Jumat, 06 April 2018

Tawakkal

TINGKATAN TAWAKKAL

Tingkatan-tingkatan tawakal antara lain:
tawakal awwam
tawakal khawas
tawakal khawasul khawas.

Tawakal berasal dari kata “wakala” yang berarti “mewakilkan”.

“Tawakkal” berarti memberikan perwakilan, kepasrahan, dan penyerahan diri kita kepada Allah.

Tawakal ialah menyempurnakan keyakinan kepada Allah.
Keyakinan itu takkan terjadi kecuali dengan berbaik sangka kepada Allah, dan mempercayai sepenuhnya terhadap rezeki yang dijanjikan, serta meridhai terhadap ketentuan yang berlaku dari qadha’ dan qadarnya.

Jika keyakinan seperti ini sudah sempurna di dalam hati kita, maka inilah yang dinamakan sebagai “tawakkal”.

Selama kita masih mengira-ngira negatif terhadap qadha’ dan qadar Tuhan, berburuk sangka terhadap Tuhan, kecewa terhadap pemberian Tuhan, maka kita tidak termasuk sebagai orang yang “mutawakkilin”.

Tawakal ialah menyempurnakan keyakinan kepada Allah. Kalangan para sufi menganggap, bahwa tawakal adalah “maqam puncak” (anak tangga puncak).

Ada suatu riwayat:

Hasan saudara Sinan mengatakan, sudah empat belas kali aku melaksanakan ibadah haji dengan kaki telanjang bertawakal. Kakiku tertusuk duri, namun aku tidak mencabutnya agar tidak merusak tawakal.

Jangan menggunakan akal untuk mencerna riwayat ini. Yang pasti, kita tidak akan melakukan hal seperti ini. Akal kita mengatakan, bahwa ini adalah orang gila.

Namun buktinya, ternyata orang ini tidak merasa sakit, bahkan ia tidak cacat sedikit pun, ia telah bersahabat dengan duri yang menusuknya.

*****

Ada suatu rombongan dari Syam datang ke seorang ulama bernama Bisyr Al-Hafi.

Mereka meminta ikut beribadah haji bersama Bisyr. Lalu dijawab oleh Bisyr, bahwa ia mau asalkan mereka mengikuti apa yang disyaratkannya.

Ada tiga persyaratan yang diajukan oleh Bisyr:

Pertama, kita tidak boleh membawa perbekalan apapun.

Kedua, kita tidak boleh meminta apapun kepada siapapun.

Ketiga, kita tidak boleh menerima apapun dari siapapun.

Rombongan dari Syam itu kemudian berkata, bahwa syarat pertama dan kedua sanggup mereka terima. Sedangkan syarat ketiga tak sanggup mereka laksanakan.

Maka Bisyr Al-Hafi mengatakan, “Kalau begitu, kalian ini adalah orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dengan tawakal pada perbekalan haji, tidak tawakal kepada Allah.”

*****

Abu Hamzah Al-Khurasani mengatakan: 

Suatu saat aku pergi melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan, aku terjatuh ke dalam sebuah sumur.

Nafsuku mendesak agar aku meminta tolong, namun aku tidak melakukannya, karena aku pasrah untuk menyerahkan segala jiwa ragaku untuk mencari ridha Allah di tanah suci. Begitu aku berpikir demikian, maka lewatlah dua orang laki-laki di pinggir lubang sumur.

Salah seorang di antaranya berkata kepada temannya, “Mari kita tutup lubang sumur ini agar tidak ada orang yang terjatuh ke dalamnya!”

Temannya kemudian menyetujui hal itu.
Aku ingin berteriak, tetapi aku berkata kepada nafsuku, bahwa aku hanya akan berteriak kepada Dia (Allah) yang lebih dekat kepadaku daripada dua orang itu. Lalu aku terdiam saja hingga mulut sumur itu ditutupi, kemudian dua orang itu pergi.

Satu jam kemudian, aku mendengarkan suara sesuatu yang berisik yang berusaha untuk membuka penutup sumur itu, kemudian mengulur-ngulurkan kakinya ke dalam sumur, sambil ia berkata kepadaku dengan berbisik lembut, “Berpeganglah pada kakiku!”
Lalu aku pun berpegang pada kakinya, dan ia mengeluarkanku dari sumur itu. Ternyata yang mengeluarkanku dari sumur itu adalah seekor binatang buas.
Setelah itu, ia pergi dan meninggalkanku.
Tiba-tiba aku mendengarkan suara entah dari mana, “Wahai Abu Hamzah, bagaimana pendapatmu? Kami telah menyelamatkanmu dari kebinasaan dengan kebinasaan.”

Sumur membinasakan, seandainya tidak diangkat secepatnya, maka Abu Hamzah akan kehabisan oksigen. Tapi dia diangkat oleh kebinasaan, karena binatang buas yang kelaparan seperti itu memang mencari manusia untuk dimangsa, namun ternyata binatang buas itulah yang menolongnya.

*****

Dalam suatu hadis shahih disebutkan:
Barangsiapa lebih sibuk berzikir kepada-Ku daripada berdoa, niscaya Aku akan memberikan yang lebih utama daripada yang diberikan kepada orang-orang yang meminta kepada-Ku.
Berdoa itu mulia. Tetapi jauh lebih mulia kalau kita berzikir dan bertafakkur kepada-Nya. Yang keluar dari mulut orang-orang yang mencari Tuhan itu sesungguhnya bukanlah doa, melainkan munajjat.
Munajjat itu misalkan permohonan doanya paling-paling hanya satu dua buah saja, yang banyak itu adalah penyerahan dirinya kepada Tuhan, kepasrahan dirinya kepada Tuhan, memuji-muji Tuhannya, merindukan Tuhannya, merindukan Nabinya, memohon agar rindunya terhadap Rasulullah disampaikan oleh Allah. Yang sering keluar adalah permohonan pengampunan dosa. Mana ada doa-doa para wali yang meminta kendaraan mewah, yang meminta jabatan seperti halnya kita. Bagi mereka, itu adalah sampah-sampah dunia yang tidak mesti kita rindukan. Permintaan yang paling mulia ialah taqarrub ilallah (mendekatkan diri kita kepada Allah). 

*****

Dalam suatu dialog, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Quraisy ditanya tentang tawakal.

Ternyata, pendapat para ulama berbeda-berbeda definisinya tentang tawakal. Ini pertanda, bahwa tawakal itu merupakan pengalaman yang sangat pribadi.
Apakah tawakal itu?
Beliau menjawab, “Tawakal adalah menggantungkan diri kepada Allah pada setiap keadaan, dalam keadaan gembira, berkecukupan, maupun dalam keadaan tidak berkecukupan, sama saja. Hidup ini tergantung kepada Allah, berpegang teguh kepada Allah. Tidak akan menangis meronta-ronta karena kehilangan anggota keluarganya yang dijemput oleh ajal. Tidak akan sedih keterlaluan manakala harta kekayaannya itu dicuri orang. Bahkan, tidak akan menderita sekalipun jika dia digerogoti penyakit, karena hidupnya sudah tergantung sepenuhnya kepada Allah.”
Lalu ditanya lagi, “Apalagi setelah itu?”
Dijawabnya, “Meninggalkan menggantungkan diri pada setiap sebab yang dapat menyampaikan kepada sebab lain, sehingga Al-Haq itu yang memerintahkan untuk demikian.”
Al-Haq yang dimaksud adalah Allah.

*****

Abu Said Ahmad bin Isa Al-Harras menyatakan, bahwa tawakal itu adalah goncangan dengan tanpa ketenangan, dan ketenangan tanpa kegoncangan.
Maksudnya, kalau orang sudah tawakal kepada Allah, maka ia akan tergetar, tergoncang dadanya. Siapakah yang tidak goncang kalau bertemu dengan sang kekasih?
Kegoncangan tanpa ketenangan merupakan suatu isyarat pada perlindungannya kepada wakilnya. Kalau kita sudah berlindung kepada Yang Maha Dahsyat dan Maha Kuat, maka kita akan tersedot oleh energi yang amat besar, hingga diri kita akan goncang.
Ketenangan tanpa kegoncangan juga terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini ibarat satu mata uang yang memiliki dua sisi yang berbeda.

*****

Abu Hasan Ali An-Naishaburi menyatakan, bahwa tawakal itu ada tiga tingkatan:

tawakal taslim dan tafwidz.
Maka orang yang bertawakal itu merasa tenang dengan janji Allah.

Allah berfirman:

Dan tidak ada suatu makhluk melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (Q.S. Huud: 6)

*****

Tawakal adalah titik permulaan dari berbagai hâl yang khusus berhubungan dengan perintah atau perjalanan rohani, dengan menyandarkan diri kepada Allah dan bersikap percaya penuh (tsiqah ) kepada-Nya; kemudian dilanjutkan dengan meletakkan hati dalam kawasan keterlepasan diri dari segala bentuk kekuatan dan daya manusia.

*****

Hasil dari tawakal adalah: mengalihkan segala sesuatu kepada sang Mahakuasa yang kekuasaan-Nya absolut dan tercapainya penyandaran diri secara total kepada Allah secara spiritual di akhirnya.

Setelah tawakal, yang muncul kemudian adalah "taslîm ", setelah itu muncullah "tafwîdh ", dan ujungnya adalah "tsiqah ".
Tawakal berarti: penyandaran hati kepada Allah mempercayai-Nya sepenuhnya, serta kesadaran hati untuk melarikan diri dari pengawasan kekuatan dan sumber manapun. Jika penyandaran diri dan kepercayaan penuh seperti ini belum tercapai, maka seorang hamba tidak dapat disebut sudah bertawakal. Selain itu, seorang hamba juga tidak akan pernah dapat mencapai tawakal yang sejati, selama pintu-pintu hatinya masih terbuka bagi yang selain Allah s.w.t..

*****

Tawakal harus dilakukan dengan tetap memberi perhatian pada ikhtiyar dan tanpa meninggalkan ikhtiyar yang ada di kawasan
al-asbâb . Barulah setelah itu kita harus menunggu gerakan takdir yang bersifat absolut terhadap kita semua. Dua langkah setelah tawakal, terdapat tahapan "taslîm " yang oleh para Ahl al-Haqq didefinisikan sebagai "sikap berserah diri seperti layaknya mayit di tangan orang yang memandikannya". Setelah itu, terdapat maqam "tafwîdh " yang artinya adalah: Mengalihkan segala sesuatu kepada Allah ta'ala dan menunggu segala sesuatu dari-Nya.
Jadi, tawakal adalah titik permulaan, sementara taslîm adalah hasilnya, dan
tafwîdh adalah buahnya. Itulah sebabnya,
tafwîdh lebih luas dari kedua maqam sebelumnya, dan ia layak bagi orang-orang yang sudah sampai di akhir, karena di dalam
tafwîdh terkandung maqam yang melebihi
maqam "keterlepasan manusia dari kekuatan dan daya yang dimilikinya" yang terdapat pada tahapan taslîm . Pada maqam inilah seseorang mencapai ufuk "lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh " (tiada daya dan tiada kekuatan melainkan hanya pada Allah), dan ia akan merasakan isi dari "Khazanah Tersembunyi" (Kanz Makhfi) di setiap saat, serta ia juga akan memiliki seluruh kekayaan yang ada di dalam surga.

Dengan kata lain: Seorang salik yang menempuh jalan kebenaran, selalu merasakan kelemahan dan kefakirannya karena ia selalu ingat pada titik istinâd dan
istimdâd yang ada di dalam hatinya. Setelah ia memiliki kesadaran atas dua hal itu, ia pun berkata: "Hamba tak mampu berpaling dari-Mu. Raihlah tangan hamba wahai Ilahi...raihlah tangan hamba...", lalu ia bertawajuh menuju sang Sumber kekuatan, kehendak, dan keinginan.

Tawakal adalah sikap hamba untuk menjadikan Tuhannya sebagai tempatnya bergantung demi kemaslahatannya, baik pada urusan duniawi maupun ukhrawi.

Adapun tafwîdh adalah istilah yang dipakai untuk menyebut pengakuan terhadap esensi yang ada di balik sikap tawakal dengan menggunakan perasaan hati.

Dengan kata lain: Tawakal adalah ketika seorang manusia bersandar kepada Allah dan segala yang dimiliki-Nya serta menutup semua pintu hati dari yang selain Dia. Kita juga mengatakan bahwa tawakal adalah membaktikan tubuh dalam ubudiyah dan mengaitkan hati dengan rububiyah.

*****

Syihab bersyair tentang masalah ini:

Tawakal-lah kepada Rahman di segala urusan
Pasti tidak rugi orang yang bertawakal kepada-Nya
Jadilah orang percaya kepada Allah dan sabarlah atas ketetapan-Nya
Pasti kau raih segala anugerah yang kau harap dari-Nya.

*****

Dari sudut lain, tawakal adalah istilah yang digunakan untuk menyebut sikap menyandarkan diri kepada Allah (al-i'timâd 'alallâh ). Tawakal adalah hâl manusia awam,
taslîm adalah hâl orang-orang yang selalu memperhatikan kehidupan rohaniah-spiritual.
Tafwîdh adalah tanda ketidak-ketergantungan dengan asbâb (sebab-sebab) dan tadbîr (perencanaan). Yang terakhir ini adalah
maqam kaum khusus di antara yang khusus (Akhashsh al-Khawash ).
Jadi, seorang penempuh jalan kebenaran yang mengembara di cakrawala tafwîdh , termasuk seandainya ia sibuk secara lahiriah dengan urusan tadbîr (perencanaan) dan
asbâb (sebab-sebab), maka kesibuaknnya itu akan menjadi bagian dari esensi eksistensinya dalam wilayah asbâb serta menjadi bagian dari posisinya sebagai objek perintah Allah s.w.t.. Sebaliknya, seandainya ia menjadikan asbâb sebagai pusat konsentrasi dan sandaran dirinya secara hakiki, maka itu akan membuatnya terjerembab dari ketinggian martabat samawi menuju posisi binatang melata yang terpuruk di atas tanah.
Dalam beberapa kitab manaqib disebutkan sebuah cerita yang berhubungan dengan masalah ini, yaitu bahwa ada seorang wali yang ketika emosinya meluap disebabkan perencanaan yang dilakukannya dalam kawasan asbâb, tiba-tiba ia mendengar suara gaib yang berkata:
Jangan rencanakan urusanmu, karena dalam rencana terkandung binasa
Serahkan urusanmu kepada Kami, karena kami bagimu lebih utama dari dirimu.

Sikap meninggalkan perencanaan yang berarti melepaskan diri (tajarrud ) dari kungkungan asbâb dan tidak memberi ruang bagi segala bentuk instrumen di dalam hati, merupakan kedalaman yang luar biasa, yang tidak dapat dijangkau oleh manusia kebanyakan dan tidak akan dapat dipikul kecuali hanya oleh para individu yang berpegang pada hubungan mereka dengan Allah al-Haqq s.w.t. ketika mereka berada di tengah makhluk.
Sesungguhnya sikap tidak memberi pengaruh hakiki terhadap sebab-sebab ( asbâb) sambil tetap berinteraksi dengan sebab-sebab itu merupakan bentuk tawakal bagi kaum awam, bentuk "taslîm " bagi mereka yang selalu memperhatikan hal-hal di balik tabir segala sesuatu, dan bentuk "tafwîdh " dan "tsiqah" bagi para Ahl al-Sakînah wa al-Amân , karena masing-masing akan memiliki pencapaian sesuai derajat mereka.

Betapa lembutnya sabda Rasulullah s.a.w. ketika beliau menghubungkan antara keinginan, kesungguhan, amal perbuatan, sikap tafwîdh , dan tawakal sekaligus: "Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, kalian pasti akan diberi rezeki sebagaimana halnya burung diberi rezeki. Mereka pergi di pagi hari dengan perut kosong, tapi kembali di sore hari dengan perut kenyang."[2]
Tiap-tiap individu akan memiliki pemahaman atas sabda Rasulullah ini sesuai dengan derajat mereka masing-masing:

1- Kaum awam akan memahami sabda Rasulullah itu sebagai sikap menyandarkan diri kepada Allah dalam pengertiannya yang umum, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat: "... dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri ." (QS. Ibrahim [14]: 12).

Maulana Rumi juga mengingatkan tentang hal ini dengan menggubah syair yang terinspirasi dari hadits Rasulullah s.a.w.:

Meski tawakal adalah mursyid dan pemandu
Tapi memperhatikan asbâb adalah sunah nabi
Karena Rasulullah dulu telah bersabda:
Ikatlah dulu untamu, lalu bertawakal-lah.[3]

2- Adapun orang-orang yang melewati hidup mereka di pelosok hati dan roh sembari melepaskan diri dari daya dan kekuatan mereka serta berserah sepenuhnya kepada daya dan kekuatan Allah, mereka akan memahami sabda Rasulullah itu seperti keadaan mayit di tangan orang yang memandikannya. Hal ini mengingatkan kita pada ayat:
" Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi ni`mat atas keduanya: "Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman ." (QS. al-Mâidah [5]: 23).

3- Adapun orang-orang yang mengembara di puncak fana` fillâh dan baqa` lillah , mereka akan memahami sabda Rasulullah itu sebagai bentuk tafwîdh seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. yang berkata: "Cukuplah Allah bagiku dan Dialah sebaik-baik tempat bergantung," ketika tubuhnya dilempar ke dalam api oleh Namrudz.

Dan ketika Ibrahim berkata: "Pengetahuan-Nya tentang keadaanku, membuatku tidak perlu meminta kepada-Nya." Atau mereka memahami sabda Rasulullah itu sebagai bentuk "kepercayaan penuh" (tsiqah) seperti keadaan sang Kebanggaan Alam Semesta Rasulullah s.a.w. yang bersabda: "Janganlah kau bersedih karena sesungguhnya Allah bersama kita ." (al-Taubah [9]: 40) dengan kepercayaan yang sempurna dan ketenangan yang luar biasa ketika ia melihat bayangan musuh yang mengejar mereka telah sampai di mulut gua, sehingga membuatnya gemetar disebabkan ancaman mengerikan yang mengguncang semua orang. Al-Qur`an menjelaskan hakikat ini dengan firman Allah: "Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya ." (QS. al-Thalâq [65]: 3).

Tafwîdh adalah martabat tertinggi, sementara
tsiqah adalah maqam tertinggi. Siapapun yang mampu mencapai martabat ini, maka ia akan memiliki maqam tersebut. Ia tidak akan melelah dengan akalnya, logikanya, dan akidahnya, bahkan termasuk pula dengan seluruh perasaan baik yang eksternal maupun yang internal, berkenaan dengan perintah-perintah Allah s.w.t., sehingga membuat dirinya menjadi laksana cermin yang menjadi tempat tajalli bagi Allah s.w.t..

Martabat yang berada di atas semua martabat lainnya ini memiliki beberapa ciri khusus, berikut ini adalah beberapa di antaranya:

1- Ketenangan dan ketenteraman dengan memandang perencanaan sebagai bagian dari takdir.

2- Adanya pengetahuan bahwa kehendaknya adalah bayangan dari kehendak absolut yang selalu bertawajuh ke arah asalnya.
3- Keselarasan antara paksaan dan kelembutan pada dirinya dan sikap ridha terhadap semua ketetapan Allah.

Penulis kitab al-Minhâj menyatakan dalam sebuah syair:

Kuserahkan semua urusanku kepada yang Tercinta
Jika Dia mau, Dia akan menghidupkan aku. Jika Dia mau, Dia mematikanku.

Ada sebuah kata-kata indah lain yang ditulis oleh Washif Andaruni sebagai berikut:
Pastilah akan tampak hukum qadar
Jadi serahkanlah segala urusan kepada al-Haqq dan jangan kau merasa sakit, jangan kau mereka kotor

Salah satu syair indah yang membicarakan tetang tafwîdh adalah yang digubah oleh Ibrahim Haqqi dalam kasidah berjudul Tafwiznama berikut ini:
Al-Haqq ta'ala telah mengubah kejahatan menjadi kebaikan
Jangan pernah kau kira Dia melakukan yang selain itu
Seorang arif menyaksikan-Nya
Agar kita dapat melihat apa yang Dia lakukan
Yang Dia lakukan itulah yang terbaik
Jadilah kau orang tawakal kepada al-Haqq
Serahkanlah segala urusan kepada-Nya, niscaya jiwamu tenang
Jadilah penyabar, jadilah orang yang ridha
Agar kita dapat melihat apa yang Dia lakukan
Yang Dia lakukan itulah yang terbaik. [5]
Wahai Tuhan kami, kepada-Mu kami bertawakal. Kepada-Mu kami mengadu. Kepada-Mu kami kembali. Semoga selawat tercurah kepada Sayyidina Muhammad sang Pemimpin para rasul dan kepada segenap keluarga serta para sahabat beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.