Rabu, 08 September 2021

Pendapat Imam Syafii dan Imam Hanafi pada wakaf yang di tarik kembali


Wakaf wasiat, yaitu bila seseorang
dalam keadaan masih hidup membuat
wasiat, jika ia meninggal dunia, maka harta
yang telah ditentukannya menjadi wakaf.
Maka dalam contoh seperti ini
kedudukannya sama dengan wasiat,tidak
boleh lebih dan 1/3 harta, sebagai harta
wasiat.

Penarikan kembali harta wakaf oleh
pemberi wakaf menjadi suatu ikhtilaf
dikalangan para ulama, sebagian
berpendapat melarang harta wakaf ditarik
kembali oleh pemberi wakaf baik dalam
keadaan apapun pendapat ini sebagaimana
pendapat Imam Syafi’i dan sebagian Ulama
Syafi’iyah. Sebagian yang lain
membolehkan menarik kembali harta wakaf
oleh pemberi wakaf pendapat ini
dikemukakan sebagaimana yang
diungkapkan Imam Abu Hanifah.
Dari kedua pendapat ulama diatas
keduanya sama-sama merujuk pada had
its Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
ibnu Umar r.a :

عن إبن عمر رضي الله عنھما ان عمر بن 
الخطب اصاب ارضا بخیبر فأتى النبي صلى الله 
علیھ وسلم یستامر فیھا فقال یارسول الله إنني 
اصبت ارضا بخیبر لم اصب مالا قط أنفس عندي 
منھ فما تامره بھا قال : إن شئت حبست اصلھا 
وتصدقت بھا غیر انھا لایباع اصلھا ولایبتاع 
ولایوھب ولایورث وتصدقت بھا قال فى الفقراء 
وفى القربى وفى الرقاب وفى سبیل وان 
السبیل والضیف لاجناح على من ولیھا أن یأكل 
منھا بالمعروف و یطعم غیر متمول رواه مسلم

Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a Umar
bin khattab mendapat bagian lahan di
khaibar lalu dia menemui Nabi Muhammad
SAW, untuk meminta pendapat beliau
tentang tanah lahan tersebut seraya
berkata” wahai Rasulullah, aku tidak
pernah mendapatkan harta yang lebih
bernilai selain itu. Maka apa yang tuan
perintahkan tentang tanah tersebut? Maka
beliau berkata “jika kamu mau (tanah)
peliharalah pohonnya dan kamu dapat
bersedekah dengan buahnya. Dan wakaf
tersebut tidak boleh dijual, tidak
dihibahkan, dan juga tidak diwariskan”
Ibnu Umar r.a berkata. Maka Umar
menshadaqohkannya (hasilnya) dan wakaf
tersebut tidak boleh dijual, tidak
dihibahkan dan tidak diwariskan. Namun
dia menshadaqohkannya untuk faqir,
kerabat untuk membebaskan budak, fi
sabilillah, ibnu sabil dan tidak dosa bagi
orang yang mengurusnya untuk
memakannya dengan cara yang ma’ruf dan
untuk memberi makan orang lain bukan
maksud untuk menimbunnya.” (HR. Imam
Muslim).

Dalam hadits tersebut Imam Syafi’i
memahami secara harfiyah yang
berpendapat bahwa wakaf tidak boleh
ditarik kembali, atau di jual atau ditukarkan.

......


*****
PENARIKAN KEMBALI HARTA
WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF
MENURUT IMAM SYAFI’I

Pernyataan Imam Syafi'i tentang tidak
dapatnya penarikan kembali wakaf oleh
pemberi wakaf dapat dilacak dalam
kitabnya al-Umm dalam bab yang berjudul
al-Ihbas. Kitab ini merupakan kitab
fiqh terbesar dan tidak ada tandingan di
masanya. Kitab ini membahas berbagai
persoalan lengkap dengan dalil
-dalilnya, dengan bersumber pada al
-Qur'an, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. 
Isi kitab ini merefleksikan keluasan ilmu Imam Syafi'i dalam bidang fiqh. Sedang di sisi lain juga disebut dengan kitab hadist karena dalil-dalil hadist yang ia kemukakan
menggunakan jalur periwayatan tersendiri
sebagaimana layaknya kitab-kitab hadist.

Di kalangan ulama terdapat keraguan
dan perbedaan pendapat, apakah kitab
tersebut ditulis oleh Imam Syafi'i sendiri
ataukah karya para murid-muridnya.

Menurut Ahmad Amin, al-Umm bukanlah
karya langsung dari Imam Syafi'i, namun
merupakan karya muridnya yang menerima
dari Imam Syafi'i dengan jalan didiktekan.
Sedangkan menurut Abu Zahrah dalam alUmm ada tulisan Imam Syafi'i langsung
tetapi ada juga tulisan dari muridnya,
bahkan adapula yang mendapatkan
petunjuk bahwa dalam al-Umm ada juga
tulisan orang ketiga selain Imam Syafi'i dan
al-Rabi' muridnya. 
Namun menurut riwayat
yang masyhur diceritakan bahwa kita al
-Umm adalah catatan pribadi Imam Syafi'i,
karena setiap pertanyaan yang diajukan
kepadanya ditulis, dijawab dan didiktekan
kepada murid-muridnya. Oleh karena itu,
ada pula yang mengatakan bahwa kitab itu
adalah karya kedua mur idnya Imam alBuwaiti dan Imam al-Rabi'. 
Ini dikemukakan oleh Abu Talib al-Makki,
tetapi pendapat ini menyalahi ijma' ulama
yang mengatakan, bahwa kitab ini adalah
karya orisinal Imam Syafi'i yang memuat
pemikiran-pemikirannya dalam bidang
hukum.

Imam Syafi'i melarang pemberi wakaf
meminta kembali atau memiliki kembali
harta wakaf yang sudah diberikan. 
Dalam pernyataannya, Imam Syafi'i menggunakan kata: "والعطایا" , kata tersebut bukan berarti pemberian semacam "sodaqah" melainkan harus diartikan "wakaf" karena ditempatkan dalam bab "ihbas" (mewakafkan harta padajalan Allah). 
Dengan kata lain, kata :
 "والعطایا"adalah dalam konteks "wakaf"
yang dijumpai dalam kitab al
-Umm juz IV halaman 53 bab"ihbas". 
Adapun latar belakang Imam Syafi'i menempatkan kata tersebut sebagai arti "wakaf" adalah karena
pada waktu Imam Syafi'i hidup banyak
dijumpai peristiwa pemberian harta benda
berupa benda tidak bergerak seperti tanah
yang diperuntukkan sebagai madrasah dan
masjid yang sifatnya permanen tidak untuk
dimiliki kembali oleh pemberi wakaf pada
waktu itu. 
Hal ini sebagaimana ia nyatakan
sebagai berikut: inti dari pernyataan Imam
Syafi'i di atas sebagai berikut:

قال الشا فعي والعطایا التى تتم بكلام المعطى 
دون آن یقبضھا المعطى ما كان إذا خرج بھ 
الكلام من المعطى لھ جائزا على ما أعطى لم یكن 
للمعطى ان یملك ما خرج منھ فیھ الكلام بوجھ 
أبدا 

Artinya: Imam Syafi'i berkata:
pemberian yang sempurna dengan
perkataan yang memberi, tanpa diterima
oleh orang yang diberikan, ialah: apa,
yang apabila dikeluarkan karena perkataan
si pemberi, yang boleh atas apa yang
diberikannya. Maka tidak boleh lagi si
pemberi memilikinya, sekali-kali, apa yang
telah keluar perkataan itu padanya dengan
cara apa pun Menurut Imam Syafi'i, pemberian
suatu harta benda apakah yang bergerak
atau tidak bergerak itu ada tiga macam
yaitu pertama, berupa hibah, kedua berupa
wasiat, dan ketiga berupa wakaf.

Selanjutnya menurut Imam Syafi'i,
pemberian seseorang semasa ia masih hidup
ada dua macam: pertama, pemberian berupa
hibah atau hibah wasiat, dan kedua,
pemberian berupa wakaf. 
Sedangkan pemberian seseorang ketika ia sudah meninggal dunia hanya ada satu macam yaitu yang disebut warisan.
Menurut Imam Syafi'i, pemberian
berupa hibah dan wasiat sudah sempurna
dengan hanya berupa perkataan dari yang
memberi (ijab), sedangkan dalam wakaf,
baru dinyatakan sempurna bila dipenuhi
dengan dua perkara: pertama, dengan
adanya perkataan dari yang memberi (ijab),
dan kedua, adanya penerimaan dari yang
diberi (qabul). Tetapi ini hanya disyaratkan
pada wakaf yang hanya ditujukan untuk
orang-orang tertentu. Sedangkan untuk
wakaf umum yang dimaksudkan untuk
kepentingan umum tidak diperlukan qabul.
Pernyataan Imam Syafi'i di atas
menunjukkan bahwa pengakuan yang
memberikan (ijab) dan penerimaan yang
menerima (qabul) merupakan syarat sahnya
akad wakaf yang ditujukan bagi pihak
tertentu. Pernyataan Imam Syafi'I
menunjukkan juga bahwa wakaf dalam
pandangannya adalah suatu ibadah yang
disyari'atkan, wakaf telah berlaku sah
bilamana wakif telah menyatakan dengan
perkataan waqaftu (telah saya wakafkan),
sekalipun tanpa diputuskan hakim. Harta
yang telah diwakafk an menyebabkan wakif
tidak mempunyai hak kepemilikan lagi,
sebab kepemilikannya telah berpindah
kepada Allah Swt dan tidak juga menjadi
milik penerima wakaf (maukuf alaih), akan
tetapi wakif tetap boleh mengambil
manfaatnya. Bagi Imam Syafi'i, wakaf itu
mengikat dan karenanya tidak bisa ditarik
kembali atau diperjualbelikan, digadaikan,
dan diwariskan oleh wakif.

*****

PENARIKAN KEMBALI HARTA
WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF
MENURUT IMAM ABU HANIFAH

Dalam kitab fathul qadīr karangan
Ibnu Hammam dijelaskan mengenai
pendapat Abu Hanifah tentang penarikan
kembali harta wakaf, beliau berkata:

قال ابو حنیفة : لا یزول مالك الوا قف عن الوقف إلا أن 
یحكم به الحاكم أو یعلقه بموت فیقول إذا مت فقد وقفت 
داري على كذا

Artinya: ”Abu Hanifah berkata: Tidak
hilang kepemilikan wāqif atas hartanya
oleh sebab wakaf kecuali adanya keputusan
hakim atau ketika sebelum ia meninggal
dunia, ia mengatakan: ”Ketika saya
meninggal dunia, saya akan mewakafkan
rumah saya.” 

وھو في الشرع عند أبى حنیفة : حبس العین على 
ملك الواقف والتصدق بالمنفعة بمنزلة العاریة 

Artinya:“Wakaf dalam arti syara’
menurut imam Abu Hanifah: Menahan
benda atas milik wāqif dan menyedekahkan
manfaatnya seperti halnya pinjam
-meminjam”

Dalam kitab jauharah al-munīrah juga
disebutkan:
لا یزول ملك الواقف عن الوقف عند أبى حنیفة 
إلا أن یحكم به حاكم 

Artinya: “Tidak hilang kepemilikan
wāqif atas harta wakaf menurut Abu
Hanifah kecuali adanya keputusan hukum
dari hakim” 

Pendapat di atas menyatakan bahwa
menurut Imam Abu Hanifah ketika orang
mewakafkan sebagian harta miliknya maka
‘ain benda wakaf itu masih milik si waqif
hanya manfaatnya saja yang diwakafkan,
sehingga waqif berhak menarik kembali
harta tersebut sewaktu-waktu dan si wāqif
mempunyai wewenang untuk mentransfer
harta yang telah diwakafkannya itu.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka
menurut Imam Abu Hanifah, mewakafkan
harta itu sama dengan meminjamkannya.
Jadi institusi wakaf dalam hal ini sama
dengan institusi pinjam-meminjam
(عاریة) Hanya perbedaan antara wakaf
dengan pinjam-meminjam ialah, bahwa
pada wakaf bendanya ada pada wāqif
sedangkan pada pinjam meminjam
bendanya ada pada orang yang meminjam,
yaitu orang yang memanfaatkan harta atau
yang diberi hak untuk mengambil manfaat
benda yang dipinjamkannya itu.

Imam Abu Hanifah memberikan
pengecualian pada tiga hal, yakni wakaf
mesjid, wakaf yang ditentukan oleh
keputusan pengadilan dan wakaf wasiat.
Selain tiga hal yang tersebut, yang
dilepaskan hanya manfaatnya saja bukan
benda itu secara utuh.

Terhadap wakaf mesjid, yaitu apabila
seseorang mewakafkan hartanya untuk
kepentingan mesjid, atau seseorang
membuat pembangunan dan diwakafkan
untuk mesjid, maka status wakaf di dalam
masalah ini berbeda. Karena seseorang
berwakaf untuk mesjid , sedangkan mesjid
itu milik Allah, maka secara otomatis
kepemilikan harta wakaf itu berpindah
menjadi milik Allah dan tanggallah
kekuasaan si wāqif dalam kasus ini.
Wakaf yang ditentukan keputusan
pengadilan, yaitu apabila terjadi suatu
sengketa tentang harta wakaf yang tak dapat
ditarik lagi oleh orang yang
mewakafkannya atau ahli warisnya. Kalau
pengadilan memutuskan bahwa harta itu
menjadi harta wakaf.
Wakaf wasiat, yaitu bila seseorang
dalam keadaan masih hidup membuat
wasiat, jika ia meninggal dunia, maka harta
yang telah ditentukannya menjadi wakaf.
Maka dalam contoh seperti ini
kedudukannya sama dengan wasiat,tidak
boleh lebih dan 1/3 harta, sebagai harta
wasiat.

PERBANDINGAN PENARIKAN
KEMBALI HARTA WAKAF OLEH
PEMBERI WAKAF MENURUT IMAM
SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH

Penarikan kembali harta wakaf oleh
pemberi wakaf menjadi suatu ikhtilaf
dikalangan para ulama, sebagian
berpendapat melarang harta wakaf ditarik
kembali oleh pemberi wakaf baik dalam
keadaan apapun pendapat ini sebagaimana
pendapat Imam S yafi’i dan sebagian Ulama
Syafi’iyah. Sebagian yang lain
membolehkan menarik kembali harta wakaf
oleh pemberi wakaf pendapat ini
dikemukakan sebagaimana yang
diungkapkan Imam Abu Hanifah.
Dari kedua pendapat ulama diatas
keduanya sama-sama merujuk pada had
its
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
ibnu Umar r.a :
عن إبن عمر رضي الله عنھما ان عمر بن 
الخطب اصاب ارضا بخیبر فأتى النبي صلى الله 
علیه وسلم یستامر فیھا فقال یارسول الله إنني 
اصبت ارضا بخیبر لم اصب مالا قط أنفس عندي 
منھ فما تامره بھ قال : إن شئت حبست اصلھا 
وتصدقت بھا غیر انھ لایباع اصلھا ولایبتاع 
ولایوھب ولایورث وتصدقت بھا قال فى الفقراء 
وفى القربى وفى الرقاب وفى سبیل وان 
السبیل والضیف لاجناح على من ولیھا أن یأكل 
منھا بالمعروف و یطعم غیر متمول رواه مسلم

Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a Umar
bin khattab mendapat bagian lahan di
khaibar lalu dia menemui Nabi Muhammad
SAW, untuk meminta pendapat beliau
tentang tanah lahan tersebut seraya
berkata” wahai Rasulullah, aku tidak
pernah mendapatkan harta yang lebih
bernilai selain itu. Maka apa yang tuan
perintahkan tentang tanah tersebut? Maka
beliau berkata “jika kamu mau (tanah)
peliharalah pohonnya dan kamu dapat
bersedekah dengan buahnya. Dan wakaf
tersebut tidak boleh dijual, tidak
dihibahkan, dan juga tidak diwariskan”
Ibnu Umar r.a berkata. Maka Umar
menshadaqohkannya (hasilnya) dan wakaf
tersebut tidak boleh dijual, tidak
dihibahkan dan tidak diwariskan. Namun
dia menshadaqohkannya untuk faqir,
kerabat untuk membebaskan budak, fi
sabilillah, ibnu sabil dan tidak dosa bagi
orang yang mengurusnya untuk
memakannya dengan cara yang ma’ruf dan
untuk memberi makan orang lain bukan
maksud untuk menimbunnya.” (HR. Imam
Muslim).

Dalam hadits tersebut Imam Syafi’i
memahami secara harfiyah yang
berpendapat bahwa wakaf tidak boleh
ditarik kembali, atau d jual atau ditukarkan.
Konsekuaensinya, menurut pendapat ini
mesjid atau peralatan mesjid kalau misalnya
ditarik kembali oleh si pemberi wakaf

Perbedaan pendapat antara Imam
Syafi’i dan Imam Abu Hanifah ini, tidak
lepas dari metode istinbath hukum yang
digunakan oleh kedua imam tersebut

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas,
dapat disimpulkan 3 (tiga) macam , yaitu
:
Pertama,Menurut Imam Syafi’i penarikan
kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf
tidak diperbolehkan dikarenakan harta yang
sudah diwakafkan hak kepemilikannya
sudah kembali kepada Allah. Maka dari itu
tidak ada hak lagi untuk di tarik kembali
harta wakaf tersebut.
Kedua,Imam Abu Hanifahmenarik
kembali harta wakaf karena menurut beliau
wakaf adalah akad pelepasan manfaat harta
tanpa menghilangkan hak kepemilikan
Wakif atas harta tersebut dan menurut
beliau wakaf bersifat jaiz (tidak lazim)
sebagaimana ariyah.

dan ketiga, dalam penarikan
kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf
Imam Syafi’i menggunakan metode
istinbath hukum berupa hadits yang setelah
ditahrij masuk dalam kategori hadits
shahih, baik dari segi matan,rawimaupun
sanadnya,yang diriwayatkan oleh ibnu
Umar r.a. Imam Syafi’i berpendapat bahwa
harta wakaf sudah kembali kepemilikannya
kepada Allah, dan menurut beliau apabila
seorang wakif memberi wakaf berupa
benda, maka seketika itu juga beralih hak
milik dari wakif kepada penerima wakaf.
Harta benda wakaf i tu tidak bisa ditarik
kembali oleh pemberi wakaf. Dewngan kata
lain pemberi wakaf tidak memiliki lagi hak
milik atas harta benda tersebut. Pernyataan
Imam Syafi’i ini menunjukkan bahwa wakaf
dalam pandangannya adalah suatu ibadah
yang disyari’atkan, wakaf telahberlaku sah
bilamanawakiftelah menyatakan dengan
perkataanwaqaftu(telah saya wakafkan),
sekalipuntanpa diputuskan hakim. 
Harta yang telah diwakafkan menyebabkan
wakif tidak mempunyai hak kepemilikan lagi,
sebab kepemilikannya telah berpindah
kepada Allah SWT dan tidak juga menjadi
milik penerima wakaf (maukuf ‘alaih). 
Bagi Imam Syafi’i, wakaf itu mengikat dan
karenanya tidak bisa ditarik kembali atau
diperjualbelikan, digadaikan dan diwariskan
oleh wakif. 

Sedangkan Imam Hanafi membolehkan menarik kembali harta wakaf
oleh pemberi wakaf dengan menggunakan
metode istinbat hukum yaitu sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Dar al
-Quthni dari Ibnu Abbas meskipun hadits ini bukan haditsshahih yakni hadits dhaif dan bukan penjelasan mengenai wakaf, namun lebih kepada sitem kewarisan yang dipakai oleh orang-orang jahiliyah. Penggunaan hadits dhaif oleh beliau bukan untuk tujuan
penguatan hukum melainkan untuk
memberikan penjelasan tentang suatu amal
ibadah dengan harapan timbulnya sugesti
umat untuk melaksana kan amal tersebut.
Oleh sebab itu, menurut penulis
penggunaan hadits dhaif oleh Imam Hanafi
dapat diterima namun sebatas pada fungsi
penjelas dan bukan dasar hukum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.