Sabtu, 08 Februari 2020

Doa khatam AlQuran dr Nabi SAW

Sudah tidak asing lagi bahwa bulan ramadhan juga dikenal dengan syahru Al-Quran/bulan Al-Quran, bulan dimana Al-Quran diturunkan kepada baginda nabi besar Muhammad saw, sehingga salah satu amalan yang sangat digemari oleh para sahabat dan tabiin dahulunya ketika tiba bulan ramdhan adalah aktivitas mendekatkan diri dengan Al-Quran, baik kuantitas membacanya yang ditingkatkan, maupun tradisi lainnya berupa memahami makna dan isyarat Al-Quran untuk meniti kehidupan.

Mereka adalah orang yang oleh Al-Quran disifati dengan:

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ، وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malamو dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar” (QS. Adz-Dzariyat: 17-18)

Kebersamaan mereka dengan Al-Quran sangat luar biasa sekali di bulan ini. Salafus saleh kita terdahulu ada yang menghatamkan Al-Quran per dua hari, ada yang menyelesaikanya per tiga hari, ada yang mengkhatamkannya dengan dijadikan bacaan pada shalat malam, bahkan dalam sebagian riwayat ada yang mengkhatamkan Al-Quran bahkan hingga 60 kali selama ramadhan.

Memang ada penjelasan hadits dari Rasulullah saw berkenaan dengan jangan sampai mengkhatamkan Al-Quran kurang dari tiga hari, seperti dalam riwayat Imam Ahmad misalnya, namun Imam Az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan fi Ulum al-Quran, jilid 1, hal. 470 menyebukan melalui hadits ini dan dengan melihat kenyataan yang ada bahwa banyak juga para sahabat yang mengkhatamkan Al-Quran kurang dari tiga hari menilai bahwa waktu mengkhatamkan Al-Quran itu disesuaikan dengan kualitas orang yang membacanya, sehingga tidak salah jika sahabat Utsman bin Affan misalnya justru sering mengkhatamkan Al-Quran dalam satu malam.

Mungkin orang-orang seperti kita inilah yang baiknya tidak mengkhatamkan Al-Quran dibawah tiga hari, mengingat sebagian besar kita bukanlah orang yang hafal Al-Quran, belum lagi bacaan Al-Quran kita masih banyak masalahnya, juga kualitas tadabur dan memahami makna bacaan yang juga butuh banyak waktu untuk sampai pada sebuah pemahaman yang benar. Ide satu bulan satu juz itu menurut penulis sudah benar, itupun kadang-akdang masih berat dijalani oleh sebagian besar kita khususnya umat Islam di Indonesia.

Keutamaan Khatam Al-Quran

Ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang keutamaan mengkhatamkan Al-Quran, walaupun banyak juga riwayat-riwayat tersebut dikritisi oleh para ulama terkait kualitas haditsnya, namun gabungan dari semuanya bolehlah kita ambil secara umum untuk motivasi kita dalam amal baik ini. Berikut beberapa riwayat dari sunan Ad-Darimi:

عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ» . قِيلَ: وَمَا الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ؟ قَالَ: «صَاحِبُ الْقُرْآنِ يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ الْقُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ، وَمِنْ آخِرِهِ إِلَى أَوَّلِهِ، كُلَّمَا حَلَّ، ارْتَحَلَ»

Dari Qatadah, dari Zurarah bin Aufa, bahwa nabi Muhammad saw ditanya: “Pekerjaan apakah yang paling utama?”, beliau bersabda: “al-Hal al-Murtahil”, dikatakan: “Apa itu al-Hal al-Murtahil?”, beliau bersabda: “Seseorang yang membaca Al-Quran dari awal hingga akhir, dan dari akhir hingga awal, setiap kali selesai dia mulai melanjutkan bacaannya”

«مَنْ شَهِدَ الْقُرْآنَ حِينَ يُفْتَحُ، فَكَأَنَّمَا شَهِدَ فَتْحًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ شَهِدَ خَتْمَهُ حِينَ يُخْتَمُ، فَكَأَنَّمَا شَهِدَ الْغَنَائِمَ حِينَ تُقْسَمُ»

“Barang siapa yang menyaksikan Al-Quran ketika mulai dibuka/dibaca, maka seakan-akan dia menyaksikan perang dijalan Allah, dan barang siapa yang menyaksikan khatam Al-Quran maka seakan-akan dia menyakiskan harta ghonimah ketika dibagikan” 

عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: «كَانَ رَجُلٌ يَقْرَأُ فِي مَسْجِدِ الْمَدِينَةِ، وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ قَدْ وَضَعَ عَلَيْهِ الرَّصَدَ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ خَتْمِهِ، قَامَ فَتَحَوَّلَ إِلَيْهِ»

Dari Qatadah: “Dahulu kala ada seseorang yang membaca Al-Quran dari awal hingga akhir dihadapan sahabatnya, lalu Ibnu Abbas mengutus seseorang untuk terus mengintai mereka, sehingga ketika mereka sudah mau khatam Ibnu Abbas ra hadir bersama mereka.”

عَنْ عَبْدَةَ، قَالَ: «إِذَا خَتَمَ الرَّجُلُ الْقُرْآنَ بِنَهَارٍ، صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ فَرَغَ مِنْهُ لَيْلًا، صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُصْبِحَ»

Dari Abdah berkata: “Jika seseorang mengkhatamkan  Al-Quran pada siang hari maka Malaikat akan mendoakannya hingga sore hari, dan jika dia menyelesaikannya ketika malam, maka Malaikat akan mendoakannya hingga subuh”

Sebagian dari riwayat berikut penulis sarikan dari kitab Fadhail al-Quran, karya al-Qasim ibn as-Salam dan Ibn ad-Dharris:

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ: «مَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ»

Abdullah bin Masud berkata: “Siapa yang mengkhatamkan Al-Quran maka doanya mustajab”

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ شَهِدَ خَاتِمَةَ الْقُرْآنِ كَانَ كَمَنْ شَهِدَ الْغَنَائِمَ حِينَ تُقَسَّمُ»

Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang hadir/menyaksikan khataman Al-Quran maka seakan-akan dia hadir saat pembagian harta ghanimah (harta rampasan perang)”

 لِأَنَّهُ كَانَ يُقَالُ: «إِذَا خُتِمَ الْقُرْآنُ نَزَلَتِ الرَّحْمَةُ عِنْدَ خَاتِمَتِهِ، أَوْ حَضَرَتِ الرَّحْمَةُ عِنْدَ خَاتِمَتِهِ»

Mujahid, Abdah bin Abi Lubabah dan sebagian yang lainnya mengatakan bahwa dahulu Rasulullah saw pernah bersabda: “Jika khataman Al-Quran turunlah rahmat ketika itu, atau rahmat akan hadir ketika ada khataman Al-Quran”.

عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ، قَالَ: كَانَ يُقَالُ: «اشْهَدُوا خَتْمَ الْقُرْآنِ»

Dari Malik bin Dinar, berkata, dikatakan bahwa: “Hadirilah/saksikanlah khatman Al-Quran”

Terakhir, Imam At-Thabrani, didalam al-Mu’jam al-Kabir meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ صَلَّى صَلَاةَ فَرِيضَةٍ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ، وَمَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ»

“Barang siapa yang selesai melaksanakn shalat fardu maka baginya doa yang mustajab, dan barang siapa yang selesai membaca Al-Quran maka baginya juga doa yang mustajab”

Mengumpulkan Keluarga Ketika Khataman

Ada hal yang menarik dari sahabat Rasulullah saw yang bernama Anas bin Malik, bahwa setiap kali beliau hendak mengkhatamkan Al-Quran beliau selalu mengumpulkan keluarganya, baik istri, anak-anaknya, dan lainnya, yang demikian beliau lakukan untuk kemudian menutup khataman Al-Quran itu dengan berdoa, dan salah satunya adalah guna mendoakan keluarganya, demikiana banyak meriwayat menyebutkan salah satunya yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dalam kitabnya al-Mujam al-Kabir, juga diriwayatkan oleh imam Al-Baihaqi dalam Syuab Al-Iman,  dengan redaksi:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ شُعَيْبٍ السِّمْسَارُ، ثنا خَالِدُ بْنُ خِدَاشٍ، ثنا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ ثَابِتٍ، «أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، كَانَ إِذَا خَتَمَ الْقُرْآنَ جَمَعَ أَهْلَهُ وَوَلَدَهُ، فَدَعَا لَهُمْ»

Muhammad bin Ali bin Syuaib As-Simsar bercerita kepada kami, Khalid bin Khidasy bercerita kepada kami, Ja’far bin Sulaiman bercerita kepada kami, dari Tsabit, bahwa sahabat Anas bin Malik ketika mengkhatamkan Al-Quran beliau mengumpulkan keluarga dan anaknya, lalu beliau mendoakan mereka.

Menurut Imam Al-Baihaqi, masih didalam Syuab Al-Iman, memang ada yang meriwayatkan bahwa cerita diatas sebenarnya sampai kepada Rasululah saw, namun Imam Al-Baihaqi bisa meyakinan bahwa riwayat diatas hanya sifatnya mauquf yaitu hanya sampai kepada sahabat Anas bin Malik saja.

Dengan demikian, Imam An-Nawawi misalnya dengan bersandarkan kepada perilaku sahabat Anas bin Malik, maka beliau berpendapat bahwa mustahab hukumnya menghadiri menghadiri majlis khataman Al-Quran, demikian beliau menuturkannya dalam kitab al-Majmu’, jilid 2, hal. 168. Bahkan fakar tafsir kontemporer Syaikh Rasyid Ridho, dalam Tafsir Al-Manar, jilid 9, hal. 462 dengan tegas menyebutkan bahwa mencontoh perilaku sahabat Anas bin Malik tersebut adalah perilaku yang dinilai baik/mustahab.

Khataman

Khataman Al-Qur’an sering dilaksanakan di berbagai kegiatan di Indonesia, seperti haul para pendiri pesantren, orang tua, atau lainnya. Ada yang dilakukan dengan membaca mushaf (bin nadhar), ada pula dengan hafalan (bil ghaib). Yang terakhir ini selain untuk keperluan kirim hadiah pahala, biasanya juga untuk menguatkan ingatan bagi penghafal Qur’an.  Sebagaimana tawassul dan beberapa bacaan lainnya di awal, yang hampir tak mungkin lepas dari khataman ini adalah doa penutup. Bahkan, hukum membaca doa setelah mengkhatamkan Al-Qur’an adalah sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Sebagaimana ad-Dârimi meriwayatkan dengan sanadnya dari Humaid al-A’raj, ia berkata:


 من قرأ القرآن ثم دعا أمن على دعائه أربعة آلاف 


“Barangsiapa membaca Al-Qur’an, kemudian berdoa, maka doanya diamini oleh 4.000 malaikat.” Sementara itu, Imam an-Nawawi dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân secara eksplisit menganjurkan kepada orang yang selesai menuntaskan seluruh bacaan Al-Qur’an untuk berdoa yang di dalamnya mengandung kemaslahatan bersama:


 وينبغي أن يلحّ في الدعاء وأن يدعو بالأمور المهمة وأن يكثر في ذلك في صلاح المسلمين وصلاح سلطانهم وسائر ولاة أمورهم 

“Hendaklah dia bersungguh-sungguh dalam bedoa dan mendoakan hal-hal yang penting serta memperbanyak doa untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin mereka.” (Imam an-Nawawi, at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, Dar el-Minhaj, halaman 184)

اللَّهُمَّ إِنَّا عَبِيْدُكَ، اَبْنَاءُ عَبِيْدِكَ، اَبْنَاءُ إِمَائِكَ، نَوَاصِيْنَا بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيْنَا حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيْنَا قَضَاؤُكَ، نَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ العَظِيْمَ رَبِيْعَ قُلُوْبِنَا، وَنُوْرَ اَبْصَارِنَا وَشِفَاءَ صُدُوْرِنَا وَجِلاَءَ أَحْزَانِنَا وَذَهَابَ هُمُوْمِنَا وَغُمُوْمِنَا، وَسَائِقَتَنَا وَقَائِدَنَا إِلَيْكَ وَالَى جَنَّاتِكَ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ وَدَارِكَ دَارِ السَّلاَمِ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْن َبِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اللّهُمَّ اجْعَلْهُ لنا شفاءً وهدىً وإماماً ورحمةً، وارزقنا تلاوته على النحْو الذي يُرضيك عنا . اللهم لا تجعل لنا ذنباً إلا غفرته ولا هماً إلا فرجته ، ولا دَيناً إلا قضيته ولا مريضاً إلا شفيته ، ولا عدواً إلا كفيته ، ولا غائباً إلا رددته ، ولا عاصياً إلا عصمته ، ولا فاسداً إلا أصلحته ، ولا ميتاً إلا رحمته ، ولا عيباً إلا سترته ، ولا عسيراً إلا يسرته ، ولا حاجة من حوائج الدنيا والآخرة لك فيها رضاً ، ولنا فيها صلاح إلا أعنتنا على قضائها في يسر منك وعافيةٍ برحمتك يا أرحم الراحمين.

اللهم انصر عبادك المجاهدين نصراً عزيزاً وافتح لهم فتحاً مبينا . اللهم انفعنا بما علمتنا وعلمنا ما ينفعنا ، اللهم افتح لنا بخير ، واجعل عواقب أمورنا إلى خير ، اللهم إنا نعوذ بك من فواتح الشر وخواتمه وأوله وآخره وباطنه وظاهره . اللهم لا تجعل بيننا وبينك في رزقنا أحداً سواك ، واجعلنا أغنى خلقك بك ، وأفقر عبادك إليك ، وهب لنا غنىً لا يطغينا ، وصحة لا تلهينا ، وأغننا عمن أغنيته عنا ، واجعل آخر كلامنا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله ، وتوفنا وأنت راضٍ عنا غير غضبان ، واجعلنا في موقف القيامة من الذين لا خوف عليهم ولا هم يحزنون برحمتك يا أرحم الرحمين . اللهم إنا نسألك إخبات المخبتين وإخلاص المؤمنين ومرافقة الأبرار، واستحقاق حقائق الإيمان والغنيمة من كل بر ، والسلامة من كل إثم ووجوب رحمتك وعزائم مغفرتك ، والفوز بالجنة والنجاة من النار .

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا.

Senin, 03 Februari 2020

Gading pipa rokok


- kitab majmu' (1/ 298-299)

؛( فرع ) العاج المتخذ من عظم الفيل نجس عندنا كنجاسة غيره من العظام ، لا يجوز استعماله في شيء رطب ، فإن استعمل فيه نجسه ، قال أصحابنا :ويكره استعماله في الأشياء اليابسة لمباشرة النجاسة ، ولا يحرم ; لأنه لا يتنجس به ،

Cabang (sub bahasan):
Gading yang diambil dari tulang gajah itu najis menurut kita, sebagaimana najisnya tulang-tulang yang lain.

Tidak diperbolehkan menggunakannya dalam perkara yang basah.
Apabila digunakan pada perkara yang basah maka gading itu akan menajiskannya.

Ashab kita berkata: dan dimakruhkan menggunakannya pada perkara yang kering karena bersinggungan/bersentuhan dengan perkara yang najis, dan hal itu tidaklah haram. Karena benda yang kering tidak menjadi najis sebab gading itu.

ولو اتخذ مشطا من عظم الفيل فاستعمله في رأسه أو لحيته فإن كانت رطوبة من أحد الجانبين تنجس شعره ، وإلا فلا ولكنه يكره ولا يحرم ، هذا هو المشهور للأصحاب .

Ketika sebuah sisir terbuat dari tulang gajah, dan digunakan untuk (menyisir rambut) kepala atau jenggot seseorang, maka apabila salah satunya basah (gadingnya atau rambut/jenggot) maka rambut/bulu itu menjadi najis.
Jika tidak maka tidak. Namun demikian itu (dua-duanya kering) makruh menggunakannya. Dan tidak haram. Pernyataan ini yang masyhur dikalangan ashab syafii.

ورأيت في نسخة من تعليق الشيخ أبي حامدأنه قال : ينبغي أن يحرم ، وهذا غريب ضعيف .

dan saya (imam nawawi) melihat dalam satu naskah dari catatan kaki syaikh abi hamid al-ishfiroyyini  menyatakan: sebaiknya diharamkan. hal ini adalah pendapat yang asing dan lemah.

Gading gajah menurut Imam Abu Hanifah hukumnya suci :

ولا يطهر الفيل بالذبح ولا يطهر عظمه بالتذكية لأنه نجس العين وهو قول محمد وهو المشهور من قول الشافعي إلا ما نقله الرافعي وجها شاذا. وقال أبو حنيفة بطهارة العاج .

الاتحاف السادة المتقين ج ٦ ص ٤٢٧

Ada pendapat syadz dari kalangan kita ( Syafiiyyah ) yg mengatakan bahwa tulang2 bangkai hukumnya suci

المجموع شرح المهذب ج ٩ ص ٢٣٠

مذهبنا المشهور أن عظم الفيل نجس سواء أخذ منه بعد ذكاته أو بعد موته ولنا وجه شاذ أن عظام الميتة طاهرة

Rabu, 29 Januari 2020

Sholawat Nahdliyah Nariyah


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَشْغِلِ الظَّالِمِيْنَ بِالظَّالِمِيْنَ وَأَخْرِجْنَا مِنْ بَيْنِهِمْ سَالِمِيْنَ وَعَلَي الِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Allahumma sholli ‘ala sayyidina muhammad wa asyghilidz dzolimin bidz dzolimin wa akhrijna min bainihim salimin wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


صَلَاةً تُرَغِّبُ وَ تُنَشِّطُ


وَ تُحَمِّسُ بِهَا الجِهَاد لِإِحْيَاءِ


وَ اِعْلَاءِ دِيْنِ الإِسْلَام


وَاِظْهَارِشَعَائِرِهِ عَلَي طَرِيْقَةِ


جَمْعِيَّةِ نَهْضَةِ العُلَمَاءِ


وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ


. اللهُ اللهُ اللهُ اللهُ.


ثَبِّتْ وَانْصُرْ اَهْلَ جَمْعِيَّة


جَمْعِيَّة نَهْضَةِ العُلَمَاءِ


لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللهِ




أللّهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ الّذِي تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ


ياَ لَلْوَطَنْ ياَ لَلْوَطَن ياَ لَلْوَطَنْ
Ya lal wathon ya lal wathon ya lal wathon
حُبُّ الْوَطَنْ مِنَ اْلإِيمَانْ
Hubbul wathon minal iman
وَلاَتَكُنْ مِنَ الْحِرْماَنْ
Wala takun minal hirman
اِنْهَضوُا أَهْلَ الْوَطَنْ
Inhadlu alal wathon

اِندُونيْسِياَ بِلاَدى
Indonesia biladi
أَنْتَ عُنْواَنُ الْفَخَاماَ
Anta ‘Unwanul fakhoma
كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ
Kullu may ya’tika yauma
طَامِحاً يَلْقَ حِماَمًا
Thomihay yalqo himama


كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ
Kullu may ya’tika yauma
طَامِحاً يَلْقَ حِماَمًا
Thomihay yalqo himama


Pusaka hati wahai tanah airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai bangsaku

Pusaka hati wahai tanah airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai bangsaku

Indonesia negeriku
Engkau panji martabatku
Siapa datang mengancammu
Kan binasa di bawah durimu,,,,
Siapa datang mengancammu
Kan binasa di bawah durimu,,,,


Zakat terhadap keluarga

Bolehkah Zakat Fitrah Diberikan kepada Keluarga?

Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam membayar zakat fitrah adalah mengenai orang yang kita berikan harta zakat fitrah. Allah SWT menjelaskan secara rinci tentang orang-orang yang berhak menerima zakat dalam salah satu firman-Nya:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya, “Sungguh zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah maha mengetahui, maha bijaksana,” (Surat At-Taubah ayat 60).

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat teringkas dalam delapan golongan. Delapan golongan yang disebutkan dalam ayat di atas dipilih sebagai penerima zakat secara umum, baik itu zakat fitrah maupun zakat mal (harta).

Hal yang patut dipertanyakan tentang golongan yang berhak menerima zakat ini, apakah mencakup terhadap keluarga dari orang yang membayar zakat (muzakki) sehingga boleh bagi mereka untuk menerima zakat dengan wujudnya salah satu dari delapan sifat di atas, atau tidak mencakup terhadap keluarga dari orang yang membayar zakat?

Para ulama’ syafi’iyah memberikan perincian hukum tentang keluarga yang boleh diberikan zakat dan keluarga yang tidak boleh menerima zakat.
Jika yang dimaksud keluarga dari pihak muzakki (orang yang membayar zakat) adalah orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki, maka tidak boleh baginya untuk memberikan zakat kepada mereka.
Hal ini misalnya memberikan zakat kepada orang tua dan anak yang wajib dinafkahi oleh muzakki, misalnya karena anaknya masih kecil dan tidak mampu untuk bekerja, orang tua sudah tua dan tidak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya.
Maka dalam keadaan demikian tidak boleh memberikan zakat kepada mereka.

Alasan pelarangan pemberian zakat kepada keluarga yang wajib dinafkahi oleh muzakki, dikarenakan dua hal.
Pertama, mereka sudah tercukupi dengan nafkah dari muzakki.
Kedua, dengan memberikan zakat pada orang tua atau anaknya, maka akan memberikan kemanfaatan pada muzakki, yakni tercegahnya kewajiban nafkah pada orang tua atau anaknya, karena sudah tercukupi oleh harta zakat, seandainya hal demikian diperbolehkan.
Namun patut dipahami bahwa larangan memberikan zakat kepada keluarga yang wajib dinafkahi, hanya ketika mereka termasuk dari golongan fakir, miskin atau mualaf.
Jika mereka termasuk dari selain tiga golongan tersebut, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk menerima zakat.

Penjelasan tentang ketentuan ini seperti yang tercantum dalam Kitab Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab berikut:

قوله (ولا يجوز دفعها الي من تلزمه نفقته من الاقارب والزوجات من سهم الفقراء لان ذلك انما جعل للحاجة ولا حاجة بهم مع وجوب النفقة) قال أصحابنا لا يجوز للإنسان أن يدفع إلى ولده ولا والده الذي يلزمه نفقته من سهم الفقراء والمساكين لعلتين (احداهما) أنه غني بنفقته (والثانية) أنه بالدفع إليه يجلب إلى نفسه نفعا وهو منع وجوب النفقة عليه

Artinya, “Tidak boleh memberikan zakat kepada orang yang wajib untuk menafkahinya dari golongan kerabat dan para istri atas dasar bagian orang-orang fakir. Sebab bagian tersebut hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan, dan tidak ada kebutuhan bagi para kerabat yang telah wajib dinafkahi. Para ashab berkata, ‘Tidak boleh bagi seseorang untuk memberikan zakat pada anaknya dan juga tidak pada orang tuanya yang wajib untuk dinafkahi, dari bagian orang fakir miskin karena dua alasan.
Pertama, dia tercukupi dengan nafkah. Kedua, dengan memberikan zakat pada orang tua atau anak akan menarik kemanfaatan pada muzakki, yakni tercegahnya kewajiban nafkah pada orang tua atau anaknya.’”

قال أصحابنا ويجوز أن يدفع إلى ولده ووالده من سهم العاملين والمكاتبين والغارمين والغزاة إذا كانا بهذه الصفة  ولا يجوز أن يدفع إليه من سهم المؤلفة ان كان ممن يلزمه نفقته لأن نفعه يعود إليه وهو إسقاط النفقة فإن كان ممن لا يلزمه نفقته جاز دفعه إليه

Artinya, “Para Ashab berkata, ‘Boleh membagikan zakat kepada anak dan orang tua dari bagian ‘Amil, Mukatab, Orang yang punya hutang, Orang yang berperang ketika memiliki sifat-sifat tersebut. Tidak boleh membagikan zakat dari golongan orang-orang muallaf, jika termasuk orang yang wajib menafkahinya. Sebab terdapat kemanfaatan yang kembali pada pihak yang membayar zakat, yakni gugurnya nafkah. Jika orang tua atau anak termasuk orang yang tidak wajib menafkahinya maka boleh untuk memberikan zakat kepadanya,’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab, juz VI, halaman 229).

Sedangkan ketika keluarga yang akan diberi zakat adalah keluarga yang tidak wajib dinafkahi oleh muzakki, seperti saudara kandung, paman, bibi, anak atau orang tua yang sudah tidak wajib dinafkahi dan para kerabat yang lain, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk menerima zakat dari muzakki, meski statusnya masih keluarga. Kebolehan memberikan zakat kepada mereka tentunya ketika mereka termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam referensi berikut:

وإذا كان للمالك الذي وجبت في ماله الزكاة أقارب لا تجب عليه نفقتهم ، كالأخوة والأخوات والأعمام والعمات والأخوال والخالات وأبنائهم وغيرهم، وكانوا فقراء أو مساكين، أو غيرهم من أصناف المستحقين للزكاة، جاز صرف الزكاة إليهم، وكانوا هم أولى من غيرهم

Artinya, “Jika pemilik harta yang wajib zakat memiliki kerabat yang tidak wajib baginya untuk menafkahi mereka, seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dari jalur ayah, bibi dari jalur ayah, paman dari jalur ibu, bibi dari jalur ibu, anak-anak mereka dan kerabat lainnya, keadaan kerabat tersebut fakir atau miskin, atau memiliki sifat lain dari golongan orang-orang yang wajib zakat, maka boleh membagikan zakat kepada mereka, bahkan para kerabat ini lebih berhak dari orang lain,” (Lihat Syekh Mushtafa Said Al-Khin dan Syekh Mushtafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘alal Madzhabil Imamis Syafi’i, juz II, halaman 42).

Bahkan dalam referensi yang sama dijelaskan bahwa dianjurkan bagi seorang istri untuk memberikan zakat kepada suami atau anaknya yang berstatus fakir. Hal ini dikarenakan tidak wajib bagi sang istri untuk menafkahi suaminya, begitu juga anaknya, maka ia boleh memberikan zakat kepada suami dan anaknya. Berikut penjelasan tentang hal ini:

يسن للزوجة إذا كانت غنية، ووجبت في مالها الزكاة، أن تعطي زكاة مالها لزوجها إن كان فقيرا، وكذلك يستحب لها أن تنفقها على أولادها إن كانوا كذلك، لأن نفقة الزوج والأولاد غير واجبة على الأم والزوجة.

Artinya, “Disunnahkan bagi istri yang kaya dan wajib zakat dari hartanya, untuk memberikan zakat tersebut kepada suaminya yang fakir. Begitu juga disunnahkan bagi istri tersebut untuk memberikan zakat pada anak-anaknya, jika anaknya dalam keadaan fakir, sebab menafkahi suami dan anak tidak wajib bagi istri dan ibu,” (Lihat Syekh Mushtafa Said Al-Khin dan Syekh Mushtafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘alal Madzhabil Imamis Syafi’i, juz II, halaman 42).

Bahkan memberikan zakat kepada keluarga yang tidak wajib dinafkahi, tergolong sebagai hal yang disunnahkan. Sebab seorang muzakki dengan melakukan hal tersebut akan mendapatkan dua pahala, yakni pahala membayar zakat dan pahala menyambung tali persaudaraan. Dalam hadits dijelaskan:

إنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ وَهِيَ عَلَى ذِيْ الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Artinya, “Shadaqah pada orang miskin mendapatkan (pahala) shadaqah, Shadaqah kepada saudara mendapatkan dua pahala, yakni (pahala) shadaqah dan (pahala) menyambung tali persaudaraan,” (HR An-Nasa’i).

Wal hasil, memberikan zakat kepada keluarga adalah hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan, ketika mereka bukan termasuk orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki.
Sedangkan ketika mereka adalah orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki, yaitu istri, anak, dan orang tua, maka mereka dilarang untuk menerima zakat, jika memang pemberian zakat ini atas nama sifat fakir, miskin dan mualaf.
Adapun ketika mereka termasuk selain dari tiga golongan tersebut, maka mereka tetap boleh untuk diberi zakat.

Wallahu a’lam. 

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/107046/bolehkah-zakat-fitrah-diberikan-kepada-keluarga

Selasa, 21 Januari 2020

Hadits Tentang Syafaat Rasul


حدثنا محمد بن مقاتل: أخبرنا عبد الله: أخبرنا أبو حيان التيمي، عن أبي زرعة بن عمرو بن جرير، عن أبي هريرة رضي الله عنه قال:
أتي رسول الله صلى الله عليه وسلم بلحم، فرفع إليه الذراع، وكانت تعجبه، فنهس منها نهسة ثم قال: (أنا سيد الناس يوم القيامة، وهل تدرون مم ذلك؟ يجمع الله الناس الأولين والآخرين في صعيد واحد، يسمعهم الداعي وينفذهم البصر، وتدنو الشمس، فيبلغ الناس من الغم والكرب ما لا يطيقون ولا يحتملون، فيقول الناس: ألا ترون ما قد بلغكم، ألا تنظرون من يشفع لكم إلى ربكم؟ فيقول بعض الناس لبعض: عليكم بآدم، فيأتون آدم عليه السلام فيقولون له: أنت أبو البشر، خلقك الله بيده، ونفخ فيك من روحه، وأمر الملائكة فسجدوا لك، اشفع لنا إلى ربك، ألا ترى إلى ما نحن فيه، ألا ترى إلى ما قد بلغنا؟ فيقول آدم: إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله، ولن يغضب بعده مثله، وإنه نهاني عن الشجرة فعصيته، نفسي نفسي نفسي، اذهبوا إلى غيري، اذهبوا إلى نوح فيأتون نوحا فيقولون: يا نوح، إنك أنت أول الرسل إلى أهل الأرض، وقد سماك الله عبدا شكورا، اشفع لنا إلى ربك، ألا ترى إلى ما نحن فيه؟ فيقول: إن ربي عز وجل قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله، ولن يغضب بعده مثله، وإنه قد كانت لي دعوة دعوتها على قومي، نفسي نفسي نفسي، اذهبوا إلى غيري، اذهبوا إلى إبراهيم فيأتون إبراهيم فيقولون: يا إبراهيم، أنت نبي الله وخليله من أهل الأرض، اشفع لنا إلى ربك، ألا ترى إلى ما نحن فيه؟ فيقول لهم: إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله، ولن يغضب بعده مثله، وإني قد كنت كذبت ثلاث كذبات – فذكرهن أبو حيان في الحديث – نفسي نفسي نفسي، اذهبوا إلى غيري، اذهبوا إلى موسى فيأتون موسى فيقولون: يا موسى، أنت رسول الله، فضلك الله برسالته وبكلامه على الناس، اشفع لنا إلى ربك، ألا ترى إلى ما نحن فيه؟ فيقول: إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله، ولن يغضب بعده مثله، وإني قد قتلت نفسا لم أومر بقتلها، نفسي نفسي نفسي، اذهبوا إلى غيري، اذهبوا إلى عيسى فيأتون عيسى فيقولون: يا عيسى، أنت رسول الله، وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه، وكلمت الناس في المهد صبيا، اشفع لنا، ألا ترى إلى ما نحن فيه؟ فيقول عيسى: إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله قط، ولن يغضب بعده مثله – ولم يذكر ذنبا – نفسي نفسي نفسي، اذهبوا إلى غيري، اذهبوا إلى محمد صلى الله عليه وسلم فيأتون محمدا صلى الله عليه وسلم فيقولون: يا محمد أنت رسول الله، وخاتم الأنبياء، وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر، اشفع لنا إلى ربك، ألا ترى إلى ما نحن فيه؟ فأنطلق فآتي تحت العرش، فأقع ساجدا لربي عز وجل، ثم يفتح الله علي من محامده وحسن الثناء عليه شيئا لم يفتحه على أحد قبلي، ثم يقال: يا محمد ارفع رأسك، سل تعطه، واشفع تشفع، فأرفع رأسي فأقول: أمتي يا رب، أمتي يا رب، فيقال: يا محمد أدخل من أمتك من لا حساب عليهم من الباب الأيمن من أبواب الجنة، وهم شركاء الناس فيما سوى ذلك من الأبواب، ثم قال: والذي نفسي بيده، إن ما بين المصراعين من مصاريع الجنة كما بين مكة وحمير، أو: كما بين مكة وبصرى)[1] [3162]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah, telah dibawakan daging. Beliau lalu membentangkan tangannya. Beliau menyukai daging tersebut, kemudian Beliau menggigitnya. Beliau bersabda, “Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat, apakah kamu mengetahui mengapa demikian? Allah akan mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian dalam suatu lapangan. Lalu ada seseorang yang menyeru kepada mereka, dan penglihatannya dapat menembus mereka. Matahari dekat kepada mereka. Maka, manusia sampai kepada suatu kebingungan dan kesusahan yang mereka tiada mampu (mengatasinya) dan tidak kuat menaggungnya.
Manusia berkata kepada sebagian lainnya, ‘Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kamu? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kamu? Apakah kamu tidak melihat siapakah orang yang dapat mensyafaati (membela) kamu kepada Tuhanmu?’
Lalu sebagian manusia berkata kepada sebagian yang lainnya, ‘Datanglah kamu kepada Adam.’ Lalu mereka berkata kepadanya, ‘Engkau adalah Bapaknya manusia, Allah telah menjadikanmu dengan tangan-Nya. Dia meniupkan roh-Nya dan Dia menyuruh para malaikat agar sujud, dan mereka bersujud kepadamu. Syafaatilah kami kepada Tuhanmu! Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kami? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kami?’
Maka Adam berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan-ku telah membenciku pada hari ini dengan kebencian yang belum pernah dia berikan. Sesungguhnya Dia telah melarangku memakan buah suatu pohon (larangan), namun aku melanggarnya. Bagaimana aku dapat memberikan syafaat kepadamu? Pergilah kamu kepada Nuh a.s.’
Lalu mereka datang kepada Nuh dan berkata kepadanya, ‘Wahai Nuh, engkau adalah rasul yang awal di muka bumi dan Allah telah menyebutmu seorang hamba yang sangat bersyukur. Syafaatilah kami kepada Tuhan Kami, apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kami? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kami?’
Maka Nuh berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Tuhan-ku telah membenciku pada hari ini dengan kebencian yang belum pernah dia berikan. Sesungguhnya aku telah mendoakan celaka atas kaumku. Bagaimana aku dapat memberikan syafaat kepadamu? Pergilah kamu kepada Ibrahim a.s.’
Lalu mereka datang kepada Ibrahim dan berkata, ‘Wahai Ibrahim, engkau adalah nabi Allah dan kekasih-Nya dari penduduk bumi. Syafaatilah kami kepada Tuhanmu, apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kami? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kami?’
Maka Ibrahim berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Tuhanku telah membenciku pada hari ini dengan kebencian yang belum pernah Dia berikan. –Nabi Ibrahim menyebutkan dusta-dustanya—, bagaimanakah aku dapat memberikan syafaat kepadamu? Pergilah kamu kepada selainku, pergilah kamu kepada Musa a.s.’
Lalu mereka pergi kepada Musa dan berkata, ‘Wahai Musa, engkau adalah utusan Allah, Allah telah menganugerahkan kepadamu dengan risalah-Nya dan firman-Nya atas manusia. Syafaatilah kami kepada Tuhanmu, apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kami? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kami?’
Maka Musa berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Tuhanku telah membenciku pada hari ini dengan kebencian yang belum pernah Dia berikan sebelumnya. Sesungguhnya aku telah membunuh seorang (manusia), padahal aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Bagaimana aku dapat memberikan syafaat kepadamu? Pergilah kepada Isa a.s.’
Lalu mereka datang kepada Isa a.s. dan berkata, ‘Wahai Isa, sesungguhnya engkau adalah utusan Allah dan kalimat yang Dia letakkan kepada Maryam, dan kamu berbicara dengan manusia pada waktu dalam buaian. Syafaatilah kami kepada Tuhanmu, apakah kamu tidak melihat apa-apa yang ada pada kami? Apakah kamu tidak melihat apa-apa yang telah sampai kepada kami?’
Maka Isa berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Tuhanku telah membenciku pada hari ini dengan kebencian yang belum pernah Dia berikan sebelumnya. –Namun dia tidak menyebutkan dosanya—. Bagaimana aku dapat memberikan syafaat kepadamu? Pergilah kamu kepada Muhammad saw.’
Maka mereka datang kepada Nabi Muhammad saw. dan berkata, ‘Wahai Muhammad engkau adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Sesungguhnya Allah telah mengampuni bagi Tuan (dosa) yang terdahulu dan yang kemudian. Syafaatilah kami kepada Tuhanmu. Apakah Tuan tidak melihat apa-apa yang ada pada kami?’
Maka Nabi Muhammad pergi, lalu datang di bawah arasy. Beliau bersujud kepada Tuhannya. Kemudian Allah membukakan dan memberitahukan kepada Beliau, yaitu pujian-pujian kepada-Nya dan (ucapan) tanda terima kasih yang baik kepada-Nya. Dia tidak membukakannya bagi seorang pun selain Beliau.
Kemudian Allah berfirman, ‘Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu dan mohonkanlah (kepada-Ku), niscaya kamu akan Kuberi, dan mohonlah syafaat (kepada-Ku), niscaya kamu (diizinkan) memberi syafaat.’
Maka Nabi Muhammad mengangkat kepalanya, lalu berkata, ‘Ya Tuhanku, selamatkanlah umatku. Selamatkanlah umatku.’ Lalu dikatakan kepada Beliau saw., ‘Aku akan memasukkan sebagian dari umatmu ke surga, yaitu orang-orang yang tiada hisaban atasnya melalui Baabul Aiman, yaitu salah satu pintu surga. Mereka adalah sekutu-sekutu manusia lainnya mengenai pintu-pintu selain Baabul Aiman.’
Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya antara dua daun pintu dari pintu-pintu surga seperti jarak antara Mekah dan Hajr, dan seperti jarak antara Mekah dan Bashrah.”—Dalam hadits Bukhari, “

Minggu, 19 Januari 2020

Memahami Aul dan Rad contoh singkat

KALALAH, AUL DAN RAD


Kalalah

Kalalah adalah jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya (QS An-Nisa' 4:176)

Aul

Aul artinya bertambah, maksudnya bertambahnya asal masalah (kpk) dikarenakan jumlah bagian Ahlul furudh melebihi jumlah asal masalah. 

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.

Ketiga pokok masalah yang dapat di-aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

Contoh Aul:
a.Asal masalah (kpk): 12
- suami -> 1/4 x 12 = 3/12
- 2 anak pr -> 2/3 x 12 = 8/12
- ibu -> 1/6 x 12 = 2/12
Jumlah 3+8+2 = 13/12 

Disebabkan jumlah bagian melebihi kpk, maka kpk dijadikan 13.
- Suami 3/12 dirubah menjadi 3/13 x 52.000=6000;-
- Dua anak pr 8/12 dirubah menjadi 8/13x52.000=6000;-
- Ibu 2/12 dirubah menjadi 2/13x52.000=4000;-

b. Asal masalah (kpk): 6
- suami -> 1/2x6=3
- ibu -> 1/6x6=1
- 2 sdr pr sekandung -> 2/3x6=4
Jumlah (3+1+4=8)8.

kpk 6 dijadikan 8
-Suami 3/6 dirubah menjadi 3/8x240.000=90.000;-
-Ibu 1/6 dirubah menjadi 1/8x240.000=30.000;-
-dua sdr pr sekandung 4/6 dirubah menjadi 4/8x240.000=120.000;-

Rad

Rad adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.

Dengan kata lain, Apabila ada kelebihan harta warisan padahal semua ahli waris sudah mendapat bagian, maka kelebihan itu dikembalikan (radd) pada ahli waris yang ada; masing-masing menurut kadar bagiannya kecuali suami atau istri yang tidak mendapatkan bagian dari radd ini. Kelebihan harta hanya dikembalikan pada ahli waris lain selain suami atau istri. 

Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.

Syarat Terjadinya Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat yaitu (a) adanya ashhabul furudh; (b) tidak adanya 'ashabah; (c) ada sisa harta waris.

Penerima Bagian Pasti yang Bisa Mendapatkan Radd 

Penerima bagian pasti yang dapat menerima Radd ada 8 yaitu: anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, bu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, saudara laki-laki seibu

Keadaan Terjadinya Masalah Radd ada 4 (Empat) 

a. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri

Cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Contoh, (i) seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan. (ii) seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan

b. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri

Cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu.

c. adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri

Menjadikan pokok masalahnya dari penerima bagian pasti yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala. Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan.

d. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Contoh, Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu.

Contoh riil masalah Radd dan Solusinya

(a) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah anak perempuan dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta. 

Cara Penyelesaian:

Bagian anak perempuan 1/2 (setengah) sedangkan ibu 1/6 (seperenam). Asal masalah adalah 6 (enam).

Anak Perempuan = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah = 4

Asal masalah adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka solusi dengan radd, asal masalahnya dikembalikan kepada 4. Caranya sebagai berikut:

Anak perempuan = 3/4 x 40 Juta = Rp. 30.000 (tigapuluh juta)
Ibu = 1/4 x 40 Juta = Rp. 10.000 (sepuluh juta)

(b) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah istri, 2 orang saudara seibu dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta.
Bagian istri 1/4, 2 orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.

Istri = 1/4 x 12 = 3 
2 saudara = 1/3 x 12 = 4
Ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah = 9

Karena ada istri sedangkan istri tidak mendapakatkan bagian radd, maka sebelum sisa warisan dibagikan, hak untuk istri diberikan lebih dahulu dengan menggunakan asal masalah sebagai pembagi. Caranya sebagai berikut:

Bagian untuk istri = 3/12 x Rp. 40 Juta = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta).

Sisa warisan setelah diberikan pada istri adalah Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta) dibagi untuk 2 orang saudara laki-laki seibu dan ibu. Cara membaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris yaitu 4+2=6. Maka bagian masing-masing adalah :

2 Saudara = 4/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 20.000.000 (dua puluh juta)
Ibu = 2/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta)
Jumlah = Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta)

Maka perolehan masing-masing ahli waris adalah :
Istri = Rp. 10.000.000
2 sdr = Rp. 20.000.000
Ibu = Rp. 10.000.000
Jumlah = Rp. 40.000.000 (empat puluh juta)

Semua ashabul furudh dapat memperoleh bagian radd kecuali suami/istri.


Al-Aul dan Ar-Raad

Al-'Aul dan Ar-Raad

Definisi al-’Aul

Al-’aul adalah bertambahnya pembagi (jumlah bagian fardh) sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan banyaknya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya telah melebihi nilai 1, sehingga di antara ashhabul furudh tersebut ada yang belum menerima bagian yang semestinya. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi berkurang.

Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat 1/2 dapat berubah menjadi 1/3 dalam keadaan tertentu, seperti bila pembaginya dinaikkan, dari 6 menjadi 9. Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (1/2) hanya memperoleh 3/9 (1/3). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pembaginya naik atau bertambah.

Latar Belakang Terjadinya ‘Aul

Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus ‘aul tidak pernah terjadi. Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata, "Orang yang pertama kali menambahkan pembagi (yakni ‘aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."

Riwayat kejadiannya adalah: Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Dengan demikian, berarti pembilangnya melebihi pembaginya, karena 1/2 + 2/3 = 7/6. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara perempuan sekandung, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.

Menghadapi hal demikian Umar pun berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah bagian suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin Tsabit mengusulkan kepada Umar agar menggunakan metode ‘aul. Umar menerima anjuran tersebut dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati sebagian besar sahabat Nabi saw., kecuali Ibnu ‘Abbas yang tidak menyetujui adanya ‘aul ini.

Pembagi yang Tidak Dapat Di-’aul-kan

Pembagi yang tidak dapat di-’aul-kan ada empat, yaitu 2, 3, 4, dan 8.

Contoh – Pembagi 2

Seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian suami 1/2, dan bagian saudara perempuan sekandung 1/2. Dalam hal ini, pembaginya adalah 2. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

Contoh – Pembagi 3

Seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: Ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pembaginya adalah 3. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

Contoh – Pembagi 4

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian istri 1/4, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara laki-laki sekandung dengan saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dalam hal ini pembaginya adalah 4. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

Contoh – Pembagi 8

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 8, bagian istri 1/8 berarti satu bagian, anak 1/2 berarti empat bagian, sedangkan saudara perempuan sekandung menerima sisanya, yakni 3/8. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.

Kesimpulan

Ketika diketahui jumlah seluruh bagian ahli waris, dimana nilai pembaginya lebih besar atau sama dengan pembilangnya, maka disana tidak perlu menggunakan metode ‘aul.


Metode ‘aul digunakan jika nilai pembaginya lebih kecil dari pembilangnya.

Pembagi yang Dapat Di-’aul-kan

Angka-angka pembagi yang dapat di-’aul-kan ialah angka 6, 12, dan 24. Namun, ketiga pembagi itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri.

Pembagi 6 hanya dapat di-’aul-kan/dinaikkan menjadi 7, 8, 9, atau 10. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pembagi 6 hanya dapat dinaikkan hingga empat kali saja.

Kemudian pembagi 12 hanya dapat dinaikkan menjadi 13, 15, atau 17. Lebih dari itu tidak bisa. Maka pembagi 12 hanya dapat di-’aul-kan maksimum tiga kali saja.

Sedangkan pembagi 24 hanya dapat di-’aul-kan ke angka 27 saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah". Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 7

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti tiga, bagian saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 7/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 7.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 8

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu bagian, saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 8/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 8.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 9

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara perempuan sekandung, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pembaginya 6. Bagian suami 1/2 berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3 berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu 1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 9/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 9.

Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 10

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya enam. Bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu, bagian dua orang saudara seayah 2/3 berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu 1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 10/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 10.

Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 13

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, bagian ibu 1/6 berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan sekandung 2/3 berarti delapan bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 13/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 13.

Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 15

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara perempuan sekandung, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, ibu mendapat 1/6 berarti dua bagian, saudara perempuan sekandung memperoleh 1/2 berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah 1/6, sebagai penyempurna dua pertiga, yang berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga 1/6 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 15/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 15.

Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 17

Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya 12. Bagian ketiga orang istri adalah 1/4 berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah 1/6 yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah 2/3 nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu 1/3 yang berarti empat bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 17/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 17.

Contoh – Pembagi 24 di ‘Aulkan ke 27

Masalah ini dikenal dengan sebutan al-mimbariyyah. Kasusnya adalah: Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pembaginya 24. Ayah mendapat 1/6 berarti empat bagian, ibu memperoleh 1/6 berarti empat bagian, istri mendapat 1/8 berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat 1/2 berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat 1/6, sebagai penyempurna 2/3, yang berarti empat bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 27/24. Oleh karena itu, pembagi 24 dinaikkan menjadi 27.

Kesimpulan

Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian 1/2 dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian 1/2, maka pembaginya dari 2, dan tidak dapat di-’aul-kan.


Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lainnya 2/3, maka pembaginya dari 3, dan tidak ada ‘aul.


Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/4 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat 1/4 dan yang lain berhak mendapat 1/2, maka pembaginya dari 4, dan dalam hal ini tidak ada ‘aul.


Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/8 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pembaginya dari delapan, dan tidak ada ‘aul.

Definisi ar-Radd

Ar-radd adalah berkurangnya pembagi (jumlah bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan sedikitnya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum mencapai nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih tersisa, sementara tidak ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima sisa harta waris. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menurunkan atau mengurangi pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ar-radd adalah kebalikan dari al-’aul.

Syarat-syarat Terjadinya ar-Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:

Adanya ashhabul furudh


Tidak adanya ashabah


Adanya sisa harta waris


Bila dalam pembagian harta waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.

Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd

Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang, yakni:

Anak perempuan


Cucu perempuan keturunan anak laki-laki


Saudara perempuan sekandung


Saudara perempuan seayah


Ibu kandung


Nenek sahih (ibu dari bapak)


Saudara perempuan seibu


Saudara laki-laki seibu


Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya, maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ashabah.

Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd

Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

Macam-macam ar-Radd

Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam Ar-radd tersebut adalah:

Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, tanpa adanya suami atau istri.


Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, tanpa adanya suami atau istri.


Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, dan dengan adanya suami atau istri


Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Hukum Keadaan Pertama

Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari ashhabul furudh dengan bagian yang sama, misalnya, semuanya hanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya, dimana dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris (total orangnya).

Contoh 1

Seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/3 bagian. Pembaginya adalah tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka yang sesuai fardh adalah 2/3 dibagi secara rata, dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris yang mendapatkan bagian yang sama.

Contoh 2

Seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara perempuan sekandung, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/10 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh, yakni 2/3 dibagi secara rata. Maka pembaginya adalah 10, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya adalah 10.

Contoh 3

Seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka masing-masing dari mereka mendapat 1/2 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh, yakni nenek 1/6 dan saudara perempuan seibu 1/6. Maka pembaginya adalah dua, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya hanya dua.

Hukum Keadaan Kedua

Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ashhabul furudh yang beragam, dimana di sana tidak ada salah satu dari suami atau istri, maka nilai pembagi diambil dari nilai pembilangnya, bukan dihitung dari jumlah ahli waris (per kepala).

Contoh 1

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu 1/6, untuk kedua saudara laki-laki seibu 1/3. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:


Perhatikan nilai 3/6 diatas, ia kurang dari satu. Maka pembagi diturunkan dari 6 menjadi 3. Maka bagian ibu adalah 1/3 dan dua orang saudara laki-laki seibu 2/3.

Contoh 2

Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya, bagi seorang anak perempuan 1/2, untuk seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:


Maka pembaginya dari 4, karena jumlah pembilangnya adalah 4. Dengan demikian bagian seorang anak perempuan adalah 3/4 dan seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/4.

Hukum keadaan Ketiga

Apabila para ahli waris semuanya dari ashhabul furudh yang mempunyai bagian yang sama, disertai salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pembaginya ashhabul furudh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.

Contoh 1

Seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:

-         Suami: 2/8

-         Anak perempuan masing-masing mendapatkan: 3/8

Contoh 2

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada dua orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara perempuan seibu secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini tidak memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:

-         Istri: 1/4

-         Saudara seibu masing-masing mendapatkan: 1/3

Contoh 3

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Maka istri mendapatkan 1/8 bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya 7/8 merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:

-         Istri: 5/40

-         Anak perempuan masing-masing mendapatkan: 7/40

Hukum keadaan Keempat

Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang bagiannya berbeda-beda, dan di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah suami atau istri, kemudian sisanya diberikan kepada ashhabul furudh lainnya menurut bagiannya masing-masing.

Contoh 1

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada nenek dan dua orang saudara perempuan seibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:

Nenek + Saudara Perempuan Seibu:

Pembagi diatas di radd kan dari 6 menjadi 3, sehingga bagian nenek adalah 1/3 dan dua orang saudara perempuan seibu 2/3. Pembagian akhir:

-         Nenek = 1/3 x 3/4 = 3/12. Nilai 3/4 ini diambil dari sisa bagian setelah diberikan kepada istri.

-         Dua orang saudara perempuan seibu = 2/3 x 3/4 = 6/12, sehingga masing-masing saudara perempuan seibu mendapatkan 3/12.

-         Istri = 1/4 x 3/3 = 3/12. Nilai 3/3 ini diambil dari pembagi yang baru yang telah di radd kan.

Contoh 2

Seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu. Bagian istri adalah 1/8, dan sisanya 7/8 diberikan kepada dua orang anak perempuan dan ibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:

Anak Perempuan + Ibu:

Pembagi diatas di radd kan dari 6 menjadi 4, sehingga bagian dua orang anak perempuan adalah 3/4 dan ibu 1/4. Bagian 2 orang anak perempuan adalah 3/4, karena itu harus ditashih, sehingga bagiannya menjadi 3/4 x 2/2 = 6/8. Dengan demikian bagian ibu pun menjadi 1/4 x 2/2 = 2/8. Bagian istri menjadi 1/8 x 2/2 = 2/16. Pembagian akhir:

-         Dua orang anak perempuan = 6/8 x 7/8 = 42/64, sehingga masing-masing anak perempuan mendapatkan 21/64.

-         Ibu = 2/8 x 7/8 = 14/64.

-         Istri = 2/16 x 4/4 = 8/64.