Kamis, 25 Juli 2024

Hukum Shalat Jumat di Instansi Sekolahan dan Perkantoran


Hukum Shalat Jumat di Instansi Sekolahan dan Perkantoran 

Pada umumnya shalat Jumat dilakukan di Masjid Jami’ atau surau yang mayoritas jamaahnya merupakan penduduk sekitar. Namun, akhir-akhir ini sering kita temukan di instansi sekolah formal, komplek perkantoran dan pabrik mendirikan shalat Jumat sendiri. Alasannya karena kegiatan sekolah yang begitu padat, efisiensi shift kerja karyawan, atau lainnya. Padahal kebanyakan siswa dan karyawan pabrik tersebut bukan berasal dari penduduk setempat. Lalu sahkah salat Jumat di instansi sekolahan dan perkantoran, mengingat syarat sahnya harus dilakukan oleh penduduk setempat (mustauthin)?   

Berkenaan dengan kasus tersebut, Syaikhul Islam Syekh Zakariya Al-Anshari (wafat 926 H) dalam karyanya menjelaskan: 

 فَلَا تَنْعَقِدُ بِالْكُفَّارِ وَالنِّسَاءِ وَالْخُنَاثَى وَغَيْرِ الْمُكَلَّفِيْنَ وَمَنْ فِيْهِمْ رِقٌّ لِنَقْصِهِمْ وَلَا بِغَيْرِ الْمُتَوَطِّنِيْنَ كَمَنْ أَقَامَ عَلَى عَزْمِ عَوْدِهِ إِلَى بَلَدِهِ بَعْدَ مُدَّةٍ وَلَوْ طَوِيْلَةً كَالْمُتَفَقِّهَةِ وَالتِّجَارِ لِعَدَمِ التَّوَطُّنِ وَلَا بِالْمُتَوَطِّنِيْنَ خَارِجَ بَلَدِ الْجُمْعَةِ، وَإِنْ سَمِعُوْا النِّدَاءَ لِعَدَمِ الْإِقَامَةِ بِبَلَدِهَا 

 Artinya: “Maka shalat Jumat tidaklah sah dilakukan oleh non-muslim, wanita, waria, orang-orang yang tidak terbebani kewajiban atau seorang budak, sebab mereka tidak dianggap sempurna, ataupun juga dengan seseorang yang tidak berdomisili pada daerah dilaksanakannya salat Jum’at, … begitu pula orang yang berdomisili, akan tetapi domisilinya di luar batas daerah dilaksanakannya shalat Jumat.” (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhit Thalib [Beirut, Dar Al-Kutub Ilmiyah], Juz II, halaman 115-116).   

Selaras dengan pernyataan yang diutarakan oleh Syaikhul Islam, pemuka mazhab Syafi’i Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) mengafirmasi: 

 (مُسْتَوْطِنًا) بِمَحَلِّ إقَامَتِهَا فَلَا تَنْعَقِدُ بِمَنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهَا مِنْ غَيْرِ الْمُسْتَوْطِنِينَ لِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَمْ يُقِمْ الْجُمُعَةَ بِعَرَفَةَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مَعَ عَزْمِهِ عَلَى الْإِقَامَةِ أَيَّامًا 

 Artinya: “Berdomisili di tempat mukimnya, maka tidak sah shalat Jumat bagi orang yang wajib menghadirinya dari kalangan orang-orang yang tidak berdomisili tetap, karena Rasulullah saw tidak mendirikan shalat Jumat di Arafah tatkala beliau melaksanakan haji wada’ beserta adanya tujuan bermukim di tempat tersebut selama beberapa hari.” (Ahmad bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra], Juz II, halaman 434). 

Menilik kedua refernsi di atas, maka hukum mendirikan Jumatan di instansi sekolah, komplek perkantoran, dan pabrik yang mayoritas karyawan maupun pekerjanya bukan berasal dari penduduk setempat adalah tidak sah. Sebab komplek perkantoran bukan tempat tinggal mereka, selain itu mereka datang ke situ hanya untuk bekerja.   Dalam fiqih, salah satu syarat keabsahan shalat Jumat ialah harus dilakukan di pemukiman yang jamaahnya merupakan penduduk tetap setempat (mustauthin). Argumentasi demikian dibangun oleh para ulama sebab berdasarkan pada tindakan (fi’lu) Nabi saw tatkala melaksanakan haji wada’ di Arafah bersama penduduk Makkah. Beliau tidak memerintahkan untuk mendirikan salat Jumat, hal ini disinyalir karena mereka bukan penduduk tetap Arafah. Ketetapan ini merujuk pada pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali.

Pendapat Sandingan tentang Shalat Jumat di Instansi Sekolahan dan Perkantoran 

Adapun menurut ulama mazhab Hanafi hukum mendirikan Jumatan di instansi sekolah, komplek perkantoran, dan pabrik yang mayoritas karyawan maupun pekerjanya bukan berasal dari penduduk setempat tetap sah. Karena ketentuan pelaksanaan salat Jumat dalam Al-Qur’an hanya mensyaratkan berjamaah saja, tanpa mempertimbangkan status orang yang mendirikannya berdomisili atau mustauthin (penduduk setempat), sebagaimana kutipan dalam kompilasi fatwa Syekh Isma’il Zain Al-Yamani (wafat 1414 H):

 وَهَو مَا ذَهَبَ اِلَيْهِ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ، وَذَهَبَ الْأَحْنَافُ إلَى صِحَّةِ إِقَامَةِ الْجُمُعَةِ بِالْمُقِيْمِيْنَ اَلْمُسَافِرِيْنَ لِأَنَّ اْلإسْتِيْطَانَ لَيْسَ شَرْطًا عِنْدَهُمْ 

 Artinya: “Ketetapan ini (tidak sahnya sgalat Jumat) berlaku bilamana merujuk pada pendapat mayoritas ulama mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sedangkan menurut para ulama mazhab Hanafi, mereka berpendapat bahwa shalat Jumat dapat sah dengan orang-orang mukim (berdomisili) walaupun berstatus musafir, sebab berdomisili bukan merupakan syarat sah melaksanakan shalat Jumat menurut mereka.” (Ismail Zain Al-Yamani, Qurratul ’Ain bi Fatawa Isma’il Az-Zain, [Sarang: Maktabah Al-Barakah], halaman 87).  


Kesimpulan
Hukum mendirikan Jumatan di instansi sekolahan, komplek perkantoran, dan pabrik yang mayoritas karyawan maupun pekerjanya bukan berasal dari penduduk setempat menurut perspektif mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali adalah tidak sah. Karena dalam fiqih dinyatakan bahwa salah satu syarat keabsahan shalat Jumat ialah harus dilakukan di pemukiman yang jamaahnya merupakan penduduk tetap setempat (mustauthin). Namun, menurut ulama mazhab Hanafi hukumnya tetap sah. Sebab berdomisili bukan merupakan syarat sah melaksanakan shalat Jumat menurut mereka. Wallahu a’lam bis-shawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.