Rabu, 23 Oktober 2019

Majaz aqli

PENGERTIAN MAJAZ AQLI

المجاز العقلي هو اسناد الفعل او ما فى معناه الى غير فاعله الحقيقى
Artinya:
“Majaz ‘aqly adalah penyandaran fi’il pada fail yang tidak sebenarnya”

المجاز العقلى هو اسناد الفعل او فى معناه الى غير ما هو له لعلاقة مع قرينة مانعة من ارادة الاىسناد
 الى الحقيقي.
   Artinya:     
 ”Majaz ‘aqli adalah menyandarkan fi’il pada sesuatau yang lain untuk suatu hubungan pada hakikatnya”.

Majaz aqli adalah penyandaran fi’il atau kata yang menyerupainya kepada tempat penyandaran yang tidak sebenarnya karena adanya hubungan dan disertai karinah yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaran yang hakiki. Penyandaran majazi adalah penyandaran kepada sebab fi’il, waktu fi’il, atau mashdar-nya, atau penyandaran isim mabnii fa’il kepada maf’ul-nya, atau isim mabni maf’ul kepada fa’il-nya (Al-Jarim, 2015 : 162)

PENYANDARAN MAJAZ AQLI

1.    penyandaran kepada sebab fi’il (السببية)
Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada penyebab langsung (pelaku).
Contohnya:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (٣٦) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (٣٧)
Artinya:
“Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi supaya Aku sampai ke pintu-pintu,(yaitu) pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat Tuhan Musa dan Sesungguhnya Aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS. Ghafir [40]: 36-37)
Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) membangun gedung yang menjulang disandarkan kepada seorang bernama Haman padahal ia bukan pelaku sebenarnya. Yang membangun itu adalah para pekerja, tetapi Haman bertindak sebagai pengawas proses pembangunan itu.

واذا تليت عليهم اياته زادنهم ايمانا
Artinya:
“Apabila dibacakan ayat-ayat (Allah) kepada mereka maka bertambahlah imannya”.
                                                            
Dalam firman Allah mengguankan gaya bahasa majaz ‘aqly, yaitu adanya penyandaran fi’il pada fa’il yang tidak sebenarnya. Penyandaran fi’il  زاد kepada الايات  adalah penyandaran bukan pada fa’il yang sebenarnya, sedang yag dimaksud adalah penyandaran fi’il زاد kepada Allah.

2.    penyandaran kepada waktu fi’il (الزمانية)
Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada masa/waktu terjadinya.
Contohnya:
نَهَارُ الْـمُؤْمِنِ صَائِمٌ ولَيْلُهُ قَائِمٌ
Artinya:
"Siangnya orang mukmin itu berpuasa dan malamnya bangun (untuk ibadah).”
Pada contoh ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) puasa disandarkan kepada masa/waktu yaitu “siang” padahal “siang” itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang melakukan puasa itu adalah seorang mukmin pada waktu siang hari.

يوم يجعل الولدان شيبا
Terdapat penyandaran fi’il يجعل (menjadikan) pada fail yang tidak sebenarnya. Yaitu berupa dhomir mustatir kembalinya pada اليوم  asalnya berbunyi يوم يجعل اليوم الوالدان شيبا , bahwa hari tidak dapat menjadikan anak berubah, yang dapat menjadikan anak berubah adalah Allah. Berhubung proses anak menjadi dewasa itu terjadi di sela-sela perjalanan zaman (waktu), maka hubungan yang ada adalah hubungan zaman العلاقة الزمانية.

3.    penyandaran kepada tempat fi’il (المكانية)
Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada tempat terjadinya.
Contohnya:
وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (٧٢)
Artinya:
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. at-Taubah [9]: 72)
Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) mengalir disandarkan kepada  sungai-sungai padahal sungai-sungai itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalir itu adalah air-air yang bertempat di sungai-sungai.

 وجعلنا الانهار تجري من تحتهم
Terdapat penyandaran fi’il تجري (mengalir) pada fi’il yang tidak sebenarnya. Benarkah sungai itu mengalur? Tentu saja tidak, yang mengalir adalah air. Dengan demikian penyandaran yang sebenarnya adalah تجري المياه من تحتهم   (air-air itu mengalir dibawah mereka). Maka hubungan yang ada adalah hubungan tempat العلاقة المكانية sungai menjadi tempat air menaglir.

4.     penyandaran kepada mashdar  (المصدرية)
Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada mashdarnya (kata dasar/asal).
Contohnya:
سَيَذْكُرُنِي قَوْمِيْ إِذَا جَدَّ جِدُّهُمْ # وَفِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ يُفْتَقَدُ البَدْرُ
Artinya:
“Kaumku akan teringat kepadaku apabila mereka menghadapi kesulitan. Pada malam yang gelap bulan purnama baru dirindukan (dicari-cari)”
Pada syair ini disebutkan bahwa aktivitas menghadapi kesusahan disandarkan kepada mashdar (kata dasar) yaitu kata (جِدُّ) padahal mashdar itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalami kesusahan adalah orang-orang yang susah.

سيذكرني اذا جد جدهم # وفى الليلة الظلماء يفتقد البدر
Terdapat kalimat yang berbunyi جد جدهم penyandaran fiil جد pada fail جدهم adalah bukan penyandaran fail yang bukan sebenarnya, penyandaran yang dimaksud adalah pada lafadz الجاد  sehingga kalimat tersebut berbunyi اذا جد الجاد جدهم  pada kalimat tersebut fail yang sebenarnya الجاد di buang kemudian fiilnya disandarkan pada isim masdar, yaitu جدهم  . hubungan adalah hubungan masdariyah العلاقة المصدرية[
5.     penyandaran isim mabni fa’il ke maf’ulnya العلاقة المفعولية
Contoh:
لا عاصم اليوم من امر الله الا من رحم
Allah menggunakan lafadz عاصم adalah berbentuk isim fail yang mempunyai arti “yang melindungi” akan tetapi aslinya adalah “yang dilindungi” sehingga yang dimaksud ayat tersebut لا معصوم اليوم من قضاء الله الا من رحمة الله, yang terdapat pada ayat tersebut penyandaran isim fail pada isim maf’ul, dan hubungan yang ada adalah hubungan maf’uliyah العلاقة المفعولية

6.      penyandaran isim mabni maf’ul ke fa’ilnya العلاقة الفاعلية
Contoh:
واذا قرأت القران جعلنا بينك وبين الذين لا يؤمنون بالاخرة حجابا مستورا
Terdapat penggunaan lafadz مستورا yaitu berbentuk isim maf’ul yang berarti “ditutupi” yang dimaksud sesungguhnya bukanlah bentuk isim maf’ul melainkan isim fa’il, sehingga ayat tersebut berbunyi  حجابا ساتراdan bukan حجابا مستورا dalam arti yang sebnarnya. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa pada contoh di atas terjadi penyandaran lafadz مستورا (bentuk isim maf’ul) pada lafadz  ساترا (bentuk isim fa’il) hubungannya adalah fa’iliyyah العلاقة الفاعلية

*****

MAJĀZ ‘AQLĪ

Arti majāz ‘aqlī, ialah meng-isnād-kan fi‘il atau yang menyerupainya kepada mulābas-nya yang bukan sebenarnya, yaitu fi‘il mabnī fā‘il. Seperti: (نَصَرَ) bukan kepada mulābas yang seharusnya, ialah fā‘il, melainkan kepada maf‘ūl-nya dan fi‘il mabnī maf‘ūl bukan kepada nā’ib-ul-fā‘il-nya, seperti:

(ثَوْبٌ لَابِسٌ) asal artinya: pakaian yang memakainya.

Padahal maksudnya: pakaian yang dipakai.

(نَهَارُهُ صَائِمٌ) Asal artinya: Siangnya yang berpuasa.

Padahal maksudnya: pada siang harinya dia berpuasa.

Asalnya: (لَبِسَ زَيْدٌ ثَوْبًا), (صَامَ زَيْدٌ نَهَارَهُ).

وَ الثَّانِيْ أَنْ يُسْنَدَ لِلْمُلَابَسِلَيْسَ لَهُ يُبْنَى كَثَوْبٍ لَابِسٍ

Artinya:

“Yang kedua, (yaitu majāz ‘aqlī), ialah meng-isnād-kan fi‘il atau syibhi-nya kepada mulābas-nya (ma‘mūl-nya) yang bukan seharusnya di-isnād-kan kepadanya. Seperti: (كَثَوْبٍ لَابِسٍ) = Pakaian yang memakai. Maksudnya pakaian yang dipakai.

أَقْسَامُهُ بِحَسَبِ النَّوْعَيْنِ فِيْجُزْئَيْهِ أَرْبَعٌ بِلَا تَكَلُّفِ

Artinya:

Pembagian majāz dengan menghitung kedua macam (makna ḥaqīqat dan majāz) di dalam kedua juznya (musnad dan musnad ilaih-nya), itu ada empat macam tanpa kesulitan.”

Contoh-contohnya:

1. Kedua juznya dengan makna ḥaqīqat, seperti:

(أَنْتَ الرَّبِيْعُ الْبَقَلَ) = telah menumbuhkan musim penghujan akan sayur-sayuran.

2. Kedua juznya dengan makna majāz, seperti:

(أَحْيَا الْأَرْضَ شَبَابُ الزَّمَانِ) = telah menyuburkan tanah itu penggantian zaman.

Arti (أَحْيَا) di sini majāz, karena arti asalnya menghidupkan. Dan asal arti (شَبَابُ الزَّمَانِ) kemudian zaman, sedangkan maksudnya = penggantian zaman.

3. Musnad ilaih dengan arti ḥaqīqat, sedangkan musnaddengan arti majāz, seperti (أَحْيَا الْأَرْضَ الرَّبِيْعُ) = musim hujan itu menyuburkan tanah. Musnad ilaih lafaz (الرَّبِيْعُ), dan musnad-nya lafaz (أَحْيَا).

4. Musnad ilaih dengan arti majāz. Sedang musnad-nya dengan arti ḥaqīqat, seperti: (أَنْبَتَ الْبَقَلَ شَبَابُ الزَّمَانِ) = telah menumbuhkan kepada sayur-sayuran itu penggantian zaman.

Musnad ilaih-nya lafaz (شَبَابُ الزَّمَانِ), dan musnad-nya (أَنْبَتَ).

وَ وَجَبَتْ قَرِيْنَةٌ لَفْظِيَّةًأَوْ مَقْتُوِيَّةٌ وَ إِنْ عَادِيَّةً.

Artinya:

Majāz ‘aqlī-nya itu harus ada qarīnah (yang menunjukkan kepada tujuan yang sebenarnya), baik dengan qarīnah lafzhiyyah atau ma‘nawiyyah atau qarīnah menurut adat.”

1. Contoh qarīnah lafzhiyyah, seperti:

شَيَّبَ رَأْسِيْ تَوَالِي الْهُمُوْمِ وَ الْأَحْزَانِ وَ لكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ

Telah menumbuhkan uban di kepalaku berturut-turut kesusahan dan keprihatinan, tetapi Allah mengerjakan apa yang Ia kehendaki.

Lafaz: (وَ لكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ), qarīnah lafazhiyyah.

2. Contoh qarīnah ma‘nawiyyah, seperti:

(مَحَبَّتُكَ جَاءَتْ بِيْ إِلَيْكَ) = kecintaan padamu telah mendatangkan aku padamu.

Qarīnah-nya: mustahil mendatangi kekasih oleh kecintaan melainkan oleh kakinya.

3. Contoh qarīnah ‘adiyah (adat), seperti:

(هَزَمَ الْأَمِيْرُ الْجُنْدَ) = telah menewaskan komandan itu kepada pasukan musuh.

Qarīnah-nya: mustahil menurut adat, seorang diri komandan mampu menewaskan musuh. Melainkan oleh pasukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.