Minggu, 07 Desember 2025

Sabar Ridho mahabah

Dalam ajaran Islam, reaksi seseorang yang ditimpa musibah dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan spiritual (maqam), mulai dari yang paling dasar hingga yang tertinggi, yang mencerminkan kedalaman iman dan hubungannya dengan Allah SWT. Tiga tingkatan utama yang sering dibahas adalah sabar, ridho, dan mahabah (cinta), yang seringkali berpuncak pada sikap syukur. 
Berikut adalah penjelasan mengenai reaksi orang yang terkena musibah pada masing-masing tingkatan tersebut:
1. Sabar (Tingkat Dasar/Wajib) 
Sabar adalah tingkatan paling dasar dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang diuji. Reaksi pada tingkat ini meliputi: 
Menahan diri dari keputusasaan, keluh kesah berlebihan, atau protes, baik melalui lisan ("mengapa ini terjadi pada saya?") maupun perbuatan (seperti merusak barang atau melukai diri sendiri).
Mengakui bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya dengan mengucapkan kalimat istirja ("Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un").
Meskipun merasakan beratnya musibah, orang yang sabar tetap teguh dalam ketaatan dan tidak meninggalkan ibadah. 
Pada level ini, musibah masih terasa berat dan menyakitkan, tetapi seseorang berusaha mengendalikannya demi memenuhi perintah agama. 
2. Ridho (Tingkat Menengah/Dianjurkan)
Ridho (rela atau pasrah) adalah tingkatan yang lebih tinggi dari sabar dan sangat dianjurkan (mustahab). Reaksi pada tingkat ini ditandai dengan: 
Penerimaan lapang dada. Orang yang ridho tidak hanya menahan keluhan, tetapi hatinya menjadi tenang dan tenteram terhadap ketetapan (qadar) Allah.
Tidak merasa berat dengan adanya musibah. Bagi orang yang ridho, keberadaan musibah dan ketiadaannya terasa sama saja dalam konteks penerimaan takdir Ilahi.
Berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah, meyakini ada hikmah besar di balik ujian tersebut, seperti pengampunan dosa atau peningkatan derajat di sisi-Nya. 
3. Mahabah (Cinta) & Syukur (Tingkat Tertinggi)
Tingkatan tertinggi dalam menyikapi musibah seringkali dihubungkan dengan syukur (rasa terima kasih) dan mahabah (cinta) kepada Allah. Reaksi pada tingkat ini mencakup: 
Melihat musibah sebagai nikmat. Ini adalah puncak kedewasaan iman, di mana seseorang benar-benar bersyukur atas musibah yang menimpanya karena memahami sepenuhnya bahwa itu adalah bentuk kasih sayang Allah untuk menghapus kesalahan dan meningkatkan martabatnya.
Hati yang dipenuhi cinta. Merasa bahagia dan penuh cinta kepada Sang Pemberi Ujian (Allah), karena ujian tersebut menjadi jalan untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya (muhasabah dan mahabah).
Tetap produktif dalam kebaikan. Orang pada level ini justru semakin mudah dan ringan dalam melakukan amal kebaikan dan ketaatan, alih-alih terpuruk dalam kesedihan. 
Secara ringkas, tingkatan ini menggambarkan transisi emosi dari menahan rasa sakit (sabar), menuju ketenangan batin (ridho), dan akhirnya mencapai kebahagiaan spiritual dan cinta karena menyadari kebaikan di balik setiap takdir (mahabah/syukur). 

tingkatan syukur

Syukur yang sebenarnya

Di antara ulama yang membahas bab syukur atas nikmat Allah dengan sangat sistematis adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah.

Dalam kitabnya yang sangat fenomenal, Ihya’ Ulumuddin (4/79-81), 

Di antara pembahasan syukur dalam kitab Ihya’ Ulumuddin adalah ekspresi manusia dalam menampakkan nikmat Allah subhanahu wata’ala.

Imam al-Ghazali di awal pembahasannya tentang hakikat syukur menyebutkan bahwa keadaan (haal) yang diekspresikan seseorang bisa mengungkapkan apakah syukurnya tersebut hakiki atau hanya sebuah kepalsuan belaka.

Beliau lantas menerangkan definisi mengekspresikan syukur yang hakiki adalah sebagai berikut,

الفَرَحُ بِالْمُنْعِمِ مَعَ هَيْئَةِ الْخُضُوْعِ وَالتَّوَاضُعِ

Eskpresi kebahagiaan terhadap sang pemberi nikmat dengan penuh ketundukan dan kerendahan diri.”

Dari sini bisa dipahami bahwa ekspresi syukur yang benar bukanlah terhadap nikmat yang diberi akan tetapi karena siapa yang memberi. Sehingga dalam keterangan selanjutnya, masih dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, beliau berkata,

أَنْ يَكُوْنَ فَرَحُكَ بِالْمُنْعِمِ لَابِالنِّعْمَةِ وَلَابِالْإِنْعَامِ

“Kebahagiaanmu (atas nikmat) hendaknya karena sang pemberi nikmat bukan karena nikmat atau pemberiaan itu sendiri.”

Imam al-Ghazali kemudian menjelaskan lebih detail terkait ekspresi kebahagiaan atas nikmat Allah. Beliau membagi manusia menjadi tiga tipe dalam mengekspresikan kebahagiaan ketika mendapatkan nikmat.

Tiga tipe ini beliau ilustrasikan dengan seorang raja yang ingin mengadakan sebuah perjalanan, lantas raja tersebut menghadiahkan seekor kuda kepada seseorang dengan tujuan agar ia mau menemani perjalannya.

Dalam mengekspresikan kebahagiaan mendapat kuda dari raja ini maka akan didapati tiga macam bentuk tipe manusia sebagai berikut.

Pertama, Bahagia karena mendapat kuda.

Orang tersebut bahagia mendapat kuda, ekspresi kebahagiaannya karena kuda adalah asset yang bisa dia manfaatkan, transportasi tunggangan yang sesuai dengan keinginan, gagah, dan mewah.

Kebahagiaannya bukan karena yang memberi adalah seorang raja, tapi semata karena barang yang diberikan adalah kuda. Seandainya dia mendapat kuda tersebut di padang sahara sekali pun, dia akan tetap merasa berbahagia sebagaimana dia mendapat kuda dari raja tadi.

Menurut imam al-Ghazali, tipe ekspresi kebahagiaan seperti ini tidak merepresentasikan makna syukur yang sebenarnya. Sebab kebahagiaan orang tersebut hanya terbatas pada barang yang diberikan, bukan karena siapa yang memberi, juga bukan karena tujuan dari pemberian itu.

Setiap orang yang mengekspresikan kebahagiaan atas nikmat yang didapat hanya sebatas karena nikmat itu saja, maka yang seperti ini tidak mencerminkan rasa syukur. Demikian penegasan imam al-Ghazali.

Kedua, Bahagia karena yang memberi dia kuda adalah Raja.

Orang tersebut bahagia dengan pemberian itu. Namun bukan karena kudanya, tapi karena itu adalah pemberian seorang raja. Sehingga, dengan kuda itu dirinya bisa membantu sang raja, menemaninya, dan perhatian terhadapnya.

Karenanya, seandainya dia mendapatkan kuda itu di padang sahara, atau orang yang memberi bukan seorang raja, maka sikapnya akan biasa saja. Sebab, pada dasarnya dirinya memang tidak membutuhkan kuda itu.


Imam al-Ghazali mengkategorikan ekspresi kebahagiaan seperti ini termasuk bentuk bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala.

Ini ditinjau dari kebahagiaan tersebut muncul karena sang pemberi, bukan sebatas karena apa yang diberi.

Lanjut beliau, ini adalah ekspresi syukur orang-orang shalih, mereka menyembah Allah subhanahu wata’ala dan bersyukur pada-Nya. Takut akan siksa-Nya dan mengharap pahala dari-Nya.

Ketiga, Bahagia karena memahami maksud Raja memberi dia kuda.

Orang tersebut bahagia dengan pemberian kuda itu. Kemudian kuda itu ia gunakan dengan penuh tanggung jawab untuk berkhidmat kepada sang raja dan memikul beratnya perjalan menemani raja.

Pengabdiaan tersebut ia tunjukkan untuk memperoleh kedekatan dengan sang raja, bahkan dengang penuh harap ia berusaha memperoleh kedudukan sebagai wazirnya (perdana menteri).

Namun maksud dari ini tidak semata hanya ingin menjadi wazir raja, tapi tujuan sebenarnya adalah untuk bisa dekat dengan raja.

Sehingga, seandainya sang raja memberi pilihan kepadanya antara menjadi wazir tapi tidak dekat dengan raja, atau dekat dengan raja tapi tidak menjadi wazir, maka pilihan kedua pasti diambilnya. Sebab, kedekatan dengan raja itulah tujuan utamanya.

Inilah kategori ekspresi syukur yang paling sempurna, tegas Imam al-Ghazali. Ekspresi kebahagiaan orang tersebut tumbuh atas nikmat Allah subhanahu wata’ala, bahwa nikmat itu adalah pemberian-Nya, wasilah yang mengantarkannya semakin dekat kepada Allah subhanahu wata’ala, berada disamping-Nya, dan bisa melihat wajah-Nya.

Ekspresi bahagiannya bukan karena dunia. Dalam pandangannya, dunia hanyalah tempat menanam agar kelak bisa memanen di akhirat. Sehingga rasa sedih akan muncul ketika nikmat yang diberi justru melalaikannya dari mengingat Allah subhanahu wata’ala dan menghalanginya dari jalan-Nya.

Inilah tiga tipe manusia dalam mengekspresikan nikmat Allah subhanahu wata’ala.

Dari tiga kelompok ini, nomor dua dan tiga adalah kelompok orang-orang yang benar-benar bersyukur. Sedangkan nomor satu, bukanlah orang yang bersyukur. Keterangan imam al-Ghazali ini kemudian diakhiri dengan beliau mengutip statemen imam as-Syibli rahimahullah,

الشُّكْرُ رُؤْيَةُ الْمُنْعِمِ لَا رُؤْيَةُ النِّعْمَةِ

Syukur adalah melihat siapa yang memberi, bukan melihat apa yang diberi.”

Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita semua termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Wallahu A’lam