Sabtu, 11 Oktober 2025

bolehkah mengubah mushola menjadi masjid

Mengubah Fisik Mushalla Jadi Masjid

Di Indonesia, ada dua tempat ibadah kaum Muslim; masjid dan musholla. Keduanya sama-sama dijadikan tempat shalat dan kegiatan ibadah lain, hanya saja mushalla sifatnya sekala kecil. Bahkan adat Madura di setiap pelataran rumah terdapat mushalla. Dari itu, dalam suatu desa atau kampung, mushalla bisa lebih banyak dibanding masjid, sementara masjid hanya satu dalam satu kampung atau desa.

Kemudian, di sebagian tempat yang keberadaan masjid terbatas, kadang ada rencana mendirikan masjid yang sebelumnya ikut kampung sebelah. Salah satu alternatifnya ialah mengubah musholla yang sebelumnya dijadikan pusat ibadah menjadi masjid. Bolehkah musholla dijadikan masjid?

Karena hal ini terkait dengan wakaf, maka perlu kejelasan proses pewakafan masjid dan mushalla. Dalam proses terbentuknya masjid, ulama merumuskan bahwa masjid dipastikan sebagai wakaf, ketika ada ungkapan pelafalan yang tertuju untuk dijadikan masjid. Dalam kitab Fathul-Mu’in, misalnya, ada dua bentuk shighat pewakafan tanah atau tempat sebagai masjid: Sharih dan Kinayah.

“Di antara bentuk shighat sharih: ‘Saya jadikan tempat ini sebagai masjid’. Dengan ungkapan itu, objek langsung menjadi masjid, meski tidak ditambahi ungkapan ‘karena Allah’ dan tidak menyebut hal-hal pada penjelasan sebelumnya. Sebab, masjid pasti wakaf. Adapun ungkapan, ‘Saya wakafkan ini untuk shalat’, merupakan bentuk sharih dalam pewakafan dan kinayah dalam hal ia sebagai masjid, sehingga harus ada niat kalau ingin dijadikan masjid. Hal itu jika tidak pada tanah bebas.’”

Maka dapat dipahami bahwa ketika ada penyebutan masjid dalam pewakafan, secara otomatis menjadi masjid. Jika hanya menyebut pewakafan untuk shalat saja, tanpa ada maksud menjadikan masjid, tidak secara otomatis jadi masjid. Ini karena shighat-nya adalah bentuk kinayah. I’anatuth-Thalibin (III/190) mengomentari redaksi kitab Fathul Mu’in tadi:

)قوله ووقفته للصلاة الخ ) أي وإذا قال الواقف وقفت هذا المكان للصلاة فهو صريح في مطلق الوقفية ( قوله وكناية في خصوص المسجدية فلا بد من نيتها (فإن نوى المسجدية صار مسجدا وإلا صار وقفا على الصلاة فقط وإن لم يكن مسجدا كالمدرسة

(Ungkapan “Saya mewakafkannya untuk shalat”) maksudnya, jika pewakaf berkata, “Saya mewakafkan tempat ini untuk shalat” maka termasuk sharih (jelas) dalam kemutlakan wakaf. (Ungkapan, “Dan kinayah dalam kekhususannya sebagai masjid, harus ada niat agar menjadi masjid”), sehingga jika pewakaf berniat menjadikannya masjid, maka tempat itu menjadi masjid. Jika tidak ada niat maka hanya wakaf untuk shalat saja, sebagaimana sekolah biasa.

Jadi jelas pewakafan hanya untuk shalat saja, hukumnya sah dan tidak serta merta ia jadi masjid jika tidak ada niatan menjadikannya masjid.

Nampaknya, hal seperti inilah yang terjadi pada mushalla wakaf yang berkembang di tengah masyarakat. Jelas bukan masjid jika sedari awal memang tidak diwakafkan untuk masjid. Tempat itu disebut mushalla, langgar, surau atau nama lain sesuai istilah yang digunakan di beberapa daerah.

Hanya kemudian, bagaimana jika mushalla wakaf ingin ditingkatkan menjadi masjid? Terkait perubahan bentuk atau fungsi barang wakaf, mazhab Syafi’i demikian ketat. Artinya, ada kehati-hatian untuk melakukan perubahan fungsi yang telah ditentukan oleh pewakaf atau wakif. Tidak semudah di awal ketika ingin mewakafkan tanah untuk masjid, sehingga sekali ucap langsung jadi masjid. Imam Nawawi dalam Raudhah-nya, menulis:

لا يجوز تغيير الوقف عن هيئته ، فلا تجعل الدار بستانا ، ولا حماما ، ولا بالعكس ، إلا إذا جعل الواقف إلى الناظر ما يرى فيه مصلحة للوقف ، وفي فتاوى القفال : أنه يجوز أن يجعل حانوت القصارين للخبازين ، فكأنه احتمل تغيير النوع دون الجنس

“Tidak boleh mengubah fungsi atau bentuk (barang) waqaf. Makanya, tidak boleh (waqaf) rumah dirubah jadi (waqaf) kebun atau tempat pemandian, dan sebaliknya. Kecuali jika pewaqaf memasrahkan susuai pandangan maslahah bagi kepentingan wakaf. Adapun fatwa Imam al-Qaffal ‘Boleh menjadikan (waqaf) tempat cukur (salon rambut) sebagai toko roti, barangkali maksudnya adalah mengubah bentuk bukan fungsi.’”

Maka, kebolehan mengubah benda wakaf hanyalah untuk menyelaraskan tempat, bukan mengubah fungsi kebun sebagai rumah atau sebaliknya. Dalam redaksi yang lebih luas, mengubah barang wakaf disebutkan dalam Nihayatul-Muhtaj, mengutip Imam as-Subki:

ولأهل الوقف المهايأة لا قسمته ولو إفرازا ولا تغييره كجعل البستان دارا وعكسه ما لم يشرط الواقف العمل بالمصلحة فيجوز تغييره بحسبها ، قال السبكي : والذي أراه تغييره في غيره ولكن بثلاثة شروط : أن يكون يسيرا لا يغير مسماه ، وأن لا يزيل شيئا من عينه بل ينقله من جانب إلى آخر ، وأن يكون مصلحة وقف

“Pengelola waqaf boleh mengubah (menyelaraskan) bentuk, tetapi tidak boleh membagi-bagi memakai sekat-sekat. Dan tidak boleh mengubah fungsi seperti mengalihkan kebun sebagai rumah atau sebaliknya, selama waqif tidak menyaratkan satu tindakan sesuai maslahah, (jika waqif menyaratkan demikian) maka boleh merubah fungsi dengan pertimbangan maslahah. Imam as-Subki mengatakan: Pendapatku, boleh pengubahan wakaf menjadi hal lain, tetapi dengan tiga syarat; (1) perubahannya sedikit dan tidak mengubah nama. (2) Tidak menghilangkan apapun dari fisik wakaf, melainkan hanya memindah lokasi saja. (3) Perubahannya bernilai maslahah.”

Dua redaksi ini tampak diawali dengan ungkapan tidak boleh mengubah (fungsi) benda wakaf, melainkan dengan syarat maslahah dari instruksi waqif. Pada kasus pengubahan musholla menjadi masjid, dari redaksi ini tidak boleh dilakukan, terlebih perubahan yang sifatnya mengubah total demi penyesuaian, dari musholla, langgar, surau menjadi masjid. Maka syarat perombakan Imam as-Subki tidak terpenuhi.

Namun kemudian, yang perlu didiskusikan adalah fatwa Imam Qaffal dalam redaksi Raudhah tadi, “Boleh menjadikan (waqaf) tempat cukur (salon rambut) sebagai toko roti” yang kemudian ditanggapi Imam Nawawi, “Barangkali pengertiannya adalah mengubah bentuk, bukan fungsi.”

Artinya, pendapat Imam Qaffal membolehkan pengubahan bentuk, bukan fungsi. Maka tidak boleh mengubah fungsi rumah sebagai tempat tinggal sebagai kebun untuk cocok tanam. Berbeda jika hanya mengubah bentuk, seperti bentuk tempat potong rambut menjadi toko roti, yang fungsinya sama-sama sebagai tempat usaha.

Dari titik ini, timbul pertanyaan, apakah mushalla dan masjid memiliki satu fungsi dan makna yang sama? Secara umum, keduanya memang memiliki fungsi yang sama. Hanya saja masjid memiliki hak khusus, misalkan ia bisa jadi tempat i’tikaf. Dari sudut bahasa, semua tempat ibadah bisa juga disebut masjid (Lisanul-Arab, entri Sajada). Jika mushalla dan masjid punya esensi fungsi yang sama, bisa jadi boleh mengubah musholla menjadi masjid. Akan tetapi ini perlu diskusi lebih dalam.

Kesimpulannya, mengubah musholla menjadi masjid, jika ada instruksi wakif yang menyaratkan satu maslahah lalu ia percayakan kepada Nazhir, yang kemudian disepakati ada maslahah dalam pengubahan fisik tersebut, maka boleh. Sebaliknya, mengubah fisik tanpa ada mashlahah yang jelas dan mendesak, maka tidak boleh. Wallahu A’lam.

M. Masyhuri Mochtar/sidogiri


Senin, 06 Oktober 2025

AREP OPO ?AREP GOWO OPO ?AREP NINGGALKE OPO?

Khutbah I

اَلْحَمْد للّٰهِ اَلَّذِي أَسْكَنَ عِبَادَهُ الدُّنْيَا هَذِهِ اَلدَّارَ وَجَعَلَهَا لَهُمْ مَننْزِلَةَ سَفَرٍ مِنْ اَلْأَسْفَارِ وَجَعَلَ اَلدَّارَ اَلْآخِرَةَ دَارَ اَلْققَرَارِ فَسُبْحَانَ مَنْ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ وَيَرْفَقُ بِعِبَادِهِ اَلْأَبْرَارِ فِي جَمِيعِ اَلْأَقْطَارِرِ وَسَبَقَ رَحْمَتُهُ بِعِبَادِهِ غَضَبَهُ وَهُوَ اَلرَّحِيمُ اَلْغَفَّارُ 
أَحْمَدُهُ عَلَى نِعَمِهِ اَلْغَزَّارِ وَأَشْكُرُهُ مِنْ فَضْلِهِ بِشُكْرٍ مِدْرَارٍ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ اَلْوَاحِدُ اَلْقَهَّارُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اَلنَّبِيُّ اَلْمُخْتَارُ اَلرَّسُولُ اَلْمَبْعُوثُ بِالتَّبْشِيرِ وَالْإِنْذَارِ، 
اَللّٰهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تَتَجَدَّدُ بَرَكَاتُهَا بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ وَعَلَى آلِهِ اَلْأَطْهَارِ وَأَصْحَابِهِ اَلْأَخْيَارِ وَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ اَلْقَرَارِ
أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا الْاِخْوَانُ أُوْصِيْكُمْ وَاِيَايَ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَطَاعَتِهِ، بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ. 
قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا

Hadhirin jamaah Jumat rahimakumullah
Marilah kita meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan selalu menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dengan selalu berpegang teguh serta mengikuti sunnah-sunnah nabi-Nya. Karena sesungguhnya, hanya dengan takwa kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat.

Hadhirin jamaah Jumat rahimakumullah

Kita hidup di dunia ini Sebenarnya mau apa ( Arep Opo)  ?  bekal apa yang kita bawa untuk kehidupan akherat (Arep gowo opo ) ? dan apa yang kita tinggalkan ( arep ninggalke opo ) ?

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulumuddin menyatakan:

الدنيا مزرعة الآخرة ؤكل ما خلق فى الدنيا
فيمكن أن يتزود منه للآخرة.
إحياءعلومالدين٢٩٣/٦

“Dunia adalah ladang akhirat. Maka setiap yang diciptakan Allah di dunia, bisa untuk dijadikan bekal menuju akhirat”

Kita diciptakan di dunia ini tidak untuk menyibukkan diri dengan hal-hal keduniaan yang pasti menuju kepunahan. Kita diciptakan tidak untuk menyibukkan diri dengan jabatan yang akan kita tinggalkan, pakaian yang pada akhirnya akan usang, makanan yang akan menjadi kotoran, mobil yang suatu saat nanti menjadi rongsokan dan rumah yang tidak kita bawa ke kuburan. 
Di kehidupan dunia yang sementara ini, kita diperintahkan untuk berbuat taat kepada Allah, Tuhan yang wajib kita sembah.  Allah mengetahui bahwa diantara hamba-hamba-Nya ada yang taat, dan diantara mereka ada yang durhaka dan mendustakan-Nya.
Kita tidak seperti binatang yang kehidupannya hanya dilalui untuk makan, minum dan tidur. Melainkan kita diperintahkan untuk berbuat taat kepada Allah dan dilarang untuk berbuat maksiat kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak mengetahui hal ini, berarti ia tidak mengetahui tujuan penciptaannya. Bukankah Allah Ta’ala berfirman:   
أَيَحْسَبُ الإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدَى
“Apakah manusia mengira dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)AlQiyamah36)
Allah swt. juga menegaskan: 
    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.Adz-Dzariyat:56)
Mereka yang tidak mengetahui untuk tujuan apa mereka diciptakan di dunia ini, berlaku pada diri mereka sabda Rasulullah saw.:
إِنَّ اللَّه يُبْعِضُ كُلُّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّادٍ سَخَّابٍ بِاالأَسْوَاقِ جِيْفَةٍ بِا للَيْلِ، كِمَارٍ بِالنَهَارِ ، عَارِفٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ الأَخخِرَةِ (رواه ابن حبان)
 “Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang sombong, rakus kepada harta benda sehingga mengumpulkannya dengan cara yang haram, banyak bicara haram untuk mendapatkan harta, tidak pernah beribadah di malam hari hanya memikirkan makanan di siang hari sehingga lalai untuk melakukan kewajiban, mengetahui urusan dunia dan tidak mengetahui urusan akhirat.” (HR. Ibnu Hibban).





Hadhirin jamaah Jumat rahimakumullah..
bekal apa yang kita bawa untuk kehidupan akherat (Arep gowo opo )
tidak lain adalah membawa amal-amal saleh yang ikhlas karena Allah SWT

Allah memberikan dua syarat bagi siapa pun yang berharap bertemu dengan-Nya di surga, yaitu beramal saleh dan meninggalkan kesyirikan. 
فَمَنْ كانَ يَرْجُوا لِقاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
“Barang siapa yang mengharapkan bertemu Tuhannya maka hendaklah melakukan amal shalih dan janganlah menyekutukan ibadah terhadap Tuhannya dengan suatu apapun.” (QS al-Kahfi: 110).

Rasulullah ﷺ bersabda:
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ، وَيَبْقَى وَاحِدٌ: يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
"Tiga hal yang mengikuti mayat (ke kuburannya): keluarganya, hartanya, dan amalnya. Dua di antaranya kembali, dan satu tetap bersamanya. Keluarganya dan hartanya akan kembali, sementara amalnya akan tetap bersamanya." (HR Bukhari dan Muslim).



Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah...
apa yang kita tinggalkan ( arep ninggalke opo ) ?
Manusia mati akan meninggalkan nama (reputasi dan jasa), yang merujuk pada kebaikan atau keburukan perbuatan mereka di dunia,  
Ini sesuai dengan pepatah "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama".
Perbuatannya di dunia, apakah kebaikan yang dilakukannya atau kejahatan yang ditinggalkan. Nama baik menjadi sangat berharga karena sering kali akan diingat lebih lama daripada kekayaan atau harta benda. 
Orang yang hidupnya penuh karya, seperti penulis atau ilmuwan, akan meninggalkan warisan pemikiran dan karya-karya ilmiah yang bisa dibaca oleh generasi berikutnya, 
Di era modern, manusia juga meninggalkan jejak digital yang bisa berupa karya atau informasi yang tersebar secara daring. Jejak ini dapat berupa karya ilmiah, tulisan, atau aktivitas digital lainnya yang dapat dilacak dan dibaca oleh orang lain setelah kematian. 
Selain itu  kita juga akan meninggalkan keluarga dan keturunan, dan jangan sampai meninggalkan keturunan yang lemah, baik lemah dalam bidang akidah, lemah dalam bidang ibadah, lemah secara keilmuan, dan lemah secara ekonomi 
Allah berfirman dalam Surat An-Nisa Ayat 9
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Dalam ayat ini, Allah Swt. memberi peringatan kepada kaum muslimin agar jangan sampai meninggalkan keturunan yang lemah. Tentu larangan ini lebih ditujukan kepada orang tua yang mempunyai anak dan keturunan. Namun, ayat ini sebenarnya berbicara kepada setiap muslim. Dari sini kita bisa memahami bahwa Allah tidak menginginkan adanya generasi yang lemah dalam masyarakat Muslim. Oleh karena itu, agar tujuan mewujudkan generasi yang kuat bisa terwujud dalam masyarakat Muslim, maka diperlukan usaha dan kerjasama semua pihak, termasuk para guru dan segenap komponen masyarakat.
Pada akhirnya mudah-mudahan Allah memberikan kita taufik dan kekuatan untuk bisa memperbaiki diri,memperbanyak amal soleh dan mampu mendidik generasi yang bertakwa berilmu berkah dan bermanfaat amin allahumma amin
بَارَكَ اللّٰهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَااتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ، وَتَقَبَّلَ اللّٰهُ مِنِّي وَمِنْكُممْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ، أَقَوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْممِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ