Mujahadah
Bermujahadah, artinya berusaha keras dan bersungguh-sungguh dalam perjuangan.
Meskipun seseorang telah melewati jalan taubat, tetapi jika tidak bermujahadah, maka tak mungkin mampu mempertajam mata batinnya.
Maka, mujahadah merupakan syarat yang tidak boleh diabaikan.
Mujahadah sebagai amalan, baik lahir maupun batin.
Tujuannya untuk mencapai karunia Allah. Karunia itu bisa berupa mahabbatullah, ilmu mukasyafah, musyahadah, dan yang terakhir dalam mencapai maqam ma’rifatullah.
Jika seseorang telah mencapai maqam ini, maka daya batinnya dapat diberdayakan secara maksimal.
Kata mujahadah diambil dari ayat-ayat Al Qur'an, :
ﻭَﭐﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺟَٰﻬَﺪُﻭﺍ۟ ﻓِﻴﻨَﺎ ﻟَﻨَﻬْﺪِﻳَﻨَّﻬُﻢْ ﺳُﺒُﻠَﻨَﺎ ۚ ﻭَﺇِﻥَّ ﭐﻟﻠَّﻪَ ﻟَﻤَﻊَ ﭐﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ .
waalladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa wa-inna allaaha lama'a almuhsiniin.
Mereka yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. [QS. Al Ankabut 69]
Di dalam ayat lain juga diterangkan:
ﻭَﺟَٰﻬِﺪُﻭﺍ۟ ﻓِﻰ ﭐﻟﻠَّﻪِ ﺣَﻖَّ ﺟِﻬَﺎﺩِﻩِۦ
Bersungguh-sungguh di jalan Allah dengan kesungguhan yang sebenarnya. [QS. Al Hajj 78]
Bersungguh-sungguh dalam perjuangan dalam memelihara diri dari berbuat dosa.
Bersungguh-sungguh dalam perjuangan untuk berpindah dari kebiasaan buruk kepada kebiasaan mulia dan menguntungkan. Bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu. Karena hawa nafsu cenderung mengajak kepada keburukan dan dosa.
Seseorang yang ingin memiliki ketajaman mata batin harus bertekad bulat untuk berjuang (berjihad) melawan hawa nafsu dan melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik.
Abu Said Al Khudri berkata, “Rasulullah saw. pernah ditanya tentang seutama-utama jihad.”
Rasulullah menjawab, “Kalimat adil yang disampaikan pada penguasa dzalim. ”
Maka Abu Said Al Khudri meneteskan air matanya.
Hendaknya dalam setiap sikap dan perilaku haruslah benar-benar dihiasi akhlak yang mulia, menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain. Perlahan-lahan di dalam jiwa akan terbentuk sua-tu kearifan. Sehingga muncullah sinar musyahadah (penyaksian).
Abu Ali ad-Daqaq berkata,
“Barangsiapa menghiasi dzahirnya dengan
mujahadah , maka Allah memperbaiki mata batinnya dengan musyahadah.
Ketahuilah bahwa seseorang yang dalam awal perjalanan hidupnya tidak pernah mengalami mujahadah , tentu tidak akan mendapati ‘cahaya’ penerang mata batinnya. ”
Nabi Muhammad saw. mendapat wahyu dan diangkat menjadi nabi Allah tidak serta merta begitu saja. Melainkan, beliau lelah melalui
mujahadah (perjuangan) berupaya secara terus-menerus menjaga diri dari perbuatan buruk, terus-menerus pula berusaha menghiasi akhlaknya dengan kebaikan. Kearifan dan kecerdasannya dalam bertindak maupun berpikir secara benar, mengantarkannya pada maqam tertinggi di antara para manusia. Maka jangan dikira bahwa mujahadah itu datang dengan begitu saja. Jangan dikira ketajaman mata batin itu dapat diraih seseorang dengan serta merta. Mustahil seseorang bisa memiliki ketajaman mata batin dan indra keenam jika ia tidak bersungguh-sungguh dalam menempuh latihan-latihan.
Barangsiapa pada awalnya tidak pernah berdiri, maka pada akhirnya dia tidak akan bisa duduk.
Masih kata Abu Ali ad-Daqaq.
“Gerak dhahir menyebabkan berkah rahasia. ” Artinya, jika akhlak senantiasa baik dan perbuatan selalu jauh dari maksiat, maka seseorang akan mendapatkan berkah yang bersifat rahasia. Berkah rahasia adalah kemurahan Allah berupa apa saja, yang membuat seseorang menjadi takjub.
Ulama-ulama salaf seringkali berpesan agar seseorang bersungguh-sungguh dalam menempuh hidup dan menjalani kebenaran.
Kata as-Sirri, “Bersungguh-sungguhlah kalian sebelum sampai pada batas akhir kemampuan yang membuat kalian lemah dan kurang sebagaimana kelemahan dan kekurangan (fisik) kalian.”
Sebagian ulama sufi, misalnya al-Qazaz memberi teori tentang bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menempuh jalan menuju kebenaran.
Ia menyederhanakan menjadi tiga hal, yaitu bersungguh-sungguh menahan lapar, bersungguh-sungguh menjaga tidur, dan bersungguh-sungguh menjaga lisan. “
Mujahadah dibangun di atas 3 hal: Hendaknya engkau tidak makan kecuali benar-benar butuh (lapar), tidak akan tidur kecuali sangat ngantuk, dan tidak bicara kecuali sungguh-sungguh terdesak (mengharuskan).”
Bersungguh-sungguh menahan lapar dimaksudkan agar tidak terlalu memanjakan perut.
Hal ini merupakan tradisi orang sufi untuk membatasi hawa nafsunya terhadap makan. Sebab menurut mereka, seseorang yang memanjakan perutnya akan tertutup hatinya dari jalan kebenaran. Menjadi tumpul mata batinnya. Pikirannya tidak menjadi cemerlang. Begitu pula menahan tidur, dimaksudkan agar seseorang dapat memaksimalkan umurnya untuk kegiatan-kegiatan positif yang menguntungkan bagi dirinya. Kegiatan positif itu, jika siang hari tekun bermuamalah dan menjadi rejeki. Jika malam hari rajin mengerjakan ibadah.
Selain itu, seseorang hendaknya menjaga lisan. Jangan berbicara jika tidak terpaksa. Maksudnya, janganlah mengumbar kata-kata. Karena lidah itu paling mudah berbuat dosa. Dari lidah, seseorang dengan mudah terpeleset, misalnya menghasut, memarahi, mentertawakan orang lain. Di mana, obyek yang terkena pembicaraan itu menjadi sakit hati. Itulah sebabnya, mengapa seseorang harus menjaga lidahnya.
Ibrahim bin Adham berkata, “Seseorang tidak akan mendapatkan atau mampu memiliki ketajaman mata batin, jika tidak mampu mengatasi enam rintangan.
Pertama, menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesulitan.
Kedua, menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan.
Ketiga, menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan.
Keempat, menutup pintu tidur dan membuka pintu keterjagaan.
Kelima, menutup pintu kaya dan membuka pintu kefakiran.
Keenam, menutup pintu angan-angan dan membuka pintu persiapan kematian. ”
Menutup pintu nikmat maksudnya, bahwa seseorang yang ingin mempertajam mata batinnya, janganlah memburu kesenangan duniawi belaka. Jangan pula memanjakan diri dengan kenikmatan-kenikmatan. Karena kenikmatan itu menumpulkan akal dan pikiran. Justru dengan adanya kesulitan, akal dan pikiran menjadi terpacu. Seseorang akan semakin cerdas dalam berpikir. Di dalam kesulitan seseorang dapat berma'rifat (arif) dalam menemukan takdir dan kekuasaan Allah terhadap nasibnya.
Seorang yang ingin mendapatkan ketajaman mata hati, harus pula mengesampingkan kemuliaan dan membuka kehinaan. Menurut pandangan kaum sufi, kemuliaan kedudukan di strata sosial cenderung membuat seseorang menjadi arogan. Karena merasa memiliki jabatan lebih tinggi, maka hawa nafsu ingin mendapat pujian dan sanjungan. Padahal keinginan yang demikian itu membutakan mata hati dan merupakan penyakit jiwa.
Mengoreksi diri sangat perlu. Seseorang tidak akan pernah menyadari kejahatannya (dosa-dosanya) jika ia selalu menganggap dirinya baik. Seseorang terus-menerus merasa sempurna dari keburukan manakala ia tidak pernah melihat ‘rahasia’ (aib) sendiri. Jika orang semacam ini tahu tentang aibnya, pasti ia akan kebingungan.
Kata Abu Hafsh, “Tidak ada kerusakan yang lebih cepat melebihi kerusakan orang yang tidak tahu aib dirinya, padahal maksiat merupakan pengantar seseorang menuju kepada kekufuran. ”
Seseorang yang tidak tahu terhadap aibnya, cenderung tidak suka menerima kebenaran. Ia enggan dikritik dan diperingatkan. Karena menganggap dirinya selalu baik dan benar, maka kebenaran yang datang dari orang lain dianggap tidak berguna baginya.
Padahal belum tentu dirinya itu benar seratus persen. Oleh karena itu, kita harus menerima segala usulan dan kritik orang lain. Apalagi usulan tersebut benar dan baik untuk diri kita.
اللهم افتح لنا فتوح العارفين
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.