Senin, 09 Agustus 2021

Pencuri timun tidak bisa duduk


Mbah Kholil Bangkalan bikin pencuri timun tak bisa duduk hanya dengan memberi karomah pada petani "qoma zaidun".

Kiai Muhammad Kholil atau lebih dikenal dengan Mbah Kholil Bangkalan adalah kiai yang kesalehannya tak terbantahkan. Mbah Kholil adalah guru dari pendiri Nahdlatul Ulama Kiai Hasyim Asy'ari.

Beliau adalah murid dari Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten), Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani.

Meski di kampung, Mbah Kholil adalah guru Kiai Hasyim, namun sewaktu belajar di Makkah keduanya satu bangku. Kiai lain yang satu angkatan di Makkah adalah Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Muhammad Dahlan. Mbah Kholil pula yang menjadi inspirasi dan memberi restu bagi Kiai Hasyim mendirikan jamiyyah NU.

Mbah Kholil adalah ahli ilmu alat (Nahwu, Shorof, Balaghoh), juga seorang hafidz (penghapal) AlQuran. Beliau mampu membaca Al Qur'an dalam Qira'at Sab'ah (tujuh cara membaca al-Quran).

Di kalangan santri NU karomah beliau sangat masyhur. Salah satunya adalah tentang kisah petani timun.

Suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab Nahwu, kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu'alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak.

“Wa'alaikum salam wr.wb., “ Jawab Kiai Kholil.


Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya :


“Sampean ada keperluan, ya?”


“Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.


Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun', ya ‘qoma zaidun' ini saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap.


“Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya.
“Ya sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.

Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.