Sabtu, 03 Juni 2017

Orang yang boleh tidak puasa

Orang yang diperbolehkan tidak berpuasa
**************************************

Diantara mereka yang mendapatkan rukhshoh boleh tidak berpuasa Ramadhan pada bulan Ramadhan ialah:

ORANG YANG SAKIT

Intinya orang yang sedang dalam keadaan sakit, dan dikhwatirkan akan bertambah parah sakit yang dideritanya jika ia berpuasa, atau kesembuhannya yang makin terhambat karena puasa itu, maka orang yang seperti ini masuk dalam kategori sakit yang membolehkannya untuk tidak berpuasa.
Ya 2 patokan itulah yang telah ditetapkan oleh kebanyakan ulama untuk kategori sakit yang mendapatkan rukhshoh untuk boleh tidak berpuasa. Entah sakitnya itu bertambah parah kalau berpuasa, atau kesembuhannya terhambat dan semakin lama jika ia paksakan puasa.
Jadi bukan sekedar asal sakit, kemudian seseorang beralasan untuk tidak berpuasa. Kalau sakita yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan puasa, ya tidak ada alasan untuk ia bisa meninggalkan puasa begitu saja.

MUSAFIR (BERPERGIAN JAUH)

“barang siapa diantara kalian yang sedang sakit atau dalam perjalana, maka hendaknya diganti di hari lain” (QS Al-Baqoroh 184)
Ulama bersepakat bahwa perjalanan atau safar yang membolehkan seorang muslim untuk tidak atau berbuka puasa ialah perjalanan yang membolehkan untuk meng-qoshor sholat. Artinya kalau dia boleh qoshor sholat berrati dia juga boleh tidak berpuasa.
Yaitu perjalanan yang menempuh jarak 84 km menurut mazhab Imam Syafi’i atau perjalanan yang menempuh waktu seharian penuh menurut Jumhur (kebanyakan) Ulama.
Dan Jumhur ulama juga menambahkan satu syarat untuk perjalanan yang membolehkan seorang muslim tidak berpuasa, yaitu ia melakukan perjalanan sejak sebelum fajar. Bukan maksudnya memulai perjalanan sebbelum waktu subuh, akan tetapi ia telah berniat untuk melakukan perjalanan sejak malam dengan begitu ia juga berniat untuk tidak berpuasa esok harinya.
Sebagai gantinya, ia harus berpuasa nanti dibulan lain selain Ramadhan selama hari yang ia tinggalkan karena perjalanan tersebut.
Lalu bagaimana jika melakukan perjalanan di siang hari dan kita sudah berpuasa sejak pagi?
Walaupun ada perdebatan, namun Jumhur Ulama mengatakan bahwa boleh membatalkan puasa bagi orang yang melakukan perjalanan padahal ia telah berpuasa dari pagi harinya. Jika memang perjalanan itu sangat melelahkan dan mengharuskan si Musafir itu untuk berbuka, ya boleh-boleah saja.
Ini berdasarkan dalil hadits Jabir ra yang melakuakn perjalanan bersama Rasul saw dan para sahabat lainnya. Ketika sampai disuatu daerah bernama Kuro’a Al-Ghonim (lembah dekat kota Asfan), para sahabat merasa kelelahan kemudian Rasul SAW membolehkan mereka untuk berbuka sebagaimana Rasul SAW juga berbuka puasa ketika itu.
Kemudian Rasul SAW mendengar bahwa ada beberapa sahabat yang tidak berbuka, dan Rasul pun berkata: “mereka itu bermasiat”. (HR Muslim dan Tirmidzi)
Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya “Nailul-Author” mengatakan: “hadits ini adalah dalil bahwa seorang musafir boleh berbuka puasa walaupun ia telah niat puasa sejak malam (berpuasa sejak pagi hari)”.
Lalu bagaimana jika kita berpergian jauh namun kita tetap melakukan puasa?
Jumhur Ulama mengatakan bahwa sah puasanya orang yang berpergian jauh jika memang itu tidak menyulitkan atau menyusahkan si mesafir. Seperti orang yang berpergian jauh dengan pesawat terbang, walaupun jauh tapi tidak terlalu melelahkan dan masih mampu untuk meneruskan puasanya. Maka yang seperti ini sah puasanya dan gugur kewajiban puasanya di hari itu.
Mereka (Jumhur) mengatakan bahwa ayat yang ada dalam surat Al-Baqoroh ayat 184 itu yang memerintahkan orang sakit dan musafir untuk mengganti puasanya di hari lain, maksud dari ayat itu ialah “Jika ia berbuka”, maka ia harus menggantinya di hari lain. Adapun jika sang musafir kuat untuk meneruskan puasanya maka puasanya tetap sah dan gugur kewajibannya.
Ini juga didukung oleh hadits Anas bin Malik ra yang berkata: “kami pernah berpergian bersama Rasul SAW, tapi tidak ada satupun yang mencela, baik itu orang yang berpuasa kepada yang berbuka atau orang yang berbuka kepada yang berpuasa.” (HR Bukhori dan Muslim)

ORANG TUA RENTA

Orang tua yang sudah tidak mampu lagi untuk menahan dirinya dari makan dan minum termasuk dalam kategori orang yang mendapatkan uzdur syar’i untuk tidak beruasa.
Berbeda dengan orang sakit atau musafir, orang tau renta yang tidak berpuasa, maka ia harus menggantinya bukan dengan puasa lagi di lain hari, akan tetapi menngganti dengan membayar Fidyah.
Ini berdasarkan firman Allah SWT:
“dan bagi mereka yang terasa berat untuk berpuasa, maka baginya membayar fidyah; memberi makan orang Miskin”. (QS Al-Baqoroh 184)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada Orang tua renta laki-laki dan perempuan yang sudah tidak mampu lagi berpuasa. (HR Bukhori)

PEREMPUAN HAMIL atau MENYUSUI

Termasuk golongan yang boleh untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan ialah perempuan yang sedang hamil atau sedang menyusui.
Perempuan yang hamil dikhawatirkan kesehatannya dan juga kesehatan janin yang dikandungnya akan terganggu jika si ibu berpuasa. Dan perempuan yang menyusui juga dikhawatirkan akan kekuran air susunya jika ia berpuasa. Maka 2 perempuan ini dibolehkan untuk berbuka puasa.

kewajiban apa yang harus dilaksanakan oleh wanita hamil dan/atau menyusui apabila mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam hal ini beberapa ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Pertama:
Pendapat yang menyerupakan wanita hamil dan menyusui seperti orang yang sakit. Apabila mereka (wanita hamil dan menyusui) tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka harus membayar Qadha’ (tidak perlu fidyah). Sebagaimana yang diwajibkan atas orang sakit apabila meninggalkan puasa di bulan Ramadhan. Imam Abu Hanifah, Abu Ubaid dan juga Abu Tsaur mendukung pendapat ini.
Pendapat ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut:
ﺃَﻳَّﺎﻣًﺎ ﻣَﻌْﺪُﻭﺩَﺍﺕٍ ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣَﺮِﻳﻀًﺎ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻌِﺪَّﺓٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺃُﺧَﺮَ
Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (al-Baqarah: 184)
2. Pendapat Kedua:
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menyerupakan wanita hamil dan/atau menyusui seperti orang yang tidak sanggup melaksanakan puasa, semisal orang lanjut usia. Jika mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab mengkhawatirkan kondisi dirinya ataupun bayinya, maka harus membayar Fidyah tanpa perlu mengqadha’ (Bidayatul Mujtahid I, hal. 63).
Pendapat ini mengambil dasar dalil firman Allah sebagai berikut:
ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻄِﻴﻘُﻮﻧَﻪُ ﻓِﺪْﻳَﺔٌ ﻃَﻌَﺎﻡُ ﻣِﺴْﻜِﻴﻦٍ
Artinya: Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fid-yah, (yaitu): Memberi makan seorang miskin. (al-Baqarah : 184)
3. Pendapat Ketiga:
Imam Syafi’i mengatakan bahwa wanita hamil dan/atau menyusu serupa dengan orang sakit dan juga orang yang terbebani dalam melakukan puasa. Apabila mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka mereka harus membayar Qadha’ dan Fidyah juga. Pendapat ini menggabungkan dua dalil di poin 1 dan 2 di atas.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menambahkan bahwa wanita hamil atau menyusui, apabila ia tidak berpuasa sebab mengkhawatirkan kondisi bayinya, yang wajib ia lakukan adalah qadha sekaligus fidyah. Akan tetapi bila ia mengkhawatirkan dirinya saja, atau mengkhawatirkan dirinya dan juga bayinya, maka yang harus ia lakukan adalah membayar qadha’ tanpa fidyah. (Fiqhus Sunnah I, hal. 508)
4. Pendapat Keempat:
Pendapat yang membedakan antara wanita hamil dan wanita yang menyusui. Wanita hamil diserupakan dengan hukum orang sakit, yang apabila meninggalkan puasa di bulan Ramadhan, ia wajib mengganti dengan qadha’.
Sedangkan wanita menyusui diserupakan dengan orang sakit sekaligus orang yang terbebani melakukan puasa. Apabila ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka ia wajib membayar qadha’ dan juga fidyah.

والله اعلم...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.