan peniadaan sifat lain (tidak mungkin wafat), maka berarti Kematian itu berhak bagi Beliau.
Macam-Macam Qoshor Idhofy
dengan memandang Keadaan Mukhotob, maka Qoshor Idhofy terbagi menjadi tiga yaitu :
1. Qoshor Ifrod
Adalah : Qoshor yang diucapkan kepada Mukhotob yang menyangka bahwa satu Maushuf memiliki beberapa sifat atau Satu sifat dimiliki oleh beberapa Maushuf.
Contoh Maushuf Ala Sifat : ketika mukhotob menyangka bahwa Ahmad memiliki keahlian Penulis dan Penyair, lalu mutakalim mengucapkan :
مَا زَيدٌ إلا شَاعِرٌ = Tiadalah Zaid kecuali Seorang Penyair.
Contoh Sifat Ala Maushuf : ketika mukhotob menyangka bahwa yang bepergian adalah Ahmad , Amin, dan Zaid. Lalu mutakalim mengucapkan :
مَا مُسَافِرٌ إلاّ عَلِيّ = Tiada Orang yang bepergian kecuali Ali.
2. Qoshor Qolab
Adalah : Qoshor yang diucapkan kepada Mukhotob yang menyangka kebalikan dari hukum yang ditetapkan.
Contoh Maushuf ala Sifat : ketika mukhotob menyangka bahwa Penyair itu adalah Ahmad bukan Zaid,lalu mutakalim mengucapkan :
مَا زَيدٌ إلا شَاعِرٌ = Tiada Zaid kecuali Seorang Penyair
Contoh Sifat ala Maushuf : ketika mukhotob menyangka bahwa Zaid itu Bodoh bukan Orang Alim., lalu mutakalim mengucapkan :
مَا عَالِمٌ إلا زَيدٌ = Tiada Orang Alim kecuali Zaid.
3. Qoshor Ta'yin
Adalah : Qoshor yang diucapkan kepada Mukhotob yang menyangka salah satu perkara yang tidak ditentukan dari dua perkara atau lebih.
Contoh Maushuf ala Sifat : ketika mukhotob merasa ragu dan menyangka bahwa Bumi itu memiliki dua sifat yaitu Bergerak dan diam, tanpa menentukan salah satunya. Lalu Mutakalim mengucapkan
الأرْضُ مُتَحَرِّكَةٌ لاَ سَاكِنَةٌ = Bumi itu bergerak bukan diam.
Contoh Maushuf ala Sifat : ketika Mukhotob merasa ragu bahwa Penyair itu adalah Zaid ataukah Kholid, lalu diucapkan :
مَا شَاعِرٌ إلاّ زَيدٌ = Tiada Penyair kecuali Zaid.
Dalam Penggunaan Qoshor itu memiliki beberapa metode :
1. Menggunakan adat Nafi dan Istitsna'. Contoh :
إنْ هذا إلاّ مَلَكٌ كَرِيْمٌ
= Tiada Orang Ini (Nabi Yusuf) kecuali Malaikat yang mulia.
2. Menggunakan lafadz إنّما . Contoh :
إِنَّمَا الفَاهِمُ عَلِيٌّ = Hanyalah Orang yang faham itu Ali.
3. Menggunakan huruf Athof : لَكِنْ ، بَلْ ، لاَ . Contoh :
أَنَا نَاثِرٌ لاَ نَاظِمٌ = Saya itu Ahli kalam Natsar bukan Ahli Nadhom.
4. Mendahulukan Lafadz yang asal haknya diakhirkan. Seperti mendahulukan Maf'ul bih :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ = Hanya kepada Engkau (Allah) kami menyembah.
*****
BAB V
WASHOL DAN FASHOL
Washol adalah : Mengathofkan Jumlah pada jumlah yang lain. Sedangkan Fashol adalah Tidak Mengathofkan Jumlah pada jumlah yang lain.
Pembahasan pada bab ini hanya terbatas pada penggunaan athof dengan wawu, karena Athof dengan selain wawu itu tidak terjadi keserupaan.
dari masing-masing Washol dan Fashol itu memiliki beberapa tempat.
Tempat-Tempat yang harus di Washolkan dengan huruf Athof Wawu.
Wajib menyambung (Washol) pada dua tempat yaitu :
1. Apabila ada dua jumlah yang sama dalam hall Jumlah Khobar atau Jumlah Insya' dan diantara keduanya ada sisi persamaan yang berkumpul artinya kesesuaian yang sempurna dan tidak ada perkara yang mencegah dari Athof.
Contoh Kalam Khobar :
إِنَّ الأبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍ وَ إنَّ الفُجَّارَ لَفِيْ جَحِيْمٍ
Sesungguhnya orang yang Suka berbuat kebajikan, niscaya berada di Surga Na'im dan Orang yang suka berbuat kejelekan niscaya berada di Neraka Jahim.
Dari kedua Jumlah tersebut sama-sama berupa kalam Khobar secara lafadz dan makna. dan sisi persamaannya yang berkumul adalah berlawanannya antara Orang baik dan orang jelek yang keduanya menjdi Musnad Ilaih dan antara menetapi Surga Na'im dan Neraka Jahim yang keduanya menjadi Musnad.
Contoh Kalam Insya' :
فَلْيَضْحَكُوْا قَلِيْلاً وَلْيَبْكُوْا كَثِيرًا
Maka sebaiknya Manusia itu sedikit tertawa dan banyak menangis.
Dari kedua Jumlah tersebut sama-sama berupa kalam Insya' secara lafadz dan makna. dan sisi persamaannya yang berkumul adalah kedua Dhomir jumlah tersebut menjadi Musnad Ilaih dan antara Sifat menangis dan tertawa.
2. Jika meninggalkan Athof, maka akan menimbulkan persepsi salah yang bertentangan dengan tujuannya.
Seperti Ucapanmu :
لاَ وَشَفَاهُ اللهُ = Tidak (Belum Sembuh), dan Semoga Allah Menyembuhkannya.
sebagai jawaban kepada orang yang bertanya :"Apalkah Ali Sudah Sembuh dari sakit?"
maka jika tidak diathofkan dengan wawu, maka akan menimbulkan persepsi dengan mendo'akan jelek kepada Ali, padahal tujuannya adalah mendoakan kebaikan.
Sehinga kalau tidak diathofkan menjadi :
لاَ شَفَاهُ اللهُ = Semoga Allah tidak Menyembuhkannya.
Tempat-Tempat yang harus dipisah (Fashol).
Wajib memisah (Fashol) pada 5 tempat yaitu :
1. Apabila diantara dua jumlah ada sisi persamaan yang sempurna artinya Jumlah Kedua menjadi Badal dari jumlah pertama .
Contoh :
وَاتَّقُوا الَّذِي أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْلَمُونَ ﴿ ١٣٢﴾
أَمَدَّكُمْ بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ ﴿ ١٣٣﴾
Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui.
Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak,
Atau Jumlah kedua menjadi Bayan (Penjelas) pada Jumlah pertama. Contoh:
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ، قَالَ يَاآدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الخُلْدِ
Maka Syaitan telah menggodanya (Nabi Adam), Ia mengatakan :"Hai Adam ! Apakah mau aku tunjukkan padamu Pohon kekekalan". (Surat Toha : 120)
Atau Jumlah kedua menjadi Taukid (Penguat) pada Jumlah pertama. Contoh:
فَمَهِّلِ الكَافِرِيْنَ أَمْهِلْمُمْ رُوَيْدًا
"maka biarkanlah orang-orang kafir, biarkanlah mereka sebentar” (Surat Ath-Thoriq : 17).
Pada pembahasan ini, dikatakan bahwa antara dua jumlah tersebut ada Kamal ittishol (Kesempurnaan dalam kesinambungan).
2. Jika diantara dua Jumlah terdapat Perbedaan yang sempurna dalam ma'na artinya berbeda dalam hal berupa kalam khobar maupun kalam Insya'.
Seperti Ucapan Penyair :
لاَ تَسْأَلِ المَرْاَ عَنْ خَلاَئِقِهِ فِيْ وَجْهِهِ شَاهِدٌ مِنَ الخَبَرِ
Jangan kau Tanya Seseorang tentang perilakunya.
Didalam wajahnya terdapat Bukti adanya berita .
Seperti Ucapan Penyair lain :
وَقَالَ رَائِدُهُمْ أَرْسُوْا نُزَاوِلُهَا فَحَتْفُ كُلِّ امْرِئٍ يَجْرِيْ بِمِقْدَارِ
Pemimpin Mereka mengatakan : Bermukimlah (ditempat ini), maka kami akan mengupayakan urusan perang. Kematian seseorang itu berjalan sesuai Takdirnya ".
Atau Diantara kedua jumlah tidak ada kesesuaian dalam ma'na. Contoh:
عَلِيٌّ كَاتِبٌ ، الحَمَامُ طَائِرٌ = "Ali itu seorang Penulis. Burung dara itu terbang"
Pada contoh tersebut tidak ada kesesuaian makna antara : menulisnya Ali danterbangnya burung dara.
Pada pembahasan ini, dikatakan bahwa antara dua jumlah tersebut ada Kamal Inqitho' ().
3. Jika diantara Jumlah yang kedua menjadi sebuah jawaban yang timbul dari jumlah pertama.
Seperti Firman Allah SWT :
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِيْ ، إنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ
Dan Aku tidak membebaskan Nafsuku.
Sesungguhnya Nafsu itu banyak memerintah kepada kejelekan
( Surat Yusuf : 53) .
Pada pembahasan ini, dikatakan bahwa antara dua jumlah tersebut ada Syibhu Kamal Ittishol().
4. Jika ada jumlah yang didahului dua jumlah yang sah untuk diathofkan pada salah satu dari dua jumlah itu karena adanya kecocokan, dan tidak sah diathofkan pada jumlah yang satunya.
Seperti Ucapan Penyair:
وَتَظُنُّ سَلْمَى أَنَّنِيْ أَبْغِ بِهَا بَدَلاً أُرَاهَا فِيْ الضَّلاَلِ تَهِيْمُ
Dan Salma menyangka bahwa aku mencari penggantinya.
Saya menyangka bahwa Ia sedang bingung dalam kesesatan.
pada Jumlah أُرَاهَا sah diathofkan pada jumlah : تَظُنُّ, tetapi ini tercegah untuk diathofkan karena khawatir menimbulkan kesalah pahaman bahwa lafadz أُرَاهَا diathofkan pada jumlah أَبْغِ بِهَا sehingga diartikan Jumlah ketiga أُرَاهَا فِيْ الضَّلاَلِ تَهِيْمُ merupakan isi dari Persangkaan Salma .
Kesalahpahaman yang timbul jika diathofkan : Dan Salma menyangka bahwa :" aku mencari penggantinya dan Saya menyangkanya bahwa Ia sedang bingung dalam kesesatan".
Pada pembahasan ini, dikatakan bahwa antara dua jumlah tersebut ada Syibhu Kamal Inqitho' ().
5. Jika tidak ada tujuan menyamakan dua jumlah dalam satu hukum karena adanya faktor pencegah.
Seperti Firman Allah :
وَ إِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِيْنِهِمْ ، قَالُوْا إِنَّ مَعَكُمْ إنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُوْنَ. اللهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ
Dan ketika Mereka (Orang Munafiq) kembali pada Pemimipin mereka, mereka mengatakan Sesunggugnya kami orang yang menertawakan. Allah menertawakan mereka" (Surat Al-Baqoroh :14-15)
pada Jumlah اللهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ tidak sah diathofkan pada jumlah : إِنَّ مَعَكُمْ, karena akan memberikan statement bahwa lafadzاللهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ merupakan isi dari ucapan mereka.
dan juga tidak sah diathofkan pada jumlah قَالُوْا karena memberikan pemahaman bahwa Penghinaan Allah kepada orang Munafiq hanya terbatas ketika mereka kembali pada Pemimipin mereka saja.
Pada pembahasan ini, dikatakan bahwa antara dua jumlah tersebut ada Tawashuth baina Kamalaini ().
*****
BAB VI
IJAZ, ITHNAB, DAN MUSAWAH
Sesuatu yang terbesit dalam hati dari suatu tujuan, maka memungkinkan untuk diungkapkan dengan tiga cara :
1. Musawah
Adalah : Menyampaikan tujuan yang dikehendaki dengan suatu ungkapan yang sama, artinya ungkapan tersebut menurut batas kebiasaan manusia pada umumnya, yang mereka itu tidak sampai pada tingkatan Sastrawan dan tidak pada tingkatan Orang yang lemah dalam penyampaian.
Contoh :
وَإذَا رَأَيتَ الذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حتّى يخوضوا فى حديثٍ غيرِهِ
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain
(S. Al-An’am : 68)
2. Ijaz
Adalah : Menyampaikan tujuan yang dikehendaki dengan suatu ungkapan yang kurang, serta ungkapan itu sudah menepati pada tujuan.
Contoh :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya Pekerjaan itu hanya sah dengan adanya niat.
dan :
قِفَا نَبْكِ مِنْ ذِكْرَى حَبِيْبٍ وَمَنْزِلِ
"Sungguh Berhentilah ! kami menangis karena ingat sang kekasih dan rumahnya"
Apabila tidak mencapai pada Tujuan, maka dikatakan sebagai Ihlal. seperti ucapan Penyair :
وَالعَيْشُ خَيْرٌ فِيْ ظِلاَ لِ النُّوْكِ مِمَّنْ عَاشَ كَدَّا
"Kehidupan didalam naungan kebodohan itu lebih baik dari pada
kehidupan susah "
yang dikehendaki Penyair adalah :
أنّ العَيْشَ الرغدَ فِيْ ظِلاَلِ النُّوْكِ خَيْرٌ مِنَ العَيْثِ الشاق فِيْ ضِلاَلِ العَقْلِ
"Kehidupan yang Sejahtera didalam naungan kebodohan itu lebih baik dari pada kehidupan susah dalam naungan akal "
Bait diatas dikatakan tidak mencapai tujuan yang dikehendaki, karena Kata (الرغد)"Sejahtera" pada Bagian pertama bait dan kata (فِيْ ضِلاَلِ العَقْلِ) "dalam naungan Akal" pada bagian kedua bait tidak bisa diketahui dari kalam.
3. Ithnab.
Adalah : Menyampaikan tujuan yang dikehendaki dengan suatu ungkapan yang panjang, serta adanya faidah.
Contoh :
رَبِّ إِنِّي وَهَنَ العَظْمُ مِنِّيْ وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا
Wahai Tuhanku, sesungguhnya Aku telah Lemah tulangku, dan telah penuh ubanku.
artinya : Saya sudah tua.
Apabila dalam penambahan kalimat tersebut, tidak terdapat faidah, serta Ziyadah itu tidak menjadi kebutuhan dalam tujuan, maka dikatakan sebagai Tathwil.
Seperti ucapan Ady bin Zaid Al-Ubbady mengatakan kepada Nu'man bin Mundir sambil mengingatkan Musibah yang terjadi pada Judzaimah Al-Abrosy dan Zaba':
وَقَدَّدَتْ الأدِيْمَ لِرَاهِيْشِهِ وَألفَى قَوْلَهَا كَذِبًا وَمَيْنًا
Dan Dia (Zaba') telah memotong kulit pada urat nadinya (Judzaimah), dan Dia (Judzaimah) mendapatkan Ucapannya (zaba') itu Dusta dan Bohong
lafadz كَذِبًا dan َمَيْنًا memiliki arti yang sama, maka menggunakan salahsatunya sudah cukup. dan tambahan kata tersebut juga tidak dibutuhkan karena tujuannya sudah sah dengan menggunakan salah satunya . maka adanya penambahan lafadz tersebut dikatakan sebagai Tathwil yangtanpa faidah.
Apabila dalam penambahan kalimat tersebut, tidak terdapat faidah, tetapi Ziyadah itu menjadi ketentuan, maka dikatakan sebagai Hasywu.
Seperti ucapan Zuhair bin Abi Salma yang ia ucapkan pada Perdamaian yang terjadi antara Qois dan Dzibyan :
وَأَعْلَمُ عِلْمَ اليَوْمِ وَالأمْسِ قَبْلَهُ وَلَكِنَّنِيْ عَنْ عِلْمِ مَا فِيْ غَدٍ عَمِيْ
Dan Saya mengetahui seperti pengetahuan hari ini dan kemarin, sebelum hari ini,
dan Tetapi saya tidak tahu akan pengetahuan dihari besok"
lafadz قَبْلَهُ menunjukkan arti yang sama dengan =الأمْسِ ( kemarin), dan tambahan itu nyata sebagai tambahan karena tidak sah mengathofkannya pada lafadz اليَوْمِ .
Faktor penyebab adanya Ijaz adalah :
1. Mempermudah hafalan.
2. Mempercepat pemahaman.
3. Terbatasnya tempat.
4. Menyamarkan
5. merasa bosan mengucapkan.
Faktor penyebab Ithnab adalah :
1. Memantapkan tujuan atau makna.
2. Menjelaskan perkara yang dikehendaki.
3. Menguatkan.
4. Menolak salah persepsi.
KLASIFIKASI IJAZ
Ijaz itu adakalanya dengan Ibarot yang ringkas tapi mengandung arti yang luas, dan ini merupakan Sasaran Ahli Sastra (Balaghoh) dan dengan inilah tingkatan kemampuan mereka menjadi terpaut.
Ijaz ini disebut : Ijaz Qoshor.
Contoh :
وَلَكُمْ فِيْ القِصَاصِ حيَاةٌ
"Dan bagi kalian dalam Qishos ada Kehidupan" (S. Al-Baqoroh :179).
dan adakalanya membuang satu kalimat atau satu jumlah atau lebih serta adanya qorinah yang menunjukkan lafadz yang terbuang.
Ijaz ini disebut : Ijaz Hadzfu.
Contoh membuang satu kalimah la (لاَ):
فَقُلْتُ يَمِيْنَ اللهِ أَبْرَحُ قَاعِدًا وَلَوْ قَطَّعُوْ رَأْسِيْ لَدَيْكِ وَأَوْصَالِيْ
Maka saya mengatakan : "Demi Allah, Saya akan senantiasa duduk, walaupun mereka memotong-motong kepalaku dan sendi-sendiku dihadapanmu"
Contoh membuang satu Jumlah :
وَإِنْ يُكَذِّبُوْكَ فَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ أي فتأسّ واصبر
Dan ketika mereka mendustakanmu, maka sungguh Para Rosul sebelum kamu juga didustakan (Maka ta'atlah dan sabarlah)"
Contoh membuang lebih dari satu jumlah.
فَأَرْسِلُوْنِ . يُوْسُفُ أيُّهَا الصِّدِّيقُ"
Maka Utuslah aku (kepadanya). Yusuf, hai orang yang amat dipercaya" (S. Yusuf : 45 – 46)
Pada ayat tersebut membuang Jumlah :
أرْسِلُوْنِيْ إلَى يُوْسُفَ لأسْتَعْبِرَهُ الرُّؤْيَا فَفَعَلُوْا فَأتَاهُ وَقَالَ لَهُ يُوْسُفُ
Utuslah aku kepada Yusuf, supaya aku meminta ta’bir mimpi itu. Lalu mereka mengerjakannya, lalu pelayan itu mendatanginya dan berkata : “Hai Yusuf”
KLASIFIKASI ITHNAB
Ith nab itu bisa terjadi dengan beberapa perkara yaitu :
1. Menyebutkan Lafadz khusus setelah lafadz umum.
Contoh :
إجْتَهِدُوْا فِيْ دُرُوْسِكُمْ وَاللُّغَةِ العَرَبِيَّةِ.
Bersungguh-sungguhlah pada pelajaran kalian dan bahasa arab.
Faidahnya : Mengingatkan atas keutamaan lafadz khusus itu, seolah-olah karena keutamaannya ia seperti jenis yang berbeda pada lafadz sebelumnya.
2. Menyebutkan lafadz Umum setelah lafadz khusus.
Contoh :
رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُوْمِنًا وَلِلْمُوْمِنِيْنَ وَالمُوْمِنَاتِ
Wahai tuhanku, ampunilah aku, kedua orang tuaku, orang yang masuk rumahku dengan beriman, dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. (S. Nuh : 28)
3. Menjelaskan setelah menyamarkan.
Contoh :
وَاتَّقُوا الَّذِي أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْلَمُونَ ﴿ ١٣٢﴾
أَمَدَّكُمْ بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ ﴿ ١٣٣﴾
Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui.
Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak,
4. Mengulangi lafadz karena adanya tujuan, seperti panjangnya pemisah.
Contoh Ucapan Penyair :
وَ إِنَّ امْرَأً دَامَتْ مَوَاثِقُ عَهْدِهِ عَلَى مِثْلِ هَذَا إِنَّهُ لَكَرِيْمٌ
Sesungguhnya seseorang yang jaminan perjanjiannya itu tetap seperti ini, maka sesungguhnya ia orang yang mulia”
Pada bait tersebut lafadz إِنَّ diulang diawal dan diakhir bait, supaya kalam tidak kelihatan terputus.
5. I'tirodh (yaitu : Menyisipkan lafadz antara bagian-bagian satu jumlah atau antara dua jumlah yang masih berkaitan ma’na, dikarenakan adanya sebuah tujuan).
Contoh Ucapan Penyair (A’uf bin Mahlam Asy-Syaibany yang mengadukan kelemahannya):
إِنَّ الثَّمَانِيْنَ وَبُلِّغْتَهَا قَدْ أَحْوَجَتْ سَمْعِيْ إِلَى تُرْجُمَانِ
Sesungguhnya 80 tahun usiaku, dan engkau telah berusia segitu pendengaranku membutuhkan orang yang menjelaskan”.
Lafadz وَبُلِّغْتَهَا dikatakan Jumlah I’tirodhiyyah.
6. Tadzyil (Mengiringi suatu jumlah dengan jumlah yang lain yang mengandung pada ma’nanya dengan tujuan menguatkannya.
Tadzyil itu adakalanya berlaku seperti periahasa, karena berbedanya makna dan tidak membutuhkan pada kalam sebelumnya.
Contoh Firman Allah :
قُلْ جَاءَ الحَقُّ وَزَهَقَ البَاطِلُ ، إنَّ البَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا
Katakanlah (Hai Muhammad) telah datang perkara hak (Islam), dan telah hancur perkara bathil (kekufuran), dan sesungguhnya kebathilan itu pasti akan binasa (S. An-Nahl : 57).
adakalanya tidak berlaku seperti periahasa, karena membutuhkan pada kalam sebelumnya.
Contoh Firman Allah :
ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوْا وَهَلْ نُجَازِيْ إلاَّ الكَفُوْرَ
Itu (banjir bandang) kami balas mereka atas sesuatu yang telah mereka kufuri. Dan kami tidak membalas (siksa) kecuali pada kekufuran.
(Surat As-Saba’ : 17)
7. Ihtiros yaitu : mendatangkan pada kalam yang memberi persepsi berbeda dari tujuan, dengan kalam lain yang menolak keslah pahaman itu.
Contoh Ucapan Penyair (Torfah bin Abd) :
فَسَقَى دِيَارَكَ غَيْرَ مُفْسِدِهَا صَوْبُ الرَّبِيْعِ وَدِيْمَةٌ تَهْمِيْ
Hujan pada musim semi menyirami rumahmu tanpa merusakkan dan Hujan terus menerus itu membanjiri.
Jika tidak disebutkan lafadz غَيْرَ مُفْسِدِهَاmaka secara muthlaq akan dipahami lebih umum atau mendo’akan kejelekan dengan robohnya rumah, lalu didatangkanlah lafadz tersebut untuk menolak pehaman yang salah.
Berlanjut ke ILMU BAYAN
TERJEMAH HUSNUS SIYAGHOH 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.