Sabtu, 09 November 2024

Muraqabah 20

MURAQABAH 20

Dalam kitab Fathul Arifin Pendiri Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah Syekh Ahmad Khatib Syambas ibnu Abdul Ghaffar Ra.  mengatakan bahwa muraqabah itu ada 20, yaitu

1. Muraqabah Ahadiyah

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi dalam Zat, Sifat dan Af’al-Nya, serta mengingat Sifat 20 yang wajib bagi Allah beserta sifat Muhal bagi-Nya. Adapun kegunaan dari muraqabah ini adalah berharap akan memperoleh anugerah keutamaan Allah dari arah yang enam (atas, bawah, depan, belakang, kanan dan kiri) dari sifat Jaiz Allah Swt. Dalil dari Muraqabah Ahadiyah adalah,

قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ

“Katakanlah sesungguhnya Allah itu adalah Zat yang Maha Esa”. (Qs. Al Ikhlas [112]: 1)

2. Muraqabah Ma’iyyah

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi akan besertanya Allah Swt. di dalam setiap bagian-bagian dalam diri kita yang bersifat maknawi (tidak bias dilihat adanya beserta Allah Swt. dalam diri kita). Kegunaan dari Muraqabah Ma’iyyah adalah berharap akan memperoleh anugerah keutamaan Allah dari arah yang enam (atas, bawah, depan, belakang, kanan dan kiri) dari sifat Jaiz Allah Swt. Adapun dalilnya adalah,


وَهُوَمَعَكُمْ اَيْنَماَ كُنْتُمْ

“Allah secara maknawi itu bersama, dimanapun kalian berada.” (Qs. Al-Hadid [57]: 4)

3. Muraqabah Aqrabiyyah

Yaitu, mengawasi sesungguhnya Allah Swt. itu lebih dekat kepada kita dibandingkan pendengaran kuping kita, penglihatan mata kita, penciuman hidung kita, perasa lidah kita, dan pikiran hati kita. Dalam arti Allah itu lebih dekat dibandingkan dengan seluruh anggota tubuh kita yang bersifat maknawi. Kita memikirkan semua makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt, seperti manusia dan hewan yang berada di atas bumi, yang terbang di awang-awang, semua makhluk yang berada didalam laut. Mengingat alam yang berada di atas, seperti langit lapis tujuh beserta isi-isinya (bulan, matahari, bintang, mega, dan lain-lain), alam yang berada di bawah, seperti bumi yang lapis tujuh beserta isi-isinya (lautan, gunung, pepohonan, daun-daunan, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam, dan lain-lain). Dalilnya adalah,

وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

“Aku (Allah) itu lebih dekat terhadap hamba-hamba-Ku dibandingkan dengan urat leher manusia.” (Qs. Qaaf [50]:16)

Kegunaan dari Muraqabah Aqrabiyyah adalah mengharapkan anugerah Allah kepada halus-halusnya otak yang berhubungan dengan lathaif yang lima yang berada di dalam dada yang dinamakan ‘Alam al-Amri. ‘Alam al-Amri adalah lokasi ijazahnya guru kepada murid. Adapun lafazijazahnya adalah:

اَلْبَسْتُكَ خِـرْقَةَ الْفَقِـيْرِيَّةِ الصُّوْفِـيَّةِ وَاَجَزْتُكَ

اِجاَزَةً مُطْلَـقَةً لِلْاِرْشَادِ والْاِجَازَةِ وَجَعَلْتُكَ خَلِيْفَةً

“Aku pakaikan pakaian yang hina yang murni, dan aku ijazahkan kepadamu secara mutlak untuk dijadikan petunjuk dan ijazah dan kau kujadikan khalifah (pengganti).”

Kemudian si murid menjawab:

قَبِلْتُ وَرَضِيْتُ عَلَى ذلِكَ

“Saya menerima, ridla atas ijazahnya guru kepadaku.”

Maka murid sudah menjadi khalifah kecil. Inilah akhir dari wilayah shughra (wilayah kecil) dan permulaan wilayah kubra (wilayah besar).

4. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Ula

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi akan kecintaan Allah Swt. kepada kita makhluk-Nya yang beriman dengan menganugerahkan ridla dan pahala kepadanya, dan kecintaan kita sebagai makhluk-Nya yang beriman kepada Allah dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah mendekatkan diri kepada-Nya di dalam maqam yang pertama, serta mengingat asmaul husna yang berjumlah 99, mengingat kepada keabadian Allah yang tidak berujung.

Kegunaan Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Ula adalah mengharapkan anugerah Allah kepada lathaif nafs (halusnya otak yang terletak di tengah-tengahnya kedua belah mata dan kedua belah alis).

5. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Tsaniyyah

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi akan kecintaan Allah Swt. kepada kita makhluk-Nya yang beriman dengan menganugerahkan ridla dan pahala kepadanya, dan kecintaan kita sebagai makhluk-Nya yang beriman kepada Allah dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah mendekatkan diri kepada-Nya di dalam maqam yang kedua, serta mengingat-ingat Sifat Allah yang ma’ani dan ma’nawiyyah.

Manfaat Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Tsaniyyah adalah berharap akan anugerah Allah kepada lathaif nafs.

6. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Qausi

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi akan kecintaan Allah Swt. kepada kita makhluk-Nya yang beriman dengan menganugerahkan ridla dan pahala kepadanya, dan kecintaan kita makhluk-Nya yang beriman kepada Allah dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah mendekatkan diri kepada-Nya di dalam maqam yang lebih dekat yang dipribahasakan dengan kadar se-bendera (isyarat kepada hal yang dekat sekali).

Kegunaan Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Tsaniyyah adalah berharap akan anugerah Allah kepada lathaif nafs. Dalilnya ketiga muraqabah diatas adalah,

يُحِبُّنَهُمْ وَيُحِبُّوْ نَهُ

“Allah mencintai orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan mereka juga mencinta Allah Swt.” (Qs. Al Maidah [5]:54)

7. Muraqabah Wilayah al-‘Ulya

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang menjadikan wilayah Malaikat as. Dalilnya,

هُوَالْأَوَّلُ وَالْأَخِـرُوَالظَّـاهِرُوَالْبَاطِنُ

“Allah itu Zat Yang terdahulu tanpa awal, Zat Yang Akhir tanpa ada ujungnya, Zat yang zahir pekerjaannya, dan Zat yang bersifat maknawi.” (Qs. Al Hadid [52]: 3)

Firman Allah SWT,

اِنَّ الَّذِيْنَ عِنْدَ رَبِّكَ لاَيَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُوْنَهُ وَلَهُ يَسْجُدُوْنَ

“Sesungguhnya Semua Malaikat yang ada disamping Tuhanmu itu tidak mau menyombongkan diri dari beribadah kepada Tuhanmu. Mereka membaca tasbih dan sujud kepada Allah.” (Qs. Al A’raf [7]:206 )

Oleh sebab itu hendaklah kalian meniru sifat-sifat Malaikat di dalam memakai pakaian taqwa atau sifat Malakatnya, sifat mahmudah munjiyat, dan meninggalkan sifat syaithaniyah, nafsiyyah, bahimah-hayawaniyyah dan sifat mazmumat muhlikat.

Manfaat Muraqabah Wilayah al-Ulya adalah unsur tiga yang ada pada manusia yaitu air, api dan angin.

8. Muraqabah Kamalat al-Nubbuwwah

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang menjadikan kesempurnaan sifat kenabian. Dalilnya,

وَلَقَدْفَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّيْنَ عَلَى بَعْضٍ

“Sungguh Aku (Allah) lebih mengutamakan para Nabi mengalahkan kepada sebagian yang lainnya.” (Qs. Al Isra’ [17]: 55)

Manfaat Muraqabah Kamalat al-Nubbuwwah adalah unsur tanah pada manusia.

9. Muraqabah Kamalat al-Risalah

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang menjadikan kesempurnaan sifat para Rasul. Dalilnya,

وَمَااَرْسَلْناكَ اِلاَّرَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

“Aku (Allah) tidak mengutus kepada Mu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.” (Qs. Al Anbiya’ [12]: 107)

Dan firman Allah SWT,

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَابَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ

“Aku (Allah) mengutamakan Para Rasul mengalahkan keutamaan yang lainnya.” (Qs. Al Baqarah [2]: 253)

Manfaat Muraqabah Kamalat al-Risalah adalah sifat Wahdaniyyah (lathaif 10 buah)

10. Muraqabah Uli al-‘Azmi

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang menjadikan Rasul dengan title ulil azmi, yaitu Nabi Muhammad saw, Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as, Nabi isa as, Nabi Nuh as. Dalilnya,

وَاصْبِرْ كَمـَاصَبَرَاُوْلُوْالْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ

“Sabarlah kalian semua seperti para Rasul yang mempunyai pangkat ulil azmi.” (Qs. Al Ahqaaf [46]: 35)

Manfaat dari Muraqabah Uli al-‘Azmi adalah sifat Wahdaniyyah (lathaif 10 buah)

11. Muraqabah al-Mahabbah fi-Daerah al-Khullah wahiya Haqiqat Ibrahim ‘alaihi al-Salam

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang menjadikan Nabi Ibrahim yang mempunyai pangkat khalilullah (kekasih Allah). Dalilnya,

وَاتَّخَذَاللهُ اِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً

“Allah telah menjadikan hakikatnya Nabi Ibrahim as sebagai kekasih.” (Qs. An Nisa’ [4]: 125)

Kegunaan dari Muraqabah al-Mahabbah fi-Daerah al-Khullah wahiya Haqiqat Ibrahim ‘alaihi al-Salam adalah sifat Wahdaniyyah ¬(lathaif 10 buah)

12. Muraqabah Daerah al-Mahabbah al-Shirfah wahiya haqiqat Musa ‘Alaihi al-Salam

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang memberikan kasih sayang kepada Nabi Musa as yang mempunyai gelar Kalimullah. Dalilnya,

وَاَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي

“Aku Telah melimpahkan kepadamu (Musa) kasih sayang yang datang dari- Ku.” (Qs. Thaaha [20]:39)

Kegunaan dari Muraqabah Daerah al-Mahabbah al-Shirfah wahiya haqiqat Musa ‘Alaihi al-Salam adalah Wahdaniyyah ¬(lathaif 10 buah)

13. Muraqabah al-Dzatiyyah al-Mumtazijah bi al-Mahabbah wahiya haqiqat al-Muhammadiyyah

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang menjadikan hakikatnya Nabi Muhammad saw. menjadi kekasih yang utama serta sifat belas asih. Dalilnya,

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلاَّ رَسُوْلٌ

“Tidaklah nabi Muhammad itu kecuali sebagai Utusan Allah.” (Qs. Ali Imran [3]: 144)

Kegunaan Muraqabah al-Dzatiyyah bi al-Murabbah wahiya haqiqat al-Muhammadiyyah adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

14. Muraqabah al-Mahbubiyyah al-Shirfah wahiya haqiqat al-Ahmadiyyah

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang menjadikan hakikatnya Nabi Ahmad yang mempunyai sifat yang belas asih dan lembut. Dalilnya,

وَمُبَشِّرًا بِرَسُوْلٍ يَأْتِى مِنْ بَعْدِىْ اِسْمُهُ  اَحْمَدُ

“Bergemberilah wahai Nabi Isa as dengan Rasul yang akan diutus di dalam akhir zaman yang bernama Nabi Ahmad saw.” (QS. Ashshaaf [61]: 6)

Kegunaan Muraqabah al-Mahbubiyyah al-Shirfah wahiya haqiqat al-Ahmadiyyah adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

15. Muraqabah al-Hubbi al-Shirfi

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang mengasihi orang-orang mukmin yang mencintai Allah, para Malaikat, para Rasul, Nabi, Ulama, dan semua saudara-saudara yang beragama satu (Islam). Dalilnya,

وَالَّذِيْن أمَنُوْااَشَدَّ حُبًّا لِلَّهِ

“Sesungguhnya orang yang beriman itu lebih besar kecintaan kepada Allah Swt.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 165)

Kegunaan Muraqabah al-Hubbi al-Shirfi adalah Sifat Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

16. Muraqabah Laa Ta’yin

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang tidak bisa dinyatakan dengan Zat-Nya dan tidak ada makhluk baik itu Malaikat muqarrabin, Para Nabi dan Rasul yang dapat menemukan Zat-Nya. Dalilnya,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Tidak ada sesuatu yang menyamai Allah. Dia adalah Zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy-Syuraa [42]: 11)

Kegunaan Muraqabah Laa ta’yin adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

17. Muraqabah Haqiqat al-Ka’bah

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang telah menjadikan Ka’bah menjadi tempat sujud para mukmin kepada Allah Swt. Dalilnya,

فَوَلِّ وَجْـهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Hadapakanlah dadamu kea rah Ka’bah yang berada di Masjidil Haram.”(Qs. Al Baqarah [2]: 144)

Kegunaan Muraqabah Haqiqat al-Ka’bah adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

18. Muraqabah Haqiqat al-Qur’an

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang menjadikan hakikatnya Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dinilai ibadah membacanya, menjadi dakwah dengan ayat yang paling pendek sekalipun. Dalilinya,

وَاِنْ كُنْتُمْ فِى رَيْبٍ مِمَّانَزَّلْنَا عَلَى عبْدِنَافَأتُوْابِصُوْرَةٍمِنْ مِثْلِهِ

“Jika kalian semua ragu terhadap Al-Qur’an yang telah kami turunkan kepada hambaKu Nabi Muhammad SAW, maka jika kalian mampu buatlah satu surat yang menyamai seperti surat ini.” (Qs. Al Baqarah [2]: 23)

Kegunaan dari muraqabah Haqiqat al-Qur’an adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

19. Muraqabah Haqiqat al-Shalat

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang telah mewajibkan kepada hamba-hambaNya untuk mengerjakan shalat wajib lima waktu, yang mengandung beberapa ucapan dan gerakan, dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan beberapa syarat, rukun, tata caranya, menjauhi beberapa hal yang bias membatalkan shalat, menjaga waktunya, disertai dengan khudu’ dan khusu’. Dalilnya,

اِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتاَباً مَوْقُوْتًا

“Sesungguhnya shalat itu wajib dilaksanakan oleh setiap orang mukmin pada waktu yang telah ditentukan.” (Qs. An Nisa’ [4]: 103)

Kegunaan muraqabah Haqiqat al-Shalat adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

20. Muraqabah Daerah al-Ma’budiyyah al-Shirfah

Yaitu, mengingat Allah Swt. dengan i’tikad yang kuat merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengawasi yang berhak untuk disembah oleh makhluk-Nya dengan tulus ikhlas karena Zat-Nya. Dalilnya,

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ والْاِنْسَانَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Tidak Aku (Allah) jadikan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah tulus ikhlas kepada Allah SWT”. (Qs. At-Thuur [52]: 56)

HADIS QUDSI TENTANG QALBU

HADIS QUDSI TENTANG QALBU

Firman Allah Ta'ala: 
 بنيت فى جوف ابن ادم قصرا وفى القصر صدرا وفى الصدر قلبا وفى القلب فؤادا وفى الفؤد شغافا وفى الشغاف لبا وفى اللب سرا وفى السر انا. 
Artinya: 
"Aku buatkan didalam rongga anak Adam satu mahligai, dan didalam mahligai itu ada DADA, dan didalam Dada itu ada HATI, dan didalam Hati itu ada FUAD, dan didalam Fuad itu ada SYAGHOFAN, dan didalam Syaghofan itu ada LUBBAN, dan dalam Lubban itu ada RAHASIA, dalam Rahasia itu ANA." (Hadis Qudsi). 

Syarah (penjelasan) :
1. SHODRON (Dada), dinamai Shodron sebabnya karena dia adalah tempat terbitnya "Nurul Islam".
Seperti firman Allah: 
افمن شرح الله صدره للاسلام فهو على نور من ربه. 
"Adakah sama barangsiapa dibukakan Allah Ta'ala Dadanya kepada agama Islam adalah dia beroleh cahaya dari pada Tuhannya. " (az-Zumar: 22).

2. QOLBAN (Jantung hati), sebabnya ialah tempat terbitnya cahaya "Iman".
Firman Allah: 
 اولئك كتب فى قلوبهم الايمان. 
 "Merekalah yg disurat Allah didalam hatinya iman. " 

3. FUADAN. Yakni tempat batin sanubari, disebabkan karena ia tempat terbitnya cahaya "Ma'rifat".
Firman Allah: 
   ما كذب الفؤاد ما راءى. 
"Tiada bohong fuadnya pada barang yg dilihatnya. " (an-Najm: 11).

4. SYAGHOFAN. Umpama embun, karena dia tempat terbitnya cahaya "Mahabbah" (cinta). 
Firman Allah: 
قد شغفها حبا. 
"Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu sangat mendalam. " (Yusuf: 30).

5. LUBBAN (Budi), sebab dia tempat terbitnya "Tauhid" atau cahaya fana' pada Allah. 
Firman Allah: 
ان فى ذلك لذكرى لاؤلى الالباب. 
"Sesungguhnya pd yg demikian itu benar2 terdapat pelajaran bagi orang berakal. " (az-Zumar: 21).

6. SIRRON. Yaitu "Rahasia", atau cahaya baqo' dengan Allah. 
Firman Allah: 
 فانه يعلم السر و اخفى. 
"Maka mengetahui rahasia dan yg lebih tersembunyi. " (Thoha: 7).

7. ANA, yakni Aku. Tempat tajalli Aku, tempat Aku taruh rahasia-Ku, tempat mengenal Aku. 
Firman Allah: 
 قل اننى انا الله لا اله الا انا. 
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tiada ada Tuhan selain Aku. " (Thoha: 14).

Firman Allah dlm Hadis Qudsi: 
الانسان سرى و انا سره. 
"Manusia itu rahasia-Ku dan Aku pun rahasianya."


Wallahua'lam...

Rabu, 23 Oktober 2024

khutbah taat kepada pemimpin

Khutbah I

اَلْحَمْدُ ِللّٰهِ اَلْحَمْدُ ِللّٰهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْإِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ اُوْصِيْكم و نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita pada Allah subhanahu wata’ala melalui upaya terus melakukan ikhtiar untuk menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Pada kesempatan ini pula mari kita senantiasa menyadari dan merenungi betapa banyak nikmat Allah subhanahu wata’ala yang telah dianugerahkan pada kita, bangsa Indonesia. Di tengah beragamnya suku, bangsa, budaya, dan agama, Indonesia senantiasa damai sehingga warganya dapat menjalankan ibadahnya dengan khusu’ tanpa ada yang menggangu.

Mari kita ungkapkan rasa syukur ini biqauli Alhamdulillâhirabbil ‘âlamîn dan senantiasa sekuat tenaga berusaha bersama-sama mempertahankan situasi kondusif, damai, dan sentosa ini. Bukan hanya saat ini saja, namun kita juga harus menanamkan kesadaran ini kepada para generasi muda untuk senantiasa menjaga Indonesia agar bisa abadi sampai akhir nanti. Dan di antara usaha untuk mewujudkan ini adalah dengan senantiasa menjadi warga negara yang baik.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Di antara ikhtiar untuk menjadi warga negara yang baik, bisa kita lakukan dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara kita. Hal ini akan menciptakan harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang damai sesuai dengan cita-cita seluruh elemen bangsa. Patuh pada hukum ini juga merupakan wujud ketaatan kita kepada para pemimpin yang memang menjadi salah satu perintah Allah.

Kita tahu, dalam sebuah negara, sudah tentu ada seseorang yang diamanahi untuk menjadi pemimpin. Posisi ini bisa diduduki oleh seseorang sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh warganya. Ada yang menggunakan sistem demokrasi, kerajaan, dan sistem-sistem lainnya. Agar tercipta kelancaran dalam memimpin serta bisa meraih tujuan bersama dalam bernegara, Allah telah mengingatkan kita semua untuk menjadi warga negara yang baik dengan menaati ulil amri atau pemimpin.

Hal ini difirmankan Allah subhanahu wata’ala dalam QS An-Nisa: 59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Dalam ayat ini, taat pada ulil amri atau pemimpin diletakkan di urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bisa kita artikan bahwa ketaatan pada pemimpin memiliki arti yang sangat penting, selama apa yang menjadi kebijakannya tidak membawa kemudaratan bagi bangsa. Hal ini sesuai dengan kaidah yang sangat populer yaitu: 

لاطاعة لمخلوق فى معصية الخالق

Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Selain taat pada pemimpin dan peraturan yang ada, warga negara yang baik adalah mereka yang senantiasa hati-hati dalam bermuamalah dan menerima informasi yang beredar. Apalagi di era digital saat ini di mana perkembangan teknologi begitu pesat, informasi mengalir deras tiap detik tanpa kenal batas waktu dan tempat. Informasi yang datang menghampiri kita ini tidak semua benar. Banyak informasi yang beredar merupakan berita bohong atau hoaks yang jika kita konsumsi dengan tidak melakukan tabayun (klarifikasi) maka bisa mengganggu stabilitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam QS Al Hujurat ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Setiap kita harus mewaspadai gerakan-gerakan yang ingin Indonesia tidak damai. Berbagai cara dilakukan oleh segelintir kelompok melalui berbagai media, khususnya media sosial, untuk menggoyahkan pola pikir masyarakat agar ikut dengan pemahaman mereka. Propaganda dilakukan secara masif dengan menghalalkan hoaks dan ujaran kebencian di media sosial untuk kepentingan mengubah ideologi bangsa.

Menggunakan bumbu agama dalam narasi-narasi yang dibangun di media sosial, kelompok ini mengusung misi mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara yang berlandaskan agama tertentu. Hal ini tentu bertentangan dengan kesepakatan para ulama dan pendiri negara ini yang telah menjadikan Indonesia sebagai darul mitsaq (negara kesepakatan) dengan Pancasila sebagai kalimatun sawa (titik temu) yang mempertemukan kebinekaan yang merupakan anugerah dari Allah untuk negeri ini.

Kita harus terus memupuk kecintaan kita pada bangsa dan tanah air sehingga kita tidak akan mudah goyah terhadap propaganda kelompok yang ingin mengoyak persatuan bangsa. Kita perlu menyadari bahwa “hubbul wathan minal iman” (nasionalisme adalah sebagian dari iman). Agama dan nasionalisme harus saling memperkuat bukan untuk dipertentangkan.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Untuk memaksimalkan wujud syukur terhadap anugerah Indonesia yang damai ini, sudah seharusnya setiap elemen masyarakat juga harus terus mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal positif. Hal ini bisa dilakukan dengan semaksimal mungkin menjalankan peran masing-masing individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang menjadi pemimpin harus amanah dan mampu mengatur yang dipimpin dengan baik. Yang dipimpin juga harus mendukung para pemimpin dan terus berkiprah sesuai dengan profesinya sehingga Indonesia akan lebih kuat.

Semua elemen bangsa harus bahu-membahu saling dan membantu untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Setiap individu tidak boleh merugikan orang lain dengan tindakan-tindakan negatif. Sebaliknya, setiap individu harus mampu memberi manfaat bagi orang lain. Rasulullah telah mengingatkan kita dengan haditsnya:

عن جابر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " الْمُؤْمِنُ آلِفٌ مَأْلُوفٌ وَلا خَيْرَ فِيمَنْ لا يَأْلَفُ وَلا يُؤْلَفُ خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Artinya: Dari Jabir, Ia berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR ath-Thabrani dan Daruquthni).

Hadits ini mengingatkan seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk berbuat baik kepada sesama manusia karena sesungguhnya tidak ada kebaikan yang bisa diambil jika kita tidak berlaku baik pada sesama manusia. Mari kita mulai dari hal-hal yang kecil seperti membantu orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita seperti tetangga yang sedang kesusahan dan lain sebagainya.

Dengan berbuat baik pada orang lain, mudah-mudahan kita juga menjadi hamba Allah yang disayangi dan juga menjadi umat Nabi yang baik. Sungguh sangat terpuji akhlak seseorang jika ia bisa menjadi sebaik-baiknya manusia di muka bumi ini dengan selalu menebarkan kebaikan.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Demikian khutbah singkat ini, semoga kita bisa menjadi warga negara yang baik dengan senantiasa berbuat baik untuk menjadikan bangsa ini lebih baik. Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kehidupan kita senantiasa dalam kebaikan dan kita mampu menjalankan ibadah dengan khusyuk dan baik. Amin

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ



Sabtu, 14 September 2024

Nama Nabi Yang Munshorif

Nama para Nabi ajam atau Arab?

Setidaknya dalam masalah ini ada 2 pendapat yang kami ketahui:

Pendapat pertama, semua nama para Nabi adalah nama ajam, kecuali Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam, Syu'aib, Shalih dan Adam 'alaihimussalam.

Disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Fununul Afnan (hal. 345-346) disandarkan sebagai pendapat dari Abu Manshur. Demikian juga ini pendapat Al Jaulaqani yang dinukil oleh As Suyuthi dalam Al Itqan fi Ulumil Qur'an (hal. 1963).

Pendapat kedua, semua nama para Nabi adalah nama ajam, kecuali Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam, Syu'aib, Shalih dan Hud 'alaihimussalam.

Ini disebutkan oleh Muhammad Ad Dimyathi dalam Al Misykah Al Fathiyyah (hal. 38), juga Muhammad bin Ahmad bin Abdil Bari dalam Kawakib Ad Durriyyah (hal. 98).

Kalau kita gabungkan dua pendapat ini, maka nama para Nabi yang mu'rab adalah:
* Muhammad (محمد) Shallallahu'alaihi Wasallam
* Syu'aib (شعيب) 'alaihissalam
* Shalih (صالح) 'alaihissalam
* Adam (أدم) 'alaihissalam
* Hud (هود) 'alaihissalam

Muhammad Ad Dimyathi dalam Al Misykah Al Fathiyyah (hal. 38) juga memberikan faedah bahwa ada 3 nama Nabi yang ajam namun munsharrif (bisa di-tashrif) :
* Luth (لوط) 'alaihissalam
* Nuh (نوح) 'alaihissalam
* Syits (شيث) 'alaihissalam

Sehingga total ada 8 nama para Nabi yang munsharrif.

Pengetahuan ini berfaedah bagi yang sudah bisa baca kitab Arab gundul, karena ada perlakuan khusus untuk isim yang ghayru munsharrif.

Tambahan:
Seperti pada gambar screenshot, Muhammad Ad Dimyathi dalam Al Misykah Al Fathiyyah (hal. 38) juga memberikan faedah menarik lagi, bahwa semua nama Malaikat itu ajam kecuali 4: Ridhwan (رضوان), Malik (مالك), Munkar (منكر), Nakir (نكير).

Semoga manfaat.

4 teladan Rasulullah SAW

Rasulullah SAW menjadi sosok teladan sepanjang masa. Keteladanan umat Islam juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak kisah yang menggambarkan tentang keteladanan Nabi Muhammad SAW.
Teladan Nabi Muhammad tergambar dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 21:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا

Arab-Latin: Laqad kāna lakum fī rasụlillāhi uswatun ḥasanatul limang kāna yarjullāha wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā

Artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."


1. Tidak Pernah Sombong
Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:

عَنْ عُمَرَ بن الخطاب - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّمَا أَنَا عَبْد، فَقُولوا: عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Dari Umar bin Khattab RA, dia berkata: "Rasulullah SAW bersabda, "Jangan goda aku (juga) karena orang-orang Nasrani menyanjung Isa bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Maka sebutlah (kamu) hamba Allah dan Rasul-Nya." (HR Bukhari)

2. Lemah Lembut
Rasulullah SAW tidak pernah membalas perbuatan buruk yang menimpanya kepada siapa pun. Bahkan meskipun disakiti, beliau tetap mendoakan orang yang menyakitinya. Hal ini dijelaskan dalam riwayat sebagai berikut:

عن أبي عبد الله الجَدَلِي قال: سألتُ عائشة -رضي الله عنها-، عن خُلُق رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقالت: «لم يكن فاحِشًا ولا مُتَفَحِّشًا ولا صَخَّابًا في الأسواق، ولا يَجْزي بالسيئةِ السيئةَ، ولكن يَعْفو ويَصْفَح».

Dari Abu Abdilah al-Jadali RA dia berkata, "Saya berkata kepada Aisyah, 'Bagaimana sikap Nabi terhadap keluarganya?' Aisyah menjawab, "Dia adalah orang yang paling terpuji. Rasulullah tidak pernah bersikap dengan buruk, kasar atau berteriak di tengah pasar. Dia tidak akan membalas kejahatan dengan kejahatan. Tapi dia memaafkan dan memaafkan hal-hal buruk yang ditujukan kepadanya secara pribadi." (HR Imam Ahmad)

3. Toleran
Rasulullah selalu bersikap toleran, dari Anas bin Malik RA, dia berkata, "Saya pernah berjalan dengan Rasulullah, yang pada waktu itu mengenakan sorban dari daerah Najran, yang tebal bahannya. Kemudian seseorang dari desa mengikutinya, penduduk badui itu menarik sorbannya begitu keras hingga aku melihat bekas luka di sisi leher Nabi karena gaya tarik-menarik. Kemudian badui itu berkata, "Wahai Muhammad, berilah aku kekayaan Allah yang kamu miliki!" Rasulullah SAW menoleh dan tertawa. Dia memerintahkan untuk memberikan kepada badui hadiah." (HR Bukhari dan Muslim)

4. Dermawan
Kisah kedermawanan Rasulullah banyak dijelaskan dalam sebuah hadis, salah satunya:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه: أن رجلًا سأل النبي صلى الله عليه وسلم غنمًا بين جبلين، فأعطاه إياه، فأتى قومه فقال: أيْ قومِ، أسلموا، فوالله إن محمدًا ليعطي عطاءً ما يخافُ الفقر،

Dari Anas bin Malik RA dia berkata, "Seorang pria mendatangi Nabi SAW dan meminta kambing yang jumlahnya sama dengan jarak antara dua gunung, maka beliau memberikan apa yang dia minta. Si pria lantas pulang ke kaumnya dan berkata, "Wahai umatku, masuklah ke agama Islam, karena Muhammad akan memberimu hadiah yang tidak akan kamu inginkan lagi khawatir jatuh miskin." (HR Muslim).

Itulah beberapa sifat keteladanan Nabi Muhammad SAW.

Senin, 19 Agustus 2024

isim ghoiru munshorif mutamakin ghoira amkan

 
Telah dijelaskan pada pelajaran dahulu “Alfiyah Bait 15. Isim Mu’rob dan Isim Mabni” bahwa Isim ada dua :

1. Isim Mabni
2. Isim Mu’rob

Isim Mabni disebut Isim Ghair Mutamakkin/Tidak Mutamakkin (tidak menduduki pangkat keisiman) dikarenakan tidak dapat menerima perubahan harkat.

Sedangkan Isim Mu’rob disebut Mutamakkin yakni menduduki pangkat keisiman dikarenakan dapat menerima perubahan tanda-tanda i’rob. Isim Mutamakkin dibagi dua :

1. Isim Mutamakkin Amkan :

yaitu Isim yg dapat dimasuki oleh Tanwin yg disebut Tanwin Tamkin atau disebut juga Tanwin Tamakkun/Tanwin Amkaniyah/Tanwin Shorf.

Definisi Tanwin Tamkin/tamakkun/amkaniyah/shorf :

Adalah Tanwin yg menunjukkan atas suatu makna “bahwa Isim yg dapat menyandang tanwin ini disebut Isim Mutamakkin Amkan”.

Penjelasan Definisi Tanwin Tamkin/tamakkun/amkaniyah/shorf :

Suatu makna, dalam difinisi tsb artinya: tidak adanya kalimah Isim serupa dengan kalimah Huruf yg menjadikan Isim Mabni, atau tidak serupa dengan kalimah Fi’il yg menjadikan Isim tidak menerima Tanwin.
Disebut Isim Mutamakkin Amkan, yakni kuatnya setatus keisimannya dikarenakan mencakupi pada dua tanda Isim “I’rob dan Tanwin”. Maka isim tersebut dinamakan “Mutamakkin” (berkedudukan) sebab menerima tanda-tanda i’rob, dan disebut “Amkan” (lebih kuat kedudukannya) sebab dapat bertanwin. dengan arti bahwa isim tersebut tidak menyerupai Fi’il yg mencegah tanwin, juga tidak menyerupai Huruf yg mencegah I’rab.

Keluar dari definisi “Menunjukkan atas suatu Makna”, adalah berupa Tanwin Muqabalah dan Tanwin ‘Iwadh.
“Tanwin Muqabalah” ada pada Jamak Mu’anntas Salim karena status tanwin ini dipasang sebagai muqabalah/perbandingan saja dari NUN pada Jamak Mudzakkar Salim. Tanwin Muqabalah ini bisa masuk pada Isim Munsharif, contoh:

هؤلاء بناتٌ فاهماتٌ
HAA’ULAAI BANAATUN FAAHIMAATUN = mereka anak-anak perempuan yg faham.

juga masuk pada isim Ghair Munsharif, contoh :

سعادات
SU’AADAATU = beberapa Su’ad (nama perempuan).

lafazh SU’AADAATU = boleh ditanwin menjadi SU’AADAATUN karena mempertimbangkan pada asal bentuknya yaitu jama’ mu’annats salim dan disebut tanwin muqabalah bukan tanwin tamkin. juga boleh tidak ditanwin dengan mempertimbangkan keadaannya yg sebagai “Isim Alam dan Mu’annats” termasuk dari dua illat isim tidak munsharif.

“Tanwin Iwadh” bisa masuk pada Isim-Isim Munsharif seperti “KULLUN” dan “BA’DHUN” juga bisa masuk pada Isim Ghair Munsharif seperti : “DAWAA’IN” dan “LAYAALIN” (akan dijelaskan pada bait-bait selanjutnya InsyaAllah).


2. Isim Mutamakkin Ghair Amkan:

Isim Mutamakkin Ghair Amkan adalah bagian Isim Mu’rob yg kedua, yakni bagian Isim yg tidak dapat dimasuki oleh Tanwin atau disebut Isim Ghair Munsharif atau Isim yg tidak dapat menerima Tanwin. Disebut Mutamakkin karena dapat menerima tanda I’rob, dan disebut Ghair Amkan karena tidak bertanwin sebab serupa dengan Fi’il.

Rabu, 14 Agustus 2024

khutbah jumat 16 agustus 2024

Khutbah I

اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى :  يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Kita semua tentu punya rumah. Tempat kita singgah dalam waktu yang lama. Tempat bernaung dan memperoleh keamanan dan kenyamanan. Di rumah kita menikmati adanya privasi, kedaulatan untuk—misalnya—beribadah secara khusyuk, belajar dengan fokus, dan sejenisnya. Rumah adalah kebutuhan pokok sekaligus hak seseorang yang tak boleh dirampas. Siapa pun tak berhak mencuri harta benda atau mengganggu rumah kita. Islam menjamin hak-hak ini sehingga si pemilik boleh membela diri. Seorang pencuri dalam Islam juga tak lepas dari sebuah sanksi.

Lebih luas dari rumah, kita menyebutnya rukun tetangga atau RT. Lebih luas lagi, ada rukun warga atau RW, kemudian kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara. Dalam bahasa Arab, untuk menyebut istilah-istilah tersebut dikenal kata dâr yang biasa diartikan rumah, tempat tinggal, negeri, atau sejenisnya. Kata lain yang juga digunakan adalah wathan yang berarti tanah air, tanah kelahiran, atau negeri.
Al-Jurjani pernah menyebut istilah al-wathan al-ashli, yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.

اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ

Artinya, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya,” (Lihat Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, At-Ta`rifat, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H, halaman 327).

Tempat tinggal merupakan keperluan alamiah (thabi’i). Seluruh manusia, bahkan juga binatang, meniscayakan kebutuhan yang satu ini. Tapi mencintainya adalah bagian dari mencintai kebutuhan primer manusiawi yang memang sangat dijunjung tinggi syariat. Tidak salah bila para ulama mengatakan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengungkapkan rasa cintanya kepada tanah kelahiran beliau, Makkah. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban.


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ

Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu” (HR Ibnu Hibban).

Setelah pengusiran tersebut, Nabi lantas hijrah ke kota Yatsrib yang di kemudian hari bernama Madinah. Di tempat tinggal yang baru ini, Rasulullah pun berharap besar bisa mencintai Madinah sebagaimana beliau mencintai Makkah.

Seperti yang terungkap dalam doa beliau yang terekam dalam Shahih Bukhari.

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah.” (HR al-Bukhari 7/161)

Jamaah shalat jum’at hadaakumullah,

Jelaslah bahwa cintah tanah air bukanlah ‘ashabiyah (fanatisme) sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kalangan. Seolah-olah cinta tanah air berarti fanatik buta kepada negeri sendiri lalu mengabaikan atau bahkan merendahkan negeri lain. Tidak demikian. ‘Ashabiyah yang menjangkiti suku-suku zaman jahiliyah adalah sesuatu yang sangat dibenci Rasulullah. Fanatisme kesukuan memicu munculnya banyak perseteruan antargolongan. Menganggap cinta tanah sebagai ‘ashabiyah sama dengan menganggap Rasulullah melakukan sesuatu yang beliau benci sendiri. Tentu pandangan ini sama sekali tidak masuk akal.

Cinta tanah air bukan soal egoisme kelompok. Cinta tanah air adalah tentang pentingnya manusia memiliki tempat tinggal yang memberinya kenyamanan dan perlindungan. Cinta tanah air juga tentang kemerdekaan dan kedaulatan. Sehingga siapa pun yang berusaha menjajah atau mengusir dari tanah tersebut, Islam mengajarkan untuk melakukan pembelaan. Ketika kondisi aman, mencintai tanah air adalah sebuah hal wajar, bahkan sangat dianjurkan.

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut juga mengindikasikan bahwa Al-Qur’an menyejajarkan antara agama dan tanah air. Al-Qur’an memberi jaminan kebebasan beragama sekaligus jaminan bertempat tinggal secara merdeka.

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Lalu apa manfaat dari cinta tanah air? Apa beda cinta tanah air dengan cinta kita terhadap jenis makanan tertentu atau cinta kita terhadap tayangan televisi tertentu? Kita mafhum bahwa kata cinta bermakna lebih dari sekadar kesukaan atau kegemaran. Cinta mengandung asosiasi mengasihi, merawat, mengembangkan, juga melindungi. Ketika Rasulullah mencintai negeri Makkah, beliau menjadi orang yang sangat peduli terhadap penindasan dan bejatnya moral masyarakat musyrik kala itu. Saat beliau mencintai Madinah, beliau juga membangun masyarakat beradab dengan sistem hukum yang adil untuk masyarakat yang majemuk di Madinah.

Dengan demikian, cinta tanah air jauh dari pengertian fanatisme kelompok. Ia hadir justru dari semangat untuk menghargai seluruh manusia yang tinggal dalam satu tanah air yang sama meski berasal dari kelompok yang berbeda-beda. Cinta tanah air menandaikan seseorang untuk hidup saling menghargai, saling menolong, dan saling melindungi. Karena tanah air adalah tempat mereka lahir, sumber makanan, tempat beribadah, dan mungkin sekali juga tempat peristirahatan terakhir bagi kita.

Semoga Allah menjadikan negeri kita dalam limpahan keberkahan, aman, damai, dan sejahtera. Warga di dalamnya dianugerahi petunjuk sehingga mampu bersatu dan bersama-sama membangun kemaslahatan untuk semua.

بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم




Kamis, 25 Juli 2024

Hukum Shalat Jumat di Instansi Sekolahan dan Perkantoran


Hukum Shalat Jumat di Instansi Sekolahan dan Perkantoran 

Pada umumnya shalat Jumat dilakukan di Masjid Jami’ atau surau yang mayoritas jamaahnya merupakan penduduk sekitar. Namun, akhir-akhir ini sering kita temukan di instansi sekolah formal, komplek perkantoran dan pabrik mendirikan shalat Jumat sendiri. Alasannya karena kegiatan sekolah yang begitu padat, efisiensi shift kerja karyawan, atau lainnya. Padahal kebanyakan siswa dan karyawan pabrik tersebut bukan berasal dari penduduk setempat. Lalu sahkah salat Jumat di instansi sekolahan dan perkantoran, mengingat syarat sahnya harus dilakukan oleh penduduk setempat (mustauthin)?   

Berkenaan dengan kasus tersebut, Syaikhul Islam Syekh Zakariya Al-Anshari (wafat 926 H) dalam karyanya menjelaskan: 

 فَلَا تَنْعَقِدُ بِالْكُفَّارِ وَالنِّسَاءِ وَالْخُنَاثَى وَغَيْرِ الْمُكَلَّفِيْنَ وَمَنْ فِيْهِمْ رِقٌّ لِنَقْصِهِمْ وَلَا بِغَيْرِ الْمُتَوَطِّنِيْنَ كَمَنْ أَقَامَ عَلَى عَزْمِ عَوْدِهِ إِلَى بَلَدِهِ بَعْدَ مُدَّةٍ وَلَوْ طَوِيْلَةً كَالْمُتَفَقِّهَةِ وَالتِّجَارِ لِعَدَمِ التَّوَطُّنِ وَلَا بِالْمُتَوَطِّنِيْنَ خَارِجَ بَلَدِ الْجُمْعَةِ، وَإِنْ سَمِعُوْا النِّدَاءَ لِعَدَمِ الْإِقَامَةِ بِبَلَدِهَا 

 Artinya: “Maka shalat Jumat tidaklah sah dilakukan oleh non-muslim, wanita, waria, orang-orang yang tidak terbebani kewajiban atau seorang budak, sebab mereka tidak dianggap sempurna, ataupun juga dengan seseorang yang tidak berdomisili pada daerah dilaksanakannya salat Jum’at, … begitu pula orang yang berdomisili, akan tetapi domisilinya di luar batas daerah dilaksanakannya shalat Jumat.” (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhit Thalib [Beirut, Dar Al-Kutub Ilmiyah], Juz II, halaman 115-116).   

Selaras dengan pernyataan yang diutarakan oleh Syaikhul Islam, pemuka mazhab Syafi’i Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) mengafirmasi: 

 (مُسْتَوْطِنًا) بِمَحَلِّ إقَامَتِهَا فَلَا تَنْعَقِدُ بِمَنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهَا مِنْ غَيْرِ الْمُسْتَوْطِنِينَ لِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَمْ يُقِمْ الْجُمُعَةَ بِعَرَفَةَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مَعَ عَزْمِهِ عَلَى الْإِقَامَةِ أَيَّامًا 

 Artinya: “Berdomisili di tempat mukimnya, maka tidak sah shalat Jumat bagi orang yang wajib menghadirinya dari kalangan orang-orang yang tidak berdomisili tetap, karena Rasulullah saw tidak mendirikan shalat Jumat di Arafah tatkala beliau melaksanakan haji wada’ beserta adanya tujuan bermukim di tempat tersebut selama beberapa hari.” (Ahmad bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra], Juz II, halaman 434). 

Menilik kedua refernsi di atas, maka hukum mendirikan Jumatan di instansi sekolah, komplek perkantoran, dan pabrik yang mayoritas karyawan maupun pekerjanya bukan berasal dari penduduk setempat adalah tidak sah. Sebab komplek perkantoran bukan tempat tinggal mereka, selain itu mereka datang ke situ hanya untuk bekerja.   Dalam fiqih, salah satu syarat keabsahan shalat Jumat ialah harus dilakukan di pemukiman yang jamaahnya merupakan penduduk tetap setempat (mustauthin). Argumentasi demikian dibangun oleh para ulama sebab berdasarkan pada tindakan (fi’lu) Nabi saw tatkala melaksanakan haji wada’ di Arafah bersama penduduk Makkah. Beliau tidak memerintahkan untuk mendirikan salat Jumat, hal ini disinyalir karena mereka bukan penduduk tetap Arafah. Ketetapan ini merujuk pada pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali.

Pendapat Sandingan tentang Shalat Jumat di Instansi Sekolahan dan Perkantoran 

Adapun menurut ulama mazhab Hanafi hukum mendirikan Jumatan di instansi sekolah, komplek perkantoran, dan pabrik yang mayoritas karyawan maupun pekerjanya bukan berasal dari penduduk setempat tetap sah. Karena ketentuan pelaksanaan salat Jumat dalam Al-Qur’an hanya mensyaratkan berjamaah saja, tanpa mempertimbangkan status orang yang mendirikannya berdomisili atau mustauthin (penduduk setempat), sebagaimana kutipan dalam kompilasi fatwa Syekh Isma’il Zain Al-Yamani (wafat 1414 H):

 وَهَو مَا ذَهَبَ اِلَيْهِ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ، وَذَهَبَ الْأَحْنَافُ إلَى صِحَّةِ إِقَامَةِ الْجُمُعَةِ بِالْمُقِيْمِيْنَ اَلْمُسَافِرِيْنَ لِأَنَّ اْلإسْتِيْطَانَ لَيْسَ شَرْطًا عِنْدَهُمْ 

 Artinya: “Ketetapan ini (tidak sahnya sgalat Jumat) berlaku bilamana merujuk pada pendapat mayoritas ulama mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sedangkan menurut para ulama mazhab Hanafi, mereka berpendapat bahwa shalat Jumat dapat sah dengan orang-orang mukim (berdomisili) walaupun berstatus musafir, sebab berdomisili bukan merupakan syarat sah melaksanakan shalat Jumat menurut mereka.” (Ismail Zain Al-Yamani, Qurratul ’Ain bi Fatawa Isma’il Az-Zain, [Sarang: Maktabah Al-Barakah], halaman 87).  


Kesimpulan
Hukum mendirikan Jumatan di instansi sekolahan, komplek perkantoran, dan pabrik yang mayoritas karyawan maupun pekerjanya bukan berasal dari penduduk setempat menurut perspektif mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali adalah tidak sah. Karena dalam fiqih dinyatakan bahwa salah satu syarat keabsahan shalat Jumat ialah harus dilakukan di pemukiman yang jamaahnya merupakan penduduk tetap setempat (mustauthin). Namun, menurut ulama mazhab Hanafi hukumnya tetap sah. Sebab berdomisili bukan merupakan syarat sah melaksanakan shalat Jumat menurut mereka. Wallahu a’lam bis-shawab.


Rabu, 24 Juli 2024

Panti asuhan jumatan


Deskripsi Masalah:
Ada panti lansia milik pemerintah yang berada di suatu desa yang dihuni oleh orang-orang renta dari berbagai daerah dan kabupaten bahkan lintas provinsi. Rata-rata usia penghuni panti di atas 60 tahun. Ada yang penghuninya sudah tidak ada harapan pulang ke kampung halaman karena berbagai alasan, namun masih juga ada yang berharap suatu saat dijemput pulang oleh sanak familinya. Sehingga mereka mendirikan shalat Jumat sendiri didalam panti asuhan tanpa melibatkan masyarakat yang menetap di sekitarnya.


Pertanyaan:
Bagaimana pandangan fuqaha' mengenai shalat Jumat sebagaimana deskripsi di atas?

Jawaban:
Sebagian ulama memperbolehkan



Referensi:

قرة العين بفتاوي اسماعيل الزين ص : 83
(حُكْمُ تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِي بَلْدَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ قَرْيَةٍ وَاحِدَةٍ) (مَسْأَلَةٌ) مَا قَوْلُكُمْ فِيْ تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَلْدَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ قَرْيَةٍ وَاحِدَةٍ مَعَ تَحَقُّقِ الْعَدَدِ الْمُعْتَبَرِ فِيْ كُلِّ مَسْجِدٍ مِنْ مَسَاجِدِهَا فَهَلْ تَصِحُّ جُمْعَةُ الْـجَمِيْعِ أَوْ فِيْهِ تَفْصِيْلٌ فِيْمَا يَظْهَرُ لَكُمْ ؟ (اَلْجَوَابُ) أَمَّا مَسْأَلَةُ تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فَالظَّاهِرُ جَوَازُ ذَلِكَ مُطْلَقًا بِشَرْطِ أَنْ لَا يَنْقُصَ عَدَدُ كُلٍّ عَنْ أَرْبَعِيْنَ رَجُلًا فَإِنْ نَقَصَ عَنْ ذَلِكَ اِنْضَمُّوْا إِلَى أَقْرَبِ جُمْعَةٍ إِلَيْهِمْ

Artinya: (Hukum mendirikan shalat Jumat lebih dari satu pada satu daerah yang sama) Masalah: Apa pendapat Anda mengenai shalat Jumat yang didirikan lebih dari satu pada satu daerah dengan masing-masing masjid telah terpenuhi jumlah pesertanya, apakah sah shalat Jumat mereka atau diperinci hukumnya? Jawab: Untuk masalah mendirikan shalat Jumat lebih dari satu dalam satu daerah, maka menurut pendapat dzahir boleh secara mutlak asalkan jumlah pesertanya di masing-masing tempat tidak kurang dari 40 orang. Ketika kurang dari 40 orang maka mereka berkumpul pada penyelenggaraan shalat Jumat terdekat. 


بغية المسترشدين - (1 / 169)
(مسألة : ج) : اَلْمَذْهَبُ عَدَمُ صِحَّةِ الْجـُمْعَةِ بِمَنْ لَمْ يَكْمُلْ فِيْهِمْ الْعَدَدُ ، وَاخْتَارَ بَعْضُ الْأَصْحَابِ جَوَازَهَا بِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِيْنَ تَقْلِيْدًا لِلْقَائِلِ بِهِ


Artinya: Menurut madzhab yang kuat tidak sah shalat Jumat dengan jumlah kurang dari 40 orang. Sebagian Ashabus Syafi’i memperbolehkan sholat Jumat dengan jumlah kurang dari 40 orang.


الحاوى الكبير ح ٢ ص ٤٠٣ 
وأما الضرب الذي تجب عليهم ولا تنعقد بهم فهم المقيمون في غير أوطانهم، كرجل دخل بالبصرة فنوى أن يقيم فيها سنة لطلب علم، أو تجارة ثم يعود إلى وطنه، فهؤلاء تجب عليهم الجمعة لمقامهم، وَقَدْ اِخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيْ انْعِقَادِ الْـجُمْعَةِ بِهِمْ فَقَالَ أَبُوْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ : تَنْعَقِدُ بِهِمْ الْـجُمْعَةُ، لِأَنَّ كُلَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْجـُمْعَةُ اِنْعَقَدَتْ بِهِ الْجُمْعَةُ كَالْمُسْتَوْطِنِ


Artinya: Ulama madzhab Syafi'i berbeda-beda pendapat mengenai menjadi sahnya shalat Jumat oleh mereka (orang mukim namun tidak menetap) Imam Abu Ali Bin Abi Hurairah mengatakan mereka dapat mengesahkan shalat Jumat karena setiap orang yang berkewajiban shalat Jumat mereka bisa mengesahkan shalat Jumat seperti halnya orang yang bertempat tinggal tetap.


Catatan:

Penjelasan atau uraian di atas merupakan hasil bahtsul masail yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang (PC) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Kabupaten Jombang.
Sumber yang dijadikan referensi dalam membahas topik terkait, sebagian tidak diterjemahkan secara utuh, hanya menerjemahkan poin-poin penting yang langsung menjelaskan topik.

Selasa, 23 Juli 2024

jumat di perkantran


Problematika dan Alternatif Hukum Shalat Jumat di Perkantoran


Di antara kewajiban dasar seorang Mukmin mukallaf adalah menjalankan shalat Jumat, sehingga bagi mereka yang tidak menjalankannya tanpa udzur oleh nabi digolongkan bagian dari orang munafiq dan hatinya tersegel (tertutup).


من ترك ثلاث جمعات من غير عذر كتب من المنافقين
من ترك ثلاث جمع تهاونا طبع الله على قلبه


Syarat sah mendirikan shalat Jumat


Dalam Fathul Qorib dinyatakan: syarat sah mendirikan shalat Jumat adalah:


1. Dilaksanakan di tempat pemukiman penduduk
2. Peserta shalat Jumat minimal 40 orang penduduk tetap (mustauthin)
3. Waktu dzuhur masih cukup untuk prosesi shalat Jumat (dua khutbah dan dua rakaat shalat Jumat)


Albajuri halaman 215 lebih lanjut menyatakan, dalam hal kepesertaan shalat Jumat terdapat kurang lebih lima belas pendapat yang berbeda (lihat Albajuri halaman 215 cetakan Alharomain).


Hukum Jumatan di Perkantoran atau perusahaan


Hukum mendirikan shalat Jumat di perkantoran/perusahaan terdapat rincian sebagai berikut:


1. Sah, bila tiga persyaratan di atas terpenuhi dan tidak ada taaddudul Jumat (penyelenggaraan shalat Jumat lebih dari satu dalam satu tempat), kecuali memang tidak memungkinkan melakukan shalat Jumat di satu tempat dalam waktu yang bersamaan.


2. Tidak sah, bila tidak memenuhi persyaratan di atas dan terjadi taaddudul Jumat di atas, hal ini oleh sebagian ulama masih dipegang kuat, misalnya KH Sahal Mahfudh dalam bukunya wajah baru fiqih pesantren halaman 105 beliau berprinsip bahwa pemenuhan persyaratan sebagaimana yang disebutkan jangan disepelekan.


Demikian pula ulama Sedan Rembang yang representatif juga melakukan pilihan hukum yang sama atas dasar pendapat yang kuat dan berkembang di kalangan Syafiiyah.


Nah, sekarang di banyak tempat telah terjadi penyelenggaraan shalat Jumat di perkantoran/perusahaan yang sangat mungkin tidak memenuhi persyaratan, misalnya:

1. Jumlah peserta tidak mencapai 40 orang dari kalangan penduduk tetap (mustauthin).

2. Peserta hanya dari pegawai/karyawan yang hanya berstatus muqim (menempat sementara) atau musafir. 


3. Penyelenggaraan shalat Jumat di tempat itu bukan satu-satunya.


Bagaimana sekarang tawaran hukum yang berkembang dalam fiqih? Mengingat penyelenggaraan shalat Jumat dalam ketiga kasus di atas sulit untuk dihindari.


Lagian karena mungkin dihantui oleh ketidakabsahan akibat tidak memenuhi persyaratan di atas, banyak alumni pesantren Aswaja An-Nahdliyah yang enggan mengisi ruang dan mimbar yang sebetulnya perlu mendapat sentuhan para awak pesantren tersebut, sehingga ruang dan mimbar itu menjadi milik orang lain yang pada kesudahannya mereka leluasa menyebarkan paham mereka di ruang dan mimbar itu.


Apakah kita akan membiarkan hal itu seterusnya, tanpa memberikan alternatif hukum lain? 


Nah, di sinilah kiranya penting memberikan jawaban atas ketiga kasus di atas sebagai alternatif hukum, meski bukan satu-satunya hukum.


Jawaban alternatif hukum atas kasus pertama:


Sayyid Bakri pengarang I'anah menyatakan bahwa Assyafi'i dalam qoul qodim ada dua pendapat:


1. Minimal peserta Jumat empat orang penduduk tetap


2. Minimal dua belas orang penduduk tetap


فلا ينافي ان له قولين قديمين في العدد أيضا أحدهما اقلهم أربعة .......ثاني القولين اثنا عشر


Apakah boleh menggunakan pendapat qoul qodim dalam hal ini (pendapat imam Assyafi'i saat beliau di Bagdad)?


Ya tentu boleh asal qoul qodim itu didukung oleh Ashab (santri santri Assyafi'i)


وهل بجوز تقليد هذين القولين الجواب نعم فانه قول للامام نصره بعض اصحابه ورجحه


Jawaban alternatif hukum atas kasus kedua:


Alyaqut Annafis menyatakan: shalat Jumat dengan peserta jamaah yang berstatus muqim qhoiru mustauthin (mukim sementara) ada dua wajah: 

1. Sah
2. Tidak sah


Nah, berarti alternatif hukum sah terbuka


وجاء في المهذب هل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فيه وجهان قال علي بن ابي هريرة تنعقد بهم لأنه تلزمهم الجمعة فانعقدت بهم كالمستوطنين وقال ابو اسحق لا تنعقد


Syekh Zainudin Almalibari memberi alternatif hukum mengenai peserta Jumat yang berstatus musafir bahwa dalam madzhab Abu Hanifah peserta Jumat yang hanya berstatus musafir itu sah.


فتنعقد عنده بأربعة ولو عبيدا او مسافرين.


Jawaban alternatif hukum atas kasus ketiga


Syekh Ismail bin Zain dalam Qurrotul Ain menyatakan boleh penyelenggaraan shalat Jumat lebih dari satu dalam satu tempat dalam waktu yang sama, yang penting pesertanya minimal empat puluh orang penduduk tetap.


اما مسالة تعدد الجمعة فالظاهر جواز ذلك مطلقا.بشرط ان لا ينقص عدد كل عن اربعين رجلا


Jadi, dalam kasus penyelenggaraan shalat Jumat di perkantoran/perusahaan dengan kemungkinan terjadinya tiga kasus di atas itu terbuka hukum diperbolehkannya sebagai alternatif pilihan hukum, meski sangat mungkin terbuka terjadinya talfiq (mencampur madzhab) yang menurut pendapat kuat di kalangan Syafi'i tidak dibenarkan sebagaimana penjelasan Syekh Zainuddin Almalibari, tapi pendapat lain sebagaimana yang dikatakan Fathul A'llam adalah boleh. 


والذي اذهب اليه واختاره القول بجواز التقليد في التلفيق لا بقصد تتبع ذلك لان من تتبع الرخص فسق.


Sekali lagi ini hanyalah alternatif pilihan hukum.


Wabillahittaufiq


Alfaqir M Sholeh, Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jombang

Rabu, 10 Juli 2024

khutbah mengusap kepala anak yatim

Khutbah I

 اَلْحَمْدُ لِلهِ وَاسِعِ الْفَضْلِ وَالْاِحْسَانِ، وَمُضَاعِفِ الْحَسَنَاتِ لِذَوِي الْاِيْمَانِ ، اَلْغَنِيِّ الَّذِيْ لَمِ تَزَلْ سَحَائِبُ جُوْدِهِ تَسِحُّ الْخَيْرَاتِ كُلَّ وَقْتٍ وَأَوَانٍ، العَلِيْمِ الَّذِيْ لَايَخْفَى عَلَيْهِ خَوَاطِرُ الْجَنَانِ، اَلْحَيِّ الْقَيُّوْمِ الَّذِيْ لَاتَغغِيْضُ نَفَقَاتُهُ بِمَرِّ الدُّهُوْرِ وَالْأَزْمَانِ، اَلْكَرِيْمِ الَّذِيْ تَأَذَّنَ بِالْمَزِيْدِ لِذَوِي الشُّكْرَانِ. 
أَحْمَدُهُ حَمْدًا يَفُوْقُ الْعَدَّ وَالْحُسْبَانِ، وَأَشْكُرُهُ شُكْرًا نَنَالُ بِهِ مِنْهُ مَوَاهِبَ الرِّضْوَانِ 
أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ دَائِمُ الْمُلْكِ وَالسُّلْطَانِ، وَمُبْرِزُ كُلِّ مَنْ سِوَاهُ مِنَ الْععَدَمِ اِلَى الْوِجْدَانِ، عَالِمُ الظَّاهِرِ وَمَا انْطَوَى عَلَيْهِ الْجَنَانِ. 
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَخِيْرَتُهُ مِنْ نَوْعِ الْاِننْسَانِ، نَبِيٌّ رَفَعَ اللهُ بِهِ الْحَقَّ حَتَّى اتَّضَحضَحَ وَاسْتَبَانَ. 
اللهم صَلِّ وسلم عَلَى سيدنا محمد وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدْقِ وَالْاِحْسَانِ. أَمَّا بَعْدُ، 
أَيُّهَا الْاِخْوَانُ أُوْصِيْكُمْ وَاِيَايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ، بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَيَسْأَلونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam surat Al-Baqarah ayat yang ke 177, yang menerangkan ciri orang-orang yang benar imannya dan bertakwa kepada Allah Ta’ala:

لَيْسَ الْبِرَّ اَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْممَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى االْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّااۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ – ١٧٧

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan 10 ciri khas orang yang jujur dalam imannya dan benar-benar bertakwa kepada Allah Ta’ala. Bila seseorang menyatakan diri sudah bertakwa kepada Tuhan namun tidak ada satu pun ciri tersebut, maka itu pengakuan yang dusta dan tidak bisa diterima.
Salah satu dari ciri khas dari orang yang bertakwa adalah ”memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya..”
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender hijriah. Selain itu juga Muharram merupakan bulan yang mulia dalam pandangan Allah swt. Ia memiliki berbagai keutamaan dan mempunyai sejarah penting dalam sejarah umat Islam. Salah satu amalan yang mulia pada bulan tersebut adalah menyantuni anak yatim dan mengusap kepalanya.
Dalam ajaran Islam, menyantuni anak yatim merupakan perbuatan yang memiliki beberapa keutamaan terutama di bulan Muharram ini. Maka dari itu, bagi umat Islam yang dapat merawat dan menyantuni anak yatim, maka dia akan mendapatkan pahala yang istimewa. 
Anjuran menyantuni dan membahagiakan anak yatim sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, Allah swt berfirman:
وَيَسْأَلونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
Artinya: "Mereka menanyakan kepadaMu (Nabi Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, 'Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!' Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan." (QS Al-Baqarah [2]: 220).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
bulan Muharram yang seringkali disebut sebagai bulannya anak yatim, terlebih pada 10 Muharram banyak sekali momentum yang dapat kita kerjakan sebagai amal saleh. Biasanya masyarakat akan mengadakan kegiatan santunan dan mengusap kepala yatim.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَسَحَ رَأْسَ يَتِيمٍ لَمْ يَمْسَحْهُ إِلَّا لِلَّهِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ مَرَّتْ عَلَيْهَا يَدُهُ حَسَنَاتٌ وَمَنْ أَحْسَنَ إِلَى يَتِيمَةٍ أَوْ يَتِيمٍ عِنْدَهُ كُنْتُ أَنَا وَهُوَ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ وَفَرَّقَ بَيْنَ أُصْبُعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
Artinya: Diriwayatkan dari Umamah, sesungguhnya Nabi bersabda: Barang siapa mengusap kepala yatim semata-mata karena Allah, maka setiap rambut yang ia usap memperoleh satu kebaikan. Barang siapa berbuat baik kepada yatim di sekitarnya, maka ia denganku ketika di surga seperti dua jari ini. Nabi menunjukkan dua jarinya; jari telunjuk dan jari tengahnya.

Secara tekstual hadits ini tidak menyebutkan secara spesifik harus diselenggarakan pada 10 Muharram, namun mengusap kepala yatim tetap dianjurkan kapan pun. 



Dalam Kitab Majma’ Zawaid wa manbaul fawaid dijelaskan seperti ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ: امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ». رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ.
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah, sesungguhnya seseorang melaporkan kekerasan hatinya kepada Nabi Muhammad, lalu Nabi berpesan: Usaplah kepala yatim dan berilah makanan orang miskin (HR Ahmad, para perawinya sahih)

Dalam salah satu riwayat Thabrani dari Abu Darda’ memiliki pesan senada:
وَعَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: «أَتَى النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - رَجُلٌ يَشْكُو قَسْوَةَ قَلْبِهِ، قَالَ: " أَتُحِبُّ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ وَتُدْرَكَ حَاجَتُكَ؟ ارْحَمِ الْيَتِيمَ، وَامْسَحْ رَأْسَهُ، وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ، يَلِنْ ققَلْبُكَ وَتُدْرِكْ حَاجَتَكَ». رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Darda’, ia berkata: Seorang laki-laki sowan Rasulullah mengeluhkan kekerasan hatinya, lalu Rasulullah berpesan: Apakah kamu ingin hatimu lembut dan hajatmu terkabul? Sayangilah yatim, usaplah kepalanya, berilah ia makan dari makananmu, maka hatimu akan lembut dan hajatmu akan terkabul (HR Thabrani).

Kemudian dalam kitab Tanbihul Ghafilin bi-Ahaditsi Sayyidil Anbiya wal Mursalin karya Abullaits Assamarqandi (w. 373 H) menyebutkan besarnya pahala mengusap kepala yatim:
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً
Artinya: Barang siapa berpuasa para hari Asyura (tanggal 10) Muharram, niscaya Allah akan memberikan seribu pahala malaikat dan pahala 10.000 pahala syuhada’. Dan barang siapa mengusap kepala yatim pada hari Asyura, niscaya Allah mengangkat derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya.

Dari beberapa redaksi Hadits di atas, yang juga terdapat dalam kitab ulama, dapat disimpulkan bahwa hikmah mengusap kepala yatim adalah membentuk kasih sayang dan kepedulian kepada mereka. Di sisi lain, yatim merindukan belaian kasih sayang ayahnya. Sehingga dari pertemuan itu akan mengubah hati yang keras menjadi lembut dan doa terkabulkan.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Para ulama sudah mengklasifikasikan jenis amalan yang hendaknya diperbanyak selama bulan Muharram yaitu:
1. Berpuasa sunah 2. Shalat sunah 3. Menyambung silaturahim
4. Berziarah kepada ulama (baik yang hidup maupun yang meninggal)
5. Menjenguk orang sakit 6. Memakai celak mata 7. Mengusap kepala anak yatim
8. Bersedekah 9. Mandi 10. Menambah nafkah keluarga 11. Memotong kuku
12. Membaca Surat al-Ikhlas sebanyak 1000 kali.

Untuk mempermudah ingatan, sebagian ulama mengawetkannya dalam bentuk nadham, sebagaimana yang dilakukan Syekh Abdul Hamid dalam kitabnya Kanzun Naja was Surur Fi Ad'iyyati Tasyrahus Shudur
فِى يوْمِ عَاشُوْرَاءَ عَشْرٌ تَتَّصِلْ * بِهَا اثْنَتَانِ وَلهَاَ فَضْلٌ نُقِلْ
صُمْ صَلِّ صَلْ زُرْ عَالمِاً عُدْ وَاكْتَحِلْ * رَأْسُ الْيَتِيْمِ امْسَحْ تَصَدَّقْ وَاغْتَسِلْ
وَسِّعْ عَلَى اْلعِيَالِ قَلِّمْ ظُفْرَا * وَسُوْرَةَ الْاِخْلاَصِ قُلْ اَلْفَ تَصِلْ
"Ada sepuluh amalan di dalam bulan ‘asyura, yang ditambah lagi dua amalan lebih sempurna. Puasalah, shlatlah,sambung silaturrahim, ziarah orang alim, menjengk orang sakit dan celak mata. Usaplah kepala anak yatim, bersedekah, dan mandi, menambah nafkah keluarga, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlas 1000 kali."
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ،وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ 
اَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ للهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى. (الليل : ٥-٧)
 (وقل رب اغفر وارحم وانت خير الراحمين)








Khutbah 2

ﺍَﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠّٰﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺟَﻌَﻞَ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺠُﻤْﻌَﺔِ ﺃَﻓْﻀَﻞَ ﺍَﻳَّﺎﻡِ ﺍْﻻُﺳْﺒُﻮْﻉِ
ﻭَﺍﺧْﺘَﺼَّﻪُ ﺑِﺴَﺎﻋَﺔٍ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻣُﺠَﺎﺏٌ ﻣَﺴْﻤُﻮْﻉٌ
ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠّٰﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻪُ ﺷَﻬَﺎﺩَﺓً ﻣُﺤَﺘَﻮِﻳَﺔً ﻋَﻠَﻰ ﻛَﻤَﺎﻝِ ﺍْﻻِﺧْﻼَﺹِ ﻭَﺍﻟْﺤُﻀُﻮْﻉِ
ﻭَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﺳَﻴِّﺪَﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ ﺻَﺎﺣِﺐُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﻡِ ﺍﻟْﻤَﺤْﻤُﻮْﺩِ ﻭَﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺍﻟْﻤَﺮْﻓُﻮْﻉِ
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَ ﻋَﻠَﻰ ﺍٰﻟِﻪِ ﻭَ ﺻَﺤْﺒِﻪِ ﺫَﻭِﻯ ﺍﻟﺰُّﻫْﺪِ ﻭَﺍﻟْﺨُﺸُﻮْﻉِ ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ
ﻓَﻴَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ، ﺍِﺗَّﻘُﻮْﺍ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﻓِﻰ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻟْﺤَﺎﻻَﺕِ
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺟَﻞَّ ﺟَﻼَﻟُﻪُ : ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻣَﻠَﺎﺋِﻜَﺘَﻪُ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻳَﺎٓ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﻧُﻮْﺭِ ﺍْﻻَﻧْﻮَﺍﺭِ ﻭَﺳِﺮِّ ﺍْﻻَﺳْﺮَﺍﺭِ ﻭَﺗِﺮْﻳَﺎﻕِ ﺍْﻻَﻏْﻴَﺎﺭِ ﻭَﻣِﻔْﺘَﺎﺡِ ﺑَﺎﺏِ ﺍﻟْﻴَﺴَﺎﺭِ، ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﻥِ ﺍﻟْﻤُﺨْﺘَﺎﺭِ ﻭَ ﺍٰﻟِﻪِ ﺍْﻻَﻃْﻬَﺎﺭِ، ﻭَ ﺍَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ﺍْﻻَﺧْﻴَﺎﺭِ ﻋَﺪَﺩَ ﻧِﻌَﻢِ ﺍﻟﻠّٰﻪِ ﻭَ ﺍِﻓْﻀَﺎﻟِﻪ ﻭَ ﺍَﺭْﺣَﻤْﻨَﺎ ﻭَﺍﺣْﺸُﺮْﻧَﺎ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻚَ ﻳَﺎ ﺍَﺭْﺣَﻢَ ﺍﻟﺮَّﺍﺣﺣِﻤِﻴْﻦَ
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟِﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤَﺎﺕِ ﺍَﻟْﺎَﺣْﻴَﺂﺀِ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻭَﺍﻟْﺎَﻣْﻮَﺍﺕِ
وَضَعِّفْ لَهُمُ الْحَسَنَاتْ وَكَفِّرْ عَنْهُمُ السَّيِّئَاتِ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
ﺇِﻧَّﻚَ ﺳَﻤِﻴْﻊٌ ﻗَﺮِﻳْﺐٌ ﻣُﺠِﻴْﺐُ ﺍﻟﺪَّﻋَﻮَﺍﺕِ، ﻳَﺎ ﻗَﺎﺿِﻲَ ﺍﻟْﺤَﺎﺟَﺎﺕِ ﻭَ ﻳَﺎ ﻋَﺎلِمَﺍﻟﺴِّﺮِّ ﻭَﺍﻟْﺨَﻔِﻴَّﺎﺕِ وَيَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ وَيَاارْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻧْﺼُﺮِ ﺍﻹِﺳْﻠَﺎﻡَ ﻭَﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻧْﺼُﺮْ ﺟُﻴُﻮْﺵَ ﺍﻟْﻤُﻮَﺣِّﺪِﻳْﻦَ ﻭَ ﺍَﻋْﻞِ ﻛَﻠِﻤَﺘَﻚَ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﻓِّﻘْﻨَﺎ ﻭَﺟَﻤِﻴْﻊَ ﻭُﻻَﺓِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَ ﻗُﻀَﺎﺗِﻬِﻢْ ﻟِﻠْﻌَﺪْﻝِ ﻭَﻧُﺼْﺮَﺓِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻭَﺍﺗِّﺒَﺎﻉِ ﺷَﺮِﻳْﻌَﺔِ ﺳَﻴِّﺪِ ﺍﻟْﻤُﺮْﺳَﻠﻠِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻧْﺼُﺮْﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﺪُﻭِّﻫِﻢْ ﺍَﻋْﺪَﺍﺋِﻚَ ﺃَﻋْﺪَﺍﺀِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻭَ ﺍَﻫْﻠِﻚِ ﺍﻟْﻜَﻔَﺮَﺓَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺒْﺘَﺪِﻋَﺔَ ﻭَﻛُﻞَّ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﻋَﺪُﻭٌ ﻟِﻠﺪِّﻳِﻦِ
اللهم اجْعَلْ بَلدتَنا هذه وسائرَ بُلدان المسلمين بلدةً امنة مطمئنة تجرى فيها احكامك وسنةُ رسولك برحمتك ياارحم الراحمين
اللهم اكشف عنّا البلاء والغلاء والوباء والفحشاء والمنكر والبغي والشدائد والمحن ما ظههر منها ومابطن من بلدنا هذا خاصة ومن بلدان المسلمين عامة انك على كل شيء قدير ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺍٰﺗِﻨَﺎ ﻓِﻰ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻭَ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺎٰﺧِﺮَﺓِ ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻭَ ﻗِﻨَﺎ ﻋَﺬَﺍﺏَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
ﻋِﺒَﺎﺩَ ﺍﻟﻠّٰﻪِ، ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠّٰﻪَ يَأْﻣُﺮُ ﺑِﺎﻟْﻌَﺪْﻝِ ﻭَﺍﻹِﺣْﺴَﺎﻥِ ﻭَﺇِﻳﺘَﺎﺀِ ﺫِﻱ ﺍﻟْﻘﻘُﺮْﺑَﻰ ﻭَ ﻳَﻨْﻬَﻰ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻔَﺤْﺸَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ﻭَﺍﻟْﺒَﻐْﻲﻲِ ﻳَﻌِﻈُﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﺬَﻛَّﺮُﻭﻥَ ﻓَﺎﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢَ ﻳَﺬْﻛُﺮْﻛُﻢْ ﻭَﺍﺷْﻜُﺮُﻭْﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻧِﻌَﻤِﻪِ ﻳَﺰِﺩْﻛُﻢْ ﻭَﻟَﺬِﻛْﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻛْﺒَﺮُ .

Selasa, 25 Juni 2024

Kewalian menurut Para Ulama




Kalam tentang kewalian

 أقوال العلماء والمشايخ عن الولاية والأولياء، فنقل عن العلامة محمد سعيد اليدالي (ت 1166هـ) إن الولاية لغة مصدر ولي الشيء الذي يليه إذا تولاه وحاذاه، واصطلاحا قال ابن حجر الهيثمي (ت 973هـ): الولاية شيء يلقى في قلب الولي على سبيل الإلهام.. والإلهام شيء يلقى في القلب يثلج له الصدر وفي الحديث "إن في أمتي محدثين -بالفتح- وملهمين ومنهم عمر"..
وقال العياشي: "الولاية منة تقدمتها خدمة".
وسئل شيخنا سيدي احمد التجاني عن حقيقة الولاية فأجاب: الولاية عامة وخاصة فالعامة من آدم عليه السلام إلى عيسى عليه السلام والخاصة من سيد الوجود صلى الله عليه وسلم إلى الختم

Ucapan para ulama dan syekh tentang kewalian dan wali. Diriwayatkan dari ulama Muhammad Saeed Al-Yadali (w. 1166 H) bahwa kewalian menurut bahasa dari kata wali Syaik yaitu sesuatu yang mengikutinya jika dia menguasaibitu. dan mengikutinya. 
Secara istilah, Ibnu Hajar Al-Haythami (w. 973 H) mengatakan: kewalian adalah sesuatu yang ditusukkan ke dalam hati wali dengan cara ilham.. ilham adalah sesuatu yang terdapat di dalam hati yang menghangatkan hati, dan dalam hadis, “Sesungguhnya di antara umatku ada yang berinovasi – dengan terbukanya hati – dan ilham, dan di antara mereka ada Umar.”

 Al-Ayashi berkata: “wilayah adalah anugerah yang pendahuluannya adalah khidmah pengabdian.”

 Syekh kami, Sidi Ahmed Al-Tijani, ditanya tentang hakikat kewalian, dan dia menjawab: kewalian itu umum dan khusus, yang umum dari Nabi Adam AS sampai Nabi Isa AS, Yang khusus  dari Nabi Muhammad SAW  hingga kiamat.

وحقيقة الولي هو العارف بالله.        
والأولياء يمكن أن يعطيهم الله تعالى من العلوم التي لا يعلمها إلا هو ولكن لم يظهرها الله تعالى لخلقه، ولو بثوها لبادر الناس إلى الإنكار عليهم، قال زين العابدين بن الحسين بن علي كرم الله وجهه:
يا رب جوهر علم لو أبوح به لقيل لي انت ممن يعبد الوثنا
ولاستحل رجال مسلمون دمي يرون أقبح ما يأتونه حسنا

Hakikat wali adalah orang yang mengenal Allah.        
 Dan para wali itu boleh saja diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dari ilmu yang hanya Dia yang mengetahuinya, namun Tuhan Yang Maha Kuasa tidak menurunkannya kepada makhluk-Nya, dan jika mereka menyebarkannya, orang-orang akan segera mencela mereka. Hussein bin Ali semoga Tuhan memuliakan wajahnya, berkata:
 Ya Tuhan, hakikat ilmu, jika aku menurunkannya, niscaya aku diberitahu bahwa Engkau termasuk orang yang menyembah berhala
 Dan laki-laki Muslim akan menghalalkan darahku, melihat perbuatan terburuk yang mereka lakukan sebagai kebaikan

ولي الله ريحان في الأرض

وحكى ابن حجر عن ابن عرفه (ت 803هـ) الإجماع على أن علم الشرائع لا يكون إلا بقصد التعليم وأما الذي يعلمه لأوليائه فالإلهامات والأنوار والمعارف التي لا يمكن أن تحصل بسبب كسب بل محض فضل الله تعالى ومنه.
وقال يحي بن معاذ (ت 258هـ): ولي الله ريحان في الأرض فإذا شمه المريدون وصلت رائحته إلى قلوبهم فيشتاقون إلى ربهم، وقال صلى الله عليه وسلم: النظر إلى الولي عبادة

Wali Allah Pengharum bumi

 Ibnu Hajar meriwayatkan dari Ibnu Arafa (w. 803 H) bahwa ada konsensus bahwa ilmu hukum Syareat hanya untuk tujuan pengajaran, dan adapun yang diajarkannya kepada para walinya adalah ilham, penerang, dan ilmu yang tidak dapat diperoleh karena perolehan, melainkan murni karena karunia Tuhan Yang Maha Esa dan dari-Nya.
 Yahya bin Muadh (w. 258 H) berkata: Kekasih Allah adalah wewangian di muka bumi, dan jika para Pengikut menciumnya, maka harumnya akan sampai ke hati mereka dan mereka merindukan Tuhannya. Nabi bersabda: Memandang wali adalah ibadah.

وقال زروق (ت 899هـ): ومما يدل على أن رؤية الولي تزيد في نور المعرفة وغيرها قول أنس رضي الله عنه: ما نفضنا التراب من أيدينا في دفن النبي صلى الله عليه وسلم حتى وجدنا النقص في قلوبنا.
وبالجملة فالأولياء أبواب الله ومعرفتهم مفتاح تلك الأبواب وأسنان ذلك المفتاح حفظ الأدب وحسن الخدمة والرحمة، فمن عاملهم بذلك فتح له وإلا فهو على خطر
وقال سفيان بن عيينة (ت 198هـ): عند ذكر الصالحين تتنزل الرحمة.
وقال سفيان الثوري (ت 161هـ): إن لم نكن صالحين فإننا نحب الصالحين.

Zarrouk (w. 899 H) berkata: Yang menandakan bahwa melihat wali menambah cahaya ilmu dan lain-lain adalah sabda Anas radhiyallahu 'anhu: Kami tidak membuang debu dari tangan kami saat menguburkan Nabi, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, sampai kami menemukan kekurangan di hati kami.
 Singkatnya, orang-orang suci adalah pintu-pintu Tuhan, dan mengenal mereka adalah kunci menuju pintu-pintu itu, dan gigi dari kunci itu menjaga adab sopan santun, pelayanan yang baik, dan belas kasihan, barang siapa mengamalkannya maka terbuka baginya dan jika tidak maka sebagai merasajan pengalaman
 Sufyan bin Uyaynah (w. 198 H) berkata: Ketika orang-orang shaleh disebutkan, maka turunlah rahmat.
 Sufyan Al-Thawri (w. 161 H) berkata: Jika kita bukan orang baik, maka kita mencintai orang yang baik.

وعن أبي يزيد البسطامي (ت 261هـ) إن لم تكن من أولياء الله فتحبب إليهم فإنه ينظر إلى قلوبهم فلعله يراك في قلوبهم فيلحقك بهم.
وقال الكرماني: ما تعبد متعبد بأكثر من التحبب لأولياء الله تعالى، وصحبة أولياء الله تعالى دليل على محبة الله تعالى.
وكان العز (عز الدين بن عبد السلام –عاش في القرن السابع الهجري-) يبالغ في تعظيم الصوفية وقال: ما عرفت الدين الكامل إلا بعد اجتماعي بأبي الحسن الشاذلي (عاش في القرن السابع الهجري).
ونقل عن حجة الإسلام الغزالي (ت 505هـ) انه قال لما اجتمع بشيخه: ضيعنا أعمارنا في البطالة، يعني بالنسبة إلى ما فاته من أحوال الطريقة 

Dari Abu Yazid al-Bistami (w. 261 H): Jika kamu bukan salah satu sahabat Allah, maka cintailah mereka, karena Dia melihat ke dalam hati mereka, dan mungkin Dia akan melihatmu di dalam hati mereka dan menyatukanmu dengan mereka. 
 Al-Kirmani berkata: tidak ada pengabdian  yang lebih banyak dari rasa cinta kepada para wali Allah, dan pergaulan dengan para wali Allah adalah bukti cinta kepada Allah.
 Al-Izz (Izz al-Din bin Abd al-Salam - yang hidup pada abad ketujuh H) membesar-besarkan penghormatannya terhadap tasawuf dan berkata: Saya tidak mengetahui agama yang sempurna sampai saya bertemu Abu al-Hasan al-Shadhili (yang hidup pada abad ketujuh H).
 Diriwayatkan dari Hujjat al-Islam al-Ghazali (w. 505 H) bahwa beliau berkata ketika bertemu dengan syekhnya: Kami telah menyia-nyiakan hidup kami dalam pengangguran, maksudnya sehubungan dengan apa yang dia lewatkan mengenai syarat-syarat tarekat.

النظر إلى أولياء الله عبادة

ونظرة الولي إن حصلت للطالب على سبيل المحبة أغنته بإذن الله ورفعته قال الشيخ أبو الحسن الشاذلي رضي الله عنه أن السلحفاة تبيض وتجلس في البعد من ولدها وتربيه بالنظر إليه، وإذا كانت السلحفاة تربي أولادها بالنظر إليهم فكيف لا يربي الشيخ أولاده بالنظر؟ وشتان بين النظرين..
دخل أعرابي على النبي صلى الله عليه وسلم وهو يخطب فقال: متى الساعة يا رسول الله ؟ فقال صلى الله عليه وسلم: ما أعددت لها يا أعرابي؟ قال: حب لله ورسوله، فقال صلى الله عليه وسلم: المرء مع من أحب فما فرح الصحابة بشيء مثل فرحهم بذلك

Jika tatapan wali diberikan kepada muridnya karena cinta, maka itu akan memperkayanya, Insya Allah, dan mengangkatnya. Syekh Abu Al-Hasan Al-Shazli radhiyallahu 'anhu berkata bahwa penyu bertelur dan duduk jauh dari anaknya dan membesarkannya dengan memandangnya, dan jika kura-kura membesarkan anak-anaknya dengan memandang mereka, lalu bagaimana mungkin syekh tidak membesarkan anak-anaknya dengan memandang? Ada perbedaan antara kedua pandangan tersebut..
 Seorang Badui memasuki Nabi, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, ketika dia sedang menyampaikan khotbah, dan berkata: Kapan waktunya, ya Rasulullah? Dia, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, berkata: Apa yang telah kamu persiapkan untuk itu, hai Badui? Beliau bersabda: Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan dia, semoga Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, berkata: Seseorang bersama siapa pun yang dia cintai, dan para sahabat tidak bahagia dengan apa pun seperti mereka dengan itu.
إذا أحببت _يا أخي_ أولياء الله كنت معهم ولو لم تكن في مقامهم.. ولا تكن معهم حتى تذعن لهم بظاهرك وباطنك وتنكسر لهم في سرك وعلانيتك فمن ظفر بذلك فقد ظفر بالغنيمة الباردة وتتجدد له في كل حين من اشراف بواطنهم فائدة وأي فائدة

Wahai saudaraku - jika kamu mencintai Kekasih Allah, kamu akan bersama mereka meskipun kamu tidak berada di posisi mereka... dan janganlah bersama mereka sampai kamu tunduk kepada mereka secara lahiriah dan batiniah dan tunduk kepada mereka dalam rahasia dan dalam publisitas Anda. Jadi siapa pun yang mencapai hal ini telah memenangkan rampasan segera, dan manfaat akan diperbarui untuknya setiap saat dari kemulyaan batin mereka!

مراتب أولياء الله

ونقل ابوبكر المطواعي (ت 371هـ) عن أحمد بن محمد العابد حوار بينه مع الخضر عليه السلام في مسجد بيت المقدس قال فيه: لما قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم بكت الأرض فقالت إلهي وسيدي ومولاي بقيت لا يمشي علي نبي إلى يوم القيامة، فأوحى الله تبارك وتعالى إليها سأجعل على ظهرك من هذه الأمة من قلوبهم على قلوب الأنبياء لا أخليك منهم إلى يوم القيامة، قلت وكم هم؟ قال: ثلاثمائة وهم الأولياء وسبعون وهم النجباء، وأربعون وهم الأوتاد، وعشرون وهم النقباء، وسبعة وهم العرفاء وثلاثة وهم المختارون، وواحد وهو الغوث، فإذا مات نقل من الثلاثة واحد وجعل الغوث ثم نقل من السبعة إلى الثلاثة ومن العشرين إلى السبعة ومن الأربعين إلى العشرين ومن السبعين إلى الأربعين ومن الثلاثمائة إلى السبعين، ومن سائر الخلق إلى الثلاثمائة وهكذا إلى أن ينفخ في الصور

Derajat Para Wali

 Abu Bakr Al-Mutawa'i (w. 371 H) meriwayatkan dari Ahmed bin Muhammad Al-Abed, percakapannya dengan Al-Khidr, saw, di masjid Yerusalem, di mana dia berkata: Ketika Rasulullah SAW Wafat, bumi menangis dan berkata, “Ya Tuhan, Tuanku, junjunganku tidak akan ada nabi yang berjalan di atasku sampai hari kiamat.” Maka Allah mengilhami padanya, Aku akan menempatkan di punggungmu sebagian dari umat ini orang orang yang hatinya bagai hati para nabi. Aku tidak akan meninggalkanmu dari mereka sampai hari kiamat. Siapakah mereka ? 
Tiga ratus orang, dan mereka adalah para wali, dan tujuh puluh orang, dan mereka adalah Nujaba, dan empat puluh orang, dan mereka adalah Autad, dan dua puluh orang, dan mereka adalah para Nuqoba/kapten, dan tujuh orang, dan mereka adalah para Arifin, dan tiga orang. , dan mereka adalah orang-orang terpilih, dan yang satu, yaitu Al-Ghauth. Jika dia meninggal, yang satu dipindahkan dari yang tiga dan dijadikan Al-Ghawth, maka dari tujuh ke tiga, dan dari dua puluh ke tujuh dari empat puluh menjadi dua puluh. Dari tujuh puluh menjadi empat puluh, dari tiga ratus menjadi tujuh puluh, dari sisa ciptaan menjadi tiga ratus, dan seterusnya hingga sangkakala ditiup.

حكايات الصالحين جند من جنود الله

وبذكر الصالحين ونشر محاسنهم تتنزل الرحمات.. وقال صلى الله عليه وسلم: "ذكر الصالحين كفارة الذنوب".. وحكايات الصالحين جند من جنود الله يقوي بها أبدان المريدين.
أسرد حديث الصالحين وسمهم *               فبذكرهم تتنزل الرحمات
واحضر مجالسهم تنل بركاتهم *               وقبورهم زرها إذا ما ماتوا
قال الشاذلي: ما رأيت للقلب أنفع من ذكر الصالحين.

وقال أبو حامد الغزالي: وإذا تعذرت رؤيتهم ومصاحبتهم فلا شيء أنفع للنفس من سماع أحوالهم ومطالعة أخبارهم وما كانوا عليه من الجد في العبادة وقد انقضى تعبهم وبقي ثوابهم ونعيمهم أبد الآباد، فما أعظم ملكهم وأشد حسرة من لم يقتد بهم.

Kisah orang orang Sholih adalah tentara Allah

 Dengan menyebut orang-orang shaleh dan menebarkan keutamaan-keutamaan mereka, maka turunlah rahmat.Rosulullah SAW bersabda : mengingat orang orang Sholih melebur dosa
 Kisah orang orang Sholih adalah tentara Allah yang menguatkan tubuh orang-orang yang mencarinya.

 Bacalah kisah orang-orang shaleh dan sebutkan nama mereka, karena dengan mengingat mereka maka diturunkan rahmat
 Hadiri pertemuan mereka untuk mendapatkan berkah mereka, dan kunjungi makam mereka ketika mereka meninggal

 Al-Shazly berkata: Saya belum melihat sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati selain menyebut orang-orang shaleh.

 Abu Hamid Al-Ghazali berkata: Jika tidak memungkinkan untuk melihat mereka dan bersama mereka, maka tidak ada yang lebih bermanfaat bagi jiwa selain mendengarkan keadaan mereka dan membaca berita-berita mereka, dan betapa rajinnya mereka beribadah, dan kelelahan mereka telah berlalu. dan pahala serta kebahagiaan mereka kekal selamanya, maka betapa besarnya kekuasaan mereka dan betapa besarnya dukacita orang-orang yang tidak mengikuti teladan mereka.

وخلاصة القول أن الولاية منة تقدمتها خدمة وحقيقة الولي هو العارف بالله، وعلوم الأولياء هي الإلهامات والمعارف والأنوار التي يعطيها الله لعبده بمحض فضله.. 
والنظر إلى الولي عبادة، وعند ذكرهم تتنزل الرحمات، وصحبتهم دليل على محبة الله، ومن أحبهم كان معهم، والأولياء بحسب مراتبهم باقون على وجه الأرض إلى أن ينفخ في الصور، وحجة تفضيل الأولياء على غيرهم من العلماء حجة قوية.. 
وذكر الصالحين كفارة الذنوب وحكاياتهم جند من جنود الله..

رزقنا الله أعظم حظ من صحبة أولياء الله ومحبتهم والصدق في جنابهم

Intinya kewalian adalah anugerah yang diberikan dengan pengabdian, 
hakikatnya wali adalah orang yang mengenal Allah, 
ilmu para wali adalah ilham, ilmu, dan penerang yang Allah berikan kepada hamba-Nya dengan murni Anugrah Allah. 

Menatap wali adalah ibadah, dan ketika disebutkan, rahmat turun, 
bersama mereka adalah bukti cinta kepada Allah, dan siapa pun yang mencintai mereka, ada bersama mereka, 
dan para wali sesuai dengan derajatnya akan tetapa ada di muka bumi sampai sangkakala dibunyikan, 
dan dalil yang lebih mengutamakan orang-orang suci dibandingkan ulama yang lain adalah dalil yang kuat.

وذكر الصالحين كفارة الذنوب وحكاياتهم جند من جنود الله..
Mengingat Orang-orang saleh  adalah penebus dosa dan kisah-kisah mereka adalah prajurit dari prajurit Allah.

 Semoga Allah memberi kita rezeki terbesar bersama para wali Allah, kasih sayang, dan kejujuran mereka.

Jumat, 14 Juni 2024

khutbah idul adha 1445 H

Khutbah I

 اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
 اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
 اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ 
اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ  

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِذَبْحِ الْأُضْحِيَّةِ. وَبَلَغَنَا إِلَى هٰذَا الْيَوْمِ مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ ذُوْ رَحْمَةٍ وَاسِعَةٍ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ تُرْجَى مِنْهُ الشَّفَاعَةُ. أَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الرَّحْمَةِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ ذَوِي الْعُقُوْلِ السَّلِيْمَةِ، صَلَاةً وَسَلَامًا مُتَلَازِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ : لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

Hadirin-hadirat jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah
Pertama-tama, marilah kita semua senantiasa terus meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang oleh-Nya.


Pada hari ini yang dimulai setelah kita menyelesaikan shalat ‘Id, kita disunnahkan untuk berkurban, yakni menyembelih binatang seperti kambing atau sapi yang kemudian dagingnya kita makan, kita hadiahkan dan kita sedekahkan kepada saudara-saudara kita. Kesunnahan berkurban ini berkaitan dengan sejarah Nabi Ibrahim AS yang diuji keimanannya oleh Allah untuk melepaskan sesuatu yang paling ia cintai di dunia ini, yakni dengan menyembelih putranya.

Pada malam tanggal 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS mendapatkan wahyu melalui mimpinya bahwa Allah memerintahkan kepadanya untuk menyembelih anak yang paling ia sayangi. Nabi Ibrahim merenung panjang, “Haruskah ia mengikuti perintah Tuhannya untuk melepaskan hal yang paling ia sayangi, hal yang paling ia sukai? Apakah mimpi ini benar dari Allah atau bukan?” Nabi Ibrahim sangat sedih dalam permenungan yang sangat panjang itu. Karenanya, pada tanggal 8 Dzulhijjah yang kita semua disunnahkan untuk berpuasa disebut dengan hari “tarwiyah” yang berarti “hari merenung”, yakni hari di mana Nabi Ibrahim AS melakukan permenungan panjang atas mimpinya.

Kegalauan Nabi Ibrahim AS mendapatkan jawabannya pada malam hari berikutnya, yakni pada malam hari 9 Dzulhijjah, bahwa ia benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anak kesayangannya yang bernama Isma‘il. Karenanya, tanggal 9 Dzulhijjah yang kita semua, umat Islam disunnahkan berpuasa disebut dengan “hari ‘Arafah” yang berarti “pengetahuan”, yakni hari di mana Nabi Ibrahim AS mendapatkan jawaban atau pengetahuan atas perintah Allah yang ia ragukan sebelumnya.

Dengan dasar ketaatan kepada Allah yang sangat tulus, dengan latar belakang rasa cinta kepada Tuhan yang mengalahkan segalanya, Nabi Ibrahim AS benar-benar mantap dan bertekad akan menjalankan perintah-Nya, yaitu menyembelih Isma‘il, orang yang paling ia sayangi.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

Hadirin hadirot jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah
Kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim AS saat itu. Seorang ayah yang sudah lama sekali menanti memiliki keturunan, namun ketika dikaruniai anak melalui pernikahannya dengan Dewi Hajar, anak yang beliau impi-impikan itu harus disembelih dengan tangannya sendiri, padahal Nabi Ibrahim AS memiliki anak ketika usianya sudah sangat sepuh, yakni 86 tahun.

Dalam Al-Qur'an surat Ash-Shâffât 100-101 diceritakan bahwa Nabi Ibrahim AS meminta kepada Allah diberi keturunan yang saleh, lalu Allah mengabulkannya dengan memberi anak yang sabar.

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ.

Kita juga tidak bisa membayangkan bagaimana dialog Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan istrinya ketika meminta izin untuk menjalankan perintah Allah, yakni menyembelih anaknya. Sudah pasti perasaan keduanya hancur karena harus melepas kesayangannya. Perasaan keduanya gundah dan berkeping-keping karena orang yang paling ia sayangi akan mati di tangannya. Tapi, rupanya cinta Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan istrinya kepada Allah SWT melebihi segala-galanya. Demi mengikuti perintah Allah, keduanya rela melepaskan orang yang paling dicintai.

Begitu juga, kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan suami istri itu ketika meminta izin kepada anaknya yang akan dikorbankan, yakni Isma‘il AS. Tapi Isma‘il sendiri justru menguatkan tekad ayah dan ibundanya untuk menunaikan perintah Allah SWT

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ.

“Ketika anak itu memasuki usia dewasa, sudah berkembang, sudah bisa bepergian dan berjalan, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada anaknya: Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu? Isma‘il anak Ibrahim menjawab: Wahai bapakku, lakukanlah apa yang diperintah (Allah) kepadamu, insyaallah engkau akan mendapatiku bagian dari orang-orang yang sabar” (QS Ash-Shâffât 102).  

Setelah Nabi Ibrahim AS dan Isma‘il, anak yang akan dikurbankannya itu sampai di tempat yang diperintahkan (menurut Ubaid bin Umair di tempat yang di kemudian hari disebut “Maqâm Ibrahim”; menurut Mujâhid, di Mina), tiba-tiba Allah memberikan wahyu untuk menggantinya dengan kambing.

Atas dasar cinta kepada Allah yang melebihi segala-galanya, keluarga Nabi Ibrahim menjadi keluarga yang terberkati. Nabi Ibrahim diberi gelar “khalîlullah” atau kekasih Allah, dan dari keluarga ini lahirlah keturunan-keturunan para nabi seperti Nabi Ishâq, Nabi Ya‘qûb, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW.

كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ 

“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ash-Shâffât 110).  

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

Hadirin-hadirat yang dimuliakan Allah,
Peristiwa Nabi Ibrahim yang sangat mendebarkan hati ini, bukan semata-mata arsip sejarah yang perlu dikenang jika dibutuhkan, tapi kisah ini memiliki makna, ‘ibrah atau pelajaran yang perlu diambil dan diperhatikan bagi seluruh umat manusia. Kisah Nabi Ibrahim AS adalah simbol pengorbanan di dalam beragama.

Di antara pelajaran itu, pertama, beriman atau beragama pada dasarnya melawan hawa nafsu atau kesenangan yang ada di dalam diri kita masing-masing. Setiap manusia cenderung mengikuti keinginan nafsunya, yakni ingin melakukan hal yang enak, menikmati segala kesenangan tanpa batas, merasakan segala keindahan dan yang lainnya tanpa mempedulikan hal tersebut menyakiti, merugikan atau membahayakan diri sendiri maupun orang lain atau tidak. Di sinilah agama hadir memberikan seperangkat aturan, yakni mengatur perbuatan ini haram dan perbuatan itu halal, tindakan ini boleh dan tindakan itu tidak boleh, hal ini baik dan hal itu buruk, dan seterusnya. Dengan demikian masing-masing dari orang yang beragama seharusnya mematuhi aturan agama, bukan mengikuti kesenangan atau kehendak nafsunya. Dalam kisah Nabi Ibrahim, kenikmatan tertinggi disimbolkan dengan memiliki anak, tapi Nabi Ibrahim berhasil mengalahkan hawa nafsu kecintaan kepada putranya dengan mengikuti perintah Allah SWT. 

Pelajaran atau ‘ibrah yang kedua dari kisah Nabi Ibrahim AS di atas yaitu penegasan bahwa hak asasi manusia harus dijunjung tinggi, dalam hal ini hak hidup. Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya bertujuan untuk menguji keimanannya atau ibtilâ` (إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ), sehingga ketika beliau tulus hendak menunaikannya, Allah SWT mengganti objek sesembelihannya dengan binatang. Penggantian “objek kurban” dari manusia ke binatang mengandung makna bahwa manusia memiliki hak untuk hidup yang seorang pun atas nama apa saja tidak boleh menghilangkannya.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah SWT
Ajaran menjunjung tinggi kemanusiaan dalam agama Ibrahim pada masa itu benar-benar sangat langka mengingat ada banyak kepercayaan suku yang melakukan persembahan kepada “tuhannya” atau qurbân dengan menggunakan darah manusia, sementara ajaran agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang kemudian diteruskan Nabi Muhammad SAW sedari awal dengan tegas mengharamkan meneteskan darah manusia.

Penegasan akan hak hidup dan hak-hak dasar lain yang dimiliki manusia di kemudian hari disampaikan secara jelas oleh Nabi Muhammad SAW secara berturut-turut, yakni dalam khutbah di Padang Arafah ketika beliau menjalankan ibadah haji yang dilakukan hanya sekali dalam seumur hidupnya atau dikenal dengan hajjah al-wadâ‘ (haji perpisahan) pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke 10 H atau bertepatan pada tahun 632 M, dan dalam khutbah Idul Adha, sehari setelahnya pada tanggal 10 Dzulhijjah pada tahun yang sama.

Dalam kedua khutbah itu, Nabi Muhammad SAW berpesan kepada semua orang yang hadir bahwa jiwa, harta, dan harga diri manusia memiliki kemuliaan yang tidak boleh dihilangkan oleh siapapun. Nabi SAW bersabda:


أَيُّهَا النَّاسُ، اِسْمَعُوْا قَوْلِيْ، فَإِنِّيْ لَا أَدْرِيْ لَعَلِّيْ لَا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِيْ هَذَا بِهَذَا الْمَوْقِفِ أَبَدًا، أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، وَكَحُرْمَةِ شَهْرِكُمْ هَذَا، وَسَتَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ، فَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَعْمَالِكُمْ، أَلَا فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِيْ ضَلَالًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ.

“Wahai sekalian manusia, dengarkanlah perkataanku. Sesungguhnya aku tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tak bisa lagi berjumpa dengan kalian selama-lamanya. Wahai umat manusia, sesungguhnya darah kalian, harta dan harga diri kalian itu mulia, sebagaimana mulianya hari ini dan bulan ini. Kalian kelak akan bertemu Tuhan, dan Ia akan bertanya kepada kalian tentang perbuatan yang kalian lakukan. Ingatlah, setelah aku wafat janganlah kalian kembali ke dalam kesesatan, di mana sebagian di antara kalian memukul atau membunuh sebagian yang lain.”

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ. كُلُّكُمْ لِأَدَمَ، وَأَدَمُ مِنْ تُرَابٍ. إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ الله ِ أَتْقَاكُمْ. لَيْسَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَبْيَضَ، وَلَا لِأَبْيَضَ عَلَى أَحْمَرَ فَضْلٌ إِلَّا بِالتَّقْوَى.

“Wahai umat manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, leluhur kalian juga satu. Kalian berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Sesungguhnya paling mulianya kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang Arab tidak lebih utama daripada Non Arab atau ‘ajam, Non Arab tidak lebih utama daripada orang Arab. Orang kulit merah tidak lebih utama daripada yang berkulit putih, orang kulit putih tidak lebih utama dari yang berkulit merah kecuali (disebabkan) tingkat ketakwaannya.” 

Khutbah Nabi Muhammad SAW di atas, baik yang disampaikan dalam khutbah di Padang Arafah maupun pada hari raya Idul Adha menegaskan, bahwa Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW pada abad ke 7 M sejak awal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

Hadirin-hadirat yang dimuliakan Allah SWT,
Pada hari raya Idul Adha ini, meski kita semua berada dalam kondisi dan situasi yang kurang mengenakkan karena pandemi, tapi dengan segala rasa syukur kepada Allah SWT kita masih diberi kesehatan dan keselamatan, sehingga kita dapat berusaha menggunakan kesempatan ini untuk menunaikan kewajiban-kewajiban kita sebagai seorang Muslim. Kisah Nabi Ibrahim AS di atas mengajarkan kepada kita bahwa beragama adalah pengorbanan melawan hawa nafsu yang ada di dalam diri kita masing-masing. Beragama adalah usaha menjadikan diri kita sebagai manusia seutuhnya, yakni manusia yang tidak diperbudak oleh nafsu atau manusia lainnya, melainkan manusia yang menghamba dengan seutuhnya di hadapan Allah SWT.

Muda-mudahan, apa yang dijelaskan kali ini bisa memperkuat kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT dan kita semua selalu diberi kesehatan dan keselamatan, serta selalu berada di dalam lindungan Allah SWT.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ

Khutbah II

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد
اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِالْإِصْلَاحِ، وَحَثَّنَا عَلَى الصَّلَاحِ، وَبَيَّنَ لَنَا سُبُلَ الْفَلَاحِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
أَمَّا بَعْدُ: فَأُوصِيكُمْ عِبَادَ اللَّهِ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ. إنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى فِيْهِ بِمَلَائِكَتِهِ، فقَالَ تَعَالَى: إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اللَّهُمَّ صلِّ وسلِّمْ وبارِكْ علَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الْأَكْرَمِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ الْاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ.اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا أَخِرَتَنَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ. اَللَّهُمَّ لَا تَدَعْ لَنَا ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا دَيْنًا إِلَّا قَضَيْتَهُ، وَلَا مَرِيْضًا إِلَّا شَفَيْتَهُ وَعَافِيَتَهُ، وَلَا حَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا إِلَّا قَضَيْتَهَا وَيَسَّرْتَهَا لَنَا يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِيْنَ، وَيَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ، وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
عِبَادَاللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهُ أَكْبَرُ