derajat zuhud dan bahagian-bahagiannya, dengan dikaitkan kepada zuhud itu sendiri, kepada yang tidak disukai dan kepada yang disukai.
Ketahuilah, bahwa zuhud itu sendiri berlebih kurang, menurut lebih-kurang kekuatannya, atas 3 tingkat:
Tingkat pertama, yaitu: yang lebih rendah daripadanya, bahwa ia zuhud di dunia dan ia rindu kepadanya. Hatinya cenderung kepada dunia. Nafsunya berpaling kepada dunia. Akan tetapi, ia berusaha sungguh-sungguh mencegahkannya. Ini dinamakan: orang berbuat diri zuhud (al-mutazahhid). Itu permulaan zuhud pada orang yang sampai kepada derajat zuhud dengan usaha dan sungguh-sungguh. Orang mutazahhid tadi, pertama-tama menghancurkan nafsunya, kemudian saku bajunya. Dan orang zuhud (az-zahid) pertama-tama menghancurkan saku bajunya. Kemudian menghancurkan nafsunya pada mengerjakan taat. Tidak pada bersabar atas apa yang bercerai dengan dia. Orang mutazahhid itu di atas bahaya. Kadang-kadang ia dikalahkan oleh nafsunya dan dihela oleh keinginannya. Lalu ia kembali ke dunia dan beristirahat dengan dunia, sedikit atau banyak.
Tingkat kedua: yang meninggalkan dunia dengan mudah, karena dipandangnya hina dunia itu, dengan dikaitkan kepada apa yang diharapkannya. Seperti orang yang meninggalkan (tidak mau mengambil) sedirham, karena mengharap dua dirham. Tidak sukar kepadanya yang demikian, walaupun ia memerlukan kepada sedikit menunggu. Akan tetapi, orang zuhud ini sudah pasti melihat zuhudnya dan menoleh kepadanya, sebagaimana penjual melihat kepada yang dijualnya dan menoleh kepadanya. Adalah ia kadang-kadang merasa ujub dengan dirinya dan merasa zuhud. Ia menyangka pada dirinya, bahwa ia meninggalkan sesuatu kepunyaannya yang ditaksir, bagi apa yang lebih besar kadarnya. Ini juga suatu kekurangan.
Tingkat ketiga: yaitu yang tertinggi, bahwa ia zuhud dengan mudah. Ia zuhud dalam kezuhudannya. Maka ia tidak melihat zuhudnya, karena ia tidak melihat, bahwa ia telah meninggalkan sesuatu. Karena ia tahu, bahwa dunia itu tidak ada sesuatu. Ia ada seperti orang yang meninggalkan tembikar dan mengambil mutiara. Ia tidak melihat yang demikian itu bertentangan. Dan ia tidak melihat dirinya meninggalkan sesuatu. Dunia dengan dikaitkan kepada Allah Ta’ala dan nikmat akhirat itu buruk dari tembikar dengan dikaitkan kepada mutiara. Inilah kesempurnaan pada zuhud. Sebabnya, ialah kesempurnaan ma’rifah. Orang zahid yang seperti ini aman dari bahaya keberpalingan kepada dunia. Sebagaimana orang yang meninggalkan tembikar dengan mengambil mutiara itu aman daripada menuntut pembatalan jual-beli.
Abu Yazid ra berkata kepada Abi Musa Abdurrahim: “Tentang apa yang engkau perkatakan ?”. Abi Musa menjawab: “Tentang zuhud !”. Abu Yazid bertanya: “Tentang apa ?”. Abi Musa menjawab: “Tentang dunia”. Abu Yazid lalu melepaskan tangannya dan berkata: “Aku menyangka, bahwa ia memperkata kan tentang sesuatu. Dunia itu tidaklah sesuatu. Apa sih, ia zuhud padanya !. Orang yang meninggalkan dunia karena akhirat, pada ahli mengenal ilmu Allah dan orang-orang yang mempunyai hati yang banyak penyaksian yang ghaib-ghaib dan terbukanya ilmu diminta untuk mengetahuinya saja, penghalang adalah seperti orang yang dilarang dari pintu raja, oleh seekor anjing pada pintunya. Lalu ia lemparkan sesuap roti kepada anjing itu. Maka ia lalai sendiri. Dan orang itu memasuki pintu dan memperoleh kedekatan di sisi raja. Sehingga terlaksanalah urusannya pada seluruh kerajaan raja itu.
Adakah anda melihat, bahwa orang itu melihat bagi dirinya kekuasaan di sisi raja, dengan sesuap roti yang dicampakkannya kepada anjing, sebagai imbalan dari apa yang diperolehnya ? Setan itu anjing pada pintu Allah Ta’ala, yang mencegah manusia dari masuk. Sedang pintu itu terbuka dan hijab (dinding) itu terangkat. Dan dunia itu seperti sesuap roti. Kalau engkau makan, maka keenakannya pada waktu mengunyah. Dan habis dalam waktu dekat dengan ditelan. Kemudian, tinggal ampasnya dalam perut. Kemudian, habis dengan busuk dan kotoran. Kemudian, memerlukan sesudah itu, kepada mengeluarkan ampas itu. Maka siapa yang meninggalkannya supaya memperoleh kemuliaan raja, maka bagaimana ia menoleh kepadanya ? Bandingkan dunia seluruhnya, yakni: apa yang diserahkan bagi setiap orang, walaupun ia berumur 100 tahun, dengan dikaitkan kepada nikmat akhirat adalah lebih kecil dari sesuap makanan, dengan dikaitkan kepada raja dunia. Karena tak ada bandingan bagi yang berkesudahan, kepada apa yang tiada berkesudahan. Dunia itu berkesudahan dalam masa dekat. Kalau dunia bermasa beribu-ribu tahun, yang bersih dari setiap kotoran, niscaya tak dapat dibandingkan kepada nikmat yang abadi. Maka bagaimana dan masa umur itu pendek. Kelezatan dunia itu kotor, tidak bersih. Maka apakah bandingannya dengan nikmat yang abadi ? Jadi, orang zahid tidak menoleh kepada zuhudnya, selain apabila ia menoleh kepada apa yang dizuhudkannya. Dan ia tidak menoleh kepada yang dizuhudkannya, selain karena dilihatnya sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Dan ia tidak melihat sebagai yang diperhitungkan, selain karena singkat ma’rifahnya/ilmu mengenal Allah. Maka sebab kekurangan zuhud itu kekurangan ma’rifah. Inilah berlebih-kurangnya tingkat zuhud. Setiap tingkat dari ini juga mempunyai tingkat-tingkat. Karena kesabaran orang yang berbuat diri zuhud (al-mutazahhid). itu berbeda. Dan berlebih-kurang juga dengan berbeda kadar kesukaran pada sabar.
*****
Demikian juga tingkat orang yang ujub dengan zuhudnya, menurut kadar perolehannya kepada zuhudnya.
Adapun terbaginya zuhud, dengan dikaitkan kepada yang disukai, maka itu juga atas 3 tingkat:
Tingkat yang terbawah: bahwa yang disukai itu terlepas dari neraka dan kepedihan-kepedihan yang lain. Seperti azab kubur, perdebatan pada hisab amal, bahaya berjalan di titian ash-shirathul-mustaqim dan huru-hara lainnya di hadapan hamba, sebagaimana yang tersebut pada hadits-hadits. Karena pada hadits itu disebutkan, bahwa orang akan berhenti pada hitungan amal. Sehingga kalau datanglah 100 ekor unta yang haus, maka ia akan keluar dengan tidak haus lagi, dari meminum keringat orang itu. Ini adalah zuhud orang-orang yang takut. Seakan-akan mereka rela dengan tidak ada, jikalau mereka ditiadakan. Bahwa terlepas dari kesakitan itu berhasil dengan semata-mata tidak ada.
Tingkat kedua: bahwa ia zuhud, karena ingin kepada pahala dan nikmat Allah. Dan kelezatan-kelezatan yang dijanjikan dalam sorgaNya, dari bidadari, istana dan lainnya. Ini zuhud orang-orang yang mengharap. Mereka tidak meninggalkan dunia, karena merasa cukup dengan tidak ada dan terlepas dari kesakitan. Akan tetapi, mereka mengharap pada Wujud yang kekal dan nikmat abadi, yang tiada berakhir.
Tingkat ketiga: yaitu yang tertinggi, bahwa tak ada keinginannya, selain kepada Allah dan kepada menemui Allah. Hatinya tidak berpaling kepada kesakitan-kesakitan, dengan maksud hendak melepaskan diri daripadanya. Dan tidak berpaling kepada kelezatan-kelezatan, dengan maksud untuk memperolehnya dan mencapainya. Akan tetapi, ia menghabiskan semua cita-citanya kepada Allah Ta’ala. Sehingga dia dan cita-citanya menjadi satu. Yaitu: ia mengesakan (berkeesaan) yang hakiki, yang tidak dicarinya, selain Allah Ta’ala. Karena siapa yang mencari selain Allah, maka ia telah memperhambakan diri kepadanya. Setiap yang dicari itu disembah. Setiap yang mencari itu hamba, dengan dikaitkan kepada cariannya. Mencari selain Allah itu termasuk syirik yang tersembunyi.
Inilah zuhud orang-orang mencintai Allah Ta’ala. Mereka orang-orang yang arifin (yang berilmu ma’rifah). Karena tidak mencintai Allah Ta’ala khususnya, selain orang yang mengenalNya (yang berma’rifah kepadaNya). Sebagaimana orang yang mengenal dinar dan dirham dan mengetahui, bahwa itu tidak mampu mengumpulkan diantara keduanya, niscaya ia tidak mencintai, selain dinar (terbuat dari emas). Maka seperti demikian juga, orang yang mengenal Allah, mengenal kelezatan memandang kepada WajahNya Yang Mulia, mengenal bahwa mengumpulkan antara kelezatan itu dan kelezatan bersenang-senang dengan bidadari dan memandang kepada ukiran istana dan kehijauan kayu-kayuan itu tidak mungkin. Maka ia tidak mencintai, selain kelezatan memandang. Dan ia tidak memilih yang lain. Anda jangan menyangka, bahwa penduduk sorga ketika memandang kepada Wajah Allah Ta’ala, masih ada kelapangan di hatinya untuk kelezatan memandang kepada bidadari dan istana-istana. Akan tetapi, kelezatan itu dengan dikaitkan kepada kelezatan nikmat penduduk sorga, adalah seperti kelezatan raja dunia dan menguasai atas segala sudut bumi dan leher makhluk, dengan dikaitkan kepada kelezatan menguasai atas seekor burung pipit dan bermain-main dengan dia. Orang-orang yang mencari nikmat sorga menurut ahli ma’rifah dan orang-orang yang mempunyai hati nurani, adalah seperti anak kecil yang mencari untuk bermain-main dengan burung pipit, yang meninggalkan kelezatan menjadi raja. Yang demikian, karena singkat ilmunya daripada mengetahui kelezatan menjadi raja. Tidak karena bermain-main dengan burung pipit itu sendiri lebih tinggi dan lebih enak daripada menguasai dengan jalan menjadi raja atas seluruh makhluk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.