Abu Yazid al-Busthami merupakan seorang ahli tasawuf yang terkemuka. Tokoh berkebangsaan Persia itu lahir dengan nama Tayfur sehingga nama lengkapnya adalah Abu Yazid Tayfur bin Isa bin Surusyan al-Busthami.
Kedua orang tuanya termasuk Muslimin yang taat beribadah dan bersahaja. Mereka hidup zuhud sehingga sangat teliti dalam mencari nafkah yang benar-benar halal saja, sekecil apa pun perolehannya.
Alim yang wafat dalam usia 71 tahun itu memiliki ketertarikan yang sangat kuat terhadap perkara cinta Ilahi. Ia menaruh perhatian besar pada pengalaman-pengalaman spiritual yang tinggi, yang pernah dialami Nabi Muhammad SAW, seumpama mi'raj ke langit. Bahkan, pernah disampaikannya bahwa dirinya bermimpi mengalami "mi'raj" dengan membawa kerinduan untuk mencari Allah, keinginan untuk bersatu dan tinggal bersama-Nya untuk selama-lamanya.
Ada beragam kisah Abu Yazid yang mengungkapkan kerinduannya untuk meraih cinta Allah SWT. Salah satunya dituturkan dalam buku karangan Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfuri, Kitab al-Mawaizh.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari, sufi tersebut sedang bermunajat kepada Allah. Saking khusyuknya, kalbunya terasa bersih; sanubarinya pun tenteram. Dalam keadaan demikian, akalnya merasa tengah melesat menuju Arsy.
Dalam hatinya ia berkata, “Alangkah indahnya maqam Nabi Muhammad SAW, sang pemimpin para rasul. Semoga aku kelak bisa menjadi tetangga beliau di surga.”
Ia kemudian masuk ke dalam kesadaran lahiriah. Tiba-tiba, terdengar sebentuk suara berbicara kepadanya, “Sungguh, syekh imam fulan di negeri anu kelak akan menjadi tetanggamu di surga!”
Abu Yazid terkejut mendengar pesan tersebut. Ia pun menyelesaikan munajatnya dan segera beranjak dari rumahnya. Tujuannya jelas, menemukan sosok “syekh imam” yang namanya disebut oleh suara tadi. Dengan penuh semangat, dirinya menempuh perjalanan sejauh lebih dari 550 kilometer untuk sampai ke negeri yang dimaksud.
Setibanya di negeri yang disebut dalam sirr-nya itu, Abu Yazid melalui pasar. Ia pun menghampiri beberapa warga lokal yang sedang duduk-duduk di depan sebuah toko.
Kepada mereka, dirinya menanyakan identitas sosok yang dicarinya. Akan tetapi, orang-orang itu justru balik bertanya kepadanya, “Mengapa engkau mencari si perusuh yang gemar mabuk-mabukan itu? Kalau melihat pada sosok wajahmu, bukankah engkau ini termasuk saleh?”
Mendengar itu, Abu Yazid pun seketika merasa kesal dan sedih. la mulai berpikir ulang tentang perjalanannya. Jangan-jangan, suara yang muncul dalam sirr-nya beberapa waktu lalu hanyalah bisikan setan.
Penyesalan menyelimuti hatinya. Setelah pamit kepada para warga itu, ia memutuskan untuk kembali ke negerinya. Namun, sekelabat pikirannya menimbang-nimbang, “Bukankah aku sudah sampai di sini? Mengapa pulang begitu saja tanpa sempat melihat wajah orang yang kucari-cari itu?”
Abu Yazid pun menemui lagi beberapa warga tadi. “Wahai saudara-saudara, di manakah letak rumah si fulan?”
“Percuma engkau mendatangi rumahnya. Sore ini paling-paling dia sedang sibuk mabuk-mabukan di kedai dekat pasar ini,” jawab seorang di antara mereka.
Abu Yazid pun bergegas mendatangi sebuah kedai yang dimaksud penduduk setempat. Betapa terkejut dirinya menyaksikan pemandangan di lokasi tersebut. Ia melihat, ada seorang laki-laki duduk dikelilingi puluhan orang yang sedang berpesta minuman keras. Pemandangan demikian tak pelak membuat hatinya kian putus asa. Tanpa mengucapkan sepatah kata, alim ini langsung berbalik untuk pulang ke negerinya.
Tiba-tiba, si laki-laki yang ada di tengah puluhan pemabuk itu berseru, “Wahai Abu Yazid! Wahai Syekh al-Muslimin! Mengapa engkau tidak mendekat terlebih dahulu? Bukankah engkau sudah datang jauh-jauh dari kampung halaman ke negeri kami? Dengan berusaha keras, engkau tempuh perjalanan panjang hanya untuk menemui tetanggamu di surga nanti?”
Mendengar kata-kata itu, Abu Yazid terkesima. Belum sampai mulutnya terbuka, lelaki itu sudah berkata lagi, “Sungguh, kini engkau telah mememukan yang kaucari. Lantas, mengapa kau ingin pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam, bertegur sapa, atau menyampaikan pesan perpisahan terlebih dahulu?”
Masih dalam keadaan bingung, hatinya bergumam, “Mengapa dia mengetahui siapa aku dan maksud kedatanganku? Bukankah yang kulakukan ini perintah gaib? Bagaimana mungkin laki-laki itu bisa mengetahuinya?”
Baru saja Abu Yazid termenung, laki-laki itu berseru lagi, “Wahai Syekh, janganlah terlalu memikirkan dan takjub dengan semua kejadian ini. Sebab, Allah yang telah mengirimku ke kota ini. Dia pun telah memberitahukan kepadaku tentang kedatanganmu hari ini. Mendekatlah, wahai Syekh. Duduk-duduklah sejenak bersama kami di sini.”
Abu Yazid akhirnya masuk ke pelataran kedai itu. Ia mengambil tempat di hadapan laki-laki yang memanggilnya. Lalu, ia bertanya, “Wahai fulan, apa sebenarnya yang terjadi?”
“Sungguh, tidak ada orang yang ingin masuk surga sendirian. Akan kuceritakan kisahku,” tuturnya, “jumlah mereka yang biasa mabuk-mabukan di sini mulanya ada 80 orang. Mereka semuanya fasik. Maka, aku datang, berusaha untuk menyadarkan mereka agar kembali ke jalan Allah. Alhamdulillah, sudah 40 orang di antaranya yang bertobat nasuha.”
Abu Yazid terus menyimak penuturan lelaki itu.
“Kini, orang-orang di sekitarku inilah yang tersisa. Karena engkau sudah datang kemari, wahai Syekh, maka engkaulah yang sekarang harus ikut berupaya menyadarkan mereka. Ajaklah mereka untuk meninggalkan maksiat dan kembali bertakwa kepada Allah.”
Beberapa pemabuk yang sudah siuman mendengar perkataan pria tersebut. Mereka akhirnya menyadari, sosok yang baru saja tiba itu adalah Abu Yazid al-Busthami. Orang-orang itu pun merasa malu. Secara spontan, semua 40 orang pemabuk itu bertobat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.