1. Nasabnya sampai Umar Ibnu Khattab
Namanya mungkin kurang dikenal di Indonesia. Tapi kitab karyanya Fadhailul A’mal, menjadi salah satu bacaan favorit kaum muslimin di Indonesia, bahkan kabarnya telah dicetak ulang sebanyak 70 kali. Buku tersebut berisi doa dan amalan harian, pengarangnya adalah Ahmad Sirhindi, seorang sufi besar dan ulama yang produktif menulis kitab. Kisah hidupnya yang bertabur hikmah menjadi teladan bagi sufi sesudahnya.
Nama lengkapnya Syekh Ahmad al-Faruqi Al-Hanafi Al-Sirhindi . Lahir di Sirhindi, Punjab, India pada 1564, dalam keluarga yang sangat taat beragama, dan wafat karena sakit pada 10 Desember 1624.
Nasabnya berhubung sampai ke Umar Ibnu Khattab, sehingga ia memperoleh gelar Al-Faruqi. Sedangkan nama Hanafi yang dinisbatkan kepada namanya, karena ia dikenal sebagai seorang yang jago dalam mazhab Hanafi.
2. Berguru Kepada Ayahanda
Ayahandanya, Syekh Abdulhad, dikenal sebagai seorang mursyid tarekat khistiyah. Kepada ayahandanyalah Ahmad Sirhindi mempelajari beberapa kitab tasawuf, seperti,
Al-Ta’arruf fi Mazhab Tasawuf karya Al-Kalabazi, Awariful Ma’arif Karya As-suhrawardi, dan Fushush Al-Hikam , karya sufi besar Ibnu Arabi. Lewat ayahnya pula ia memperoleh ijazah tarekat Chistiyah, yang kemudian sangat berkesan di hatinya.
Setelah ayahandanya wafat, ia belajar kepada Khwaja Abdulbaqi, atau yang lebih dikenal sebagai Baqi Billahi. Dari gurunya ini ia memperoleh ijazah Tarekat Naqsabandiyah . Beberapa tahun kemudian pemikiran-pemikirannya tentang tasawuf berkembang dan mempunyai dampak bagi kehidupan para sufi se zamannya dan generasi sesudahnya.
Selain kepada ayahandanya, ia juga berguru kepada beberapa ulama lain., seperti Mullah Kamal Kasymiri (Ilmu Kalam, Filsafat, dan Logika), Syekh Ya’qub Syarafi, yang dikenal sebagai pentolan tarekat Kubrawiyah (ilmu hadis), Kadi Badakhasani (Ilmu Tafsir). Setelah berusia 17 tahun, ia pulang kampung.
Beberapa tahun kemudian ia dikenal sebagai ulama yang berwawasan luas yang menulis puluhan kitab, terutama dalam bidang tasawuf, seperti, Mabda wa Ma’ad, Isbath an-Nubuwah, Ma’arif la Duniyah, Adab al-Muridin, Mukasyafah al-Kahibiyah, Risalah Takhliliyah, Syarah Rubaiyyat khwaja Baqi Billah, Maktubat Imam Rabbani.
3. Wahdatul Wujud
Dalam beberapa karyanya, Syekh Ahmad Sirhindi sangat menjunjung tinggi Al-Qur’an dan sunah sebagai dasar kebenaran pengetahuan yang berkenaan dengan masalah ketuhanan, baginya tasawuf bukanlah mengubah syariat Islam, tapi justru memperkuatnya, bahkan membuat semarak kehidupan.
Baginya, dengan menguasai ilmu fikih, pemahaman syariat pun semakin kuat. Maka wajar jika ia tidak setuju dengan paham
Wahdatul Wujud Ibnu Arabi, karena pencapaian tasawuf seperti itu tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan sunah. Bahkan membawa sampak negatif terhadap agama serta meruntuhkan amal saleh dari fondasinya.
Menurut Syekh Ahmad Al-Sirhindi:
Kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya, merupakan pokok ajaran tasawuf, dari pokok ajaran tersebut timbul beberapa cabang dan ranting, seperti dzikir, sabar tawakal, tulus, cinta kepada Allah, beramal dan berkorban hanya kepada-Nya. Dengan demikian, menurutnya, Maqam atau peringkat kesufian haruslah menghasilkan ketaatan dan kepsrahan yang tiada tara kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ia juga mengatakan:
Seorang wali tidak bisa melebihi kenabian walau begitu dekatnya jarak antara dia dan Allah SWT. Seorang waliyullah menempuh jalan menuju Allah, mempersiapkan perjalanan tersebut, sehingga mencapai titik akhir atau Wushul kepada Allah SWT. Tapi setelah sampai di titik akhir, ia akan kembali lagi seperti halnyamanusia biasa. Hal ini sangat berbeda dengan Nabi, yang perjalanan spritualnya lebih tinggi ketimbang wali.
4. Berbeda dengan Ibnu Arabi
Berbeda dengan paham Wahdatul Wujud -nya Ibnu Arab i, yaitu paham yang meyakini kemampuan seorang makhluk yang dapat “ Bersatu dengan Tuhan ”, dalam pandangan Sirhindi, alam adalah bayangan (dengan realitas zat rendah) yang sangat berbeda dengan Dzat Allah yang mutlak dan berdiri sendiri. Maka bagi Ahmad Sirhindi, tauhid adalah “ Tauhid Syuhudi ,” ketika seorang sufi dapat menyaksikan realitas tunggal di balik alam. Yang dimaksud dengan “ menyaksikan ” ialah menguasai penglihatan dalam Dzauq (rasa) ketuhanan sehingga benar-benar ainul yaqin, meyakini karena “ menyaksikan ”.
Dalam buku Saviour of Islamic Spirit , seorang ulama India, Ahmad Abul Hasan Ali Nadwi, menulis, Syekh Ahmad Sirhindi punya keberanian yang luar biasa untuk mengkritik pemerintah yang sedang berkuasa. Menurutnya, keberhasilan Syekh Ahmad Sirhindi di landasi dua faktor utama. Pertama, memiliki gagasan yang cemerlang. Kedua, tidak tamak terhadap kepemilikan duniawi, apalagi ambil kekuasaan.
Sumber kisah Alkisah Nomor 11 / 23 Mei – 5 Juni 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.